Sejarah

Sejarah Makassar (26): Prasasti Watu Marando Suku Wana di Sulawesi Tengah; Suatu Bukti Peradaban Zaman Kuno?




false
IN


























































































































































 

*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini

Suku Wana disebutkan
hingga ini hari masih banyak yang tertinggal. Suku Wana penutur bahasa Tau Ta’a
meski sudah mulai membuka diri tetapi secara geografis masih terisolasi di
pedalaman Sulawesi Tengah. Populasi suku (Tau Ta’a) Wana yang terbilang cukup
banyak berada di kecamatan Bungku Utara, kabupaten Morowali Utara. Tidak jauh
dari desa Opo dan desa Tanakuraya ditemukan suatu prasasti di tepi sungai
Bongka yang disebut Watu Marando. Lantas apakah ada hubungan suku Wana
berbahasa Tau Ta’a dengan prasasti Watu Marando?

Tidak
seperti di Sumatra dan Jawa, di Kalimantan dan Sulawesi terbilang masih sangat
minim bukti peradaban zaman kuno. Ini seakan makin ke wilayah timur di Hindia
Timur (nusantara) penemuan prasasti semakin langka. Di Sumatra dan Jawa
prasasti yang ditemukan berasal dari era Hindoe Boedha yang umumnya ditulis
dalam aksara Pallawa dengan menggunakan bahasa Sanskerrta. Di pulau Kalimantan
ditemukan satu situs prasasti di Muara Kaman yang diperkirakan berasal dari
abad ke-5. Sementara di pulau Sulawesi ditemukan prasasti di situs Minahasa
(prasasti Watu Rerumeran) dan di situs Seko (Toraja-Luwu). Dalam hal ini situs
Watu Marando di Bungku Utara. Sedangkan prasasti di Nusa Tenggara ditemukan di situs
Bima (prasasti Watu Tunti), di situs bagian timur Flores (Tanjung Bunga) dan di
situs bagian barat Flores (Manggarai Barat). Sampai ssejauh ini belum ada
dilaporkan penemuan situs tua di (kepulauan) Maluku dan Papua. Sebagai
tambahan: prasasti juga ditemukan di situs Vietnam (prasasti Vo Cahn abad ke-3),
Thailand (prasasti Ligor 775 M) dan Filipina (prasasti Laguna 900 M).

Lantas
bagaimana sejarah suku Wana dan keberadaan prasasti Watu Marando? Pada artikel
sebelumnya sudah ditulis sejarah suku Wana sebagai penutur bahasa Tau Ta’a.
Namun dalam hal ini sejarah suku Wana dikaitkan dengan keberadaan prasasti Watu
Marando. Seperti yang ditanyakan di atas lalu apakah prasasti Watu Marando
terkait dengan suku Wana? Seperti kata ahli
sejarah tempo doeloe, semuanya
ada permulaan.
Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.

 

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan
artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel
saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah
pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk
lebih menekankan saja*.

Watu Marando dan Suku (Tau Ta’a)
Wana

Semua disebut watu (batu) seperti prasasti di
Minahasa (Watu Rerumeran) di Bima (Watu Tunti), di Flores (watu) dan juga di
Seko-Toraja (watu). Juga di Bongko Utara, Morowali Utara disebut Watu Marando.
Hal itu karena prasasti-prasasti itu digoret di atas permukaan batu dengan
simbol-seimbol tertentu. Kapan digoret? Tidak ada yang pasti, semua prasasti
itu masih perkiraan-perkiraan. Lantas bagaimana dengan Watu Marando.

`Orang Wana menyebut
sebagai watu marando. Karena itulah yang diwariskan namanya secara turun temurun
yang mereka ketahui. Ketika ada penduduk Wana yang mendirikan lipu (kampung) di
sekitar watu marando maka lipu itu mereka namai sebagai lipu (kampong) Marando.
Terminologi marando bukanlah bahasa Melayu, tetapi bahasa mereka sendiri,
tetapi generasi yang sekarang tidak mengetahui apa artinya, Hanya sekadar nama.
Satu-satunya bahasa yang memiliki terminologi marando adalah bahasa (Batak)
Angkola Mandailing yang diartikan sebagai menjanda karena kehilangan suami yang
mana sang istri yang ditinggal tidak akan kawin lagi hingga tua. Itulah arti
marando di Angkola Mandailing. Kebetulan makna marando di Angkola Mandailing
ini sesuai dengan makna yang diartikan penduduk Wana tentang Watu Marando,
seakan seseorang yang sedang meratapi bagai mati tetapi tetap hidup. Itulah
makna Watu Marando bagi penduduk Wana.

Pada batu yang disebut penduduk Wana sebagai Watu
Marando digoret pada permuakaan batu besar, posisi batu yang seakan
menggambarkan seseorang sedang tidur. Tanda yang digoret pada permukaan batu
adalah berupa lingkaran-lingkaran kecil yang jumlahnya cukup banyak yang
membentuk lingkaran besar dan lingkaran-lingkaran yang lebih besar yang seakan
menggambarkan gunung atau bentuk tudung (kerucut). Diantara dua gunung besar yang
utama digambarkan boleh jadi mengasosiasikan lokasi dimana batu berada diantara
dua gunung besar tersebut. Apakah itu gunung Tokala 2,584 M di timur dan gunung
Pompangeo 2.590 M di barat (gunung lainnya antara lain adalah gunung Kandela
dan gunung Lumut).

Pengambaran gunung
tersebut boleh jadi menggambarkan lapisan bawah, lapisan tengah dan lapisan
atas atau puncak gunung. Puncak gunung adalah tunggal yang digambarkan satu
lingkaran yang menggambarkan debata (Pue), yang kemudian di bawahnya para pemuka
agama/kepercayaan (datu) dan penduduk. Lingkaran pada orbit penduduk dan datu
menggambarkan posisi tempat tinggal pernduduk dan datu yang berpindah-pindah
(sesuai kesuburan lahan). Gambaran ini boleh jadi pertanda adanya pemujaan
terhadap leluhur (ompung). Gunung bagi penduduk Wana adalah lambang kosmologi,
Pola penggambaran ini juga ada kemiripannya pada goretan yang terdapat pada
prasasti Minahasa, Seko dan Flores.

Tunggu
deskripsi lengkapnya

Suku Wana:
Populasi Tau Ta’a yang Mengisolasi?

Orang (suku) Wana
berbahasa Tau Ta’a (Bare’e) yang terdapat di wilayah Sulawesi Tengah (Pomana,
Ta’a dam Wana). Semua penduduk yang berbahasa Bere’e adalah satu keturunan.
Namun karena perbedaan geografis dan intensitas interakasi dengan orang luar
(pendatang) menyebabkan penduduk berbahasa Bere’e (Ta’a) seakan terpisah yang
sebagian penduduk yang berbahasa Ta’a seperti wilayah pantai di Ampana berbaur
dengan penduduk pendatang, sedangkan penduduk yang berbahasa Ta’a di wilayah
pedalaman tetap mengikuti peradaban yang terus diwariskan dari zaman kuno.
Mereka yang di pedalaman mengisolasi diri yang kemudian dalam pembangunan
menjadi terisolasi (tertinggal). Yang jelas bahwa penduduk Wana (berbahasa Ta’a)
tetap dengan kepercayaan dan cara hidup yang terus diwariskan yang memuja
leluhur melalui pentingnya arti gunung (tanah).

Wana adalah bahasa Sanskerta yang diartikan sebagai
hutan. Penggunaan kosa kata wana ini umumnya ditemukan di Jawa. Wana di Jawa
juga digunakan untuk nama tempat dan nama (gelar) orang. Kapan nama dilabelkan
kepada penduduk yang berbahasa Ta’a yang berada diantara gunung Pompangeo dan
gunung Takala tidak diketahui secara pasti. Orang (suku) yang berbahasa Ta’a
terebut tidak mengenal terminologi wana. Penamaan nama Wana ini diduga orang
yang berdiam di wilayah pesisir (pantai) yang menjadi mitra dagang mereka di
masa lampau. Penamaan (pelabelan) serupa ini sangat jamak, seperti misalnya
nama penduduk berbahasa Bugis-Makassar disebut orang (suku) Makassar
berdasarkan nama tempat (Makassar). Jadi, orang luar (pedagang) yang memberi
nama label (orang) Makassar yang berada di wilayah Gowa Tallo. Hal serupa
dengan label nama Ternate, Manado dan sebagainya merujuk pada nama geografis.
Dalam hal ini wana (hutan) juga merujuk pada nama geografis (wilayah hutan)
dimana penduduk berbahasa Ta’a bermukim (memiliki hak ulayat: kerpecayaan dan
tradisi).

Nama Wana (To Wana =
Orang Hutan) paling tidak sudah dilaporkan oleh para misionaris (Kruyt) pada tahun
1911 (lihat Java-post; weekblad van Nederlandsch-Indië, 1911). Disebutkan
orang To Wana turun gunung (pegunungan Peleroe, pegunungan Tamboesisi dan
Tokala.untuk bertransaksi dagang di Wattang Bajoli. Penduduk gunung menukar kaca,
pakaian beraneka ragam, rantai emas dan perak, kotak nikel, dan sejenisnya
untuk barter yang diinginkan penduduk gunung dengan hasil hutan. Orang To Wana
umumnya berada di pegunungan Tokala.

Watang Bajoli adalah tempat perdagangan (watang =
pusat; bajoli = perdagangan). Dei wilayah Angkola Mandailing Batang diartikan
sebagai tempat di muara sungai yang dijadikan sebagai pusat transaksi. Misalnya
Batang Angkola sebagai awalnya tempat perdagangan di sungai Angkola. Lambat
laun batang diartikan sebagai sungai.

Disebutkan orang To
Wana memburu kepala manusia (dari musuhnya) yang kemudian dibawa ke ‘Lembah
Suci Wattang Bayou’ dan lalu dibawa lebih jauh ke dalam kuil pengorbanan. Untuk
ini dilakukan pelayaran sungai jeram (ke wilayah hulu). Setiap tahun setelah
panen padi, pesta pengorbanan besar diadakan.

Dalam laporan tersebut duga disebutkan bahwa di pegunungan
Papageo [Pompangeo] yang
ditutupi
oleh banyak tanaman sehingga terbentuk dataran luas yang berubah
menjadi rawa. Dikatakan bahwa sekitar 100 To Pakambija berada di Tana Matoba,
sebuah dataran tinggi 1400 M di atas permukaan laut, yang dari kejauhan tampak
seperti salah satunya. puncak pegunungan Papageo, tepat di utara kampung Bave
Perjalanan ke Tanah Matoba melewati jalur pegunungan dan untuk sementara
menanjak di sepanjang sungai yang disebut Saeng Batoe, yang di pegunungan kapur
memberikan kanopi air terjun yang paling indah.

Salah satu tempat
penting di wilayah To Wana adalah Koro Poentaha dimana terdapat aliran sungai yang
sangat jernih dan dangkal yang mana pemandangannya seperti dongeng. Disebutkan
bahwa Anda dapat menikmati keindahan alam yang bernilai sepuluh tahun dari
kehidupan manusia di sini. Ketika saya kaya, saya akan memiliki rumah yang
dibangun di Koro Poentaha, karena itu adalah negara yang indah.

Tunggu
deskripsi lengkapnya

 

*Akhir
Matua Harahap
, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top