Dengan demikian, Kota Padang, bukanlah
kampong Moearo, tetapi area yang tidak jauh di hulu (per)kampong(an) Moearo.
Area ini berseberangan dengan Gunung Padang. Sedangkan kampong Moearo sendiri
berseberangan dengan ujung Gunung Padang di garis pantai (yang mana gunung
tersebut disebut orang Eropa/Belanda sebagai gunung berok (Apenberg). Oleh
karena tempat utama (hoofdplaat) adalah Padang, maka nama Moeara senmakin tidak popular. Lalu Moearo sendiri menjadi bagian dari (kota) Padang.
![]() |
Peta Padang, 1879 |
Nama Kota Padang diadopsi dari nama gunung (Gunung
Padang), bukan nama perkampongan (Moearo). Sebelum
menjadi nama kota, nama Padang diadopsi sebagai nama benteng, yakni Fort Padang.
Sebagaimana lazimnya,
Belanda tidak pernah mengakuisisi kampong/kota yang sudah ada, melainkan
mendirikan/membangunnya tidak jauh dari perkampungan yang ada. Penduduk adalah
mitra orang-orang Belanda dan tidak mengakuisisinya (seperti halnya dalam
perang).
pendirian Kota Padang ini terbilang unik. Kota Semarang
dan Soerabaya mengikuti nama kampong
yang mengambil nama alam (sungai). Kota Medan dan Kota Bandoeng (mengadopsi nama
kampong). Kota Batavia dan Kota Buitenzorg
(memperkenalkan nama baru: nama wilayah). Kota Padang bukan mengambil nama kampong Moearo. Juga tidak
mengambil nama alam (sungai Batang Araoe), tetapi Kota Padang mengambil nama
alam (gunung Padang) yang mana sebelumnya diadopsi sebagai nama benteng (fort
Padang). Untuk menambah pemahaman kita, nama Fort de Kock (kini Bukittinggi) dan
Fort van der Capellen (kini Batusangkar) mengikuti nama-nama benteng yang
mengadopsi nama pahlawan Belanda di Hindia Belanda Hendrik Merkus de Kock dan Godert
van der Capellen.
![]() |
Tiga kota besar Sumatra (1870an): Padang, Sidempuan, Palembang |
Ada sedikit perbedaan
sejarah nama ibukota Padang dengan ibukota Sibolga. Ibukota Padang yang
mengambil nama alam (gunung Padang) awalnya berada di sisi timur sungai Batang
Araou di kaki gunung Padang, lalu kemudian relokasi ke sisi barat sungai Batang
Araou (dengan tetap membawa nama Fort Padang). Sementara ibukota Sibolga
bermula di di dekat kampong Tapanoeli ketika era Inggris. Pada era Belanda
ibukota dipindahkan ke dekat kampong Si Bolga. Dalam perkembangannya nama
Sibolga (Si Bolga) menjadi ibukota dan nama Tapanoeli diadopsi menjadi nama
wilayah (Residentie Tapanoeli). Nama Padang tidak hanya nama ibukota, tetapi
juga diadopsi menjadi nama wilayah (Residentie Padang Benelanden dan Residentie
Padang Bovenlanden). Provinsi Sumatra’s Westkust pada tahun 1845 terdiri dari
tiga residentie: Residentie Padang Benelanden dan Residentie Padang Bovenlanden
serta Residentie Tapanoeli.
Last but not least: nama Padang Sidempuan (ibukota
Afdeeling Mandailing dan Angkola di Residentie Tapanoeli) diadopsi dari nama
kampong Padang Sidempoean. Pada saat pembentukan Residentie Tapanoeli dan
ibukota relokasi dari kampong Tapanoeli ke kampong Sibolga tahun 1845, Padang
Sidempoean sudah menjadi kota. Pada tahun 1880, kota Padang Sidempoean sudah hampir setara dengan Kota Padang
(lihat perbandingan peta Padang tahun 1880 dan peta Padang Sidempoean tahun
1879). Saat itu kota Medan tentu saja belum menjadi sebuah kota tetapi masih mirip sebuah kampung besar (Onderafdeeling baru dibentuk dengan penempatan controleur di Medan tahun 1875). Yang menjadi kota terbesar saat itu di
Sumatra adalah Kota Padang, kota terbesar kedua adalah Padang Sidempoean dan kota terbesar ketiga adalah Palembang (lihat serial artikel Sejarah Kota Palembang dalam blog ini).
Satu keutamaan Kota Padang Sidempoean, ibukota Afdeeling Mandailing en Ankola saat itu adalah sebagai kota pendidikan. Pada tahun 1879 di Kota Padang Sidempoean )onderafdeeling Angkola) dibuka sekolah guru (kweekschool) untuk menggantikan sekolah guru sebelumnya di Tanobato (onderafdeeling Mandailing). Guru terkenal di sekolah guru Tanobato adalah Willem Iskander, sementara guru terkenal di sekolah guru Padang Sidempoean adalah Charles Adrian van Ophuijsen. Di Kota Padang Sidempoean sejak 1870 sudah terdapat empat buah sekolah dasar pemerintah. Pada tahun 1879 di Kota Padang baru terdapat satu buah sekolah dasar pemerintah; sementara di Kota Palembang sama sekali belum ada sekolah. Catatan: sekolah guru di (pulau) Sumatra hanya ada dua buah: satu di Fort de Kock (kini Bukittinggi) dan satu lagi di Kota Padang Sidempoean.
Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang
digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.