Sejarah

Sejarah Malang (32): Tumpang di Lereng Gunung Bromo Menuju Semeru; Seberapa Pentingkah Nama Tumpang Tempo Doeloe?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Malang dalam blog ini Klik Disini

Di wilayah Angkola Mandailing, Residentie
Tapanoeli bato bukanlah batu, tetapi apa? Akan tetapi di wilayah Malang bato
menjadi batu. Itu satu hal. Hal lainnya di wilayah Angkola Mandailing disebut
Arjuna, di wilayah Malang disebut Arjuno. Hal lainnya lagi di wilayah Malang
disebut Drupada tetapi di wilayah Angkola Mandailing disebut Soripada. Dalam
hal ini Sori merujuk pada Sri. Bato, batoe, watoe mirip menunjuk hal yang sama.


Batu
adalah sebuah kota di wilayah Malang. Kota Batu berada di jalur yang
menghubungkan Malang-Kediri dan Jombang. Wilayah kota ini berada di ketinggian
800-2000 M dan ketinggian rata-rata yaitu 980 M dpl. Kota Batu ditetapkan
menjadi kota administratif pada 6 Maret 1993 dan menjadi kota otonom tanggal 17
Oktober 2001. Sejak abad ke-10, wilayah Batu telah dikenal tempat
peristirahatan kalangan kerajaan. Pada pemerintahan Kerajaan Medang Raja
Sindok, petinggi Kerajaan Mpu Supo diperintah untuk membangun tempat peristirahatan
kerajaan di pegunungan yang didekatnya terdapat mata air (dibangun candi diberi
nama Candi Supo; atau Candi Songgoriti candi patirthan/kolam). Sampai saat ini
belum diketahui kapan nama “Batu” mulai disebut. Beberapa pemuka
masyarakat setempat mengisahkan sebutan Batu berasal dari nama ulama pengikut
Pangeran Diponegoro bernama Abu Ghonaim yang selanjutnya masyarakat setempat menyebutnya
Mbah Wastu kemudian dipanggil Mbah Tu lalu menjadi Mbatu atau Batu. Salah satu
wilayah perkebunan di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu dengan latar belakang
pegunungan Butak-Kawi-Panderman. Batu dikelilingi beberapa gunung, di antaranya
adalah: Anjasmoro (2.277 M); Arjuno (3.339); Banyak (1.306); Kawi (2.551); Panderman
(2.045); Semeru (3.676); Welirang (3.156); Wukir (635)
(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Bato, Batoe, Kota
Batu di lereng gunung Kawi? Seperti disebut di atas, kini kampong Bato tau
Batoe telah menjadi kota. Seberapa tua kota Batu?  Dimana tetak Arjuno menemukan Drupadi putri
Drupada? Lalu bagaimana sejarah Bato, Batoe, Kota Batu di lereng gunung Kawi? Seperti
kata ahli
sejarah
tempo doeloe,
semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.

Bato, Batoe, Kota Batu di Lereng Gunung Kawi; Dimana
Letak Arjuno Menemukan Drupadi Putri Drupada

Kapan nama (tempat) Tumpang muncul? Pada Peta 1817 belum
diidentifikasi nama Tumpang. Mengapa? Mungkin belum ada kampong di tempat
dimana desa Tumpang yang sekarang. Dalam Peta 1817 di tempat desa/kecamatan
Tumpang yang sekarang hanya diidentifikasi ‘ruins’. Identifikasi ‘ruins’ ini
cukup dekat di selatan kampong Pakis. Identifikasi ‘ruins’ ini diduga kuat
karena di dalam kawasan terdapat reruntuhan yang diduga candi.


Di Wikipedia disebutkan berikut (diringkas): Menurut kitab
Negarakertagama pupuh 41:4 dan Pararaton, nama Candi Jago sebenarnya berasal
dari kata “Jajaghu”, didirikan masa Kerajaan Singhasari abad ke-13
sebagai penghormatan bagi Raja ketiga Singhasari, Wisnuwardhana. Jajaghu, yang
artinya adalah ‘keagungan’, merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut
tempat suci. Candi ini berlokasi di dusun Jago, desa Tumpang, kecamatan
Tumpang, sekitar 22 km dari Kota Malang. Candi Jago berlatar Buddha Tatrayana.
Salah satu ciri dari agaama Buddha Tatrayana adalah arcanya yang berbentuk
amoghapasa. Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian
dan menurut cerita setempat karena tersambar petir. Keseluruhan bangunan candi
ini tersusun atas bahan batu andesit. Pada candi inilah Adityawarman kemudian
menempatkan Arca Manjusri seperti yang disebut pada Prasasti Manjusri. Candi
jago pertama kali dipublikasikan Stamford Raffles dalam History of Java (1917),
namun siapa yang menemukan nya pertama kali masih belum diketahui. Sebelumnya
candi ini juga pernah diteliti oleh R.H.T Friederich (1854), J.F.G Brumund
(1855), Fergusson (1876), dan Veth (1878). J.L.A Brandes kemudian melakukan
penelitian dan menerbitkan buku yang berjudul Jago Monografi (1904)
.

Nama nama Toempang juga mengindikasikan nama situs
Watoe Toempang di residentie Bagelan (lihat Tijdschrift voor Neerland’s Indie,
1846). Nama Toempang diantaranya ditemukan di wilayah Koedoes/Pati (lihat Tijdschrift
voor Neerland’s Indie, 1850). Nama Toempang juga ditemukan di wilayah Dajak
(sungai Barito).


Lantas nama Toempang muncul kali pertama? Tidak diketahuai secara pasti.
Tetapi pada tahun 1848 di Toempang pemerintah telah memabngun Gudang kopi
dimana pakhuis berkedudukan (lihat Javasche courant, 27-09-1848). Ini
mengindikasikan Kawasan lereng gunung Bromo tanaman kopi sudah berproduksi, dan
keberadaan gudang sebagai pusat pengumpulan untuk diteruskan ke ibu kota di
Pasoeroean. Volume kopi di gudang Toempang pada tahun 1848 sudah mencapai 18.000
picol (suatu angka yang cukup besar).

Pada tahun 1855 nama kawasan
ruins yang disebut di atas pada Peta 1817 telah disebut Toempang (lihat Geneeskundig
tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1855). Disebutkan di timur laut, distrik
Pakkies, yang semakin dibangun ke arah timur, di atas pegunungan. Bekas negeri utama
yang berada 1.474 kaki di atas permukaan laut, yang sekarang, disebut Toempang,
terletak lebih jauh ke timur dan lebih jauh lagi.

Dari keterangan tersebut nama Toempang di wilayah Malang adalah nama
baru. Namun bagimana nama itu yang digunakan kurang terinformasikan. Besar
dugaan kawasan sebelumnya tidak berpenghuni. Pemerintah mengembangkan wilayah,
sebagai pengembangan wilayah dari distrik Pakis. Namun mengapa nama Toempang
yang diberikan? Apakah penduduk sekitar Pakis menyebut Toempang karena bentuk
reruntuhan candi tampak sebagai batu tumpeng sebagaimana situs yang berada di
Begelan yang disebut Watoe Toempang?

Wilayah afdeeling Malang terdiri dari tujuh distrik. Berdasarkan Almanak 1867 distrik Kota [Malang] terdiri dari 33
desa;
districk Gondang Legi (95 desa); distrik Sengoro (85); distrik Pakis (123); district Penanggungan (121); distrik Karangloo (135) dan distrik Ngantang (63 desa). Semua
nama-nama district tersebut sudah teridentifikasi pada Peta 1817.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Dimana Letak Arjuno Menemukan Drupadi Putri Drupada: Lain
Doeloe, Lain Sekarang

Nama Toempang adalah nama baru. Seperti disebut di
atas, pemberian nama Toempang diduga karena adanya reruntuhan candi yang ada batu
pada posisi menumpang diatas struktur dasarnya. Penemuan candi ini menjadikan
nama (tempat) Toempang yang terbilang baru cepat terkenal, tidak hanya di
Hindia tetapi juga di Eropa/Belanda. Tentang candi di Toempang sudah masuk
dalam pembahasan akademik (lihat Algemeene konst- en letter-bode, voor het jaar
1858).


Di dalam jurnal/majalah ini C Lemans (curator Museum van Oudheden) di
Leiden mengurai tentang sejarah peradaban (Hindoe Boedha). Menurutnya prasasti-prasasti
yang ditemukan di India (termasuk Bengalen) aksara dan bahasa yang digunakan di
Sumatra berbeda. Bahasa Sanskerta dalam prasasti muncul di Sumatra. Bahasa
prasasti di Sumatra juga mengadopsi bahasa-bahasa local (polinesia); bahasa
Kawi baru muncul kemudian. Wilayah Aditjadharma meliputi seluruh Sumatera;
ibukota disebutkan dalam prasasti, tetapi lokasinya tidak diketahui. Boedha
sendiri lebih awal daripada di Jawa. Penjelasan yang lebih rinci menurut
Leemans tentang candi Tumpang, dan arca-arca yang beradfa di atasnya yang dihubungkan
dengan prasasti di (wilayah) Malang, dan prasasti lain di sekitar terdapat dua di
Sumatra. Leemans juga menggunakan sumber dari Raffles, yang mana pangeran Tunga-deva,
raja dari semua Yava-dvipa (pulau Jawa), cucu Narasinghamotti, ibu kota
kekaisaran adalah Narasinghanagara. Pengaruh utama pemujaan Sivaitische tidak
begitu jelas dalam teks dan teks pertama semua dimulai dengan salam, yang
biasanya merupakan tanda prasasti Buddhis. Leemans juga menggunakan laporan-laporan
dari Mr Friederich yang telah ditugaskan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk mengedit
penemuan di Jawa dan Sumatra. Laporan tersebut di bawah judul Javaansche
Oudeheden (Baravia 1857; 94 halaman).

Dalam diskusi tahun 1857/1858 candi Toempang dan
prasastu-prasasti yang ditemukan di sekitar Malang memiliki hubungan dengan
Sumatra. Dalam hal ini Toempang adalah nama tempat yang baru, tetapi candi yang
berada di wilayah des aitu (desa Toempang) berasal dari abad ke-13. Seperti
disebut di atas, kawasan candi di Toempang disebut bekas negeri utama (ibu kota
di zaman kuno).


Dari rangkaian analisis yang telah dilakukan di atas, apakah tempo doeloe
ibu kota (kerajaan) Singosari berada di Toempang? Sebab dalam analisis masa
kini, kawasan dimana kini candi Singosari, candinya sendiri berasal (dibangun pada
era Majapahit, pasca terbunuhnya raja Kertanegara). Lalu dalam hal ini apakah Kawasan
Singosari saat itu adalah kota perdagangan? kota perdagangan (kerajaan
Singosari) yang direbut/diduduki oleh kerajaan Majapahit? Oleh karena itu raja
(baru) Majapahit, untuk menghormati rakyat Singosasi (penduduk di wilayah
Malang), dibangun candi Singosari (candi yang lebih muda dari candi di
Toempang).

Sejak 1864 (kampong) Toempang di lereng gunung Bromo
menjadi penting. Pemerintah telah membangun gudang garam di Toempang untuk
pusat distribusi di kawasan pegunungan (lihat Tijdschrift voor nijverheid en
landbouw in Nederlandsch-Indie, 1864). Ini menjadikan Toempang tidak hanya
memiliki gudang pakhuis juga kini telah memiliki gudang garam. Harus diingat
saat itu kopi dan garam diantara penduduk diperlakukan sebagai alat tukar. Barang
atau apa saja dapat digunakan untuk membeli kopi dan garam dampat membeli barang
atau kebutuhan yang lain. Apakah ini pertanda ibu kota distrik akan dipindahkan dari Pakis? Atau apakah Toempang sendiri telah menjadi ibu kota district?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top