Mangaradja Soangkoepon protes keras. Mangaradja
Soangkoepon melakukan protes keras karena punya alasan yang kuat untuk
menyatakan secara terbuka bahwa Sumatra adalah ‘pintu gerbang Indonesia’ dan bukan
pintu belakang. Statement ini dikemukakan Mangaradja Soangkoepon di parlemen pusat
(Volksraad) tahun 1931 untuk menyindir pemerintah Hindia Belanda dan anggota
Volksraad yang berasal dari Jawa yang membangun Indonesia hanya terkonsentrasi
di Jawa dan mengabaikan pulau-pulau besar lainnya.
![]() |
Volksraad, 1930 |
Protes Mangaradja Soangkoepon muncul seiring dengan
semakin seringnya istilah ‘orang seberang’ untuk memperkuat eksklusivitas
mainstream pembangunan berada di Jawa, dan luar Jawa sebagai pelengkap. Kota-kota
besar di Sumatra seperti Medan, Padang dan Sibolga adalah muara ekspor utama ke
Eropa. Namun kenyataannya hanya prinsip ‘trickle down effect’ yang
dilestarikan: Luar Jawa hanya kebagian jika di Jawa sudah meluber.
Thamrin adalah ‘duo vokalis’ terpenting di Pedjambon, tempat anggota dewan
Volksraad bersidang (kini di Senayan). Mangaradja Soangkoepon memiliki koneksi
yang baik dengan semua anggota dewan dari Sumatra dan M. Hoesni Thamrin dari
Betawi. MH Thamrin yang merupakan anggota dewan dari Kaoem Betawi tampaknya
mendukung statement Mangaradja Soangkoepon.
![]() |
Mangaradja Soangkoepon, 1930 |
Dukungan MH Thamrin terhadap Mangaradja Soangkoepon mudah
dipahami. Pertama, wilayah luar Batavia, kaoem Betawi juga terpinggirkan.
Kedua, MH Thamrin memiliki kedekatan dengan Kota Padang. MH Thamrin dan Abdoel
Hakim adalah dua wakil wali kota pribumi yang ada di Hindia Belanda. MH Thamrin
adalah besan dari Wakil Wali Kota Padang, Abdoel Hakim. Mr. Egon Hakim, putra
Abdoel Hakim menikah dengan putri MH Thamrin.
Soangkoepon adalah anggota dewan Volksraad mewakili Province Oost Sumatra
(Sumatera Timur). Mangaradja Soangkoepon saat ini adalah untuk periode yang
kedua di Pedjambon (berpengalaman). Adik knadungnya, Dr. Abdoel Rasjid adalah
anggota dewan Volksraad mewakili dapil Noord Sumatra (Residentie Tapenoli dan
Residentie Atjeh). Anggota-anggota dewan dari West Sumatra dan Zuid Sumatra
adalah rekan-rekan lamanya sesame alumni Belanda.
tidak sendiri, tetapi Mangaradja Soangkoepon tengah berada di puncak piramida.
Karena itu, Mangaradja Soangkoepon seakan leader dari Sumatra di Volksraad.
Jika kembali ke belakang, pada tahun 1927, dua anggota dewan Volksraad yang
turut hadir dalam pembentukan PPPKI di rumah Husein Djajanegara (Banten) adalah
Mangaradja Soangkoepon dan MH Thamrin. Karena itu, ketua PPPKI ditunjuk MH
Thamrin dan sekretaris Parada Harahap. Namun setelah beberapa tahun, pemerintah
Belanda mengganggap PPPKI sebagai ancaman, apalagi baru-baru ini Parada Harahap
memimpin tujuh orang pribumi pertama ke Jepang (termasuk M. Hatta yang baru
pulang studi dari Belanda). Untuk menggembosi PPPKI pemerintah mendukung habis
pembangunan di Jawa dan mengabaikan Sumatra. Dalam situasi dan kondisi inilah Mangaradja
Soangkoepon ‘berteriak’ di Volksraad. Teriakan Mangaradja Soangkoepon ini juga
direspon positif dari Minahasa (Mangindaan) dan Ambon (Apituley) yang keduanya
juga alumni Belanda yang menjadi sesama anggota Indisch Vereeniging.
ekonomi perkebunan, pertumbuhan ekonomi di Sumatra telah bergeser dari Pantai
Barat Sumatra ke Pantai Timur Sumatra.
Pantai Barat Sumatra mulai terasa stagnansi. Kontribusi pendapatan dari
ekonomi kopi di Pantai Barat Sumatra sudah tidak sebanding lagi dengan
pengeluaran anggaran pembangunan yang terus meningkat. Perkebunan di Pantai
Barat Sumatra juga tumbuh sangat lambat karena keadaan geografi yang memang
sulit untuk perluasan perkebunan. Perluasan perkebunan juga mendapat resistensi
dari tanah-tanah ulayat. Akibatnya daya tarik investasi di Pantai Barat Sumatra
(Padangsch dan Tapanoeli) tidak sekencang di Pantai Timur Sumatra. Tanda-tanda
pergeseran pusat pertumbuhan ekonomi dari barat ke timur sudah terkesan ketika
Province Sumatra’s Westkust statusnya diturunkan menjadi residentie pada tahun
1905 dan sebaliknya pada tahun 1915 status Residentie Sumatras’ Oostkust
ditingkatkan menjadi province.
namun dampaknya terhadap masyarakat sangat kurang. Hal ini karena tambang
batubara Ombilin yang telah menggunakan teknologi baru, pengerahan kuli dari
luar Sumatra dan transportasi angkutan batubara melalui kereta dari Ombilin
langsung ke pelabuhan (di Teluk Bayur). Hasil penjualan batubara langsung
mengalir ke pusat berupa cash untuk domestic dan dalam bentuk devisa untuk
ekspor luar negeri. Setali tiga uang, hasil-hasil perkebunan juga tidak terlalu
berimbas kepada penduduk sekitar apalagi perkebunan besar lebih efisien
menggunakan kuli yang didatangkan dari Jawa dan Asia Timur. Hal ini tidak
terjadi di Pantai Barat Sumatra tetapi juga di Pantai Timur Sumatra. Singkat
kata: pembangunan pribumi di Sumatra seakan terlantar.
mulai muncul. Alokasi anggaran pembangunan mulai menganga. Fasilitas-fasilitas
semakin berkembang di Jawa yang dengan sendirinya pembangunan manusianya di
Jawa makin maju. Sementara Sumatra yang menjadi sumber devisa kucuran dana
pembangunan dari pusat dianggap tidak seberapa dan kurang memadai dengan
luasnya ruang spasial pembangunan di Sumatra.
oleh Mangaradja Soangkoepon di parlemen. Mangaradja Soangkoepon yang berasal
dari Pantai Barat Sumatra dan wakil dari Pantai Timur Sumatra di parlemen
melihat persoalan Jawa dan luar Jawa menjadi lebih sensitif baginya jika
dibandingkan dengan anggota parlemen dari Sumatra apalagi anggota parlemen yang
berasal dari Jawa. Lantas dengan sadar Mangaradja Soangkoepon berteriak, pintu
gerbang Indonesia itu di Sumatra dan bukan pintu belakang.
di parlemen pada periode keduanya? Hal ini karena pembangunan ekonomi masyrakat
di Sumatra khususnya Pantai Barat Sumatra dan Pantai Timur Sumatra tidak
terjadi sesuai dengan potensi ekonominya. Keunggulan komparatif ekonomi Sumatra
yang menghasilkan devisa yang besar tidak sebanding dengan alokasi anggaran
pembangunan yang diterima. Anggaran pembangunan ekonomi di Hindia Belanda hanya
tertahan di (pulau) Jawa, hanya sedikit menetes ke Sumatra. Vokalis Mangaradja
Soangkoepon ternyata juga sudah muncul pada periode pertama di Pedjambon.
periode sebelumnya sudah berani bersuara. Boleh jadi karena Dr. Alimoesa dan
Mangaradja Soangkoepon adalah Siantar Men!. Ketika mereka kali pertama di Pejambon tahun
1927 (kini Senayan). Alimoesa masuk komisi pertanian di Volksraads, Mangaradja
Soangkoepon masuk komisi sosial kemasyarakatan.
![]() |
Peta Kepadatan Penduduk 1930 |
Dalam sidang pertama Volksraad, dua Siantar Men! berbicara
lantang (De Indische courant, 14-06-1928): Alimoesa, anak Losoeng Batu: ‘saya
berjanji agar pemerintah memberikan kaum nasionalis berevolusi. Selama ini
antara minoritas Eropa dan mayoritas pribumi yang mana berlangsung beberapa
permusuhan terhadap segala sesuatu yang datang dari pihak Indonesia. Pers
Belanda mungkin menyebabkan di sana-sini kekeruhan, tapi di sisi lain pers juga
memberikan perlindungan kepada berbagai kelompok masyarakat. Ingat, hanya
ketika tingkat peradaban seluruh Nusantara diratakan, akan ada persatuan’.
Sedangkan Mangaradja Soangkoepon, anak Panyanggar: ‘membangun kepercayaan
memiliki hasil yang bermanfaat dengan memperkuat polisi. Kepemimpinan Belanda
diperlukan dalam hal ini, tetapi tidak boleh dilupakan bahwa tujuan
kepemimpinan harus diberikan juga untuk kemerdekaan pribumi. Saat ini, penduduk
pribumi harus diberi kemerdekaan yang bernilai’.
berkomentar terhadap suara dari Dr. Alimoesa di sidang perdana: ‘menyimak
pidato Alimoesa, dikhawatirkan akan dapat memberi resonansi di kalangan
penduduk pribumi’. Suara Mangaradja Soangkoepon tentang ‘kemerdekaan pribumi’
juga mendapat perhatian serius.
seiring dengan suasana hati para pemimpin pergerakan kebangkitan bangsa lainnya
di PPPKI. Istilah Siantar Men! Tengah popular saat itu. Kebetulan Dr. Alimoesa,
adik kelas Dr. Sorip Tagor di sekolah kedokteran hewan di Buitenzorg (pendiri
Sumtranen Bond di Belanda tahun 1917) memulai karir sebagai dokter hewan dan
kepala dinas kesehatan di Pematang Siantar. Mangaradja Soangkoepon setelah
pulang studi di Belanda memulai karir sebagai pejabat di Pematang Siantar. Oleh
karena itu, wartawan Sumatra Post di Medan menyebut dua anggota parlemen pusat
juga dengan Siantar Men!. Suatu salam yang muncul di Pematang Siantar bagi
sesama pemuda yang timbul akibat seringnya bentrok antara pengusaha perkebunan
dengan rakyat pemilik lahan. Yang membela rakyat ini yang berhadap dengan para
polisi Belanda disebut Free Man. Seseorang yang disebut centeng yang berkelahi
dengan polisi secara tulus untuk membela/membantu rakyat jelata tanpa meminta
bayaran. Kini, Free Man bergeser menjadi ‘preman’ yang perilakunya hanya
memalak siapapun.
yang beribukota di Pematang Siantar kerap terjadi bentrok antara investor baru
dengan rakyat akibat dampak perluasan lahan perkebunan yang sudah sesak di
Deli, Serdang dan Batoebara. Namun kenyataannya rakyatlah yang kalah, karena
pemerintah didukung oleh para pangeran dari kesultanan/kerajaan dalam
pengerahan polisi yang didukung para tentara colonial. Para Free Man yang biasanya soliter (bagaikan lone ranger
di Texas) di berbagai tempat bukan tandingan yang sepadan dengan satu truk yang
berisi aparat.
![]() |
Peta Transport Sumatra 1920 |
Perluasan lahan perkebunan yang begitu mudah di Sumatra
Timur menjadi alasan para investor/investor baru di Pantai Barat Sumatra
khususnya di West Sumatra dan Tapanoeli pindah ke Sumatra Timur. Rakyat pemilik
lahan (apalagi dikaitkan dengan hak ulayat) di Tapanoeli maupun di West Sumatra
sangat keras membendung arus perluasan lahan. Plus minus antara Pantai Barat
Sumatra dan Pantai Timur Sumatra ada untung ruginya dalam pembangunan. Pantai
Timur Sumatra cepat berkembang sebagai sumber devisi dan Pantai Barat Sumatra
mulai tertinggal sebagai lumbung devisa. Sejak pertumbuhan ekonomi yang tinggi
di Pantai Timur Sumatra, sejak itu pula pertumbuhan ekonomi di Pantai Barat
Sumatra melambat. Konsekuensinya, para migrant dari West Sumatra dan Tapanoeli
mulai mengalir deras ke Sumatra Timur. Arus migrant ini semakin massif ketika
jalur tansportasi darat antara Pantai Barat Sumatra dan Pantai Timur Sumatra
dibuka tahun 1921 yang menghubungan Medan dan Sibolga (coast to coast). Jalur
perhubungan antara Padang-Sibolga via Fort de Kock dan Padang Sidempoean sudah mulai
terbentuk sejak 1912. Dengan demikian coast to coast juga mengindikasikan
antara Padang dan Medan via Sibolga.
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber
baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.