Sejarah

Sejarah Kalimantan (22): Dayak dan Sejarahnya; Penduduk Asli di Pedalaman Borneo dan Kerajaan Melayu di Pantai




false
IN


























































































































































 

*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Tengah di blog ini Klik Disini
 

Banyak
literatur lama yang menyatakan penduduk Dayak adalah penduduk asli pulau
Kalimantan (Borneo). Tidak diketahui penduduk asli pulau ini ada (datang).
Namyn yang jelas penduduk asli (yang disebut Dayak) sudah terbentuk sejak
ribuan tahun. Ini dapat diperhatikan dari elemen-elemen kebudayaan mereka yang
berbeda dengan pulau-pulau tetangga (Sulawesi, Jawa, Sumatra, Bali. Luzon dan
Mindanao). Seperti umumnya di pulau-pulau lain, elemen kebudayaan penduduk asli
di pedalaman Kalimantan (Dayak) berbeda dengan kebudayaan yang terbentuk di
kota-kota pantai (Melayu
/Bandjar).

Identifikasi penduduk asli tentu saja bersifat
relatif, hanya dibedakan siapa yang lebih awal dibanding dengan yang datang
belakangan. Jika dianggap penduduk Dayak yang terbentuk lwbih awal maka
penduduk Melayu atau Bandjar dapat dianggap terbentuk kemudian. Penduduk Melayu
dan Bandjar yang terbentuk di pulau Kalimantan dapat dianggap penduduk asli
relatif terhadap penduduk pendatang dari India, Tiongkok, Persia. Arab, Eropa
dan penduduk asli dari pulau-pulau lain seperti penduduk asli Sulawesi (orang Boegis)
dan penduduk asli Jawa (orang Jawa). Di pulau Sumatra, seperti di Sumatra Utara
penduduk Batak lebih awal terbentuk di pedalaman relatif dengan penduduk Melayu
di sekitarnya.

Lantas
bagaimana sejarah pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut penduduk Dayak di
pedalaman puau Kalimantan
? Yang jelas dengan berkembangnya kota-kota pantai
menjadi kerajaan-kerajaan, hubungan penduduk Dayak di pedalaman dan penduduk di
pusat-pusat kerajaan terjadi hubungan yang intens (terutama dalam bidang
perdagangan). Pada fase lebih lanjut, orang-orang Eropa terutama Belanda (sejak
era VOC hingga Pemerintah Hindia Belanda) lebih intens membuka isolasi penduduk
di pedalaman menjadi satu kesatuan wilayah administrasi dengan kota-kota di
pantai. Seperti kata ahli
sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Namun
bagaimana permulaan itu dicatat? U
ntuk menambah pengetahuan dan meningkatkan
wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kapan Nama Dayak
Diidentifikasi?

Siapa
sebenarnya penduduk Dayak (Dajak, Dyak, Dyak)? Seorang Inggris M Murray
melakukan ekspedisi ke sungai Mahakam pada tahun 1844 (Journal de La Haye, 22-09-1844).
Murray menyebut tiga kelopok penduduk yakni kesultanan, orang Boegis dan orang
Dajak. Orang kesultanan berkolaborasi dengan orang Boegis mengeksploitasi
penduduk Dajak di pedalaman. Meski populasinya jauh lebih sedikit, senjata api
orang Boegis disebutkan sangat menakutkan orang Dayak. Dalam hal ini orang
Boegis jelas imigran yang sudah lama di Bandjarmasin? Lantas siapa sesungguhnya
orang-orang kesultanan? Jelas mereka bukan orang Boegis dan juga bukan orang
Dajak.

Pada masa lampau kerajaan Koetai berada di
pantai. Di teluk di depan kerajaan Koetai sudah mulai terbentuk pulau-pulau
sedimen yang lambat laut menyatu dengan daratan dengan terbentuknyak empat
cabang sungau Koetai. Semakin meningkatnya proses sedimentasi karena
peningkatan aktivitas di wilayah hulu, di muara menjadi kerap banjir.
Orang-orang Boegis sendiri sudah bermukim di arah hulu Ketai di suatu
perkampongan yang disebut Samarinda (yang menjadi partner kesultanan untuk
perdagangan ke pedalaman dimana penduduk Dayak berada. Setelah dianggap tidak
nyaman di Koetai, kerajaan Koetai relokasi ke tempat yang lebih sehat di suatu
tempat yang kemudian disebut Tenggarong. Untuk menjaga arus perdagangan di
muara, pangeran Koetai ditempatkan di Samarinda (yang kemudian dijadikan pintu
gerbang, bea dan cukai untuk kesultanan Koetai). Setelah kerajaan relokasi ke
Tenggarong, orang-orang Boegis menjadi penghubung (partner) kesultanan tidak
hanya ke hulu (penduduk Dayak) tetapi juga ke hilir (para pendatang termasuk
orang-orang Eropa). Lantas mengapa orang-orang kesultanan bisa relokasi lebih
jauh ke pedalaman? Orang-orang Dayak semakin terdesak lebih jauh lagi ke
pedalaman. Dalam konteks ini wilayah teritori penduduk Dayak telah mengalami reduksi
dari waktu ke waktu, yang besar dugaan di masa lampau orang Dayak berdagang
hingga ke pantai.

Gambaran
tentang di muara sungai Koetai (kini sungai Mahakam) boleh jadi tipikal untuk semua
muara-muara sungai di seluruh pulau Borneo (Kalimantan) tempo doeloe. Penduduk
Dayak seakan-akan penduduk pedalaman, tetapi secara historis adalah penduduk
yang tersebar di seluruh pulau dari pedalaman hingga muara-muara sungai. Para
pendatang baru di pulau mendesak penduduk yang lebih dulu datang (lebih ke
pedalaman).

Gambaran umum di pulau Borneo (Kalimantan)
sesungguhnya menggabarkan pola-pola pemukiman masa lampau yang terjadi di
berbagai pulau termasuk di Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi dan
semenanjung Malaka. Penduduk asli yang mengalami jarak sosial dengan pendatang,
dalam berperilaku dengan tingkat pengetahuan dan kepercayaan mengisolasikan
diri lebih ke pedalaman, ke arah hulu sungai atau ke gunung-gunung. Kebudayaan
baru yang terbentuk di pantai-pantai atau muara-muara sungai karena terhubung
dengan peradaban-peradaban (asing) yang boleh jadi lebih tinggi (dari India,
Tiongkok, Persia, Arab dan Eropa). Peradaban baru yang membentuk kota-kota
perdagangan di pantai-pantai atau muara-muara sungai secara alamiah terbentuk kerajaan-kerajaan
yang lebih kuat dari (kerajan-kerajaan) penduduk asli.

Kerajaan-kerajaan
baru di pantai-pantai mendapat saingan dari kerajaan-kerajaan dari pulau lain,
yang di satu sisi dapat saling bertentangan dan di sisi lain antar kerajaan di
pantai-pantai saling berlomba untuk membangun hegemoni. Hal inilah
kerajaan-kerajaan di pantai-pantai di pulau Borneo (Kalimantan) pasang surut,
ada yang degradasi dan ada yang promosi menjadi kerajaan besar. Kerajaan
promosi dapat mendominasi kerajaan yang terdegradasi (menjadi kerajaan
bawahan). Hal yang sama juga terjadi di pedalaman antara kerajaan-kerajaan
Dayak menimbulkan perang tersendiri karena tumpang tindihnya wilayah teritorial
karena sebagian penduduk Dayak terdesak lebih jauh ke pedalaman (yang dapat
menimbulkan friksi antara satu kerajaan dengan kerajaan yang lainnya yang
sebelumnya lebih berjauhan menjadi lebih dekat satu sama lain. Gambaran di
pulau Kalimantan ini juga menjadi gambaran yang sama di pulau-pulau lain.

Bagaimana asal-usul penduduk Dayak ditulis
oleh PJ Veth dalam artikelnya tentang Asal-Usul Melajoe (lihat Letterkundig
magazijn van wetenschap, kunst en smaak, 1827). Veth menyatakan bahwa orang
Melayu (Bandjar) sekarang adalah orang penganut agama Islam, sebaliknya orang Daijak
tetap pada kepercayaan lama mereka yang menyebut dan menyembah Dewata. Orang Daijak
tidak mengizinkan poligami. Mereka terbiasa berkumpul di satu bangunan rumah
besar. Kebiasaan membeli wanita adalah hal yang umum bagi orang Melayu dan
Daijak. Pemakaman dilakukan dengan membakar dan abu almarhum kemudian
dimasukkan ke dalam stoples tanah. Orang Daijak tidak terbiasa dengan
penggunaan patung atau kuil. Ketika agama Hindu diperkenalkan di wilayah Bendjar
dan Succadana, oleh Raja Madjapahit di Jawa, wilayah daratannya penuh dengan orang
Daijak. Orang Dajak yang telah masuk Islam disebut Melayu. Orang Dajak berasal
dari daerah aliran sungai Kamboja.

Tunggu
deskripsi lengkapny
a

Isolasi Penduduk Dayak Terbuka
1836

Identifikasi
penduduk Dayak pada dasarnya baru dimulai pada awal Pemerintah Hindia Belanda. Sehubungan
dengan tujuan pembentukan cabang pemerintahan Hindia Belanda di pedalaman
Kalimantan dilakukan ekspedisi pada tahun 1836 di Groot Dajak. Eskpedisi ini
menandai eksistensi penduduk Dajak semakin diakui dan diperhitungkan. Laporan
ekspedisi ini ditulis oleh Kaptein Albert Hendriks (lihat Journal de La Haye,
15-09-1837).

Tujuan ekspedisi ini untuk berunding dengan
pemimpin Dayak. Ekspedisi ini langsung dipimpin oleh Residen MCG Goldman yang
didampingin komandan militer Kaptein Albert Hendriks dengan pasukan militernya
sebanyak 100 orang dari benteng-garnisun Bandjarmasin. Ekspedisi berangkat dari
Bandjarmasin tanggal 25 April menuju sungai Tewa Pejaugau di Dajak Besar (Groot
Sdajak). Sebanyak 1000 orang Boegis, Cina, Melajoe dan penduduk Bandjar
mendampingi Resident. Untuk mencapai lokasi ekspedisi membutuhkan  16 hari. Ada 18 kampong Dayak yang berpartisipasi
yang ikut menyambut kehadiran ekspedisi yang didahului dengan mengirim dua
pimpinan mereka untuk menemui kedatangan ekspedisi. Menurut Kaptein Hendriks suku-suku
di pedalaman ini belum dikenal dan belum pernah orang Eropa mendatannginya, Konsultasi
berlangsung dengan para kepala suku selama lebih dari satu jam. Pengambilan
sumpah dilakukan dengan sangat serius. Sebelum itu kepala suku berteriak
memanggil burung ke udara sambil menabur makanan di tempat yang dia harapkan.
Tak satu pun dari kami percaya penampakan burung ini, lalu kepala suku mulai
berbicara kepada burung itu: ‘Saya mantan budakmu Radeen Anam, jangan
membingungkan saya di depan Residen, komandan dan pangeran keluarga kerajaan, pengeran
Mangkoe Boemie, dll…’. Laporan ekspedisi ini ditulis Kapten Hendriks pada tanggal
27 Agustus 1836,

Tunggu deskripsi
lengkapnya

Perkembangan Lebih Lanjut
Penduduk Dayak

Tunggu deskripsi
lengkapny
a

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top