*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Selatan di blog ini Klik Disini
Benteng
dibangun ada keperluannya. Benteng-benteng di Indonesia umumnya dibangun pada
era VOC. Hal itu karena kekuatan koloni berada di dalam benteng. Namun pada era
Pemerintah Hindia Belanda, benteng sebagai pertahanan digantikan dengan
pendirian garnisun-garnisun militer. Meski demikian ada beberapa benteng yang
dimanfaatkan sesebagai garnisun militer dan juga ada benteng baru didirikan
karena alasan tertentu seperti di Banjarmasin. Benteng pertama dibangun Belanda
adalah benteng Asterdam di pulau Ontong Jawa sebelum Kasteel Batavia dibangun 1619.

Batavia, sudah ada sejumlah benteng yang dibangun oleh Portugis. Benteng
Voctoria di Amboina direbut Belanda pada tahun 1605. Dari benteng inilah
benteng-benteng Portugis direbut oleh Belanda, seperti benteng di Banda dan
benteng di Coupang (Timor) tahun 1613. Belanda juga mebangun benteng baru
seperti benteng Amsterdam. Setelah Kasstel Batavia benteng-benteng baru semakin
banyak yang dibangun, mulai dari seputar Batavia, pantai barat Sumatra, Jawa,
Celebes hingga Borneo di Tabanio.
Bagaimana
sejarah benteng di pulau Borneo? Rencananya diulai di muara sungai Tabanio,
tetapi realisasinya di Bandjarmasin. Benteng ini namanya Schans de Tuijl, kini
lebih dikenal sebagai benteng Tatas. Mengapa benteng dibangun di Bandjarmasin
sementara situasi dan kondisinya sudah era garnisun? Seperti kata ahli
sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Benteng Schans de Thuijl
Bandjarmasin: Majoor Nahujs, 1819
Di
Kota Banjarmasin pada masa ini ada kelurahan namanya Mantuil. Lalu apakah itu
nama yang merujuk pada nama benteng, tepatnya pos militer Belanda tempo doeleoe:
Schans de Thuijl. Boleh jadi benar. Karena posisi GPS pos Schans de Thuijl
tempo doeloe berada di kelurahan ini. Namun yang menjadi pertanyaan mengapa
nama pos ini begitu melekat pada warga Banjarmasin? Ok itu satu hal. Hal lain
yang lebih penting tentang sejarah benteng Schans de Thuijl
Banjarmasin silih berganti oleh Belanda dan
Inggrsi. Pada tahun 1619 Belanda meninggalkan Borneo karena empat pelautnya
terbunuh. Orang Belanda pertama ke Borneo adalah Oliver Noort tahun 1601. Pada
tahun 1705 orang Inggris tersusir dari Banjarmasin. Lalu pada tahun 1711
Belanda (VOC) menjalin kontak dengan kesultanan Bandjarmasin. Pada tahun 1741
VOC membangun benteng di Bandjar masin. Ini juga sesuai dengan dipindahkannya
ibu kota dari Bandjarmasin ke Martapoera. Pada tahun 1777 VOC memperluas,
terutama di Pontianak. Pada tanggal 6 Juli 1779, Pemerintah VOC membuat
kesepakatan dengan Soeltan Bandjarmasin. Salah satu poin dalam perjanjian ini
perihal tentang pembangunan benteng di Tabanio. Implementasi pembangunan
benteng ini tahun 1780 dikirim Carl Friedrich Reimer untuk melakukan survei,
pengukuran dan pembuatan desain awal. Namun desain benteng yang sudah dibuat
ini tidak pernah direalisasikan. Besar dugaan karena politik yang terjadi Eropa
dimana Belanda diduduki Prancis yang kemudian Prancis mengambil alih Jawa pada
tahun 1795. Lalu pada tahun 1811 Jawa diduduki Inggrsi dan pada tahun 1812
mengambilalih Bandjarmasin.
Pada
tahun 1816 Jawa dikembalikan kepada Belanda (Pemerintah Hindia Belanda) setelah
sempat diduduki oleh Inggris. Bandjarmasin yang dikuasai Belanda dan ditaklukkan
Inggris pada tahun 1812 juga diambilalih Belanda di bawah Komisaris J Boekholtz
pada tahun 1816. Namun kehadiran (Pemerintah Hindia) Belanda mendapat residentensi
yang mengakibatkan pada tahun 1818 terjadi perselisihan di Banjarmasin. Untuk
mengatasinya kembali dikirim Komisaris J Boekholtz dan kemudian digantikan
Majoor Nahujs. Pada saat situasi inilah benteng atau pos militer dibangun di Bandjarmasin.
Pada tahun 1819 Majoor Nahuijs dipindahkan ke Soeracarta. Posisi Majoor Nahuijs
kemudian digantikan oleh seorang sipil Roesler.

de Thuijl. Pos militer ini secara alamiah sudah berbentuk benteng, dikelilingi
air sungai Banjarmasin dan sungai Martapoera. Posisinya sangat strategis berada
di pintu gerbang dekat ke laut yang berawa-rawa, sebagai jalur escape
sebagaimana umumnya benteng-benteng VOC-Belanda dibangun di sekitar muara
sungai seperti di muara sungai Tjiliwong (Kasreel Batavia, 1619), di muara
sungai Semarang (Fort Semarang, 1705) dan di muara sungai Soerabaja (Fort
Soerabaja, 1706). Pos militer Majoor Nahujs ini pada dasarnya sudah menjadi area
pos perdagangan Belanda sejak era VOC (sejak 1711). Area ini sebelumnya adalah
ibu kota kerajaan sebelum relokasi ke Martapoera.
Namun
dalam perkembangannya, benteng Schans de Thuijl oleh Pemerintah Hindia Belanda dianggap
beresiko karena keungkinan bajak laut datang dari laut. Secara internal
posisinya memadai dan strategis tetapi secara eksternal lokasinya yang berada
di dalam uara sungai kurang fleksibel untuk pergerakan ke pantai barat maupun
pantai timur Borneo. Desain benteng Tabanio yang dulu sudah dibuat dibuka
kembali. Pembangunan benteng Tabanio menjadi relevan lebih-lebih setelah
terjadinya pemberontakan Cina di pantai barat Borneo tahun 1821 (yang mana dikirim
komisaris JL Tobias dan Overste de Stuers). Posisi strategis benteng Tabanio
akan terhubung dengan benteng Rotterdam (di Makassar) dan benteng Amsterdam
(Manado). Tabanio
menjadi pelabuhan baru (lihat Utrechtsche courant, 17-03-1824).
Pada tahun 1827 terjadi pemberontakan
kesultanan Matan terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya dikirim
kapal perang HM Dibbets dan berhasil diatasi bulan September 1828. Pada bulan
November terbit resolusi bahwa orang yang berasal dari Jawa dilarang ke Borneo
(pada saat ini terjadi suhu yang meningkat dalam Perang Jawa). Boleh jadi
larangan ini atas rekomendasi Overste Nahujs yang saat ini adalah Resden
Jogjakarta,
Sejak
pemberontakan di Matan, situasi dan kondisi mulai kondusif. Pusat Belanda
kembali ke Bandjarasin. Dalam fase ini hubungan Soeltan Bandjarmasinn dan
Pemerintah Hindia Belanda semakin mesra. Posisi Soeltan Bandjarmasin
ditinggikan menjadi Soesoehonan di pulau Borneo. Kapal-kapal perang Pemerintah
Hindia Belanda mulau melakukan banyak patroli dari ujung ke ujung dari Tandjong
Datoe di barat hingga pulau Sebatik di timur. Soeltan Sambas belum koperatif
demikian juga sultan-sultan di pantai timur. Hal itulah sebab dibangun benteng
(fort) di Sambas dan di Tabanio.

di pulau Borneo sudah dimulai pada tahun 1826 sehubungan dengan reorganisasi
cabang pemerintahan di seluruh Hindia Belanda (lihat Bataviasche courant, 22-11-1826).
Di Bandjarmasin berkedudukan Residen yang juga merangkap untuk Martapura
(tempat kedudukan Soeltan). Asisten Residen di Tatas. Pejabat setingkat
Controleur di Marabahan dan di Tabanio.
Dalam
fase ini Soeltan Bandjarmasin di Martapoera dianggap sebagai partner strategis
Pemerintah Hindia Belanda (karena sudah pernah terhubung sejak lama) yang menjadi
pemegang legitimasi dalam pemerintahan Hindia Belanda di pualu Borneo khususnya
di wilayah Zuid en Oostkust van Borneo, seperti halnya Soesoehoenan di
Soeracarta.

pemerintahan yang baru di pulau Borneo, dan masih tingginya ancaman bagi
orang-orang Eropa, Pemerintah Hindia Belanda memperkuat pertahanan di Schans
van Thuijll dan merealisasikan benteng Tabanio dan membangun garnisun kecil di
Marabahan. Lokasi benteng Tabanio tampaknya sedikit bergeser ke arah pedalaman
(jika dibandingkan dengan desai awal yang dibuat pada tahun 1779). Garnisun
militer di Marabahan dirancang seperti mirip benteng (setengah benteng yang
disebut redoute). Pembangunan redoute Marabahan dan pembangunan benteng Schans
van Thuijll tampaknya dimaksudkan untuk mengawal ibu kota (Banjarmasin) di
sepanjang sungai Bandjarmasin baik dari hilir maupun dari hulu. Adanya dua benteng
akan membuat ibu kota kesultanan Bandjarmasin di Martapoera lebih aman, tetapi
posisi kraton Bandjarmasin sendiri terjebak seakan terkurung diantara orang
Eropa. Dalam pembangunan benteng (Fort) Tabanio boleh jadi dimaksudkan untuk
melindungi kawasan perairan pantai selatan ke arah barat dan ke arah timur juga
dimaksudkan untuk melindungi ibu kota Martapoera. Akan tetapi pembangunan
benteng Tabanio ini juga membuat Soeltan terjebak di Martapoera.Kelak dari Tabanio dirintis jalan darat ke Martapoera dan Pelaihari. Peta 1835
Tunggu deskripsi lengkapnya
Sejarah Benteng di Indonesia:
Benteng-Benteng di Kalimantan
Pada
tahun 1850 posisi kekuatan militer Peerintah Hindia Belanda hanya terdapat di
pantai selatan dan pantai barat yang berpusat di Bandjarmasin dan di Pontianak
dimana masing-masing berkedudukan Residen. Posisi garnizoen militer terdapat di
Pontianak dan di Bandjarmasing (lihat Staatsblad van Nederlandsch-Indie voor 1851).
Selain dua garnizoen militer tersebut (semacam
Kodam pada masa ini), juga terdapat benteng (fort) di Tabanio, pos militer
(redoute) di Marabahan dan kampement di Schans van Thuijl. Redoute Marabahan
juga disebut benteng Kween, Benteng lainnya terdapat di Sambas dan kampement di
Sambas. Benteng memiliki spesifikasi khusus yang berbeda dengan garnizoen
(markas militer). Benteng memiliki tembok pengaman yang kuat dan dilengkapi
dengan bastion. Redoute berada di bawah benteng (Fort). Benteng di bangun di
wilayah yang memiliki ancaman tertinggi. Peta 1861
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.