Sumatra’s Westkust diklaim kembali oleh Belanda sebagai wilayahnya. Ini sebagai
kelanjutan proses kembalinya Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Hindia
Belanda setelah pendudukan Inggris (1811-1816). Pada tahun 1816 komisaris Belanda, Mr. Cornelis
Theodorus Elout, Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen en
Arnold Adriaan Buyskes mengambilalih kembali kekuasaan Inggris. Untuk wilayah pantai barat Sumatra, baru pada tahun
1819 Belanda mengakuisisi kembali di bawah
kepemimpinan Kommissaris J. du Puy. Pada bulan Mei 1819 secara defacto J. du Puy berfungsi
sebagai Residen Sumatra’s Westkust. Oleh karena eskalasi
politik yang masih memanas di pantai barat Sumatra (Belanda vs Inggris) maka pembentukan pemerintahan tidak dapat langsung dilakukan,. Hal ini juga karena satu wilayah yang masih dikuasai oleh Inggris saat itu Benkoelen
(Bengkulu) di (pulau) Sumatra masih dapat dianggap
sebagai ancaman. Baru pada tahun 1821 secara dejure di Residentie Sumatra’s Westkust pemerintahan dapat dibentuk yang mana struktur
pemerintahan yang dibentuk dikepalai oleh setingkat Asisten Residen.
![]() |
Struktur Pemerintahan di Res. Sumatra’s Westkust, 1821 |
Pada era pendudukan
Inggris, wilayah di luar Jawa yang telah memiliki bentuk pemerintahan adalah di
Palembang en Banca, Macassar dan Banjermasing.
Sebagaimana diketahui, VOC bangkrut (1799) dan lalu dilikuidasi oleh Kerajaan
Belanda dan membentuk pemerintahan (1900), akan tetapi tidak lama kemudian terjadi
serangan Inggris. Pendudukan Inggris berlangsung selama lima tahun (1811-1816).
Untuk sekadar catatan Perancis pernah bekuasa dengan menduduki Batavia dan
beberapa tempat yang lainnya (1795-1799) sebelum Belanda mengambil alih kembali.
Residen yang diangkat di Residentie Sumatra’s Westkust adalah WJ Waterloo.
Namun kedudukan (ibukota) Residentie Sumatra’s Westkust bukan ditetapkan di Padang
melainkan ditempatkan di Tapanoeli. Ini
mengindikasikan bahwa Padang yang awalnya dinominasikan sebagai ibukota
Residentie Sumatra’s Westkust harus dilupakan dan lalu dipindahkan ke tempat yang sesuai di ‘kota’ Tapanoeli. Dalam Pemerintahan
Hindia Belanda yang pertama ini di Sumatra’s Westkust, Asisten Residen didukung oleh tiga
komisaris dan tiga pejabat keuangan. Selain itu Asisten Residen dibantu oleh
sejumlah pejabat sipil dan komandan militer di sejumlah tempat. Di Padang
ditempatkan dua pejabat sipil yakni kepala pelabuhan (havenmeester) dan kepala
gudang (pakhuismeester). Pejabat sipil lainnya ditempatkan di Natal yang
berfungsi sebagai kepala pelabuhan yang juga merangkap kepala gudang.
tertinggi di Sumatra’s Westkust berpangkat Majoor yang ditempatkan di Natal (dekat Tapanoeli). Komandan militer dibawahnya
berpangkat Kapitein ditempatkan di Padangsch Bovenlanden. Selain itu ada sejumlah komandan berpangkat Luitenan yang ditempatkan
di tempat berbeda, diantaranya Letnan Dua berada di Pariaman dan Letnan Satu di Ajer Bangies. Beberapa posthouder (kepala kantor dagang) ditempatkan
diantaranya di Poeloe Chinco, di Air Hadji (Painan), Tikoe, Poeloe Batoe dan di
Baros. Penempatan ‘markas’ militer di Natal dengan pangkat tertinggi mayor besar
kemungkinan karena di Natal sejak era VOC sudah didirikan benteng yang setara
dengan benteng Marlborough di Bencoolen. Oleh karenanya, penetapan ‘kota’
Tapanoeli sebagai hooftplaat (ibukota) Residentie Sumatra’s Westkust yang pertama adalah atas
dasar pertimbangan bahwa teluk Tapanoeli adalah pelabuhan terbaik di pantai
barat Sumatra dan benteng di Natal sebagai benteng terbaik kedua setelah benteng
Bencoelen (Inggris). Pemilihan benteng Natal sebagai markas militer utama dengan
sendirinya menjadikan ibukota Sumatra’s Westkust di Tapanoeli lebih aman dari pihak Inggris yang berada di
selatan Sumatra di Bencoelen (Bengkulu).
VOC belumlah tempat utama (hoofdplaat) di pantai barat Sumatra. Bentuk
pemerintah di era VOC yang dibentuk masih sangat. Sebagaimana diketahui, Padang sempat ditinggalkan
sebagai posthiuder karena tidak aman, lalu diambil alih oleh Inggris. Padang saat itu belum
dianggap sebagai kota penting, bahkan Air Bangis sendiri masih lebih
penting dari Padang. Hal ini terindikasi dalam berita Leydse courant, 04-05-1764 sebagai berikut:
‘Pemerintah VOC menempatkan Residen di (pulau) Chinco, (residen) di Air Bangies dan (residen) di Barros..sedangkan
di Padang hanya menempatkan administrator tingkat dua’. Oleh karenanya, pada saat mulai membentuk Pemerintahan Hindia Belanda di Sumatra’s Westkust, pilihan kota cukup banyak, salah satu diantaranya ‘kota’ Tapanoeli.
Tapanoeli,
Ibukota Pertama Sumatra’s Westkust
era Portugis, tiga kota pelabuhan utama di pantai barat Sumatra adalah Baros,
Batahan, Pariaman dan Indrapoera. Pada awal era VOC muncul nama-nama pelabuhan
baru: Tapanoeli, Natal, Air Bangies, Ticoo, Padang, Chinco dan Air Hadji
(Painan). Pelabuhan Tapanoeli
menggantikan popularitas pelabuhan Baros, Natal menggantikan Batahan dan Padang
menggantikan Indrapoera.
Tapanoeli berada di Teluk Tapanoeli. Pelabuhan Natal berada di muara sungai
Batang Natal dan Pelabuhan Padang berada di muara sungai Batang Arau. Pada awal
era VOC, pelabuhan di teluk Tapanoeli berada di Pulau Pontjang. Pada akhir era
VOC pelabuhan di teluk Tapanoeli bergeser ke pantai di ‘kota’ Tapanoeli. Kelak
nama pelabuhan Tapanoeli ini berubah menjadi Sibogha (Sibolga).
![]() |
Tapanoeli, Res. Sumatra’s Westkust, 1921-1930 |
Penetapan Tapanoeli
sebagai ibukota Residentie Sumatra’s Westkust diduga karena di pantai barat
Sumatra masih bercokol Inggris di Bengkulu (di selatan). Bahkan pada tahun 1818 Raffles masih mengunjungi ke wilayah
pedalaman di Minangkabau. Baru tanggal
17 Mei 1819 Residentie Padang dapat dibebaskan dari Inggris; Air Bangies
dibebaskan pada tanggal 3 Oktober 1820. Residenti Natal dibebaskan tanggal 17
Oktober 1920. Inggris sendiri sebelumnya telah mengambil alih wilayah dan
properti VOC tanggal 30 November 1795 di Bengkulu, Natal dan Tapanoeli termasuk
kantor di Padang, Ajer Bangies dan Poeloe Tjinko. Secara keseluruhan baru
terbebaskan (kecuali Bengkulu) pada tanggal 17 Agustus 1921 berdasarkan
Resolutie Gouverneur Generaal. Sementara
di sebelah utara terdapat Kesultanan Atjeh yang masih bersifat independen.
Ibukota Tapanoeli seakan berada di tengah antara ibukota Atjeh dan ibukota
Bengkulu. Kota pelabuhan Padang relatif lebih dekat dengan wilayah Inggris di
Bengkulu.
sejumlah tempat, kota pelabuhan di pantai barat Sumatra beberapa kali berganti
tuan diantara Belanda, Inggris dan Perancis. Misalnya VOC (Belanda) pernah
berada di Baros, Singkel dan Padang. Inggris pernah berada di Tapanoeli, Natal,
Pariaman, Padang dan Bengkulu. Perancis pernah berada di Air Bangies dan
Padang. Kesulitan Belanda (VOC)
untuk melakukan ekspansi ke pulau Sumatra adalah karena faktor Atjeh. Dalam
buku ‘De nieuwe reisiger; of Beschryving van de oude en nieuwe waerelt’ (1766)
disebutkan sebagian besar pulau Sumatra di bawah kekuasaan Kesultanan Atjeh (De
Koning van Achem), Kota-kota terkemuka yang berada dibawah pengaruhnya adalah
Hooftstad, Pedir, Pacem, Dely, Daya, Labou (Meulaboh), Cirkel (Singkel),
Barros, Batahan, Paffaman (Air Bangis?), Ticou, Priaman en Padang, Begitu besar
kekuasaan kerajaan Atjeh ini sehingga rajanya disebut Koning der Koningen (King
of Kings).
berakhirnya pendudukan Inggris di Hindia Belanda tahun 1816, semua
tempat-tempat yang pernah ‘dikuasai’ oleh Belanda di masa sebelumnya diklaim
oleh Belanda (kecuali Bengkulu yang sejak awal tidak pernah dikuasai oleh Belanda).
Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) dapat ditemukan dalam sebua artikel yang
dimuat pada Tijdschrift voor Neerland’s Indië jrg 9, 1847, Residen tersebut
adalah: Edward Cooles, 1795-1796; Waters, 1796-1798; Griffith, 1798-1800; Waters,
1800-1801; Cooles, 1801-1802; Holleway, 1802-1803; Cooles, 1803-1807; Grant,
1807-1814; Holleway, 1814-1816; Salmon, 1816-1817; de la Mothe, 1817-1819.
Selama keberadaan Inggris di Pantai Barat Sumatra, ibukota (tempat dimana
Residen berkedudukan) berpindah-pindah sesuai situasi dan kondisi politik di
perairan Pantai Barat Sumatra (persaingan tiga bangsa: Inggris, Belanda dan
Prancis). Ibukota Resident Inggris di Pantai Barat antara lain di Padang, Natal
dan Tapanoeli (Pulau Pontjang).
Oleh karenanya, ketika Pemerintah Hindia Belanda
memulai pemerintahan di pantai barat Sumatra merasa perlu memilih dan
menetapkan dimana ibukota (residentie) berada. Pilihan dan penetapannya jatuh
pada Tapanoeli.
![]() |
Daftar Residen/Gubernur Sumatra’s Westkust |
Pada tanggal 17
Maret 1824 terjadi perundingan yang diakhiri dengan perjanjian dan penandatanganan
antara Belanda dan Inggris yang dikenal sebagai Traktat London. Satu
kesapakatan dalam perjanjian ini adalah ‘tukar guling’ antara Bengkulu
(Inggris) dan Malaka (Belanda). Sejak perjanjian ini, Bengkulu menjadi wilayah
kekuasaan Belanda. Ini dengan sendirinya, Residentie Sumatra’s Westkust
bertambah luas menjadi wilayah baru antara Singkel dan Bengkulu. Sejak
perubahan wilayah inilah terjadi proses pemindahan ibukota Residentie Sumatra’s
Westkust dari kota Tapanoeli ke kota Padang. Pada tahun 1825 Kol. HJJL
de Stuers diangkat menjadi residen dan komandan militer di Sumatra’s Westkust,
Berdasarkan resolutie van den Gouv.-Gen.
1 November 1825, Majoor Rothmalder, komandan berpangkat tertinggi di Natal en Onderhoorigheden
menjadi berada di bawah komando Kol. HJJL de Stuers. Dengan diangkatnya Stuers
sebagai residen, status Sumatra’s Westkust ditingkatkan menjadi Residen. Lalu,
Padang menjadi ibukota Sumatra’s Westkust yang baru (lihat juga Bijdragen tot
de taal-, land- en volkenkunde, 1887).
![]() |
Perubahan Struktur Pemerintahan |
Perpindahan ibukota di
awal pembentukannya tidak hanya di Sumatra’s Westkust. Juga terjadi di di
Preanger dan Sumatra’s Oostkut serta di Mandailing dan Angkola. Setelah Belanda
berkuasa kembali (mengambil alih dari Inggris) di Preanger dibentuk
pemerintahan yang beribukota di Tjiandjoer. Baru tahun 1871 Resientie Preanger
ibukotanya dipindahkan dari Tjiandjoer ke Bandoeng. Demikian juga di Sumatra’s
Oostkust awalnya ibukota di Bengkali, lalu tahun 1887 dipindahkan ke Medan. Hal
serupa juga terjadi di afdeeling Mandailing dan Angkola yang beribukota sejak
1840 di Panjaboengan dipindahkan ke Padang Sidempoean tahun 1870. Bahkan pada
tahun 1875 ibukota Residntie Tapanoeli pernah dipindahkan dari Sibolga ke
Padang Sidempoean dan kembali lagi ke Sibolga tahun 1880.
Westkust boleh jadi bukan hanya karena alasan geopolitik saat itu. Akan tetapi teluk
Tapanoeli sejak era VOC sudah diakui sebagai pelabuhan terbaik di pantai barat
Sumatra. Pantainya yang dalam terlindung oleh Pulau Moersala sehingga
kapal-kapal dapat merapat dengan tenang tanpa dihantui oleh badai besar dari samudara
India. William Marsden di dalam bukunya The History of Sumatra menyebut
teluk Tapanoeli adalah pelabuhan terbaik di pantai barat Sumatra, tapi sayang
katanya, penduduk Batak bukan pelaut.
Residentie
Tapanoeli Dipisahkan dari Province Sumatras’s Westkust
deskripsi lengkapnya
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.