Sejarah

Sejarah Kota Medan (78): Pulau Sicanang. Teluk Belawan Hilang Akibat Sedimentasi; Dari ‘Kota Tjina’ hingga Rumah Sakit Kusta




false
IN




























































































































































false
IN



























































































































































Genangan air telah menyebab sungai Belawan dan
sungai Deli berpisah. Genangan air juga secara perlahan telah memperlunak tanah
permukaan. Akibat proses sedimentasi melambat atau berhenti (tidak adanya
aktvitas gunung api dalam jangka waktu yang lama), proses penggerusan oleh arus
dua sungai terhadap sedimen dan permukaan tanah yang terus melunak di bawah
air, genangan air yang luas tersebut secara perlahan membentuk Teluk Belawan
(permukaan tanah di bawah air semakin dalam). Dampak pertemuan (percampuran)
arus air dua sungai (air tawar) dan air laut (rob) Teluk Belawan dari waktu ke
waktu semakin luas. Pada situasi dan kondisi inilah di masa lampau diduga kuat
muncul bandar (pelabuhan dagang) di dekat muara Sungai Belawan. Bandar inilah
yang diduga kuat menjadi lokasi situs ‘Kota Cina’ yang sekarang. Situs bandar
‘Kota Tjina’ (Peta 1915)  
Teluk
Belawan dan Munculnya Pulau Belawan: Bandar Sam Pei  dan Situs ‘Kota Cina’
Situs ‘Kota Cina’ diduga adalah eks Kesyahbandaran,
bukan eks Kerajaan. Situs ‘Kota Cina’ adalah eks kota pelabuhan perdagangan,
pusat perdagangan dari kapal-kapal layar dari berbagai tempat dan kano-kano
yang berasal dari pedalaman di hulu sungai Belawan dan hulu sungai Deli. Era
tersebut terjadi pada era komoditi kuno.
Kapal-kapal layar membawa komoditi industri seperti besi, keramik, kain,
garam dan mungkin opium. Kano-kano dari pedalaman Tanah Batak membawa komoditi
kuno seperti kemenyan, kamper, damar, emas dan gading. Komoditi kuno ini sudah
dikenal sejak sebelum adanya agama Kristen dan agama Islam.
Bandar-bandar yang menjadi simpul perdagangan
komoditi kuno dari pedalaman di Tanah Batak yang disebut awal dan sangat
terkenal adalah Baros yang terletak di pantai barat Sumatra. Bandar baru
kemudian muncul di pedalaman Tanah Batak dari sisi pantai timur Sumatra melalui
sungai Baroemoen yang berada di situs Padang Lawas (situs percandian
Budha/Hindu). Bandar-bandar di hulu sungai Baroemoen ini diduga eksis pada era
Kerajaan Cola di India (Selatan). Nama-nama situs berbau India (Budha/Hindu)
pada masa ini masih ditemukan di Tapanuli Bagian Selatan seperti Angkola
(Ankola), Baroemoen (dari kata aroe), Portibi (ibukota dunia), Siunggam, Pitjar
Koling, Saroematinggi, Siaboe (candi Hindu di Simangambat) dan (gunung) Malea
(dari Himalaja).
Dalam perkembangannya, bandar-bandar di hulu sungai Baroemoen.
Bandar-bandar ini terdistribusi di sejumlah sungai yang bermuara di hulu sungai
Baroemoen. Bandar-bandar  (yang
teridentifikasi sebagai eks situ candi) ini terintegrasi dan munculnya Kerajaan
Aru. Bandar Baros tetap sebagai bandar penting, tetapi bandar-bandar di hulu
sungai Baroemoen telah bertransformasi menjadi suatu kerajaan yang disebut
Kerajaan Aroe (dalam bahasa Ceylon yang menganut agama Budha, aroe adalah
sungai; kerajaan Aroe mengindikasikan kerajaan sungai-sungai di hulu sungai
Baroemoen). Sejak munculnya Kerajaan Aroe ini terjadi interaksi dengan Jawa
(sebagaimana disebut dalam kitab Pararaton) dan Tiongkok (era Cheng Ho).
Bandar-bandar baru terus bermunculan, bandar-bandar
yang terkoneksi dengan sumber-sumber komoditi kuno di pedalaman di Tanah Batak.
Selain bandar Baros dan bandar-bandar yang menjadi Kerajaan Aroe, dalam
perkembangannya kemudian muncul bandar Batahan (di Mandailing), bandar Singkel
(Pakpak, Gajo dan Alas), bandar Sing Kwang (Singkuang) di Angkola, bandar
Cassang (sungai Asahan) yang terkoneksi dengan Toba, serta bandar Sam Pei (eks
‘Kota Cina’?) di Teluk Belawan yang terkoneksi dengan Garo (kini Karo).
Bandar-bandar kuno ini secara perlahan-lahan menjadi feeder bagi
bandar-bandar baru yang muncul kemudian di bagian paling utara pulau Sumatra,
seperti Pedir, Pacem, Ambara, Aelabo. Bandar-bandar ini eksis jauh sebelum  munculnya Kerajaan/Kesultanan Atjeh. Pada era
bandar kuno yang terkoneksi langsung dengan sumber komoditi kuno di Tanah Batak
dan bandar-bandar baru di bagian ujung Sumatra, di semenanjung bermunculan
bandar-bandar yang kemudian menjadi kerajaan seperti Quedah, Malaccaa, Djohore.
Pada era perkembangan bandar-bandar baru inilah
diduga terjadi aktivitas gunung api yang dahsyat di hulu sungai Belawan dan
sungai Deli. Hujan debu seperti dari gunung Sibajak dan Sinabung terbawa arus
dan mengendap di Teluk Belawan. Akibat proses sedimentasi muncul ke permukaan
pulau kecil di tengah Teluk Belawan yang disebut Pulau Belawan (lihat peta-peta
abad ke-16, abad ke-17 dan abad ke-18). Proses sedimentasi di Teluk Belawan
dipengaruhi oleh dua kekuatan arus besar yakni arus/debit air yang berasal dari
sungai Belawan dan sungai Deli dan arus/debit air laut yang masuk akibat adanya
pasang (rob). Proses sedimentasi yang dipengaruhi dua arus yang berlawanan ini
yang kemudian membentuk daratan (pulau) persis berada di tengah-tengah Teluk
Belawan.
Kerajaan Aru (Peta Portugis 1500-an)

Pulau Belawan ini lambat laun semakin meluas akibat proses sedimentasi
yang terus berlangsung.  Proses yang sama
juga terjadi di pantai-pantai di Teluk Belawan yang mengakibatkan bandar Sam
Pei (situs ‘Kota Cina’ semakin mendangkal dan akhirnya bandar tidak berfungsi.  Bandar Sam Pei kemudian relokasi ke sisi timur
sungai Belawan dekat dengan muara di Teluk Belawan. Bandar Sam Pei terjebak
dalam proses sedimentasi di Teluk Belawan (yang kemudian diidentifikasi di masa
datang sebagai situs ‘Kota Cina’. Danau Siombak sendiri yang masih terlihat
hingga sekarang adalah permukaan air Teluk Belawan yang juga terjebak dalam
proses sedimentasi tersebut. Jarak danau Siombak dan lokasi situs ‘Kota Cina’
(eks bandar Sam Pei) tidak berjauhan.

Pada periode inilah muncul Kerajaan Deli di hulu
sungai Deli. Adanya kerajaan di hulu sungai Deli pertama kali teridentifikasi
pada Peta 1695. Sementara Kerajaan Aru di hulu sungai Baroemoen sudah
teridentifikasi dalam peta-peta Portugis (1500an). Kerajaan Deli di hulu sungai
Deli lambat laun semakin populer dan bahkan telah sama populernya dengan
Kerajaan Aru di sungai Baroemoen.
Kerajaan Deli (Peta Prancis, 1706)

Bandar Sam Pei yang hilang (yang kelak menjadi situs ‘Kota Cina’ diduga
kuat adalah bandar yang muncul sejak era Kerajaan Aru di sungai Baroemoen yang
banyak banyak dihuni oleh pedagang-pedagang dari Tiongkok. Sebagaimana
diketahui Kerajaan Aru di sungai Baroemoen di era Cheng Ho memiliki hubungan
dagang yang baik. Boleh jadi bandar Sam Pei adalah feeder (vassal) dari Kerajaan
Aru di sungai Baroemoen. Lalu dalam perkembangannya, semakin menguatnya
kerajaan-kerajaan di ujung utara pulau Sumatra seperti Kerajaan/Kesultanan
Atjeh lalu muncul Kerajaan Deli di hulu sungai Deli. Bandar Sam Pei yang berada
di sisi timur sungai Belawan diduga telah menjadi vassal Kerajaan Deli. Pada
Peta 1818 Kerajaan Deli ( di hulu sungai Deli) dan Kerajaan Aru (di sungai
Baroemoen) masih sama-sama teridentifikasi. Namun setelah peta 1818 nama
Kerajaan Deli tidak muncul lagi. Sementara bandar Sam Pei pada tahun 1869 VJ
Veth masih mengidentifikasi keberadaannya di sisi timur sungai Belawan (sungai
Hamparan Perak). 

Singkat kata: pada era Pemerintahan Belanda, John
Anderson pernah berkunjung ke berbagai tempat di sungai Belawan dan sungai
Deli. Peneliti-peneliti Belanda sebelumnya telah mengidentifikasi sejumlah
tempat di sungai Belawan termasuk pelabuhan kecil di sisi timur sungai Belawan
yang disebut Sampei atau Sam Pei (lihat VJ Veth, 1869). Kota pelabuhan (kecil)
ini dipimpin oleh syahbandar yang mana terdapat sebanyak sekitar lima puluh
rumah. Syahbandar kota Sampei ini adalah seorang Tionghoa. Kota Sampei ini
tidak jauh dari suatu situs yang ditemukan pada tahun 1875 oleh orang Belanda
yang kini disebut situs ‘Kota Cina’. Lantas muncul pertanyaan: apakah kota Sampei
atau Sam Pei merupakan kota yang terbentuk kemudian dari warga bandar situs
;Kota Cina’ yang relokasi? Bandar situs ‘Kota Cina’ diduga telah terjadi pendangkalan
sehingga kapal layar yang semakin besar dari waktu ke waktu dengan tonase yang
semakin meningkat tidak lagi memadai memasuki bandar situs ‘Kota Cina’.

Pulau
Belawan Menjadi Pulau Sicanang: Situs ‘Kota Cina’ dan Rumah Sakit Kusta
Saat bandar Sam Pei secara perlahan menghilang (dan
relokasi ke sisi timur sungai Belawan) proses sedimentasi terus berlangsung.
Proses sedimentasi tidak hanya bertambahnya daratan dan semakin meluasnya Pulau
Belawan, juga proses sedimentasi Pulau Belawan yang mengarah ke laut juga
terjadi. Dalam proses sedimentasi lanjutan ini, Sungai Belawan dan Sungai Deli
tidak lagi membawa debu/lumpur asal vulkanik tetapi membawa lumpur dari hulu
sungai karena terjadinya proses penggundulan hutan, baik oleh penduduk Karo
yang memperluas areal pertanian maupun oleh para planter yang membuka hutan
untuk perkebunan yang semakin meluas ke hulu sungai Belawan dan sungai Deli.
Proses sedimentasi berikutnya akibat ulah manusia (petani dan planter)
semakin mematangkan Pulau Belawan sehingga bentuk rupa Pulau Belawan yang dulu
jelas terlihat semakin samar.
Pulau Belawan yang semakin meluas dan mulai menyatu
dengan daratan (di berbagai titik) inilah kemudian muncul nama baru menjadi
Pulau Sicanang. Pelabuhan Belawan yang sekarang, sejatinya bukanlah daratan
yang muncul dari proses sedimentasi di Teluk Belawan, melainkan proses
terbentuknya daratan akibat sedimentasi yang berada di laut (di luar Teluk
Belawan).
Proses sedimentasi yang muncul sejak jaman kuno masih terlihat terus
berlangsung dari era Belanda hingga kini. Sungai Belawan atau Sungai Hamparan
Perak dan Sungai Deli masih membawa materi lumpur dari hulu yang menyebabkan
Pelabuhan Belawan secara situasional harus dilakukan kegiatan pengerukan sejak
era Belanda hingga era merdeka pada masa kini.
Pemerintah Hindia Belanda melakukan invasi pantai
timur Sumatra (Sumatra;s Oostkut) pada tahun 1863. Kapal militer Belanda
membuang jangkar di muara Sungai Deli, di hilir kota Laboehan Deli (pelabuhan
Deli). Pemerintah Belanda menempatkan seorang Controleur di Laboehan Deli (dan
berkolaborasi dengan Sultan Deli). Sejak itu sejumlah afdeeling dibentuk, yakni
Afdeeling Deli, Afdeeling Boeloe Tjina, Afdeeling Langkat dan Afdeeling
Serdang. Sungai Deli adalah batas antara Afdeeling Deli dan Afdeeling Boeloe
Tjina. Ketika munculnya Perang Soenggal yang dimulai tahun 1872, secara
perlahan Afdeeling Boeloe Tjina diakuisisi oleh Sultan Deli dan membentuk satu
kesatuan Afdeeling Deli.
Pada saat perluasan perkebunan dari Afdeeling Deli ke eks Afdeeling
Boeloe Tjina ditemukan kali pertama yang diduga eks bandar yang kemudian,
sesuai penyebutan masyarakat disebut situs ‘Kota Cina’. Meski ada penyilidikan
tetapi dalam perkembangannya tidak berlanjut (dan baru muncul penyelidikan satu
abad kemudian pada tahun 1970an).
Pada tahun 1875 Afdeeling Deli (gabungan eks
Afdeeling Boeloe Tjina dan Afdeeling Deli) dipecah menjadi dua onderafdeeling
yakni Onderafdeeling Laboehani dan Onderafdeeling Medan. Status controleur di
Laboehan ditingkatkan menjadi Asisten Residen, dan di Medan ditempatkan seorang
Controleur. Pada tahun 1879 terjadi tukar guling, status Asisten Residen
Laboehan diturunkan menjadi setingkat Controleur dan status Controleur Medan
ditingkatkan menjadi Asisten Residen.
Pada tahun 1887 status Asisten Residen Medan ditingkatkan menjadi ibukota
Residentie Sumatra’s Oostkust. Ibukota Sumatra’s Oostkust yang sebelumnya di
Bengkali dipindahkan ke Medan. Status Bengkalis diturunkan dari ibukota Residen
menjadi setingkat Asisten Residen yang kemudian dimasukkan ke Residentie Siak.
Sementara Controleur di Asahan ditingkatkan menjadi Asisten Residen dan
controleur di Laboehan ditingkatkan lagi menjadi Asisten Residen.
Dalam perkembangannya Kota Medan terus tumbuh dan
berkembang. Sejak 1887 saat Medan menjadi ibukota Residentie Oostkust van
Sumatra, Sultan Deli di Laboehan mengalami relokasi ke Medan. Kraton Suiltan
Deli di Labohan atas bantuan organisasi para planter dipindahkan ke Medan
dengan membangun baru kraton yang disebut Istana Maimun.
Laboehan Deli menjadi masa lalu bagi Sultan Deli. Laboehan Deli secara
perlahan ditinggalkan. Selain karena kerap banjir juga karena lingkungannya
tidak sehat. Status Asisten Residen di Labiehan diturunkan lagi menjadi
setingkat Controleur. Status Controelur di Tandjong Poera ditingkatkan menjadi
Asisten Residen.

Pada tahun 1909 Medan dibentuk menjadi Gemeente
(kota). Kedudukan Controleur di Laboehan dihapus. Laboehan menjadi tertinggal.
Pelabuhan di Laboehan Deli juga sudah lama direlokasi ke (pulau) Belawan. Pada
tahun 1910 di Pulau Sicanang dibangun rumah sakit khusus yang diperuntukkan
bagi orang yang berpenyakit kusta. Orang yang berpenyakit kusta di Medan dicari
dari jalanan maupun rumah-rumah dan kemudian mereka itu dievakuasi ke Pulau
Sicanang. Inisiatif pendirian rumah sakit khusus lepra/kusta ini adalah Dr.
Mohamad Daulaj (alumni dokter Djawa School tahun 1905).

Tunggu deskripsi lengkapnya

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap
berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada
‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku
hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top