Sejarah

Sejarah Kota Depok (6): Depok adalah Nama Asli, Bukan Singkatan; Een der Oudste Christengemeenten van het Eiland Java




false
IN



























































































































































Di dalam Wikipedia, disebut secara etimologi
nama Depok/Depoc berasal dari akronim organisasi Kristiani yang didirikan
Cornelis Chastelein: De Eerste Protestante Organisatie van Christenen. Wikipedia
mengutip dari tulisan Tasa Nugraza Barley berjudul ‘The Forgotten Bule Depok’
yang diupload tanggal 22 September 2014. Tidak diketahui dari mana sumbernya
bahwa nama Depok sebagai akronim.
Salinan testamen Cornelis Chastelein ( JN Grimmiu, 1852)
Asal-usul nama Depok berbeda dengan asal usul Batavia,
Preanger dan Buitenzorg. Nama Batavia merupakan nama region/wilayah di Belanda
bagian utara tempo doeloe, sementara nama Preanger mengacu pada penyebutan orang
Belanda untuk orang Priangan, sedangkan Buitenzorg bermula dari penyebutan
region/wilayah tempat peristirahatan di luar kota (buiten dan zorg). Nama Depok
sendiri adalah nama yang diadopsi dari nama asli. Depokker merujuk pada
orang-orang pribumi, pewaris Cornnelis Chastelein di Land Depok
(lihat
Depok en de Depokker: Eene Bijdrage tot de Kennis van Inlandsche Christenen op
Java door JN Grimmius, 1852).
Depok adalah Nama Asli
Nama Depok adalah nama asli, bukan singkatan. Disebut asli karena pemberian
nama Depok muncul dari orang asli. Nama-nama asli memang sulit dilacak
asal-usulnya. Faktanya nama-nama asli sudah disebut sejak lama. Nama tetangga
Depok yang sudah sejak lama eksis adalah Mampang, Pondok Tjina dan Pondok
Terong.

Orang asing
(Eropa/Belanda) sangat memerlukan nama asli, karena nama asli adalah penanda
navigasi di daratan, nama-nama tempat yang sudah eksis sejak lama. Orang-orang
asli (baca: pribumi) sudah lebih awal menggunakan nama tempat, nama situs atau
nama geografis (gunung, sungai dan lainnya) sebagai penanda navigasi.  
Nama Depok dan Mampang sepintas sulit dipahami artinya. Hal ini berbeda
dengan nama Pondok Tjina dan Pondok Terong lebih mudah dipahami. Nama-nama yang
sulit dipahami cenderung diperdebatkan: bagaimana nama-nama tersebut bermula.
Cornelis Chastelein: Membeli
Lahan di Depok
Depok dikenal karena kehadiran Cornelis Chastelein. Ketika pejabat VOC ini
membeli lahan di Mampang dan Depok, dokumen yang tersimpan di Batavia menyebut
lahan tersebut dengan batas-batas tertentu berada di Depok dan Mampang (Bataviaasch
nieuwsblad, 27-06-1929). Dalam testamen yang dibuat Cornelis Chastelein tanggal
13 Maret 1714 sebelum kematiannya tanggal 28-06-1714 secara eksplisit lahan
yang diwariskan letaknya dimana dan luasnya berapa (lihat Depok en de depokkers,
1852). Wasiat Cornelis Chastelein baru diumumkan pada tanggal 24 Juli 1714 (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, edisi 28-06-1929).  
Peta hulu Tjiliwong, 1724

Nama Depok juga
telah disebut dalam laporan ekspedisi yang dilakukan oleh Abraham van Riebeek
tahun 1703 yang melalui rute sisi barat sungai Tjiliwong: Tjililitan, Tandjong,
Pondok Tjina, Depok, Pondok Terong, Bodjonggede, Tjiliboet dan Paroeng Angsana. Nama-nama tempat tersebut sudah diidentifikasi pada Peta 1724. Pada saat ekspedisi
Abraham van Riebeek ini lahan terjauh di sisi barat sungai Tjiliwong yang diusahakan di hulu sungai Tjiliwong baru sejauh Sringsing [kini Lenteng Agung]. Yang mengusahakan lahan Sringsing tersebut adalah Cornelis Castelein.

Lahan-lahan yang ditinggalkan Cornelis Chastelein yang diwariskan kepada
tenaga kerjanya sebagaimana disebut dalam testamen diakuir pemerintah pada
tahun 1871. Ini bermula ketika Spoorweg Maatschappij akan mengakuisisi lahan
untuk pembangunan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg di ruas Depok. Pemerintah
melalui Pengadilan Tinggi memutuskan bahwa lahan-lahan milik pewaris Cornelis
Chastelein di Mampang dan Depok. Pengadilan Tinggi juga memutuskan konpensasi
diberikan kepada pewaris berdasarkan testament yang dibuat pada tanggal 13
Maret 1714 (lihat De locomotief:
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-01-1874).
Hal yang penting
dalam testamen ini Cornelis Chastelein menginginkan di lahan-lahan yang
diwariskannnya dibentuk/dijadikan sebagai tempat Kristen (Christen-negorij)
yang baru. Wasiat ini tampaknya dituruti oleh para pewarisnya.
Kampong Asli
Wilayah sepanjang sungai Tjiliwong bukanlah daerah kosong, melainkan
wilayah yang populasinya sangat ramai sejak era Padjadjaran mulai dari Pakwan (Buitenzorg/Bogor)
hingga Soenda Kalapa (Batavia/Jakarta). Dikatakan ramai, jika dibandingkan dengan
populasi wilayah lain di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Berdasarkan
pencatatan penduduk 1861, wilayah hulu sungai Tjiliwong (yang kemudian disebut
afdeeling Buitenzorg) saja, jumlah penduduknya ditaksir sudah lebih dari
350.000 jiwa (suatu angka yang besar di masa lampau).
Luas wilayah yang
sempit dan jumlah penduduk yang sangat besar mengindikasikan jumlah pemukiman
(perkampungan) yang sangat banyak. Suatu perkampungan yang ada saat itu hanya
terdiri dari beberapa rumah. Setiap perkampungan memiliki nama sendiri-sendiri.
Antara satu kampung dengan kampung lain terhubung dengan jalan-jalan setapak
yang membentuk jaringan wilayah tradisional yang bisa kita bandingkan dengan
jaringan tempat-tempat tinggal (kampung atau perumahan) pada masa sekarang ini.
Jaringan wilayah tradisional itu terbentuk karena antara lain sebab hubungan perkawinan
(sosial), pertukaran (ekonomi), tradisi keagamaan dan pertahanan.  
Pada saat Cornelis Chastelein memulai membuka lahan di hulu sungai
Tjiliwong, wilayah lahan (land) yang dibelinya dari penguasa lokal yang
disahkan secara hukum oleh VOC memiliki batas-batas tertentu (saat itu
batas-batas ditentukan oleh alam seperti sungai, bukit atau danau). Pembelian
yang dilakukan di dalam batas-batas lahan (land) ini meliputi bumi (daratan) dan
air (sungai dan danau) termasuk isinya: tumbuhan, tanaman, mineral, ikan dan
bahkan penduduk yang bertempat tinggal di lahan tersebut.
Terminologi yang
muncul kala itu dalam bahasa Belanda untuk menunjukkan suatu wilayah dengan
batas-batasnya dianggap sebagai zoo. Di dalam zoo ini termasuk manusia (dalam
hal ini penduduk pribumi) hanya dianggap sebagai mahluk yang nilainya setara
dengan hewan (politik rasial kala itu sangat kental).
Oleh karenanya, Land Depok yang menjadi hak kepemilikan pribadi Cornelis
Chastelein bukanlah area kosong, bahkan nama Depok sendiri adalah nama suatu
pekampungan awal (yang entah dimana posisi ‘gps’nya di land tersebut. Disebut
kampong Depok, karena nama-nama tempat utama yang diidentifikasi sebagai
penanda navigasi saat itu adalah nama tempat hunian penduduk yang namanya sudah
dikenal luas di sekitar.
Nama-nama Pondok
Tjina, Depok, Ratoe Djaja, Mampang dan Pondok Terong adalah penanda navigasi
utama. Nama-nama penanda navigasi atau perkampungan inilah yang kemudian area (land)
yang diperjualbelikan, landnya diberi nama.

Di Land Depok, selain nama kampong Depok sudah
eksis, juga diduga sudah eksis nama-nama kampung lain seperti Pitara (dari nama
Hindoe), Paroeng Blimbing, Paroeang Serab, Paroeng Melela dan lainnya.
Terminologi paroeng mengindikasikan penanda navigasi untuk menunjukkan
perkampungan yang muncul dimana ada penyeberangan sungai yang sempit (yang
ditandai dengan adanya jembatan bamboe).

Kampong Depok dan Landhuis Depok

Kampong Depok dan Landhuis Depok adalah dua tempat yang berbeda. Tidak
pernah diceritakan atau dilukiskan dimana lokasi Kampong Depok dan dimana Landhuis
Depok. Kampong Depok adalah lokasi dimana penduduk asli bermukim, sedangkan
Landhuis Depok adalah lokasi yang dipilih oleh Cornelis Chastelein sebagai
pusat kegiatannya.
Sumber informasi
yang paling relevan untuk mengidentifikasi dimana posisi gps Kampong Depok dan Landhuis
Depok adalah salinan testamen Cornelis Chastelein tentang pewarisan lahan
kepada para tenaga kerjanya. Sumber berikutnya adalah peta Land Depok tahun
1901.
Berdasarkan rute yang digunakan oleh Abraham van Riebeek pada saat
ekspedisi ke hulu dari sisi barat sungai Tjiliwong adalah Tjililitan, Tandjong,
Pondok Tjina, Depok, Ratoedjaja dan Pondok Terong. Nam-nama kampong berada di
sisi barat sungat Tjiliwong dan sangat dekat atau dipinggir sungai Tjiliwong.
Oleh karena kampong dan sungai terkait, maka kampong-kampong tersebut berada di
tempat yang rendah atau lembah yang langsung bersentuhan dengan sungai.
Kampong-kampong ini menjadi semacam pelabuhan sungai di masa lampau. Kampong
yang menjadi pelabuhan ini kedua sisi sungai besar kemungkinan sama-sama
rendah. Kampung-kampung ini menjadi interchange (simpul) antara wilayah sisi
barat dan wilayah sisi timur sungai Tjiliwong. Dengan kata lain, lebar sungai
cukup besar dan arus air lebih tenang yang memungkinkan adanya getek.
Secara teoritis,
letak Kampong Depok ini berada di hilir jembatan Panus yang sekarang. Sedangkan
jembatan Panus, yang cikal bakalnya di masa lampau adalah jembatan bambu
lokasinya dipilih di lebar sungai yang paling sempit. Arus air di bawah
jembatan biasanya sangat deras.
Sementara posisi gps landhuis yang menjadi pusat kegiatan Cornelis
Chastelein dalam mengusahakan pertanian berada di lokasi yang berbeda dengan
Kampong Depok. Oleh karena landnya disebut Land Depok, maka landhuis ini tidak
terlalu jauh dari Kampong Depok (nama land dan nama landhuis yang merujuk pada
nama kampong). Landhuis menjadi semacam ‘ibukota’ di Land Depok.
Peta (Land Depok), 1901

Ibukota Land Depok
adalah ibukota bagi orang asing (Eropa/Belanda) di lingkungan orang asli. Orang
asing dalam hal ini ingin membuat koloni. Sebagai orang asing dan membuat
koloni baru, maka orang asing tidak pernah mengambil tempat di kompong yang
sudah eksis. Dengan kata lain, orang asing tidak pernah mengakuisisi kampong
orang asli (apalagi mengusirnya). Sebab, orang asli adalah partner strategisnya
di lingkungan yang baru. Hal ini yang terjadi pada area koloni yang lebih besar
seperti Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Semarang, Medan dan Padang. Untuk area
koloni yang lebih kecil seperti landhuis Depok 
secara teoritis kurang lebih sama. Oleh karena sebagai orang asing,
untuk mempertahankan keamanan, orang asing memilih lokasi yang secara alamiah memiliki
fungsi pertahanan seperti laut, danau, tebing atau jurang. Berdasarkan
pemahaman serupa ini landhuis Depok berada di sisi sungai Tjiliwong yang paling
strategis dari sudut keamanan dan pertahanan.

Lokasi landhuis yang dipilih Cornelis Chastelein
adalah sisi dalam lekukan sungai Tjiliwong. Sebab secara alamiah sungai telah
membentengi landhuis separuh area landhuis. Posisi landhuis ini besar
kemungkinan di dekat situs gereja tua Depok di hook jalan Pemuda yang sekarang.
Sementara untuk tempat pemukiman tenaga kerjanya berada di belakang gereja
tersebut. Pemukiman tenaga kerja ini kelak menjadi perkampungan bagi para
pewaris Cornelis Chastelein.

‘De Eerste Protestante Organisatie van Christenen’

Orang pribumi Kristen yang berada di
bawah Portugis di Toegoe di Batavia pindah ke Kampong Toegoe di Depok.
Sementara itu, di Depok, sudah ada penduduk pribumi yang sudah beragama Kristen
sejak era C. Chastelein.
Semasa Cornelis Chastelein di Depok sudah ada gereja. Antara
1714 hingga 1744 sudah ada sekolah bagi penduduk pribumi Kristen di Depok dan
Toegoe di bawah pengawasan gereja. (lihat Over den toestand en de behoeften van
het onderwijs der jeugd in Nederlandsch Indie, 1850). Inlandsche christen gemeente
sebanyak 291 orang dan gereja dibangun tahun 1792. Gereja kedua dibangun tahun
1836. Kemudian dibangun gereja ketiga yang terbuat dari papan yang dihubungkan
dengan sekolah yang dihadiri oleh 53 murid (Tijdschrift voor
Nederlandsch-Indie, 1873). Pendeta Depok yang terkenal Beukhof.
Nederlandsche Zendelinggenootschap mulai
merencanakan misinya di Hindia Timur sejak 1790an dan melakukan kegiatan misi
di berbagai tempat seperti Amboina, Timor, Riouw dan Celebes.
Pada tahun 1828 atau 1834 pemerintah membangun sekolah
guru agama Kristen di Depok. Beasiswa yang direncanakan untuk pengiriman murid
ke sekolah misi di Depok: Amboina f8.640, Timor f16.545, Riouw f1.900, Celebes
f8.940, dan Depok sendiri f600.
Buku-buku yang pembuatannya dibiayai
oleh Nederlandsche Zendelinggenootschap:
1.    Kitâb Malájuw ‘åkan meg’âdjar hêdjà güna
segala ‘Anakh Jang baháruw memulâij dengan peladjâran.
2.   Kitab Malajuw jang kaduwa, ‘åkan meng’âdjar
hêdjâ, gūna segala ‘ánakh jang sudah belâdjar sedikit sâdja.
3.    Kitàb Midras jag dålamnja ‘ada ter simpan
babarapa fatsal jag Pendekh dán bergüna, ‘åkan debatjåkan; terkårang dålam bahása
Wolandâwij, güna segala ‘Anakh Midras, ‘awleh tuwan pema Rentah Midras dàn tersâlin
kapada bahása Malájuw ‘awleh R. Le Bruyn, Pandita ‘Indjil di pùlaw Timor.
4.     
Sawàtu perkatà dan natsilhat.
5.   Tjeritera Ihikajet Isãj ‘Elmesêlh jang
‘Anakh ‘Allah dan Muchalits segala ‘awrang berdawsa.
6.    Perg’adjàran jang pendekh ‘åkan segala
Kabenâran ‘Agama Mesêlhij, terkårang ‘awleh A. Brink, tersâlin deri pada bahàsa
Wolandâwij kapada bahása Malâjuw ‘awleh J. Akersloot, jang pada màsa hidopmja Surôhan
‘Indjil ditánah Depok, dekàt Bâtawijah (terbit 1839?).
Depok (dan Toegoe) selain terbilang
awal juga jumlah pribumi yang beragama Kristen terbanyak. Awalnya komunitas
Kristen di Depok disebut Inlandsch gemeente van Depok kemudian lebih dikenal
sebagai Christenden Gemeente van Depok. Keberadaan Depok semakin penting ketika
kegiatan misionaris mulai digalakkan di berbagai tempat di Hindia Belanda.
Sekolah bagi pribumi yang beragama Kristen yang kemudian muncul sekolah zending
di Depok semakin memperkuat keberadaan Depok sebagai Christenden Gemeente van
Depok.
Pewaris yang Setia
Salah satu faktor penting mengapa
Land Depok menjadi Christenden Gemeente van Depok adalah kesetiaan para pewaris
terhadap pesan yang diinginkan oleh Cornelis Chastelein. Dalam testamennya, Cornelis
Chastelein meginginkan di Land Depok terbentuk komunitas Kristen. Nederlandsche
Zendelinggenootschap melihat riwayat Depok ini sebagai hal yang strategis.
Sementara penduduk di sekitar Land Depok sudah sejak lama
beragama Islam termasuk penduduk di kampung-kampung yang berada di Land
Mampang. Tokoh-tokoh agama Islam di luar Land Depok (terutama Land Ratoe Djaja
dan Land Pondok Terong) menyadari posisi Land Depok dari sisi internal (testament) dan dari
sisi eksternal tentang perkembangan yang terjadi di dalam Christenden Gemeente
van Depok yang sudah disokong oleh Nederlandsche Zendelinggenootschap. Sebagaimana
tokoh-tokoh Islam di sekitar Depok yang khawatir terhadap pengaruh Kristen di
Depok, juga para jemaat Depok (Christenden Gemeente van Depok) juga memiliki kekhawatiran
terhadap penduduk lokal di wilayah sekitar. Dalam suatu perayaan keagamaan di Ratoe Djaja diduga
Raden Saleh hadir dan kehadirannya telah menjadi polemik pada surat kabar di kalangan Kristen.
Raden Saleh adalah pelukis terkenal berdarah Arab yang telah lama belajar di
Belanda (dan dianggap telah dekat dengan Belanda). Kalangan Kristen menganggap
Raden Saleh telah menyokong munculnya gerakan Islam di sekitar Depok yang
berpusat di Ratoe Djaja/Pondok Terong. Sebab belum lama berselang terjadi kerusuhan yang terjadi di
Bekasi dan sekitar yang mana tokoh-tokoh agama dari Ratoe Djaja/Pondok Terong terlibat.      
Meski ketegangan selalu ada antara
komunitas Kristen di Land Depok dengan penduduk lokal di sekitar, namun tidak pernah terdeteksi
terjadi kerusuhan. Boleh jadi ini karena faktor pewaris dari Cornelis
Chastelein yang setia dengan wasiat yang mereka terima yakni menjadi penganut
agama Kristen yang baik dan tidak ingin bertabrakan dengan para tetangga.
Faktor luar (utamanya kehadiran Nederlandsche Zendelinggenootschap) diduga yang
menyebabkan munculnya ketegangan. Sebagaimana para pendeta-pendeta yang ada di
Land Depok berasal dari luar (bukan pribumi) dan berfiliasi dengan
Nederlandsche Zendelinggenootschap.
Pemerintah Hindia Belanda pada prinsipnya netral dalam
urusan keagamaan (liberal/sekuler). Kemauan Nederlandsche Zendelinggenootschap tidak selalu dituruti
oleh Pemerintah. Sebaliknya, Pemerintah Hindia Belanda menganggap Islam,
Kristen dan pagan sama pentingnya. Yang diutamakan pemerintah adalah siapa yang
bersedia berpartisipasi dalam pembangunan jalan dan jembatan (faktor ekonomi) apakah mereka Islam,
Kristen atau pagan.
Sebagai pewaris Land Depok tampaknya,
komunitas Kristen Depok atau jemaan Depok sangat menyadari bahwa lahan mereka
adalah lahan warisan. Para pewaris ini konsisten untuk mempertahankannya tanpa
ada yang mengganggu baik oleh masyarakat sekitar maupun oleh pemerintah sendiri.
Namun demikian, setiap masa ada saja
yang membutuhkan hak yang melekat kepada para pewaris. Para pewaris awalnya
enggan untuk melepaskannnya. Para pewaris menganggap pelanggaran terhadap
wasiat yang diterima. Namun upaya mempertahankan hak pewarisan dan kesetiaan
terhadap pesan dalam wasiat Cornelis Chastelein tidak selalu dapat
dipertahankan. Pertama, dalam pembangunan jalur kereta api. Para pewaris enggan
lahan Depok diokupasi untuk jalur kereta api oleh pihak investor swasta yang didukung pemerintah. Namun
persoalan yang berlarut-larut dapat ditengahi oleh pemerintah dengan keputusan
Pengadilan Tinggi untuk mengakuisisi lahan dengan pemberian konpensasi (1871).
Sebelumnya sempat ada rencana membangun kereta rute
melalui Tjinere dan Sawangan dengan jalan melengkung (lihat Particuliere
landerijen door J.F.W. van Nes, 1848). Rencana pembangunan jalur kereta api ini
tidak diketahui ujung pangkalnya hingga muncul proposal konsesi pembangunan
kereta api tahun 1864.
Kedua, dalam persoalan pengairan persawahan di
Tandjong Barat. Untuk meningkatkan debit air melalui kanal Tanah Baroe
diusulkan agar menutup Situ Pitara. Gemeente Depok. Awalnya tidak rela, sekali
lagi, karena ini dianggap melanggar pewarisan Land Depok dari Cornelis
Chastelein. Lalu dalam perkembangannya, pemerintah Batavia terus mencari jalan
keluar dan akhirnya Situ Pitara ditutup agar aliran dari Kali Baroe yang
melalui Pondok Terong/Ratoe Djaja diteruskan langsung ke Kali Baroe tanpa ada
penyimpinan air (konservasi) di Situ Pitara lagi. Ini berarti Situ Pitara harus ditutup
(1830). Dalam penutupan Situ Pitara, Gemeente Depok diberi konpensasi oleh pemerintah.
Itulah kisah Land Depok sebagai Christenden Gemeente van
Depok sebagai salah satu gereja Kristen tertua di pulau Jawa (Een der oudste
Christengemeenten van het eiland Java) (lihat Stemmen voor waarheid en vrede
jrg 31, 1894). Di Seminarie van Depok juga pernah tercatat sebagai tempat
konferensi pertama (eerste Indische Zendingsconferentie) pada tahun 1882 (lihat
FW Grosheide, 1926).

Dengan demikian bahwa
Gemeente Depok tidak salah dianggap sebagai de eerste protestante organisatie
van Christenen, tetapi tidak berarti asal nama Depok dari singkatan tersebut. Nama Depok sebagaimana nama-nama Ratoe Djaja, Pondok Terong dan Pondok Tjina adalah nama asli yang sudah sejak
lama ada dan sulit ditelusuri.
Cornelis Chastelein yang menjadi haknya dan telah
diwariskannya memang menginginkan (hanya) Land Depok (saja) untuk menjadi Christen-negorij.
Itu semua telah terlaksana paling tidak hingga eksistensi Belanda berakhir di
Indonesia.

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan
lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru
yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top