Sejarah

Sejarah Menjadi Indonesia (92): Mengapa Kebudayaan Dongson? Kebudayaan Jawa dan Batak, Homosapiens hingga Era DNA




false
IN


























































































































































 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini 

Dalam berbagai tulisan, narasi sejarah awal di Indonesia pada zaman kuno
kerap dikaitkan dengan (kebudayaan) Dongson. Namun yang menjadi pertanyaan
bagaimana cara menarik relasi kebudayaan Dongson (Vietnam) menyebar ke
pulau-pulai di Hindia Timur (baca: Indonesia) seperti Sumatra dan Jawa. Okelah,
itu satu hal. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana dengan eksistensi
kebudayaan di Indonesia seperti kebudayaan Batak dan kebudayaan Jawa. Lalu
setelah itu baru direlasikan apakah ada relasinya dengan kebudayaan Dongson

Sebuah tulisan di detikTravel berjudl ‘Mengapa
Budaya Batak dan Toraja Hampir Sama?’ yang ditulis oleh Ivonesuryani (Sabtu, 27
Jan 2018 10:53 WIB). Berikut isinya: Sang penulis bertanya ‘pernahkah traveler
memperhatikan bahwa ada kemiripan budaya antara suku Toraja dan suku Batak?
Jawaban ditemui di TB Silalahi Center, Balige. Pada bentuk tongkonan di Toraja
dan rumah bolon di Batak, tarian tortor dan rambu solo, serta penyebutan marga
yang mirip, misalnya marga Aritonang, Tobing, Pakpahan dan Pardede pada suku
Batak, pada suku Toraja ada marga Aitonam, Toding, Pahan dan Pirade. Saya
mengunjungi Museum Batak di dalam Komplek TB Silalahi Center, saya melihat sebuah
miniatur tongkonan (rumah adat Toraja) dan rasa penasaran muncul, mengapa ada tongkonan
di Museum Batak? Dalam, miniatur tongkonan tersebut ada tulisan menjelaskan
bahwa budaya Batak dan Toraja mirip dengan kebudayaan Dongson. Para ahli
sejarah berpendapat yang mengembangkan kebudayaan Dongson adalah bangsa
Austronesia di kawasan Vietnam (terletak di sepanjang aliran sungai Merah
berbatasan langsung Yunan, Cina Selatan). Lalu bangsa Austronesia ada menetap
di Filipina dan lainnya di Indonesia bagian barat. Pendatang gelombang pertama
disebut Proto Melayu (Melayu Tua) yang berkembang menjadi suku Batak, Toraja,
Nias, Mentawai dan Dayak. Dulu saya pikir kesamaan budaya suku Toraja di
Sulawesi Selatan dan suku Batak di Sumatera Utara hanya karena sinkronisasi dan
akulturasi budaya semata, tapi ternyata kedua suku tersebut memang memiliki
garis keturunan yang sama’. Itulah apa yang diketahui penulis dan lalu
menyimpulkannya sendiri.

Lantas mengapa kebudayaan Dongson? Seperti disebut di atas, antara budaya
Batak dan budaya Toraja disimpulkan relasinya budaya Dongson. Lalu mengapa
tidak kebudayaan Jawa? Dalam berbagai tulisan juga disebut Jawa juga memiliki
relasi dengan Dongson. Namun yang tetap menjadi pertanyaan mengapa (harus)
kebudayaan Dongson? Bukankah ada kebudayaan Jawa? Lalu apakah kebudayaan Jawa
kebudayaan baru, padahal manusia Jawa (homosaspiens) sudah ada sejak zaman
purba? Lalu bagaimana dengan kebudayaan India? Bagaimana semua itu harus
dimengerti? Seperti kata ahli
sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan
dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.

Penduduk Hindia Timur:  Mengapa Kebudayaan Dongson?

Banyak teori yang sudah kadaluarsa, banyak teori yang dibangun dengan
data kosong, banyak teori yang didasarkan pada data yang tidak relevan (tidak
terkait) dan banyak teori yang sangat minim data serta banyak teori yang tidak
bisa diaplikasikan di tempat lain. Teori tidak bersifat abadi, teori dapat
diperbaharui. Demikian seterusnya. Namun tetap ada teori yang abadi dan cenderung
bersifat eksak. Intinya bahwa teori-teori itu banyak yang berasal dari era
tempo doeloe (belum secanggih sekarang) yang tidak lagi andal pada masa ini.
Anehnya teori beda era itu masih banyak yang menerapkannya pada masa ini.
Padahal tidak ada logisnya

Dalam teori-teori kebudayaan (sosial) para
arkeolog, geolog, antroplog dan ahli linguistik bekerja keras lalu menyimpulkan
hipotesisnya berdasarkan data yang ditemukan. Contoh, dengan mengumpulkan data
geologi para peneliti menyimpulkan bahwa pada zaman dulu Sumatra, Jawa dan
Kalimantan menyatu dengan Asia. Oleh karena itu flora dan fauna serta
hasil-hasil kebudayaan zaman kuno bergerak dari China Selatan (Indochina ke
pulau-pulua Indonesia yang sekarang. Pernah menyatu atau tidak adalah satu hal
dan memiliki kesamanan antar wilayah yang berbeda (pulau) adalah hal lain lagi.
Lalu bagaimana menarik relasinya? Oleh karena pernah menyatu maka persamaan itu
sebagai konsekuensi (hasil). Mengapa tidak berpikir juga sebaliknya, tanpa pernah
bersatu, yang mana persebaran dapat terjadi tanpa adanya penyatuan daratan tetapi
dengan dibawa atau direlokasi dengan menggunakan alat transportasi. Pada
artikel sebelum ini, para ahli menyebut gambut Indonesia berusia 6.000-4.000
tahun yang lalu. Faktanya banyak wilayah gambut yang sekarang, terutama dekat
pantai terbentuk baru belakangan (tidak lebih dari 2.000 tahun). Dalam hal ini,
mengukur (data) adalah satu hal, menganalisis untuk menemukan relasi adalah hal
lainnya. Bagaimana mengukur (data) benar apa tidak sangat menentukan hasil
analisis untuk melihat relasi. Analisis relasi adalah level tertinggi dari
suatu analisis. Dalam hal ini tidak hanya tergantung pada data (valid dan
reliabel) juga alat (metodologi) analisis (teori atau nalar) apakah sesuai atau
tidak. Selanjutnya hasil analisis tentu saja belum selesai (final), masih ada
satu tingkat lagi yakni soal interpretasi (bersifat general atau hanya sekadar
kasuistik). Dalam artikel sebelum ini tentang peta Taprobana ratusan tahun
hanya dibiuktikan bahwa itu peta pulau Ceylon atau pulau Sumatra. Tapi
berdasarkan data (peta) dengan metode analisis yang sesuai, menyimpulkan peta
Taprobana adalah pulau Kalimantan. Juga pada artikel lain, teori Batak-Toraja
yang menghubungkan kebudayaan Dongson tidak relevan, bukti yang ada adalah
bahwa Batak dan Toraja memiliki relasi langsung (head to head).

Bagaimana
menghubungkan kebudayaan Dongson dengan kebudayaan awal di pulau-pulau di
Indonesia (Hindia Timur). Nah, itu tadi. Disebutkan bahwa kebudayaan zaman batu
dan zaman perunggu menyebar dari Indochina karena kesamaan. Dalam hal itu (kebudayaa)
zaman perunggu Dongson disebut menyebar ke pulau-pulau Indonesia bertarih 1.000
SM hingga 1 M). Lalu bagaimana kebudayaan batu di Jawa Tengah (homopsapiens)
dan kebudayaan batu di Jawa Barat (situs gunung Padang). Lalu apakah zaman batu
di Vietnam lebih awal baru kemudian di Jawa? Lalu bagaimana relasi zaman batu
di Jawa dengan zaman batu di Australia? Seperti halnya dari Vietnam ke Jawa, apakah
juga dari Jawa menyebar ke Australia.

Soal nalar, data dan teori sudah berkembang di
Eropa atau Timur Tengah pada zaman kuno. Misalnya di Mesir, piramida dibangun
4.500 tahun yang lalu. Dalam hal ini membangun piramida apakah menggunakan
teknologi batu? Juga disebutkan pada pengawetan yang terdapat pada piramida
telah menggunakan kamperr. Fakta historisnya adalah kamper hanya ditemukan di
Sumatra bagian utara. Lalu apakah kita berpikir penduduk Sumatrra yang
memproduksi kamper menggunakan alat-alat dari batu? Juga soal emas pada era
zaman Solomon (Nabi Sulaiman) yang disebut dalam kitab suci Taurat dan Injil
mengenai Ophir sebagai penghasil emas. Orang Eropa lebih percaya bahwa Ophir
itu berada di Sumatra. Sementara dalam teori kebudayaan Dongson disebut penyebaran
kebudayaan Dongson di Indonesia melalui bangsa Deutro Melayu (Melayu Muda) yang
menyebar ke wilayah Indonesia dalam kurun waktu 500 SM hingga 300 SM yang mana
jalur yang ditempuh mulai dari teluk Tonkin menyusuri daratan Semenanjung lalu
menyebrang selat ke Sumatera dan ada yang meneruskan ke Jawa maupun ke berbagai
daerah di Indonesia.. Sedangkan yang lebih awal adalah Proto Melayu (Melayu
Tua) yang sekarang adalah suku bangsa Batak, Toraja, Nias, Mentawai dan Dayak.
Lalu apakah kita tetap berpikir bahwa semuanya bermula dari Indochina dan
kebudayaan Dongson. Dalam hal ini kita tidak perlu lagi mempertanyakan sejak
kapan penduduk ada di Sumatra dan Jawa, sementarra diseimpulkan kebudayaan
(perunggu) di Sumatra dan Jawa datang dari Indochina (Dongson).

Fakta
bahwa penduduk asli (primitif) di Hindia Timur seperti di Sumatra dan Jawa
adalah ras negroid yang sudah mengembangkan teknologi batu dan besar dugaan penduduk
yang mendukung kebudayaan zaman batu di Jawa (situs gunug Padang). Penduduk
asli di Jawa yang lebih awal (homosapien) juga sudah mengembangkan teknologi
batu. Lalu bagaimana dengan teknologi zaman batu Dongson menyebar ke Jawa dan
teknologi zaman perunggi Dongson menyebar ke Jawa, Faktanya teknologi batu
sudah diterapkan di Jawa dan teknologi yang lebih canggih sudah berkembang di
zaman Mesin kuno (sudah mengenal produk kamper dan emas). Apakah tidak terpikirkan
sebaliknya tentang teori (kebudayaan) Dongson? Kapan dan dimana Dongson?

Dongson adalah suatu wilayah di Vietnam utara
yang letaknya berada dekat laut (kawasan pantai) di daerah aliran sungai Merah.
Di kawasan inilah disebut kebudayaan Dongson berkembang (hingga meluber ke
Indonesia).
Kebudayaan Dongson dinyatakan sebagai hasil
karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam, yang
berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 SM. Kebudayaan ini sendiri merujuk
pada nama situs Dongson di Tanah Hoa. Seperti disebut di atas, kebudayaan (perunggu)
Dongson sebagai pusat kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Di kawasan Dongson ini
ditemukan segala macam alat-alat perunggu, alat-alat dari besi serta kuburan
dari masa itu yang merupakan situs penyelidikan yang pertama, yang mana disebut
kebudayaan Dongson ini berlangsung 1.500-500 SM di kawasan sungai Ma (Vietnam).

Lokasi
Dongson sebagai pusat kebudayaan kuno tampaknya tidak valid. Mengapa? Dongson
di Tanah (Thanh) Hoa di daerah aliran sungai Ma berada di kawasan sekitar muara
sungai yang relatif datar. Kawasan Dongson ini jelas kawasan yang relatif muda.
Tanah yang ada diduga kuat sedimentasi yang menjadi daratan di muara sungai Ma.
Itu sama dengan mangatakan kawasan itu setua tanah kota Jakarta, Semarang dan
Surabaya. Bagaimana kita bisa mengatan pusat kebudayaan Jawa bermula di
Jakarta, Semarang atay Surabaya. Bahwa ditemukan artefak-artefak kuno di
Jakarta, Semarang dan Surabaya bisa jadi tetapi bukan berarti otomatis menjadi
pusat kebudayaan awal. Masih lebih mungkin pusat kebndayaan tua misalnya berada
di Cibarusa. Bisa jadi artifek itu dibawa atau jatuh di eks perairan. Data
lokasi dalam hal ini meragukan, karena kawasan yang lebih tua di pantai timur
Indochina berada di Kattigara (Kamboja), Annam dan Hue (Vietnam).

Dalam catatan geografi Ptolomeus pada abad ke-2
terdapat Kattigara. Besar dugaan Kattigara ini adalah kota atau tempat
terpenting di kawasan Indochina yang sekarang. Dongsong sebagai pusat
kebudayaan kuno, tentulah sudah eksis jauh lebih tua dan lebih penting dari
Kattigara. Masih pada abad ke-2 menurut catatan Tiongkok kota (kerajaan) yang
lebih awal berada di Yeh-shin (kota Hue yang sekarang). Lalu pada abad ke-3
diketahui tempat (kerajaan) yang kemudian dikenal sebagai Annam. Lalu bagaimana
dengan do Dongson di Tanah Ma muara sungai Merah? Pada abad ke-2 bahkan abad
ke-3 tentulah belum terbentuk sebagai daratan. Catatan: Kattigara sendiri pada
era Ptolomeus (masih) berada di pantai di muara sungai Mekong (sekarang
terkesan di pedalaman).

Okelah
bahwa artefak ditemukan di Dongson ataupun di sekitarnya. Namun yang
dipertanyakan dan yang lebih penting, bukan karena ada kemiripan lalu menyebar
dari sana, tetapi bagaimana penyebaran itu sampai di pulau-pulau Hindia Timur?
Hal itu berbeda dengan kemiripan bahasa dan aksara yang ditemukan di pulau-pulau
Hindia Timur yang memang dapat dibuktikan. Lalu idem dito dengan soal keramik
atau gerabah yang oleh para arkeolog yang menjadikannya hanya sebagai ukuran
tarih tentang penemuan di suatu tempat di Hindia Timur. Okelah itu masih masuk
akal, tetapi bagaimana keramik itu sampai disitu. Apakah dibawa ke tempat itu
pada era yang sama dengan pembuatan keramik atau keramik itu ada yang membawanya
d ari satu tempat pada era yang berbeda.

Candi di satu sisi dan artefak atau prasasti
di sisi lain haruslan dipandang berbeda. Candi tidak bisa dipindahkan, tetapi
teknologinya bisa ditransfer. Seementara prasasti apalagi artefak sangat
gampang dipindahkan, Soal candi tidak perlu dipertanyakan dimana berada, tetapi
untuk prasasti dan artefak harus diklarifikasi dengan bukti atau teori. Hal ini
juga dapat dipertanyakan pada semua prasasti di Hindia Timur. Misalnya apakah
prasasti Muara Kaman benar-benar dibuat di situ atau direlokasi? Bisa iya bisa
tidak. Jika tidak apa hubungannya dengan prasasti-prasasti di Jawa bagian barat
(apakah ada hubungan satu sama lain dan bagaimana arah relasinya. Jadi dalam
hal ini bukti (fakta) adalah suatu hal tetapi yang lebih penting penjelasannya.
Prasasti Mauara Kaman memang ditemukan adalah fakta, tetapi sejak kapan
prasasti itu ada disitu dan kemudian kapan prasasti itu dibuat? Hal-hal serupa
ini diperlukan bukti tambahan. Tidak cukup satu, dua juga masih kurang, tetapi
lebih banyak lebih baik. Ini juga berlaku untup produk kuno kamper bahwa
ditemukan di Eropa, tetapi bagaimana produk itu sampai di Eropa. Sebab faktanya
produk kamper ditemukan di Eropa dan kamper sendiri hanya diproduksi di Sumatra
bagian utara. Jadi harus bisa lebih dijelaskan.

Lantas
apakah bisa disimpulkan dengan buru-buru jika ditemukan artefak yang mirip di
Dongson dengan di tempat lain lalu disimpulkan (kebudayaan) menyebar dari sana.
Tentu saja akan lebih mudah dijelaskan untuk virus Covid-19 yang sekarang
dimana bermula lalu menyebar kemana. Nah, seperti yang dikutip di atas, bahwa
ada marga yang sama di Batak dan di Toraja lalu dihubungkan keduanya dengan
Dongson. Itu jelas sangat naif. Bahwa ada marga Aritonan dan Tongkonan di
Toraja dan ada Aritonang dan rumah bolon di Batak lalu disimpulkan sama-sama
berasal dari kebudayaan Dongson.

Dalam kasus relasi Batak-Toraja yang
dipertanyakan dalam hal ini mengapa harus dihubungkan dengan Dongson (sebagai
penghubung). Apakah tidak ada kemungkinan lain bahwa ada hubungan langsung
antara Batak dan Toraja (atau sebaliknya). Lagi-lagi itu juga perlu pembuktian.
Lalu apakah hal yang sama juga berlaku bahwa ada kosa kata elementer yang sama
antara Batak dan Minahasa lalu duhububgkan dengan Dongson pula. Kosa kata
elementer itu antara lain ina, inang, ama, amang, empung, ompung dan
sebagainya. Bukankah yang lebih bisa dijelaskan bahwa ada hubungan budaya
langsung dari Batak ke Toraja dan ke Minahasa (tidak arah sebaliknya). Lalu di
Tanah Batak sendiri arahnya budaya itu sendiri dari selatan (Angkola
Mandailing) ke utara (Simalungun Toba). Jadi dalam hal ini pula bukan dari
utara ke Sulawesi tetapi dari selatan ke Sulawesi. Bagaimana itu dapat dijelaskan?
Sudah dibahasa pada artikel-artikel sebelum ini. Yang jelas dalam ‘teori’
pembaca yang dikutip diatas ada berdasarkan bukti yang ada terdapat dua hal
yang dilanggar yakni mengabaikan telasi langsung antara Batak dan Toraja dan
juga mengabaikan relasi selatan vs utara dengan Toraja.

Soal
kebudayaan Dongson zaman kuno (prasejarah) juga kerap diasosiasikan dengan soal
pembentukan (asal) bahasa (Melayu). Bahwa pada masa ini pengguna bahasa Melayu
di Semenanjung dan Kepulauan Riau, lalu dihubungkan hal itu bermula di sekitar
Laut China Selatan (termasuk kawasan Dongson tadi). Dalam hal ini, sekali lagi,
pembentukan (asal) bahasa adalah satu hal dan penggunaan bahasa adalah hal lain
lagi. Itu ibarat bahasa Betawi mirip bahasa Melayu lalu disimpulkan bahasa
Melayu lahir di wilayah Betawi. Benar bahwa di Semenanjung dan Riau digiunakan
bahasa Melayu (fakta) tetapi apakah bahasa itu bermula disitu adalah hal lain
yang perlu pembuktian. Ini sangat berbeda dengan teori bahasa Jawa di pedalaman
Jawa. Bahasa Jawa digunakan di pedalaman Jawa adalah fakta lalu apakah bahasa
Jawa bermula di Jawa lebih mudah dijelaskan. Lalu mengapa tidak terpikirkan
bahwa itu bisa saja lagir di Betawi, di Aceh, di Pontianak, di Manado, di Ambon
dan bahkan di Madagaskar, Tentu saja tidak ada salahnya ada yang berpikir bahwa
dimungkinkan di Tanah Batak atau di Tanah Jawa. Di Depok semua orang berbahasa
Indonesia itu suatu fakta, tetapi apakah orang Depok (di zaman dulu) awalnya berbahsa
Indonesia itu hal lain lagi. Sekali lagi yang lebih penting adalah bagaimana
menjelaskannya dengan bukti-bukti untuk mendukung teori yang mana yang lebih
valid. Sebab bahasa bisa dipindahkan atau bertransformasi.

Hal yang mirip dengan kasus-kasus di atas,
soal bahasa Batak dan bahasa Minangkabau. Pada dasarnya di dua wilayah sudah
terbentuk bahasa-bahasa asli. Lalu dalam perkembangannya pada era zaman kuno
penduduk menjadi bilingual (bahasa asli dan lingua franca bahasa Sanskerta).
Lalu kemudian ada faktor yang membedakan mengapa penduduk Batak bertahan
berbahasa Batak sedangkan penduduk Minangkabau mengadopsi bahasa baru (lingua
franca). Lalu apakah penduduk Batak sejak awal berbahasa Batak dapat
dijelaskan, lalu apakah penduduk Minangkabau pada awalnya memiliki bahasa asli
dapat dijelaskan. Bahkan penduduk Minangakabau pada awalnya dengan bahasa asli
memiliki aksara sendiri. Oleh karena itu diduga kuat bahwa di wilayah
Minangkabau kehilangan (punah) bahasa asli dan aksara asli; sementara di Tanah
Batak tidak ada yang hilang, bahasa dan aksara tetap leastri hingga in hari.
Analog dengan ini sesungguhnya dapat berlaku sama tentang kasus di Riau dan
Semenanjung. Lalu seperti apa bahasa asli penduduk Minangkabau? Telusurilah
pada (akar) bahasa itu sendiri.

Tunggu
deskripsi lengkapny
a

Kebudayaan Jawa dan Batak:
Homosapiens hingga Era DNA

Tunggu
deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top