Sejarah

Sejarah Madura (50): Karapan Sapi Madura dan Tradisi Ketangkasan Khas di Nusantara; Lomba Pacuan Kuda Era Hindia Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini  

Dalam
KBBI, karapan/ka·ra·pan/ yang artinya pacuan (sapi atau kerbau di Madura atau
Sumbawa): di Madura ada karapan sapi, di Sumbawa ada karapan kerbau. Tidak
disebutkan ada karapan kuda. Tentu saja masih ada karapan yang lainnya di nusantara.
Karapan dalam hal ini menjadi semacam tradisi adu ketangkasan. Karapan sapi di
Madura sangat menarik karena menjadi karapan khas di Madura. Pada era
Pemerintah Hindia Belanda di berbagai kota ditemukan pacuan kuda dengan
membangun race yang bagus.
.


Karapan
sapi (Madura: Kerrabhân sapè) merupakan istilah untuk menyebut perlombaan
pacuan sapi yang berasal dari pulau Madura. Pada perlombaan ini, sepasang sapi
yang menarik semacam kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan
pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan
sapi lain. Trek pacuan tersebut biasanya sekitar 100 M dan lomba pacuan dapat
berlangsung sekitar sepuluh detik sampai satu menit. Beberapa kota di Madura
menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahun,
dengan pertandingan final pada akhir September atau Oktober di eks Kota
Karesidenan, Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden. Awal mula
kerapan sapi dilatarbelakangi oleh tanah Madura yang kurang subur untuk lahan
pertanian, sebagai gantinya orang-orang Madura mengalihkan mata pencahariannya
sebagai nelayan untuk daerah pesisir dan beternak sapi yang sekaligus digunakan
untuk bertani khususnya dalam membajak sawah atau ladang. Maksud awal
diadakannya Karapan Sapi adalah untuk memperoleh sapi-sapi yang kuat untuk
membajak sawah. Orang Madura memelihara sapi dan menggarapnya di sawah-sawah
mereka sesegera mungkin. Gagasan ini kemudian menimbulkan adanya tradisi
karapan sapi. Karapan sapi segera. Karapan sapi dikritik berbagai pihak seperti
Majelis Ulama Indonesia dan pemerintah daerah di Madura karena tradisi
kekerasan rekeng yang dilakukan pemilik sapi. MUI Pamekasan sudah memfatwakan
haram mengenai tradisi rekeng karena dinilai menyakiti sapi, dan Gubernur Jawa
Timur melalui Instruksi Gubernur sudah menyatakan pelarangan tradisi rekeng.
Namun tradisi ini masih berlanjut di kalangan pelaku karapan sapi
(Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah karapan sapi di
Madura dan tradisi adu ketangkasan khas Nusantara? Seperti disebut di atas,
karapan adalah pacuan. Ada karapan sapi, karapan kerbau dan pacuan kuda. Karapan
sapi dan karapan kerbau adalah khas nusantara, apakah dalam hal ini (pertandingan)
pacuan kuda eksis era Hindia Belanda. Lalu bagaimana sejarah karapan sapi di Madura
dan tradisi adu ketangkasan khas Nusantara lainnya? Seperti kata ahli
sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Karapan Sapi di Madura dan Tradisi Adu Ketangkasan
Khas Nusantara; Pertandingan Pacuan Kuda Era Hindia Belanda

Kosa kata ‘karapan’ adalah bahasa Belanda yang
artinya ‘khafilah’. Lalu bagaimana dengan ‘karapan sapi’? Yang menjadi
pertanyaan dimana karapan sapi ini bermula di Madura dan dimana karapan sapi
ini paling popular. Pada tahun 1891 diberitakan dalam satu perayaan yang
diselenggarakan di Loemadjang juga diadakan karapan (sapi races) yang
disebutkan menjadi tradisi orang Madoera (lihat Soerabaijasch handelsblad, 09-09-1891).


Dalam berita ini disebut karapan yang menggunakan
sapi (bukan kuda bagi orang Arab) menjadi tradisi (orang) Madura, sementara penyelenggaraan
karapan (sapi) tersebut di Loemadjang (yang jauh dari pulau Madoera). Sudah
barang tentu Loemadjang di wilayah (pedalaman) di lereng sebelah tenggara
gunung Bromo/Semeru Jawa sudah banyak komunitas populasi pendudk Madura (saat
itu district Loemadjang masih masuk wilayah Residentie Pasoeroean).

Tentu saja karapan sapi tidak hanya di Loemadjang,
juga diadakan di Djember (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad,
07-09-1900). Disebutkan bahwa pada hari Ratu (Koninginnedag) dilakukan perayaan
yang juga dimeriahkan hiburan popular dengan perlombaan karapan sapi
orang-orang Madoera. Seperti halnya Loemadjang di pedalaman Jawa, Jember yang
tidak jauh dari Loemadjang (tetapi masuk wilayah Residentie Bazoeki)
mengindikasikan populasi penduduk asal Madoera cukup banyak.


Karapan sapi menjadi suatu hiburan yang menarik bagi warga di Loemadjang
dan Djember. Berita penyelenggaraan karapan sapi di Madura baru muncul tahun
1900 yang diselenggarakan di Bangkalan (lihat De locomotief: Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 27-11-1900). Disebut besok ada karapan di
Bangkalan, banyak yang penasaran dengan balapan sapi itu, dan pergi kesana,
terutama karena perusahaan Madoera Steamtram Mij. telah menyediakan yang baik
dan murah fasilitas perjalanan orang Madoera. Di Bondowoso diadakan pameran
yang diakhir kegiatan dimeriahkan karapan sapi, perlombaan yang begitu
digandrungi masyarakat Madura dan dijunjung tinggi oleh mereka (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 16-05-1902).
 

Dari berbagai berita tersebut, karapan sapi berasal
dari Madoera, suatu perlombaan karapan sapi yang tidak hanya diadakan di (pulau)
Madura juga di wilayah pedalaman Jawa, terutama dengan bagian timur (pulau Jawa
(wilayah Tapal Kuda). Perlombaan karapan dengan menggunakan sapi ini tidak
hanya digandrungi masyarakat Madura juga dijunjung tinggi.
 

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pertandingan Pacuan Kuda Era Hindia Belanda: Perlombaan
yang Digandrungi Orang Eropa/Belanda

Karapan sapi tampaknya menjadi ‘milik; orang Madoera,
tidak hanya di pulau Madura, tetapi juga orang Madoera yang berada di
(peralaman) Jawa. Karapa sapi hanyalah satu jenis karapan, ada karapan kerbau
dan pacuan kuda. Karapan hanyalah satu bentuk perlombaan yang dilakukan
penduduk dengan menggunakan hewan ternak. Bentuk perlombaan yang umum ditemukan
di wilayah Soenda adalah adu domba. Bagi orang Eropa pacuan kuda yang lebih digandriungi,
sementara ahli ternak memiliki pendapat sendiri, bahwa adu domba ada plus
minusnya (yang boleh jadi berlaku sama untuk perlombaan sapi, kerbau dan kuda).
 


Nederlandsch-Indische bladen voor diergeneeskunde en dierenteelt, 1926: ‘Tak perlu dikatakan bahwa tidak
ada pertanyaan tentang pemuliaan sistematis dengan metode peternakan domba
Preanger dan dengan para peternak domba.
Penyebab munculnya jenis domba di Priangan yang lebih baik daripada di bagian
Hindia lainnya, menurut pendapat
saya, seharusnya tidak dicari perawatan yang lebih baik yang diberikan kepada
hewannya oleh peternak domba biasa, bahkan
bukan pengaruh tanah dan iklim, tetapi harus dikaitkan
sepenuhnya dengan pengaruh
adu domba
jantan. Penduduk
Hindia tampaknya sangat menyukai
kontes hewan, yang entah bagaimana menunjukkan lebih banyak kekuatan atau
ketangkasan
kekuatan dari lawan mereka. Di
Jawa, Sumatera, Sulawesi dan
Nusa Tenggara pacuan kuda dikenal atau dikenal dimana-mana, di Madura ada ‘karapan’
dan ‘adoean sapi’; orang Bali adalah “totonan” atau “gro
emboengan”; penduduk Sumbawa mereka dengan balapan kerbau, sedangkan
sabung ayam tersebar di seluruh
Hindia.
Selain pacuan kuda dan sabung ayam, masyarakat Sunda juga memiliki adu domba.
Pertarungan
domba ini pada dasarnya sangat
sederhana. Dua domba jantan ditempatkan terpisah sekitar sepuluh meter dengan
kepala saling berhadapan. Pada
tanda sinyal
yang diberikan, kedua hewan itu saling menyerbu dan bertabrakan satu sama lain.
Kemudian kedua domba jantan itu mundur beberapa meter untuk saling bertemu
lagi. Ini terjadi begitu saja begitu lama sampai salah satu domba jatuh ke
tanah
tersungkur dan tidak bangkit, setelah itu yang lain
dinyatakan sebagai pemenang. Tak perlu dikatakan bahwa ini disertai dengan
teriakan penyemangat yang terus-menerus dari para pengamat, yang sementara itu
di pinggir lapangan terjadi semua jenis taruhan. Domba
jantan petarung memiliki pelatihnya sendiri, yang membawa hewan ke dalam
pertempuran, membimbing dan menyemangati hewan melalui nyanyian dan tarian
serta memijat mereka selama waktu istirahat yang sangat singkat (hampir satu
menit). Domba jantan yang bertarung sangat terlatih sehingga mereka hanya
mendorong sekali dan kemudian berlari kembali. Jika salah satu lawan jatuh
karena
lemah dan tetap berbaring untuk
beberapa saat, domba jantan lainnya tidak akan mencoba menyerangnya dari
samping. Benar-benar ada pertarungan yang adil. Kadang-kadang muncul pertanyaan
apakah
pemerintah harus menghentikan
adu domba jantan atau tidak, karena hal itu memberikan peluang lain untuk
bertaruh. Belakangan ini, muncul juga
suara yang ingin melarang adu domba jantan dari sudut pandang perlindungan
hewan. Kami berpendapat bahwa dengan pertempuran domba jantan yang dipimpin
dengan baik, pembiakan domba di Priangan dapat sangat maju, sedangkan kerugian
yang kadang-kadang dianggap berasal dari pertempuran ini pada kenyataannya
kecil. Di
wilayah seperti Hindia dan khususnya Jawa Barat,
dimana para pemain nyata menggunakan segala sesuatu dan apa saja untuk
memanjakan hasrat mereka bermain game, melarang adu domba jantan tidak berarti
apa-apa dalam hal ini. Jika mereka tidak melakukannya dalam perkelahian ini,
mereka melakukannya dengan semut atau lalat atau potongan kayu yang mengapung
di slokan atau dengan … ya, dengan yang tidak, belum lagi permainan dadu dan
kartu. Ketika pertarungan domba jantan yang diawasi secara teratur terjadi pada
waktu-waktu tertentu, dapat diasumsikan bahwa taruhan dalam pertarungan
tersebut tidak akan sebesar dalam banyak pertarungan klandestin yang akan
diadakan. Dari sudut pandang perlindungan hewan, kompetisi ini tentunya tidak
perlu dilarang, karena domba jantan aduan ini mendapat perawatan yang sangat
baik, sementara tidak ada pertanyaan tentang pelecehan selama pertarungan. Dahi
cukup tertutup oleh dasar tanduk besar. untuk mencegah patah tulang tengkorak atau
sejenisnya. Paling-paling, seekor domba jantan bisa menjadi pingsan sesaat atau
mendapatkan luka kulit yang sangat dangkal. Bahwa salah satu domba jantan
akhirnya harus menyerah bukan karena cedera, tetapi hanya karena otot atau
stamina satu domba jantan lebih besar dari yang lain, jadi dalam perlombaan
semua domba jantan
pulang, yang kalah juga pulang. Namun,
ada keuntungan besar dalam pertempuran
domba. Hanya
hewan yang berat dan berotot kuat dengan kaki yang bagus dan sikap kaki yang
baik yang memenuhi syarat untuk melawan domba jantan
lainnya. Peternak domba jantan petarung, selalu kaya,
memilih domba jantan dan betina terbaik mereka untuk berkembang biak,
memberikan pendidikan yang sangat baik kepada domba muda. Dan sekarang mungkin
benar bahwa domba jantan petarung terbaik tidak digunakan untuk berkembang
biak, karena menurut pendapat umum, domba jantan yang kurang kuat
dihilangkan; domba jantan yang baik memang
digunakan untuk berkembang biak, karena diketahui bahwa domba jantan yang
unggul tidak dapat dibiakkan dari pejantan yang buruk. Dan selain jumlah domba
jantan muda yang lahir, anak domba betina dalam jumlah yang sama, yang
karenanya juga berasal dari garis keturunan yang baik, juga lahir. Selain itu,
tidak semua domba jantan muda yang baik berhasil menjadi domba jantan petarung.
Dalam hal ini juga pasarnya terbatas, sehingga banyak yang tentu dimanfaatkan
untuk keperluan lain, termasuk pembibitan. Dan juga domba jantan petarung yang
hebat dipindahkan setelah beberapa tahun oleh yang lain, yang lebih muda dan
kemudian sebagian kembali berkembang biak.
Kompetisi yang dikelola dengan baik dimana
pemerintah, misalnya, menyediakan hadiah untuk pertarungan antara keturunan
domba jantan petarung yang lebih tua, akan sangat positif
.

Karapan sapi di Madura dilakukan setiap tahun (lihat
Vee-toestanden op Madoera oleh JB Leon, 1901). Karapan sapi adalah suatu pesta
orang Madoera (lihat
De „Karapan Sapoe.”. (Stierenwedren). Een Madoereesch Feest oleh Metis di dalam jurnal EH 1903, No. 21, halaman 334).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top