Sejarah

Sejarah Kota Padang (41): Egon Hakim Menyelamatkan Soekarno dari Pihak Belanda di Padang (1942); Parada Harahap dan Mohammad Hatta ke Jepang 1933




false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN



























































































































































Dalam hubungan
ini, Mr. Gele Haroen  kemungkinan akan
intens berinteraksi dengan Soekarno di Bengkoeloe. Sebagaimana diketahui, pada
saat proses perpindahan Soekarno ini, Mohammad Hatta tengah berada di
pengasingan di Bandaneira (Meluku). Sementara dari Padang, Egon Hakim, advokat
akan intens berinteraksi dengan Soekarno di Bengkoeloe. Egon Hakim dan Gele Haroen
yang sama-sama alumni sekolah hukum di Leiden adalah saudara sepupu (ayah
mereka abang-adik). Dengan demikian, Soekarno di Bengkoeloe dikawal dua tokoh
pergerakan, dari selatan oleh Gele Haroen dan dari utara oleh Egon Hakim.
Jangan lupa, ayah Egon Hakim yakni Dr. Abdul Hakim (wakil wali kota Padang)
saat itu adalah pimpinan PNI di Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust). Dr.
Abdul Hakim sekelas di Docter Djawa School dengan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo
(pendiri PNI) yang saat ini juga diasingkan di Bandaneira (bersama Mohammad
Hatta). Sebelum Soekarno dan M. Hatta meneruskan PNI, Dr. Tjipto adalah senior
dari Soekarno di Bandoeng dan (tentu saja) di Padang Dr. Abdul Hakim adalah
senior dari Mohammad Hatta.

De tijd: dagblad voor Nederland, 22-06-1970

Soekarno
selama di Bengkoeloe meski tetap diawasi tetapi masih dapat melakukan aktivitas
sosial. Aktivitas yang dilakukannnya diantaranya mengajar dan turut membantu
warga untuk membangun atau merenovasi fasilitas umum seperti sekolah dan
masjid. Pada situasi inilah Soekarno bertemu dengan seorang gadis bernama
Fatmawati. Dalam foto disamping ini pada tahun 1939 di Bengkoelen, Soekarno (di
tengah) yang mana pada barisan depan di sebelah kiri anak angkat Soekarno
bersama Inggit Garnasih bernama Ratna Djoeami dan di sebelah kanan adalah pacar
Soekarno bernama Fatmawati (De tijd: dagblad voor Nederland, 22-06-1970).

Soekarno pertama
menikah dengan putri Tjokroaminoto, Oetari di Soerabaja. Saat Soekarno di
Bandoeng, Soekarno yang tinggal di rumah Sanoesi jatuh cinta dengan putrinya,
Inggit Garnasih. Oetari diceraikan dan Inggit dinikahi. Inggit yang lebih tua
dari Soekarno ikut diasingkan ke Flores dan kemudian ikut ke Bengkoeloe. Saat
Soekarno dipindah ke Padang, cintanya terhadap Fatmawati tidak hilang. Setiba
di Djakarta, Soekarno kemudian menceraikan Inggit tahun 1943. Pada tahun ini
juga tanggal 1 Juni, Soekarno menikah dengan Fatmawati.
Het vrije volk, 19-12-1985
Demikianlah
kisah awal Soekarno dari Flores hingga ke Bengkoeloe. Satu hal tanggal berapa
Soekarno tiba di Djakarta dalam De waarheid, 25-09-1945 tidak disebutkan. Hanya
disebut bulan Juli 1942. Surat kabar Het vrije volk: democratisch-socialistisch
dagblad, 19-12-1985 menyebutkan setelah dari Padang dan Fort de Kock Soekarno
tiba di Djakarta tanggal 9 Juli 1942. Pada saat ini Mohammad Hatta sudah
beberapa waktu tiba di Batavia setelah dibebaskan dari Bandaneira.
Saat Soekarno tiba di Djakarta sudah barang tentu disambut Parada Harahap dan
Mohammad Hatta. Boleh jadi yang mengabari keberangkatan Soekarno ke Djakarta
melalui pelabuhan Teluk Bayur sudah dikabarkan terlebih dahulu oleh Egon Hakim.
De Sumatra post, 14-01-1922

Satu hal lagi yang
menjadi pertanyaan adalah (tiba-tiba) mengapa Bengkoelen yang dipilih Soekarno
sebagai tempat tinggal pengasingan menggantikan Ende, Flores? Pada tahun 1938
Dr, Hazairin asisten dosen di Rehthoogeschool diangkat menjadi Ketua Pengadilan
di Landraad di Padang Sidempoean. Di kampus ini Dr. Husein Djajadiningrat
adalah guru besar. Parada Harahap sudah kenal lama Husein Djajadiningrat
sedangkan Hazairin saat menulis desertasinya di Rehthoogeschool melakukan
penelitian lapangan di Bengkulu (lulus tahun 1936). Parada Harahap tahun 1927
adalah sekretaris Sumatranen Bond juga sudah lama kenal Hazairin, selain asal
satu daerah juga Hazairin adalah anggota Sumatranen Bond ketika memulai kuliah
Rehthoogeschool dengan Amir Sjarifoeddin. Parada Harahap dan Hazairin kebetulan
keduanya adalah ‘gibol’ yang kerap bermain sepakbola dalam satu tim. Oleh
karenanya perpindahan Soekarno dari Ende sangat naif jika itu bersifat random
dan juga sangat naif jika tempat yang baru dipilih Bengkulu juga bersifat random.
Boleh jadi pengenalan Bengkulu tidak hanya atas deskripsi Hazairin dan boleh
jadi Soekarno sudah pernah ke Bengkulu? Sebab Soekarno diduga kerap secara
diam-diam ke Tapanoeli. Pada tahun 1932 Ir. Soekarno datang ke Tapanoeli  dalam rangka pembentukan divisi Partai
Nasional Indonesia/NIP (lihat De Sumatra post, 13-05-1932). Kunjungan Soekarno
ke Tapanoeli dapat mudah dipahami, karena besar dugaan atas petunjuk dari
Parada Harahap. Tentu saja tidak hanya itu, PNI memiliki basis massa di
Tapanoeli dan di Sumatra Barat. Sebagaimana diketahui pemimpin PNI di Sumatra
Barat adalah Dr. Abdul Hakim (lihat De Sumatra post, 14-01-1922) dan pemimpin
PNI di Tapanoeli adalah Dr. Abdoel Karim. Sebagaimana diketahui juga bahwa
pendiri PNI adalah Dr. Tjipto di Bandoeng. Hubungan antara Abdul Hakim dan
Abdul Karim dengan Tjipto Mangoenkosoemo adalah teman sekelas di Docter Djawa
School. Untuk sekadar diingat kembali bahwa (sejak awal kebangkitan
bangsa/pergerakan politik Indonesia) Parada Harahap di Batavia adalah ‘mentor politik’
dari trio revolusioner muda: Soekarno, M. Hatta dan Amir. Dalam fase ini, pada
tanggal 29 Desember 1929 sepulang dari Kongres PPPKI ke 2 di Solo, Soekarno
ditangkap. Lalu pada tanggal 18 Juni Soekarno diadili di Pengadilan Landraad di
Bandoeng dan kemudian didakwa hukuman empat tahun penjara. Namun, akibat adanya
pengurangan hukuman, Soekarno dilepas pada tanggal 31 Desember 1931 (lihat De
tijd: dagblad voor Nederland, 22-06-1970). Pada hari-hari setelah bebas inilah
Soekarno terdeteksi berada di Tapanoeli. Lalu kemudian, pada tanggal 31 Juli
1933, Soekarno ditangkap lagi karena melakukan manuver politik. Kali ini
Soekarno tidak diadili namun dengan keputusan Gubernur Jenderal langsung
diasingkan ke  Ende, Flores (lihat De
tijd: dagblad voor Nederland, 22-06-1970). Sejak diasingkan di Ende, Soekarno
kerap dipojokkan oleh pers pribumi. Sebagaimana Parada Harahap yang terus
konsisten mengawal karir politik Soekarno, ketika semua surat kabar memojokkan
Soekarno, hanya Parada Harahap yang terang-terangan melalui surat kabar
miliknya, Tjaja Timoer yang membela Soekarno. Dalam hubungan ini diduga bahwa
Parada Harahap adalah pendukung utama dana politik Soekarno termasuk dukungan
dana dalam proses perpindahan Soekarno dari Ende ke Bengkoeloe (lihat Het
Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 01-05-1940). Oleh karenanya,
Soekarno dalam pengasingan (terutama di Bengkoeloe) tidak sendiri alias
terasing secara sosial. Soekarno terkawal dengan baik mulai dari Soerabaja oleh
Dr. Radjamin Nasution, di Djakarta oleh Parada Harahap dkk, di Telok Betong,
Lampoeng oleh Gele Haroen Nasution dan Mr Abdul Abbas (Siregar), di Padang oleh
Egon Hakim Nasution dan ayahnya Dr. Abdul Hakim, di Solok oleh Eny Karim dan
ayahnya Dr. Abdul Karim (Lubis) dan di Padang Sidempoean oleh Mr. Dr. Hazairin
(Harahap) dan tentu saja di Medan oleh Adinegoro dkk. Relasi-relasi inilah
secara politis nyaris tidak terungkap saat mana Soekarno mengasingkan diri di
Bengkoeloe (bukan diasingkan!), lalu kemudian dipindahkan ke Padang dan
terakhir melakukan konsolidasi dengan Jepang di Fort de Kock.

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top