*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini
Bahasa pada dasarnya diturunkan. Bahasa tidak akan hilang
sejauh populasi pemiliknya masih eksis. Namun bahasa pada populasi tertentu
dapat digantikan oleh bahasa lain (karena adanya pengaruh budaya baru yang
sangat masif). Populasi pengguna bahasa di wilayah pedalaman seperti Tanah
Batak dan Tanah Jawa cenderung bertahan lama hingga ini hari. Bahasa-bahasa
asli Indonesia itu pada zaman dulu diperkaya oleh bahasa Sanskerta melalui
navigasi pelayaran perdagangan dari India (selatan). Bahasa Sanskerta inilah
yang kemudian menjadi lingua frannca..

franca dalam navigasi pelayaran perdagangan. Interaksi bahasa Sankerta dengan
bahasa Batak dan bahasa Jawa menyebabkan terjadi proses pembaruan bahasa
Sanskerta sebagai lingua franca menjadi lingua franca yang baru yang keudian
diidentifikasi sebagai bahasa Melayu Kuno. Pada fase ini tetap eksis bahasa
Batak Kuno dan bahasa Jawa Kuno. Seiring dengan pergeseran lingua franca ini,
berkembang aksara dari aksara Pallawa berbahasa Sanskerta menjadi aksara Batak
Kuno, aksara Melayu Kuno dan aksara Jawa Kuno. Dalam perkebangannya, muncul
peradaban baru era Islam. Aksara dengan bahasa Melayu kuno menjadi aksara Arab
dengan bahasa Melayu. Sementara itu, aksara Batu Kuno dan aksara Jawa kuno yang
lebih dipermodern tetap eksis. Dengan hadirnya aksara Latin berbahasa Melayu
(sejak era Portugis), aksara Arab berbahasa Melayu menghilang menjadi aksara
Latin berbahasa Melayu. Sekali lagi, aksara Batak Kuno dan aksara Jawa Kuno
yang lebih dipermodern tetap eksis (bahakan hingga ini hari). Pada masa kini,
lingua farnca (bahasa nasional) bukan lagi bahasa Melayu tetapi bahasa
Indonesia. Bahasa Batak, Bahasa Jawa dan Bahasa Melayu hanya diposisikan
sebagai bahasa daerah,
Lantas bagaimana sejarah bahasa zaman kuno di Indonesia? Tentu
saja sudah ada yang menulisnya tetapi tampaknya hanya sekadarnya. Seperti
disebut di atas dua pengguna bahasa asli yang memiliki populasi besaradalah
bahasa Batak dan bahasa Jawa. Kehadiran bahasa Sanskerta sebagai lingua franca
menjadi sebab munculnya lingua franca yang baru bahasa Melayu (kuno). Lalu apa
hubuugannya dengan perkembangan aksara? Setali tiga uang dengan bahasa. Sejauh
mana pengaruh bahasa Batak Kuno dan bahasa Jawa Kuno? Seperti kata ahli sejarah
tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.

sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*
Lingua Franca: Bahasa Sanskerta Diperkaya
Bahasa Penduduk Asli
Pada
prasasti-prasasti zaman kuno, jika ada sejumlah kosa kata yang tidak dimengerti
berdasarkan bahasa Sanskerta, besar dugaan itu adalah kosa kata Batak Kuno atau
Jawa Kuno. Banyak kosa kata Batak dan Jawa diserap dari kosa kata bahasa
Sanskerta. Bahasa Melayu Kuno sendiri adalah perkembangan lebih lanjut bahasa
Sanskerta yang menjadi lingua franca dalam navigasi pelayaran perdagangan.
Seperti halnya bahasa Sanskerta, bahasa Melayu yang terbetuk bukanlah bahasa
asli. Dua bahasa asli yang terpenting pada zaman kuno adalah bahasa Batak dan
bahasa Jawa.
Bahasa
asli awalnya menyebar di seluruh pulau-pulau, dari pulau-pulau di barat pulau
Suatra hingga pulau-pulau di timur Papau. Dengan kehadiran migran asing
(seperti pedagang-pedagang India dan Tiongkok) dan migran lokal terutama dari
pulauan lain, penduduk dengan bahasa asli yang berada di sisi luar terdesak
dari pantai atau muara sungai menjadi terkonsentrasi di belakang pantai (pedalaman).
Penduduk asli di pulau Sumatra terdiri dari orang Gajo, Batak, Minangkabau
(pra-Pagaroejoeng), Kerinci, Komering dan Lampung. Penduduk asli di pulau Jawa
adalah orang Jawa.
Mengapa bahasa
Batak dan bahasa Jawa dianggap bahasa asli terpenting zaman kuno, karena di
wilayah penduduk berbahasa asli itulah terdapat peradaban baru zaman kuno yang
ditandai dengan adanya candi-candi atau prasasti-prasasti atau temuan artefak
yang berasal dari zaman kuno. Adanya candi-candi itu mengindikasikan adanya
penduduk dengan populasi besar, resource yang kaya dan sudah terbentuknya
sistem pemerintahan (kerajaan). Semua itu berawal dari kehadiran
pedagang-pedagang (asing) dari India yang berbahasa Sanskerta dengan aksara
Pallawa. Kerajaan-kerajaan zaman kuno tersebut yang kita kenal pada masa ini
sebagai Kerajaan Aru (Batak), Kerajaan Tarumanegara (Sunda) dan Kerajaan
Kalingga (Jawa). Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa di pulau Jawa kurang lebih sama.
Kosa
kata bahasa Batak pertama adalah hapur. Kosa kata ini terserap ke dalam bahasa
Sanskerta sebagai kapur. Kosa kata kapur bahasa Sanskerta ini terserap ke dalam
bahasa Arab dan Persia, yang menjadi sebab adanya kosa kata kafuura di dalam
kitab suci Al Quran. Dari bahasa Arab, hapur, kapur, kafuura masuk ke dalam
bahasa Latin sebagai camphora. Kosa kata bahasa Latin ini menjadi bagian dari
kosa kata bahasa-bahasa yang terbentuk di Eropa seperti bahasa Inggris, Portugis
dan Belanda. Pada era Portugis camphora terserap ke dalam baha Melayu sebagai
kampar atau kamper untuk menggantikan kata spesifik dari kapur yang bersifat
generik. Kamper ini disebut kapur Barus (kapur berasal dari pelabuhan Barus;
pelabuhan Kerajaan Aru di Tanah Batak).
Bahasa Sanskerta
sebagai lingua franca dalam navigasi pelayaran perdagangan zaman kuno,
(terutama kamper, kemenyan dan damar serta emas) juga digunakan penduduk asli
Batak dan Jawa sehingga orang Batak dan orang Jawa bersifat bilingual (seperti
kita pada masa kini selain bahasa Indonesia juga bahasa daerah). Pada fase
inilah terjadi interaksi bahasa yang intens antara bahasa asli Batak dan Jawa
dengan bahasa Sanskerta. Bahasa Batak dan bahasa Jawa diperkaya oleh bahasa
Sanskerta, sebaliknya bahasa Sanskerta di Hindia Timur (jauh dari locusnya di
India Selatan), bahasa Sanskerta bekembang sendiri yang menjadi bahasa Melayu
Kuno.
Pada
zaman kuno, tentu saja kerajaan-kerajaan belum banyak, kota-kota pelabuhan
(yang diduga kuat terhubung dengan kerajaan di kawasan) juga belum banyak
seperti pada masa ini. Oleh karena itu antar kota masih berjauhan dan antara
pusat utama perdagangan dengan pusat utama perdagangan bahkan sangat jauh.
Meski demikian, karena jumlahnya sedikit maka terjadi pertukaran berita apakah
oleh para pedagang atau oleh para utusan kerajaan yang satu dengan kerajaan
yang lain. Navigasi pelayaran perdagangan dari India dimungkinkan hingga ke
Sumatra, maupun antara kerajaan di Sumatra dengan kerajaan di Jawa. Navigasi
pelayaran ini berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung berapa kali
melakukan persinggahan sementara.
Untuk memahami
bahasa zaman kuno dapat dilihat pada beberapa prasassti yang ditemukan. Pada
prasasti Kedukan Bukit bertarih 682 M. Beberapa kosa kata yang dapat dikenali
pada masa ini dalam bahasa Indonesia (yang merujuk pada bahasa Melayu zaman
kuno) seperti bulan, sampan, dari, dua, dengan, jalan, dua ratus, naik, datang,
di, mata. Kata-kata inilah yang yang terus eksis menjadi Melayu (Kuno) dan kini
bahasa Indonesia. Yang sulit kita pahami kita anggap bahasa Sanskerta yang
tidak digunakan lagi. Namun beberapa kata yang tidak ada dalam bahasa Indonesia
dapat dikenali dalam bahasa Batak seperti mangalap, marlapas, mamawa, sapulu
dua, marbuat, banua. Beberapa kata tersebut telah bergeder menjadi lepas, bawa
dan buat. Akan tetapi kata alap tidak ditemukan dalam bahasa Melayu (Indonesia)
tetapi memiliki arti dalam bahasa Batak sebagai ambil atau jemput. Secara
khusus awalan ma dan mar tidak ditemukan dalam bahasa Melayu (Indonesia), tetapi
masih ditemukan dalam bahasa Batak sebagai me dan ber dalam bahasa Melayu
(Indonesia). Lalu kemudian kita bandingkan mana yang lebih tua, yang tetap
dipertahankan (ma dan mar dalam bahasa Batak) dan yang telah bergeser (menjadi me
dan ber dalam bahasa Melayu).
Prasasti Kedukan
Bukit 682 M (lihat Wikipedia): ‘svasti śrī
śakavaŕşātīta 605 ekādaśī śukla-klapakşa
vulan vaiśākha ḍapunta hiyaṃ nāyik di sāmvau mangalap siddhayātra di saptamī
śuklapakşa vulan jyeşţha ḍapunta hiyaṃ maŕlapas dari minānga tāmvan mamāva yaṃ
vala dua lakşa dangan kośa duaratus cāra di sāmvau dangan jālan sarivu tlurātus
sapulu dua vañakña dātaṃ di mata jap (mukha upaṃ) sukhacitta di pañcamī
śuklapakşa vulan… (āsāḍha) laghu mudita dātaṃ marvuat vanua śrīvijaya jaya
siddhayātra subhikşa nityakāla’.Terjemahannya:
‘Selamat ! Tahun Śaka telah lewat 605, pada hari ke sebelas paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang
naik di sampan mengambil siddhayātra.
pada hari ke tujuh paro-terang bulan Jyestha Dapunta Hiyang berlepas dari
Minanga tamwan membawa bala tentara dua laksa dengan perbekalan dua ratus cara
(peti) di sampan dengan berjalan seribu tiga ratus dua belas banyaknya datang
di mata jap (Mukha Upang) sukacita pada hari ke lima paro-terang
bulan….(Asada) lega gembira datang membuat wanua….Śrīwijaya jaya,
siddhayātra sempurna…’
Selain itu penyebutan
bilangan sapulu dua tidak ditemukan dalam bahasa Melayu (Indoensia) tetapi
dapat ditemukan dalam bahasa Batak. Sapalu dua dalam bahasa Batak pada masa ini
sama dengan dua belas dalam bahasa Melayu (Indonesia). Sekali lagi, mana yang
lebih tua sapulu dua (Batak) atau dua belas (Melayu). Satu yang penting lainnya
dalam teks prasasti Kedukan Bukit ini nama tempat Minana. Nama ini tidak
ditemukan (mirip) di tempat lain, tetapi ditemukan di Tanah Batak sebagai nama
tempat Binanga (kini nama kecamatan di kabupaten Padang Lawas). Satu lagi banua
dalam bahasa Batak diartikan sebagai negara atau wilayah yang sangat luas
(namun adakalnya diartikan sebagai istana).
Dalam
tulisan-tulisan masa kini, secara keseluruhan kata-kata yang digunakan dalam
teks hanya disebut kata-kata bahasa Melayu Kuno, yang sering disebut dengan
nama tunggal ‘ditulis dalam aksara Pallawa dengan menggunakan bahasa Melayu
Kuno’. Bukankah yang lebih tepat disebut
‘menggunakan bahasa campuran (bahasa Sanskerta, bahasa Batak Kuno dan bahasa
Melayu Kuno)’. Inilah akibatnya jika satu hal hanya dilihat dari satu sisi,
bukan dari dua sisi atau banyak sisi. Last but not least: Jika bahasa Melayu
Kuno adalah kelanjutan bahasa Sanskerta, bahasa Batak tetaplah bahasa Batak.
Namun yang terlupakan adalah penduduk di Tanah Batak zaman kuno bilingual
(seperti masa kini). Jika berdasarkan asumsi ini terbuka pertanyaan siapa yang
membuat prasasti: Raja yang datang ke suatu tempat (Dapunta Hyang dari Binanga)
atau yang menerima kedatangan (Sriwijaya di Hulu Upang).
lainnya untuk memahami bahasa zaman kuno digunakan prasasti Talang Tuo di kaki
Bukit Siguntang berangka tahun 684 M (dua tahun lebih muda dari prasasti
Kedukan Bukit) yang juga ditulis dalam aksara Pallawa dengan berbahasa Melayu
Kuno. Dalam teks prasasti dapat didaftarlan kosa kata yang disebut mirip bahasa
Melayu (Indonesia). Beberapa kosakata bahasa Melayu Kuno yang digunakan dalam
prasasti ini dan hingga kini masih dapat ditemukan dalam bahasa Indonesia. Ada banyak
persamaan dengan sedikit perubahan antara lain awalan ni menjadi di dan awalan ma,
mar, ma[ng] menjadi me, ber dan me[ng], akhiran na menjadi nya.
Daftar
yang disebut mirip bahasa Melayu: wulan = bulan, tatkālāña = tatkalanya, niparwuat
= diperbuat, sawañakña = sebanyaknya, nitanam = ditanam, ñīyur = nyiur, hanāu =
enau, rumwiya = rumbia, dṅan = dengan, nimakan = dimakan, wuaḥña = buahnya, tathapi = tetapi, haur = aur, wuluḥ = buluh, pattuŋ = betung, talāga = telag, puṇyaña =
punyanya, tmu = temu, bertemu, mārgga = marga, sukha = suka, niminumña =
diminumnya, wuatña = buatnya, maŋhidupi = menghidupi, prakāra = perkara, jāṅan = jangan, waraŋ = barang, wuataña =
buatannya, marwwaṅun = memban.
Sementara bahasa Batak dalam teks prasasti tersebut awalan
ma, mar, ma[ng[ ditemukan dalam bahasa Batak yang menjadi me, ber dan me[ng]
dalam bahasa Melayu (Indonesia). Demikian juga awal ni ditemukan dalam bahasa
Batak yang menjadi di dalam bahasa Melayu (Indonesia). Satu hal lagi akhiran na
ditemukan dalam bahasa Batak yang menjadi nya dalam bahasa Melayu (Indonesia). Dalam
teks terdapat frase ‘jangan marsarak’ yang mana kata kerja marsarak dalam
bahasa Batak yang menjadi berserak dalam bahasa Melayu. Tentu saja dalam teks
masih digunakan kata yang khas di Tanah Batak yakni marga.
Dari dua prasasti yang dikutip di atas,
begitu banyak unsur bahasa yang sangat elementer (awalan dan akhiran) yang
masih ditemukan dalam bahasa Batak. Unsur-unsur elementer dalam teks prasasti itu
telah bergeser di dalam bahasa Melayu. Kata-kata dalam teks yang ditemukan
dalam bahasa Batak tetapi tidak ditemukan dalam bahasa Melayu antara lain
mangalap, bilangan sapulu dua, banua dan marga.Tentu saja masih ada lagi kata
sandangn tu dan awalan par yang ditemukan dalam bahasa Batak tetapi tidak
ditemukan dalam bahasa Melayu. Jangan lupa bahwa nama Miangan hanya sesuai
dengan nama Binanga di Tanah Batak.
Dalam memahami bahasa zaman kuno ini dapat ditambahkan
isi teks prasasti Kota Kapur yang relatif bersamaan waktunya dengan dua
prasasti sebelumnya. Prasasti Kota Kapur bertarih 686 M. Prasasti ini juga
disebut beraksara Pallawa dengan bahasa Melayu Kuno. Isi teks prasasti sebagai
berikut:
Siddha titam hamba nvari i avai kandra kayet
ni paihumpaan namuha ulu lavan tandrun luah makamatai tandrun luah vinunu
paihumpaan hakairum muah kayet ni humpa unai tunai–Umentern bhakti ni ulun
haraki. unai tunai kita savanakta devata mahardika sannidhana. manraksa yan
kadatuan çrivijaya. kita tuvi tandrun luah vanakta devata mulana yan parsumpahan–paravis.
kadadhi yan uran didalanna bhami paravis hanun. Samavuddhi lavan drohaka,
manujari drohaka, niujari drohaka talu din drohaka. tida ya–Marppadah tida ya
bhakti. tida yan tatvarjjawa diy aku. dngan diiyan nigalarku sanyasa datua.
dhava vuathana uran inan nivunuh ya sumpah nisuruh tapik ya mulan parvvanda
datu çriwi–jaya. Talu muah ya dnan gotrasantanana. tathapi savankna yan vuatna
jahat. makalanit uran. makasuit. makagila. mantra gada visaprayoga. udu tuwa. Tamval–Sarambat.
kasihan. vacikarana.ityevamadi. janan muah ya sidha. pulan ka iya muah yan
dosana vuatna jahat inan tathapi nivunuh yan sumpah talu muah ya mulam yam
manu–ruh marjjahati. yan vatu nipratishta ini tuvi nivunuh ya sumpah talu,
muah ya mulan. saranbhana uran drohaka tida bhakti tatvarjjava diy aku, dhava
vua–tna niwunuh ya sumpah ini gran kadachi iya bhakti tatvjjava diy aku. dngan
di yam nigalarku sanyasa dattua. çanti muah kavuatana. dngan gotrasantanana–Samrddha
svasthi niroga nirupadrava subhiksa muah van–Yan manman sumpah ini. nipahat di
velana yan vala çrivijaya kalivat manapik yan bhumi java tida bhakti ka
çrivijaya.
Dalam teks prasasti Kota Kapur ini ditemukan awal pa dan par
sebagaimana dalam bahasa Batak yang menjadi pe dan per dalam bahasa Melayu.
Juga tentang awalan ni (di), awalan mar (ber), akhiran na (nya). Satu yang baru
dalam teks prasasti Kota Kapur ini kata sambung na dalam bahasa Batak yang
menjadi yang dalam bahasa Melayu. Yang perlu dicermati bahwa awalan ni dan kata
depan di dalam bahasa Batak menjadi awalan di dan kata depan di dalam bahasa
Melayu (Indonesia) untuk membedakannya adalah awalan disambung sedangka kata
depan di pisah. Sementara dalam bahasa Batak awalan ni pasti disambung
sedangkan kata depan di dipisahkan. Hal serupa ini juga berlakuk pada
penggunaan kata sambung na dan akhiran na dalam bahasa Batak menjadi kata
sabung yang dan akhiran nya dalam bahasa Melayu. Dalam hal ini awalan na dalam
bahasa Batak dipisah sementara akhirnya na tidak dipisah.
Dalam teks, selain terdapat nama kerajaan
(kedatuan) Sriwijaya juga terdapat nama tempat (pulau) Jawa. Pada baris 9 dari
teks prasasti diartikan sebagai berikut: ‘dengan keberhasilan, kesentosaan,
kesehatan, kebebasan dari bencana, kelimpahan segalanya untuk semua negeri
mereka! Tahun Śaka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Februari
686 Masehi), pada saat itulah’ yang kemudian pada baris 10 sebagai berikut: ‘kutukan
ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Śrīwijaya baru berangkat
untuk menyerang bhūmi Jāwa yang tidak takluk kepada Śrīwijaya’. Teks dua baris
ini dapat diinterpretasi kata ‘mereka’ dalam hal ini mengindikasikan dibuat di
kerajaan (kedatuan) lain. Dengan kata lain prasasti tidak dibuat oleh kerajaan
(kedatuan) Sriwijaya. Lantas kerajaan yang mana yang membuat? Untuk memahaminya lihat
kembali isi teks prasasti Kedukan Bukit bertarih 682 M.
Dengan memahami secara keseluruhan dari dua teks prasasti
yang sebagian besar berasal dari bahasa Sanskerta, dalam berbagai tulisan terkesan
hanya melihat unsur bahasa dari sudut pandang bahasa Melayu (Indonesia) tanpa
mempertimbangkan unsur bahasa Batak. Lantas apa yang sesungguhnya terjadi? Jelas dalam hal tersebut
soal sudut pandang (bahasa Melayu). Faktanya dari sudut pandang bahasa Batak
justru lebih kuat sebagai zaman kuno daripada bahasa Melayu (yang terbentuk
kemudian). Kesalahan sudut pandang ini menjadi berpengaruh pada makna yang
terkandung dalam isi teks prasasti.
Soal: Diketahui bahwa sebelum
kehadiran pedagang-pedagang India (selatan) yang berbahasa Sanskerta dan
beraksara Pallawa ke Hindia Timur (nusantara) sudah ada penduduk asli yang
berbahasa asli sebagai mitra dagang (sebut saja bahasa Batak dan bahasa Jawa).
Anggaplah bahasa Melayu adalah kelanjuatan bahasa Sanskerta plus bahasa asli
(bahasa Batak dan bahasa Jawa). Dengan memperhatikan isi teks tiga prasasti di
atas, faktanya terdiri dari tiga bahasa (Sanskerta, Batak dan Melayu). Pertanyaannya:
Siapakah yang menulis tiga teks prasasti tersebut? Pilihan jawaban: (a)
Orang India, (b) Orang Batak, (c) Orang Melayu. Selamat menjawab. Contoh soal:
Pada masa ini Anda menemukan suatu surat. Dalam surat itu digunakan campuran tiga
bahasa yakni bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan bahasa Minangkabau. Surat
siapakah itu? Orang Selandia Baru, Orang Depok atau Orang Padang?
Tunggu deskripsi lengkanya
Bahasa Melayu Kuno Lingua Franca Baru: Bahasa
Batak Kuno dan Bahasa Jawa Kuno Tetap Eksis
Bahasa Batak dan
bahasa Jawa tidak terbentuk setelah hadirnya bahasa Sanskerta di Hindia Timur
(nusantara), tetapi sebaliknya bahasa Batak dan bahasa Jawa sudah eksis sejak
lama, jauh sebelum kehadiran pedagang-pedagang dari India dengan bahasa
Sanskerta (beraksara Pallawa). Jika bahasa Melayu diturunkan dari bahasa
Sanskerta, maka dengan demikian, bahasa Batak dan bahasa Jawa sudah terbentuk
jauh sebelum terbentuknya bahasa Melayu (Kuno). Untuk mengetahui bahasa zaman
kuno di (pulau) Jawa digunakan prasasti prasasti Sojomerto, suatu prasasti yang
dibuat diperkirakan pada abad ke-7 (satu era dengan tiga prasasti Sumatra yang
disebut di atas).
Isi
teks prasasti Sojomerto: ‘… ryayon çrî
sata …. — â kotî… — namah ççîvaya —
bhatâra parameçva — ra sarvva daiva ku samvah hiya — mih inan –- is-ânda
dapû-nta selendra namah santanû–namânda bâpanda bhadravati–namanda ayanda
sampûla– namanda vininda selendra namah–mamâgappâsar
lempewângih’. Terjemahan inskripsi yang terbaca: ‘Sembah kepada Siwa
Bhatara Paramecwara dan semua dewa-dewa– … dari yang mulia Dapunta Selendra–Santanu
adalah nama bapaknya, Bhadrawati adalah nama ibunya, Sampula adalah nama bininya
dari yang mulia Selendra’.
Prasasti Sojomerto
mengindikasikan silsilah kerajaan, raja Dapunta Selendra (gelar yang sama
dengan nama raja yang dicatat dalam prasasti Kedukan Bukit 682 M). Teks ini
disebut aksara Jawa Kuno berbahasa Melayu Kuno.
Akan tetapi jika dicek pada kamus Sanskerta terdapat kosa kata yang
mirip bahasa Melayu (Indonesia) seperti nama, bapa, ayah dan mama. Secara
keseluruhan isi teks ini dapat dikatakan berbhasa Sanskerta. Tidak ada indikasi
bahasa Jawa Kuno.
Dapunta
tampaknya adalah gelar karena dipakai oleh tiga orang yang berbeda (lihat
prasasti Keduakan Bukit disebut Dapunta Hyang Nayik; prasasti Talang Tuo
disebut Dapunta Hiyag Srī Jayanāga; dan prasasti Sojomerto disebut Dapunta Selendra).
Dua yang pertama disebut Daputa Hyang, sedangkan yang ketiga hanya disebut
Dapunta saja. Apakah itu menunjukkan derajat?
Jika merujuk pada prasasti Talawang Tuo, apakah raja Dapunta Selendra bawahan
Dapunta Hiyag
Srī Jayanāga di Sriwijaya. Antara Dapunta Hyang Nayik dan Dapunta Hiyag Srī Jayanāga
tampaknya setara dan mitra.
Tunggu deskripsi
lengkanya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog
ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi
warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan
utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas
Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah–agar lingkungan tempat
tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton
sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan
sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam
memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini
hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish).
Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.