*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Utara di blog ini Klik Disini
Bahasa
adalah elemen (ke)budaya(an) yang diturunkan (satu generasi ke generasi
lainnya). Bahasa etnik di pulau Kalimantan sungguh sangat banyak. Kode etnik
dan kode bahasa sudah disusun oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kode ini sudah
diterapkan dalam Sensus Penduduk tahun 2010. Hasilnya sangat menakjubkan.
Lantas bagaimana bahasa-bahasa yang banyak ini terbentuk.

dua pengguna bahasa. Bahasa Melayu dari arah pantai dan bahasa Soenda dari arah
pedalaman. Lalu diantara dua pengguna bahasa ini muncul bahasa Betawi, bahasa
yang dapat dibedakan dengan bahasa Soenda tetapi sangat mirip dengan bahasa
Melayu. Demikian juga di teluk Tapanoeli, Sumatra bertemu dua pengguna bahasa
yakni bahasa Melayu dan bahasa Batak. Diantaranya muncul bahasa Tapanuli
(campuran kedua bahasa ini dengan tambahan elemen bahasa lainnya). Sudah barang
tentu pola ini sangat banyak di berbagai tempat di pulau Kalimantan. Secara
umum bahasa bahasa utama adalah bahasa Dayak dan bahasa Melayu. Bahasa Melayu
sebagai lingua franca saat itu telah memperkaya bahasa-bahasa etnik yang besar seperti
bahasa Banjar, Banyaknya ragam bahasa Dayak di pulau Borneo boleh jadi menjadi sebab
munculnya bahasa Melayu (yang bercampur dengan bahasa Sanskerta).
Bagaimana
sejarah penggunaan bahasa-bahasa di Kalimantan? Tentu sangat sulit untuk
melihat keseluruhan. Yang jelas BPS kini sudah mengklassifikasinya. Namun apakah
kode ini berlaku sama pada tempo doeloe? Tidak ada yang mengetahuinya secara
pasti karena terbatasnya data. Namun ada baiknya ditelusuri sejauh yang bisa
dijangkau. Seperti kata ahli
sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Bahasa Melayu: Bahasa Lingua
Franca
Sudah
berapa lama umur bahasa-bahasa?
Tentu sangat sulit menentukan. Bahasa cenderung berkembang, sejauh terjadi
interaksi antara satu pengguna bahasa dengan penggua bahasa lainnya. Seperti
bahasa Indonesia (yang dasarnya bahasa Melayu) terus berkembang. Antar bahasa
etnik juga terjadi perkembangan sendiri. Akibatnya ada bahasa yang terus
berkembang dan ada bahasa yang terus mengalami penyusutan (reduksi) yang
akhirnya punah. Seperti contoh dominasi penggunaan bahasa Inggris menyebabkan
bahasa Wales punah. Bahasa Melayu atau bahasa Indonesia adalah salah satu wujud
bahasa yang mengalami promosi (tumbuh berkembang). Berapa banyak bahasa-bahasa
yang terdegradasi (punah) tidak diketahui secara pasti.
Bahasa asing (asal
India, Arab dan Tiongkok serta Eropa) juga turut mempengaruhi bahasa Melayu.
Kita tidak mengetahui bahasa apa yang digunakan sebagai pengantar oleh orang
dari India, Arab dan Tiongkok ketika datang berdagang ke Hindia tidak diketahui
secara jelas. Juga tidak diketahui bahasa yang digunakan oleh orang-orang
Portugis dan Spanyol ketika datang. Namun yang jelas lambat laun orang-orang
Portugis mengenal dan menggunakan bahasa Melayu. Orang-orang Belanda datang
menysul orang-orang Portugis dan Spanyol sudah menyiapkan bahasa pengantar
yakni bahasa Melayu. Orang-orang Belanda sebelum melanjutkan ke Hindia terlebih
dahulu mempelajari bahasa Melayu di Madagaskar. Kamus pertama yang disusun
adalah kamus yang dibuat oleh Frederik de Houtman (seorang ahli bahasa yang
turut dalam pelayaran pertama Cornelis de Houtman). Kamus ini diperkaya
Frederik de Houtman di Atjeh pada tahun 1601. Kamus Frederik de Houtman ini
diterbitkan pada tahun 1603 di Belanda. Tentu saja kamus ini masih sangat
sederhan, namun sudah bisa digunakan sebagai bahasa pengantar dalam
perdagangan.
Saat
bahasa Melayu menjadi lingua franca, saat itu pula awal adanya bahasa-bahasa
(etnik) yang punah. Namun sebaliknya, eksistensi bahasa Melayu sebagai lingua
franca dalam perdagangan dapat memperkaya bahasa-bahasa etnik yang ada yang
dalam hal tertentu memunculkan kategori bahasa baru.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.