*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini
Menulis Sejarah Menjadi Indonesia tidak seperti yang
dikatakan Emha, ‘Indonesia Adalah Bagian dari Kampong Saya’, tetapi yang benar
menurut AMH adalah ‘Kampong Saya adalah Bagian dari Indonesia’. Mungkin maksud
Emha ingin guyon atau paling tidak untuk sekadar meminta perhatian, tetapi
faktanya banyak ahli sejarah dan tentu saja para peminat sejarah yang mengikuti
cara berpikir (platform) yang dicatat versi Emha di atas. Dalam hal ini Sejarah
Menjadi Indonesia. tidak hanya ‘kampong saya’. Akan tetapi juga ‘kampong dia’, ‘kampong
kamu’ dan ‘kampong mereka’ dalam membentuk Sejarah Menjadi Indonesia. Dalam
hubungan ini, cara berpikir itu disebut holistik, sejarah total (total history)
dan total football—bukan parsial atau egosentris.

pageview (jumlah dibaca). Angka ini tentu saja relatif tidak tinggi dalam platform
blog, apalagi jika dibandingkan dengan viewer pada platfprm Youtube (googlesearch
dan googleaearth, blogspot dan youtube berada di dalam holding yang sama).
Boleh jadi itu karena pergeseran cara setiap orang dalam mendapatkan
pengetahuan dari baca-tulis (blogspot) ke audio-visual (youtube). Namun
demikian penulisan sejarah tidak pernah berhenti, sebab penggalian data masih
terus dilakukan. Untuk saat ini, pilihan blogspot untuk menarasikan Sejarah Menjadi
Indonesia ke publik masih dianggap sesuai jika dibandingkan youtube. Blogspot
lebih fleksibel dalam jumlah halaman (terutama bagi penulis dan pembaca), dalam
hal menambahkan atau koreksi (editing), dan dalam hal efisiensi dalam
penyimpanan. Blogspot dan Youtube jelas membantu dalam publikasi sejarah
sebagaimana googlesearch dan googleaearth membantu dalam pencarian data.
Lantas bagaimana seharusnya menulis atau menarasikan
Sejarah Menjadi Indonesia? Seperti yang disebut di atas, jika total sejarah
yang diterapkan, dalam kasus baru-baru ini nama pendiri NU KH Hasyim Asy’ari
dan bahkan tokoh sekaliber Jenderal Abdul Haris Nasution tidak mungkin tidak masuk
dalam Kamus Sejarah (Indonesia) terbitan Kemendikbud. Namun faktanya begitulah
cara berpikir (bahkan sekelas kementerian) menarasikan sejarah: tergantung cara
berpikir, siapa yang menulis (WHO); bukan bagaimana Sejarah Menjadi Indonesia
ditulis apa adanya (HOW). Dalam artikel ini tidak ingin mendiskusikan apa yang
telah berlalu itu, tetapi apa yang seharusnya dan bagaimana seharusnya menulis
dan menarasikan Sejarah Menjadi Indonesia. Seperti kata ahli sejarah
tempo doeloe, semuanya
ada permulaan. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber sejak
tempo
doeloe.

sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*
Dimensi Tiga (D3) Sejarah Menjadi Indonesia
Dimensi Tiga
(D3) adalah akumulasi Dimensi Satu (D1) dan Dimensi Dua (D2). Dalam bahasa
eksak, D1 itu adalah garis lurus (kumpulan titik-titik). Titik dalam analisis
sejarah adalah suatu data atau informasi tunggal yang memiliki koordinat (tempat
dan waktu). Ruang dalam hal ini adalah area atau tempat dimana terjadi kejadian
(fakta) pada waktu tertentu (tahun, bulan, hari) di masa lampau. Titik-titik
data tau informasi jika dihubungkan pada dimensi waktu (time-series) maka
terbentuk garis tunggal sejarah.
Sebagai
contoh garis lurus (D1) sejarah: Pelaut-pelaut Belanda mencapai Indonesia
(baca: Hindia Timur) termasuk di Soenda Kalapa pada tahun 1597, lalu pada tahun
1619, pedagang-pedagang Belanda (VOC) mendirikan ibu kota (stad) di Kasteel
Batavia. Pada tahun 1628 Kasteel Batavia diserang Mataram demikian seterusnya
hingga VOC dibubarkan pada tahun 1799.
Kemudian Kerajaan Belanda mengakuisisi Properti VOC di seluruh Hindia
Timur dan membentuk Pemerintah Hindia Belanda. Namun pada tahun 1811 terjadi
pendudukan Inggris (hingga 1817) dan Pemerintah Hindia Belanda dipulihkan
kembali, demikian seterusnya hingga tahun 1942 terjadi pendudukan milter Jepang
dan pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia di Jakarta. Itulah garis lurus (D1) sejarah Jakarta dari era VOC
hingga awal Republik Indonesia.
D1
garis lurus sejarah hanya mencerminkan suatu garis lurus vertikal (titik-titik
waktu) pada satu titik waktu (Jakarta). Informasi sejarah garis lurus D1 ini
tidak menggambarkan titik-titik tempat (yang lain) secara horizontal di seluruh
Indonesia. Oleh karena itu garis lurus D1 itu bukan sejarah Indonesia, tetapi
sejarah (yang terbatas) di Jakarta. Untuk mendapatkan gambaran sejarah di titik-titik
tempat yang lain pada waktu yang sama kita mendapatkan gambaran tempat
(wilayah) yang lebih luas, yang dalam hal ini kita sebut bidang sejarah (D2).
Sebagai
contoh bidang sejarah (D2): Pada saat kehadiran Belanda di Indonesia (Hindia Timur)
pada tahun 1596-1597, sebelum mencapai
Soenda Kalapa, pelaut-pelaut Belanda sudah lebih dahulu stay beberapa waktu di
pelabuhan Banten. Pada saat ini, pelabuhan Banten, adalah pelabuhan yang ramai
di bawah yurisdiksi Kerajaan (Kesultanan) Banten. Pelabuhan Soenda Kalapa
berada di bawah yurisdiksi Kerajaan Jacatra. Kerajaan-kerajaan lain pada
waktuitu sudah banyak di Hindia Timur termasuk Ternate, Gowa, Atjeh, Matara,
Jepara, Bali dan sebagainya. Demikian juga pada saat itu sudah eksis sejak lama
pedagang-pedagang Eropa (Portugis dan Spanyol). Pedagang-pedagang Portugis
tidak hanya bekerjasama dengan Kerajaan Banten, pedagang-pedagang Portugis juga
sudah memiliki benteng-benteng, selain di Malaka, juga terdapat di Koepang,
Banda, Amboina dan Ternate. Tentu saja jangan lupa pedagang-pedagang Spanyol
selain di Filipina juga sudah eksis dan memiliki benteng di Maluku. Itulah bidang
(D1) sejarah Hindia Timur pada awal kehadiran pelaut-pelaut Belanda..
Jika bidang-bidang
sejarah (kumpulan D2) ditumpuk (disusun) menurut garis waktu dari era VOC
hingga era Republik Indonesia akan membentuk ruang (D3). Dengan demikian data
sejarah Indonesia akan membentuk suatu arsitektur tertentu apakah bentuknya
limas, kubus, prisma atau bola. Memahami ruang data itu (D3=D1+D2) maka kita dapat
menganalisisnya secara utuh yang kemudian dinarasikan secara lengkap yang akan
menggambarkan total sejarah Indonesia. Jika cara berpikir ini diterapkan, maka
tidak ada sejarah yang terlewatkan di Indonesia, baik menurut waktu maupun
menurut tempat. Itulah Sejarah Menjadi Indonesia.
Sepuluh
tahun yang lalu (2011) ketika saya mengawali menulis artikel sejarah di blog (lihat
blog Tapanuli Selatan dalam Angka), saya berpikir menulis sejarah seperti
umumnya yang dilakukan banyak penulis (sejarawan maupun para peminat sejarah)
yakni menulis sejarah seperti garis lurus (D1). Dua tahun kemudian saya mulai menyadari
pendekatan penulisan sejarah garis lurus itu tidak tepat, karena cara semacam
ini di satu sisi akan mengabaikan (mengerdilkan) sejarah di tempat lain, di
sisi lain akan cenderung tergoda untuk mengarang data (membesarkan) sejarah di
satu tempat. Dalam situasi dilematis itulah saya mulai berpikir bagaimana
menulis sejarah secara total football (D3) sejarah Indonesia. Tapi itu jelas
akan sulit karena harus mempelajasri sejarah di berbagai tempat. Lalu muncul
pertanyaan apakah itu bisa? Saya khawatir tidak
bisa karena data sejarah untuk seluruh Indonesia (sejak era VOC) umumnya dalam
teks, peta dan foto berbahasa Belanda. Semuanya ada diinternet dapat diakses di
berbagai perpustakaan seperti di Indonesia, Asutralia, Inggris dan Belanda.
Untuk tujuan menulis total sejarah (Indonesia) maka langkah pertama yang saya
lakukan adalah belajar kosa kata (vocabulary) bahasa Belanda sebanyak mungkin.
Ketika sudah hafal sekitar 500 vocab saya mulai membaca koran-koran,
majalah-majalah berbahasa Belanda (ibarat Dr Poerwatjaraka ketika memulai
membaca teks kuno Jawa Kuno (Kawi). Perbendahaaran vocab saya makin lama makin
banyak. Saya membaca teks-teks awal ini, sambil memperbanyak vocab, langkah
kedua mulai dilaksanakan, yakni mendesain manajeen data, yang mana setiap
wilayah Indonesia dibagi ke dalam sejumlah kota-wilayah sejarah yang masing-masing
dibuat dalam folder-folder. Setiap wilayah sejarah dibuat sub wilayah dalam
fplder yang berbeda. Pada masing-masing folder itu dibagi lagi ke dalam
aspek-aspek seperti pendidikan, kesehatan, pertumbuhan kota, pelabuhan, sepak
bola, tokoh dan sebagainya. Lalu kemudian pada saat membaca surat kabar atau
majalah maka isinya (dipotong-potong per
berita atau per artikel) lalu didistrubusikan ke berbagai folder yang sudah
disiapkan. Dalam fase ini pada setiap folder (aspek) mulai dibentuk judul-judul
tentatif sesuai dengan banyaknya data yang bersesuaian membentuk judul (dalam
hal ini judul dibuat mengikuti data yang tersedia dan analisis awal; bukan
sebaliknya—metode ini saya sebut metode induktif). Oleh karena itu pada serial
artikel kota-wilayah tertentu yang diupload di blog terkesan bersifat random,
karena masih banyak judul-judul artikel yang belum dinarasikan atau judul-judul
yang menunggu data tambahan. Lima atau tujuh tahun yang lalu, analisis lebih
lanjut dilakukan dan menarasikan setiap judul yang ada (hingga dilakukan ini
hari). Singkatnya: semua artikel-artikel yang dibuat (di dalam blog tidak semua
diupload) akan disatukan menjadi sejarah lokal dan juga sejarah nasional
(Indonesia). Dengan tahapan tersebut dengan manajemen data yang terstruktur
diharapkan pada tahap awal akan saya pahami total sejarah Indonesia yang pada
akhirnya akan terbentuk narasi Sejarah Menjadi Indonesia.
Dengan
pendekatan total sejarah (D3) maka Sejarah Menjadi Indonesia akan tergambar
dalam wujud ruang sejarah (D3). Dalam hal ini data dalam bentuk ruang data
sejarah (D3) diperkaya dengan analisis relasi (relationship). Jadi dalam hal
ini data sejarah D3 adalah syarat perlunya dan syarat cukupnya adalah analisis
relasi. Dalam hal ini relasi antar data (verifikasi data) dan juga relasi
substrasi (relasi antara satu aspek dengan aspek yang lain).
Relasi
antar data ini begitu penting, karena akan menjadi hulu dari narasi sejarah.
Data (misalnya pencatatan di koran) di satu tempat dan data di tempat lain,
misalnya data pendidikan di Bandung dan di Jogjakarta dapat disandingkan
sehingga dapat disimpulkan data mana yang paling akurat. Jika ada keraguan
antar dua kota tersebut dapat disandingkan (validasi) dengan data kota lain.
Dalam hal ini data akan terverifikasi. Sebab mengutip satu data dalam satu
surat kabar sangat naif, sebab bisa jadi pencatatan di dalam surat kabar itu
ada kesalahan cetak, salah kutip wartawan dari sumber atau atau
kesalahan-kesalahan yang lain. Jadi semakin banya data yang mencatat informasi
atau keterangan yang sama akan semakin valid. Dalam analisis relasi substansial
(aspek atau variabel) juga di satu sisi dapat memverifikasi data, juga dari
hasil analisis relasi substansial ini ditemukan hal-hal yang baru (tidak
berdasarkan data harfiah tetapi berdasarkan interpretasi atau nalar). Antar
data yang berlainan waktu (era) fungsi analisis relasi substansi ini dapat
bermanfaat untuk mengisi kekosongan data pada waktu atau periode tertentu
(bersifat interpolasi)..
Satu hal dalam
memahami Sejarah Menjadi Indonesia, ternyata diperlukan dari data sejarah di
luar Indonesia. Hal ini beberapa pembaca ada yang menanyakan mengapa serial
artikel sejarah luar negeri dibuat (seperti Singapoera atau Semenanjung,
Australia dan kini Filipina). Pendekatan ini tidak lazim bahkan di
negara-negara tetangga tadi tidak pernah atau jarang menyinggung (data) sejarah
Indonesia. Sejatinya memahami sejarah negara tetangga adalah untuk maksud
melihat relasi sejarah Indonesia dengan negara lain, yang dalam hal ini
ternyata memperlajari sejarah negara lain dapat memperkuat data dan analisis
Sejarah Menjadi Indonesia. Sebab faktanya sebelum menjadi Indonesia, tempo
doeloe antara pilau di Hindia Timur dan juga Australia terhubung satu sama
lain. Oleh karena itu dala serial artikel sejarah negara tetangga (dalam blog
ini) bukan untuk memperkaya sejarah negara tetangga, tetapi untuk memperkaya
data dan narasi sejarah Indonesia. Syukur-syukur para penulis sejarah negara
tetangga dapat memanfaatkan artikel-artikel tersebut.
Tunggu deskripsi
lengkapnya
Kasus Kamus Sejarah Indonesia: Mempelajari
Sejarah Tidak Cukup Vertikal atau Horizontal Saja
Tunggu deskripsi
lengkanya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.