Sejarah

Sejarah Padang Lawas (13):Kilas Balik Soal Prasasti-Prasasti Sejak Abad ke-7; Minanga, Sriwijaya, Panai dan San-fo-ts’i hingga Aru


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Lawas dalam blog ini Klik Disini

Setiap wilayah memiliki sejarah masing-masing termasuk sejarah wilayah
Padang Lawas. Pada masa ini di wilayah Padang Lawas ditemukan banyak candi.
Sebagian sudah dipugar dan sebagian yang lain masih berupa reruntuhan yang
tidak pernah dipikirkan. Sementara di wilayah lain hanya secuil sisa
kepurbakalan begitu banyak perhatian, sebaliknya di wilayah Padang Lawas begitu
banyak candi yang terlantar. Mengapa? Apakah karena sejarahnya kurang
terinformasikan? Candi adalah satu hal, prasasti adalah hal lain, dan catatan
dari Tiongkok dan Eropa adalah hal lain lagi.

Nama
Padang Lawas sudah dikenal sejak lama. Sejak era Republik Indonesia, afdeeling
Padang Sidempoean di Zuid Tapanoeli pada era Pemerintah Hindia Belanda dijadikan
sebagai kabupaten dengan nama Kabupaten Tapanuli Selatandi Provinsi Sumatera
Utara. Setelah sebelumnya pada tahun 1998 dimekarkan dengan membentuk Kabupaten
Mandailing Natal, lalu pada 2007 Kabupaten Tapanuli Selatan dimekarkan kembali dengan
membentuk Kabupaten Padang Lawas dengan ibu kota di Sibuhuan dan Kabupaten
Padang Lawas utara dengan ibu kota di Gunung Tua. Situs arkeologi Padang Lawas di
dua kabupaten ini sangat banyak yang umumnya berupa percandian. meliputi
Kecamatan Barumun, Kecamatan Barumun Tengah, dan Kecamatan Sosopan, Kecamatan
Batang Onang, Kecamatan Padang Bolak, Kecamatan Padang Bolak Tenggara dan Kecamatan
Portibi. Candi-candi tersebut berada di hulu daerah aliran sungai Barumun
(sungai Batang Pane, sungai Aek Sirumambe dan sungai Sangkilon).

Lantas bagaimana sejarah kilas balik prasasti-prasasti
sejak abad ke-7? Seperti disebut di atas wilayah Padang Lawas di Tapanuli
Bagian Selatan terdapat banyak peninggalan kepurbakalaan seperti candi. Suatu
peninggalan yang dapat dijelaskan dari prasasti-prasasti yang berasal dari abad
ke-7 yang dihubungkan dengan nama-nama Minanga, Sriwijaya, Panai, San-fo-ts’i,
Aru hingga Padang Bolak. Lalu bagaimana sejarah kilas balik prasasti-prasasti sejak
abad ke-7? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan.
Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita
telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.

Kilas Balik Prasasti-Prasasti Sejak Abad ke-7;
Minanga, Sriwijaya, Panai, San-fo-ts’i, Aru hingga Padang Bolak 

Prasasti-prasasti di nusantara dalam
konteks sejarah masa lampau janganlah sepenuhnya dianggap sebagai
prosa atau kumpulan puisi,
tetapi
harus dianggap sebaga buku pelajaran, buku yang semakin sering dibaca
tidak hanya menjadi hafal tetapi semakin memahami makna isinya.
Tingkat pemahaman itu
semakin meningkat karena
semakin banyak sumber lain yang kita pelajari yang dapat dihubungkan dengan isi teks prasasti. Dalam
hal ini m
embaca
ulang
buku pelajaran’ tentulah hasilnya tidak akan sia-sia, sebab dengan membaca ulang teks prasasti akan semakin dipahami
relasi satu dengan yang lainnya: tidak hanya
prasasti-prasasti di Sumatra juga di wilayah
lainnya. Di Sumatra
sendiri
ditemukan
banyak prasasti, tetapi ada enam prasasti yang berasal dari abad ke-7.


Pada bab-bab sebelumnya telah dibaca ulang prasasti-prasasti di (pantai timur)
Sumatra yang beratarih abad ke-7 (Kedoekan Boekit, Karang Brahi, Talang Tuwo
, Telaga Batu dan Kota Kapoer dan Pasemah). Prasasti-prasasti tersebut yang berada di pantai
timur Sumatra tidak jauh dari wilayah Padang Lawas. Untuk pembanding juga telah
dibaca ulang sejumlah prasasti lainnya yang berasal dari era selanjutnya. Pada
prasasti Laguna (898) yang ditemukan di teluk Manila (Filipina) juga diduga
terkait dengan wilayah Padang Lawas. Mengapa? Pembanding lainnya adalah
prasasti yang berasal dari abad ke-11 yakni membaca
ulang prasasti Tanjore yang ditemukan di India yang bertarih tahun 1030 M. Sejumlah arkeolog dan peneliti sejarah kepurbakalaan sejak era Hindia Belanda telah
mendiskusikan nama-nama tempat yang
terdapat dalam prasasti-prasasti tersebut, dimana nama-nama tempat yang disebut berada di Nusantara (Sumatra/selat Malaka). Hasil-hasil diskusi yang
telah dilakukan tersebut ada yang sudah tidak terbantahkan lagi, tetapi masih
ada yang dianggap masih meragukan (debatable) serta tentu saja ada beberapa
pendapat yang bersifat kontroversi dan bahkan pendapat yang tidak masuk akal.
Dalam konteks inilah akan dedeskripsikan hasil apa yang diperoleh setelah
membaca ulang isi teks prasasti-prasasti tersebut.

Kedudukan prasasti-prasasti yang berasal dari abad
ke-7 di pantai timur Sumatra sangat strategis karena menginformasikan banyak
hal. Secara khusus prasasti Kedoekan Boekit (682) tidak hanya menyebut
nama-nama tempat, juga aksara dan bahasa-bahasa yang digunakan dalam teks
prasasti. Nama-nama tempat yang disebut mengindikasikan nama asal dan nama tujuan.
Nama-nama tempat asal diduga berada di wilayah Padang Lawas.


Nama tempat yang disebut di dalam prasasti Kedoekan Boekit ada tiga: Prof
Ronkel membacanya: Samwwo, Minanga dan Mataya, sementara Coedes membacanya:
Samvau, Minana dan Mata Jap (lihar Criwijaya: 1250 Jaren Geleden Gesticht door
JWJ Wellan, 1934). Pembacaan Coedes inilah yang sering kutip dalam narasi
sejarah masa kini termasuk yang disalin di Wikipedia. Yang pertama membaca
prasasti Kedoekan Boekit adalah Dr Brandes, lalu kemudian oleh Dr G Coedes dan
Prof Ronkel. Nama asal dalam teks prasasti Kedoekan Boekit adalah dalam konteks
perjalanan/pelayaran yang bermula di Samwwo dan Minanga lalu berakhir di
Matayap.. 

Dimana itu Samwwo dan Minanga dalam prasasti
Kedoekan Boekit? Besar dugaan berada di wilayah Padang Lawas. Nama Minanga
diduga kini adalah nama kota Binanga dimana sungai Pane dan sungai Sangkilon
bertemu. Dalam teks nama Minanga ditambahkan dengan kata ‘tamvan’ oleh
pembacaan Coedes (sementara Prof Ronkel membacanya sebagai ‘hamwar’). Nama
Samwwo diduga adalah nama tempat yang dihubungkan dengan nama tempat Mandalasena
di wilayah Padang Lawas dimana terdapat nama-nama kampong Mandalasena,
Pargumbangan,
Banua, Tapus, Tolang,
Batarawisnu dan lainnya yang dianggap nama-nama kampong tua.


Nama Pargumbangan diduga terkait dengan nama Samwwo. Bagaimana bisa? Dalam
bahasa Angkola ‘p
argumbangan’ adalah gerbang desa yang terdiri dua tiang; Boleh jadi itu di masa lampau ‘pargumbangan’
berasal dari ‘parsumbayangan’, persembahyangan’. Kata sumbayang dalam bahasa
Angkola diartikan sebagai sembahyang (dalam hal ini sholat). Oleh karena pargumbangan
juga diartikan sebagai dua tiang pintu gerbang, dapat ditafsirkan sebagai pintu
persembahyangan. Dalam prasasti Kedoekan Boekit disebut raja mangalap ‘tondi/jiwa’
di Samwwo. Apakah ‘samwwo’ dalam hal ini adalah tempat persembahyangan? Pada
saat ini penduduk pendukung (kerajaan) Sriwijaya adalah Boedha, berarti samwwo
dikaitkan dengan persembahyangan orang Budha. Dalam bahasa orang Tiongkok pada
masa itu sambao (samwwo) adalah sampau/sampo yang dihubungkan dengan nama klenteng
seperti Sam Poo Kong di Semarang (klenteng Sam Poo; klenteng Sam Poo, Sambo,
Somba, Sembah/yang). Sementara nama-nama lainnya seperti banua dapat
dihubungkan dengan vanua dalam prasasti Kedoekan Boekit (benteng). Prof Ronkel
menerjemahkan vanua, bukan kerajaan tetapi benteng. Lalu nama Tolang yang dapat
dihubungkan kemudian dengan nama Tolang Bawang. Sedangkan Mandalasena (dua
kilometer dari Pargumbangan) dan Batarawisnu tentu saja dapat dihubungkan
dengan nama-nama tempo doeloe (Mandala, Sena, Batara, Wusnu). Secara umum di
wilayah Mandalasena, yang merupakan hulu dari sungai Batang Pane berjarak
sekitar 30 Km ke Portibi, pada masa ini ditemukan
banyak benda-benda bersejarah
yang berciri Hindu
dan
juga pernah ditemukan p
ekuburan berukuran 7 x 9 M, yang pada posisi bagian depan ada gambar/patung manusia menghadap
ke barat, dan patung
singa
disetiap sudut.
Pernah
dilaporkan temuan, selain p
atung manusia dan singa, juga patung berbentuk gajah, anjing dan lainnya. Lalu apakah nama tempat Samwwo dalam prasasti
Kedokan Boekit dapat dismpulkan sebagai tempat persembahan Boedha pada masa
itu?

Nama Minanga dalam prasasti
Kedoekan Boekit diduga adalah nama Binanga di Padang Lawas. Lalu bagaimana
dengan nama Samwwo/Samvau? Besar dugaan nama Samwwo adalah Somba, tempat
parsombaan/persembahan dimana di wilayah Mandalasena. Di wilayah Mandalasena di
Padang Lawas juga terdapat nama kampong Somba Debata (bahasa Angkola artinya
sembah tuhan). Apakah makna somba/sembah sebagai nama tempat Samwwo/Samvau
dalam prasasti Kedoekan Boekit?


Dalam prasasti Kedoekan Boekit disebut ‘svasti śrī śakavaŕşātīta 605
ekādaśī śuklapakşa vulan vaiśākha ḍapunta hiyaṁ nāyik di sāmvau maṅalap
siddhayātra’ diartikan sebagai: ‘Selamat! Tahun Śaka telah lewat 605, pada hari
ke sebelas paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik di sampan mengambil
siddhayātra’. Prof Ronkel menerjemahkan sebagai: ‘’mendaki Sambo untuk
memperoleh kekuatan sihir’, sementara Coedes menerjemahkan sebagai: ‘naik perahu
untuk mengambil kekuatan magis’. Lalu beberapa waktu kemudian (setelah dari Samwwo/Samvau),
kalimat berikutnya oleh Ronkel sebagai ‘membuat dirinya bebas dari Minanga’
sementara Coedes sebagai: ‘raja membebaskan dirinya dari….’. Dalam hal ini Ronkel
menerjemahkan minanga sebagai nama tempat sedangkan Coedes tidak. Demikian juga
nama Samwwa oleh Ronkel sebagai nama tempat sedangkan Coedes sebagai perahu.
Sementara dalam narasi sekarang sebagai berikut: Dapunta Hyang marlapas dari (nama
tempat) Miṉāṅgā’. Dalam hal ini kedua kalimat ’mendaki Sambo untuk memperoleh kekuatan
sihir’ dan ‘membuat dirinya bebas dari Minanga’ dapat diterjemahkan menjadi: ’Raja
mendaki Sambo untuk memperoleh kekuatan sihir’ dan (beberapa waktu kemudian) ‘Raja
berlayar dari Minanga’. Terjemahan ini menjadi masuk akal karena Raja sebelum
berangkat/berlayar dari Minanga terlebih dahulu mendaki ke tempat yang disebut Samwwo/Samvau
(Somba) untuk memperoleh kekuatan sihir (tondi). Kekuatan sihir/roh ini dalam
bahasa Angkola disebut ‘tondi’. Nama-nama geografis tersebut semakin kuat karenan
nama-nama tempat yang disebut dalam prasasti Kedoekan Boekit bersesuai (mirip)
dengan nama-nama tempat di Padang Lawas. Kampong Somba Debata di Mandalasena adalah
pegunungan, wilayah yang tinggi dari Minanga berjarak sekitar 40 Km mengikuti
sungai Batang Pane. Bahasa yang digunakan dalam teks prasasti Kedoekan Boekit
menindikasikan bahasa Batak.

Lantas dimana nama tempat Matayap? Prof Ronkel bebeda
pendapat yang membacanya sebagai berikut: ‘dataïïg di mataya(?) yang
diterjemahkan sebagai ‘datang ke Mataya’. Mataya dalam hal ini oleh Prof Ronkel
sebagai nama tempat. Sementara Coedes membacanya sebagai ‘tiba di hadapan
(raja?) bersama-sama’.


Dengan mengacu kepada Prof Ronkel bahwa mataya adalah nama tempat Mataya,
lalu dimana Mataya berada? Jelas bukan di wilayah Padang Lawas (Sumatra bagian
utara) lagi. Besar dugaan di wilayah Sumatra bagian selatan (Palembang) dimana
prasasti ditemukan. Nama-nama tempat lainnya yang disebut dalam prasasti-prasasti berasal dari abad ke-7 terdapat dalam prasasti Kota Kapoer
(pantai barat pulau Bangka). Prasasti Kota Kapoer disebut bertarih 686 (empat
tahun setelah prasasti Kedoekan Boekit, 682). Tempat ditemukan prasasti
Kedoekan Boekit (Palembang) tidak terlalu jauh dari tempat prasasti Kota Kapoer
(pulau Bangka). Oleh karena waktunya relatif dekat dan jarak geografisnya
berdekatan, kedua prasasti ini berkaitan. Nama Mataya tidak pernah dibahas pada
diskusi sejaman, kecuali hanya Prof Ronkel mengartikannya sebagai suatu nama
tempat. Tidak dibahasnya nama itu boleh jadi karena tempat ditemukannya
prasasti di Palembang sudah cukup, atau diasumsikan nama Mataya ini berada di wilayah
Palembang.

Keberadaan prasasti Kota Kapoer (686) semakin
memperjelas kedudukan posisi prasasti Kedoekan Boekit. Kedua prasasti waktunya relatif
dekat dan jarak geografisnya juga berdekatan. Dalam teks prasasti Kota Kapoer
ini tidak hanya mempertegas nama tempat tujuan di wilayah Sumatra bagian
selatan, juga terdapat indikasi tentang nama tempat lain yang menjadi tujuan
selanjutnya yakni Jawa. Di dalam prasasti Kota Kapoer disebut ‘Tahun Śaka 608,
hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Februari 686), pada saat itulah kutukan
ini diucapkan; pemahatannya berlangsung
ketika bala
tentara Śrīwijaya baru berangkat untuk menyerang bhūmi jāwa yang tidak
takluk kepada Śrīwijaya’.


Orang pertama yang menganalisis prasasti Kota Kapoer adalah Prof Kern, ahli
epigrafi Belanda yang juga anggota Bataviaasch Genootschap di Batavia. Pada
mulanya Prof Kern menganggap “Śrīwijaya” adalah nama seorang raja.
George Coédes menyebut bahwa Śrīwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera
pada abad ke-7, suatu kerajaan yang kuat. Prof Kern melakukan analisi pada teks
Negarakertagama yang diterbitkan tahun 1919. Prasasti Kota Kapoer ditemukan pada
tahun tahun 1892 yang dilaporkan oleh JK van der Meulen; sementara prasasti
Kedoekan Boekit ditemukan pada tahun 1920 oleh Louis Constant Westenenk (yang
juga menemukan pada tahun ini prasasti Talang Tuwo di Palembang). Prasasti
Talang Tuwo disebut bertarih tahun 684 dimana di dalam prasasti, seperti pada
prasasti Kedoekan Boekit, juga disebut nama Sriwijaya.
Yang membaca pertama prasasti Talang Tuwo ini adalah
Prof Ronkel dan FDK Bosch,

Nama tempat Jawa yang disebut dalam prasasti Kota
Kapoer tentu menjadi menarik dalam hubungannya dengan nama tempat Minanga dan
Samwwa/Samvau. Dalam prasasti Kedoekan Boekit disebut Raja berangkat/berlayar
dari Minanga, sementara dalam prasasti Kota Kapoer disebut ‘bala tentara
Śrīwijaya baru berangkat untuk menyerang bhūmi jāwa’. Jarak antara
Palembang/Bangka dengan Jawa cukup jauh, yang dapat dilalui melalui Laut Jawa
atau menyusuri pantai timur Sumatra hingga ke Selat Sunda dan seterusnya ke pantai
utara Jawa. Jarak geografis ke Jaw aini kurang lebih sama dengan jarak
geografis dari Palembang/Bangka ke Minanga di Padang Lawas (Sumatra bagian
utara). Dalam prasti Kedoekan Boekit juga disebut Sebagian berlayar dan Sebagian
yang lain jalan darat.


Di luar prasasti Kedoekan Boekit dan prasasti Talang Tuwo, empat prasasti
di Sumatra bagian selatan yang berasal dari abad ke-7 yakni prasasti Karang
Brahi (Merangin/Jambi di hulu sungai Batang Hari); prasasti Telaga Batu
(Palembang di muara sungai Musi); prasasti Kota Kapoer di pulau Bangka; dan
prasasti Pasemah di Lampung/pulau Raja Basa) mengindikasikan isi teks yang
kurang lebih sama, yakni penaklukan, maklumat hukum dan kutukan bagi yang
melanggar (yang memberontak di pedalaman termasuk yang merusak batu
maklumat/prasasti) dan akan dikirim ekspedisi di bawah pimpinan datu (yang telah
diangkat). Yang dihukum tidak hanya individu yang turut memberontak tetapi juga
keluarga dan marganya. Prasasti Kota Kapur dan prasasti Kota Kapur cukup
lengkap, tetapi teks prasasti Pasemah lebih ringkas (atau yang lainnya tidak
terbaca/rusak?). Prasasti Pasemah (ditemukan tahun 1956) dan prasasti Telaga
Batu (ditemukan tahun 1935) tidak terinformasikan secara lengkap hanya berupa narasi
yang tersedia yang menafsirkan adanya hukuman/kutukan bagi yang melanggar. Nama
Sriwijaya hanya disebut dalam prasasti Kedoekan Boekit dan prasasti Kota Kapoer
serta prasasti Pasemah saja. Prasasti Karang Berahi ditemukan tahun 1904 oleh Controleur
LM Berkhout di daerah aliran sungai Batang Merangin di desa Karang Berahi (kini
masuk kecamatan Pamenang, kabupaten Merangin, Jambi).

Jalan darat dan jalan air/laut dari Padang Lawas (Samwwa/Minanga)
di Sumatra bagian utara dapat ditafsirkan bahwa dari Padang Lawas keduanya
dapat dilakukan. Lalu mengapa dengan jalan darat dan bagaimana mencapai Mataya
di Sumatra bagian selatan (Palembang)? Dalam hal ini dari Bangka ke Jawa diduga
kuat semuanya dilakukan lewat laut. Mengapa? Sebelum mencapai Jawa, pasukan Sriwijaya
terlebih dahulu singgah di Lampung (prasasti Pasemah).


Sumatra bagian selatan dalam konteks isi semua prasasti adalah dalam
konteks pendudukan, Sriwijaya (yang diduga berpusat di Padang Lawas) dari Samwwa/Minanga
(prasasti Kedoekan Boekit dan prasasti Talang Tuwo) melakukan perjalanan invasi
ke Sumatra bagian selatan yang mana dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di
Sumatra bagian selatan (Merangin/Jambi, Telaga Batu; Kota Kapoer/pulau Bangka;
dan Pasemah/Lampung) mengindikasikan hukuman/kutukan bagi yang melanggar.
Diantara prasasti-prasasti tersebut di dalam prasasti Karang Brahi dan prasasti
Kota Kapoer disebut kalimat penutup: ‘bala tentara Śrīwijaya baru berangkat
untuk menyerang bhūmi jāwa’. Apakah itu bermakna? Boleh jadi kedua prasasti ini
dibuat oleh orang/pemahat yang sama atau bisa jadi situasi dan kondisi berbeda di
wilayah lainnya ditemukan prasasti.

Penyataan dalam teks prasasti ‘bala tentara Śrīwijaya
baru berangkat untuk menyerang bhūmi jāwa’ mengindikasikan langkah invasi Sriwijaya
selanjutnya (setelah di Sumatra bagian selatan lalu ke Jawa). Dalam hal ini
sudah cukup jelas tentang apa yang terjadi di Sumatra bagian utara (Padang
Lawas) dan apa yang terjadi di Sumatra bagian selatan (Jambi, Palembang, Bangka
dan Lampung). Bagaimana dengan di Jawa? Apakah ada informasikan yang
menghubungkan Sriwijaya dengan situasi dan kondisi di Jawa?


Dalam prasasti Kedoekan Boekit (682) disebut raja bergelar Dapunta Hyang
berangkat/berlayar dari Minanga. Dalam prasasti Talang Tuwo (684) juga disebut nama
Dapunta Hyang dengan nama Sri Jayanaga.  Apakah
dalam hal ini Dapunta Hyang di Palembang kan menetap? Beberapa ahli menafsirkan
‘membuat wanua) dalam prasasti Kedoekan Boekir diartikan, bukan membuat
kerajaan, tetapi membuat benteng (wanua/banua). Lalu pada prasasti Talang Tuwo
mengindikasikan pembangunan taman bagi Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Oleh karena
itu, posisi raja berada di tengah (di Palembang/Sumatra bagian selatan)
diantara Sumatra bagian utara (Padang Lawas) dan Jawa. Pembuatan prasasti-prasasti
hukum/kutukan di Merangin, di Telaga Batu/Palembang, di Bangka dan di Pasemah
diduga kuat untuk lebib mempersuasi rakyat supaya jangan mencoba melakukan
gangguan terhadap ketenangan di benteng, sementara pasukan Sriwijaya berangkat
ke Jawa. Hubungan Sumatra dan Jawa ditemukan dalam prasasti Sojomerto yang
berasal dari abad ke-7/abad ke-8 di Batang (pantai utara Jawa). Dalam prasasti
ini disebut nama Dapunta Selendra. Apa perbedaan Dapunta Hyang Srijayanaga
dengan Dapunta Selendra? Dapunta Hyang diduga gelar yang lebih tingfi dibandingkan
gelar Dapunta saja. Nama raja di Jawa dalam hal ini adalah Selendra yang
dikaitkan dengan raja di Sumatra (Srijayanaga). Oleh karena itu misi Sriwijaya
di Sumatra yang dimulai dari Padang Lawas sudah mencapai Jawa. Sriwijaya di
Sumatra bagian selatan mengindikasikan penaklukan dan pendudukan sementara Sriwijaya
di Jawa kerja sama. Lalu bagaimana makna ‘bala tentara Śrīwijaya baru berangkat
untuk menyerang bhūmi jāwa’? Apakah setelah melakukan penyerangan ke Jawa (kerajaan/wilayah
tertentu di bagian barat), lalu membuat kerjasama di Jawa bagian tengah (Batang)?
Berdasarkan prasasti yang berasal dari abad ke-5 disebut sudah ada kerajaan di
Jawa bagian barat (Tarumanagara?) sebagaimana dalam prasasti Tugu di Jakarta. 

Tunggu deskripsi lengkapnya

Minanga, Sriwijaya, Panai dan San-fo-ts’i hingga Aru:
Membaca Ulang Sejarah Kepurbakalaan di Nusantara

Prasasti-prasasti berasal dari abad ke-7 bukanlah
informasi pertama tentang keberadaan wilayah Padang Lawas. Namun
prasasti-prasasti itu menjadi pendahulu yang penting dalam sejarah masa lalu Padang
Lawas. Prasasti-prasasti lainnya yang ditemukan di pantai timur Sumatra diduga
baru terinformasikan dari abad ke-11. Ada jarak waktu selama empat abad antara prasasti
abad ke-7 dengan prasasti berikutnya.


Dalam catatan geografis Ptolomeus yang berasal dari abad ke-2 diidentifikasi
nama Tacola di pantai barat (pulau) Sumatra bagian utara. Nama Tacola ini
diduga nama Angkola pada masa ini. Masih pada abad ke-2 dalam catatan Tiongkok
disebut ada utusan raja dari selatan menghadap Kaisar Tiongkok di Peking untuk
membukan pos perdagangan. Namun tidak teridentifikasi dari wilayah mana
kerajaan berada, tetapi karena disebut dari selatan secara umum mengindikasikan
dari nusantara (kepulauan). Apakah pos perdagangan itu berada di Viernam dimana
terdapat prasasti Vo Chan yang berasal dari abad ke-3; prasasti Dong Yen Chau,
di Đông Yen Châu, Vietnam (dulu Champa), akhir abad ke-4 dan prasasti Koetai abad
ke-4. Pada abad ke-5 dalam catatan Eropa disebut nama Baroes tempat kamper
diimpor. Pada abad ke-5 ini ditemukan prasasti Tugu di Jakarta. Bagaimana
hubungan informasi tersebut satu sama lain sulit dipahami. Prasasti-prasasti
yang berasal dari abad ke-7 seperti disebut di atas memiliki hubungan satu sama
lain. Prasasti yang dihubungkan dengan Sumatra baru muncul pada abad ke-9 dan
abad ke-11 yakni prasasti Laguna (898) dan prasasti Tanjore (1030). Dalam kedua
prasasti ini disebut nama Binanga dan Panai.
 

Selain informasi dari berbagai prasasti, keberadaan
kerajaan di Sumatra khususnya pantai timur Sumatra berasal dari sumber lain.
Catatan Tiongkok berdasarkan perjalanan I’tsing pada abad ke-7. I’tsing disebut
mengunjungi Sumatra pada tahun
671 (lihat A record of the Buddhist religion as
practised in India and the Malay Archipelago (671-695) ed. J Takakusu, Oxford
1896 dan Prof. P. Pelliot ‘Deux itinéraires de Chine en Inde a la fin du VHF
siècle’ di dalam Bulletin Ec. frang. d’ Extr-Or., IV, 1904). Itu terjadi
sebelum prasasti Kedoekan Boekit.


Sebelum era I’tsing disebut dalam catatan Tiongkok dinasti Leang
(502-556) nama-nama tempat pulau emas Kin-lin, Tu-k’un, Pien-tiu of Pan-tiu,
Kiu-li of Ktu-tchiu dan Pi-song. I’tsing disebut menyebut Kin-lin sebagai Kin-tchiu
(lihat JWJ Wellan, 1934). Sebagaimana diketahui selama ini di nusantara
ditemukan prasasti Dong Yen Chau berasal akhir abad ke-4 berbahasa Champa Kuno
yang ditulis dalam aksara Brahmi Selatan Kuno barat laut dari Trà Kiệu, tak
jauh dari ibu kota lama Kerajaan Champa di Indrapura, yang saat ini termasuk
wilayah negara Vietnam; berasal dari abad ke-5 yakni prasasti Yupa di Kutai, prasasti
menggunakan aksara Pallawa Pra-Nagari dan dalam bahasa Sanskerta; dan prasasti
Tugu di Jakarta.

I’tsing selain menyebut nama Kin-tchiu juga menyebut
nama Po-lu-sse dan nama Mo-lo-yu. Dimana tempat Moloyu diperdebatkan, tetapi Po-lu-sse
menurut Prof Kern sebagai Baros (I’tsing menyebut Po-lu-sse, yang terletak
paling barat, dan berlanjut ke pantai timur). Dalam konteks inilah nama Minanga
(dalam prasasti Kedoekan Boekit 682) diduga berkaitan (pelabuhan Baros di barat
Padang Lawas dan pelabuhan Minanga di timur Padang Lawas).


Pada bab sebelumnya nama Moloyu ini berada di wilayah Padang Lawas di
wilayah Tambusai yang mirip dengan nama gunung Malea (Maleya, Maloyu). I’tsing
menyebut dari tempatnya berangkat ke Moloyu sekitar 15 hari pelayaran. Tempat
berangkat disebutnya dari tempat yang disebut Che-li-fo-che. Besar dugaan nama
Che-li-fo-che ini adalah sungai Musi (Sung-ai-mu-si). Sumber Tiongkok menyebut
nama Fo-che-pu-lo. Nama ini semakin memperkuat nama Musi sebagai sungai dan Musi
sebagai pulau. Lalu bagaimana dengan nama-nama lain yang disebut I’tsing (yang
juga nama yang disebut dalam catatan Tiongkok dinasti Leang (502-556) seperti Tu-k’un,
Pien-tiu of Pan-tiu, Mo-chia-man dan Pi-song serta Kiu-li of Ktu-tchiu.

Nama-nama yang disebut I’tsing dalam perjalanannya
di seputar pulau Sumatra mengindikasikan nama-nama yang terdapat di wilayah Sumatra
bagian utara pada era dinasti Liang. I’tsing yang memulai pelayaran dari Che-li-fo-che
(Sumatra bagian selatan) berlayar 15 hari pelayaran dan bermukim di Moloyu
selama dua bulan. Lalu kemudian memutar ke pantai barat Sumatra di Po-lu-sse. Prof
Kern dengan pasti menyebut Po-lu-sse sebagai Baros. Seperti telah disebut di
atas lantas dimana Tu-k’un, Pien-tiu of Pan-tiu, Mo-chia-man dan Pi-song serta Kiu-li
of Ktu-tchiu berada?


Sebenarnya jika Prof Kern konsisten mengikuti nama-nama tempat di Sumatra
setelah menyebut nama Po-lu-sse adalah Baros maka akan ditemukan nama yang
sesuai dengan catatan I’tsing. Prof Kern, anehnya, menyebut nama Mo-chia-man
adalah Martaban. Nama Martaban pada saat ini terletak di bagian selatan
Myanmar. Mengapa Prof Kern tidak mengidentifikasi nama Mo-chia-man adalah nama Pasaman
yang terletak di tenggara Baros di pantai barat Sumatra. Dalam hal ini I’tsing
hanya menavigasi sepanjang pantai-pantai (pulau) Sumatra tanpa pernah
menyeberang ke daratan (Asia) di Myanmar.

Jika, dalam hal ini, Mo-chia-man adalah nama Pasaman,
seharusnya nama Tu-k’un adalah Tikoe, nama Pien-tiu of Pan-tiu adalah Panti dan
nama Pi-song adalah Sipisang/Hapesong. Dengan demikian, pulau Sumatra yang
disebutnya I’tsing sebagai pulau emas sangatlah masuk akal sebab antara Moloyu
di pantai timur dengan Panti di pedalaman serta Pasaman dan Tiku di pantai
barat Sumatra adalah sentra penambangan emas.


Lantas bagaimana dengan nama Kiu-li of Ktu-tchiu. Saya masih belum
menemukan nama yang sesuai dengan nama Kiu-li of Ktu-tchiu. Namun nama ini
diduga masih di sekitar Sumatra bagian utara. Bagaimana dengan nama Pi-song?
Besar dugaan nama Pi-song ini adalah nama Sipisang di dekat muara sungai Batang
Toru yang disebut Charles Miller pada tahun 1772 (atau juga nama Hapesong di
seberang Sipisang). Jika Po-lu-sse adalah Baros dan nama Pi-song adalah
Sipisang, maka nama Kiu-li of Ktu-tchiu diduga kuat adalah (Huta) Puli di Siabu
atau Huta Puli di wilayah Kotanopan di bagian tenggara pedalaman Sipisang.
Sebagaimana diketahui wilayah Sipisang yang sekarang adalah sentra produksi
emas hingga pada masa ini demikian juga dengan wilayah Huta Puli.

Dalam catatan Tiongkok terawal ada beberapa sentra
emas di (pulau) Sumatra, paling tidak di tiga wilayah: Wilayah Pi-Song
(Sipisang/Hapesong) muara daerah aliran sungai Batangtoru, Puli (daerah aliran
sungai Batang Angkola dan sungai Batang Gadis di pedalaman) dan daerah wilayah
Pasaman/Panti/Tiku. Nama Baros diduga kuat sebagai pelabuhan internasional
dimana emas, kamper, kemenyan dan gading di ekspor. Saat itu ketiga wilayah
memiliki peradaban dan bahasa yang sama (bahasa Batak?). Wilayah-wilayah di
Jawa diduga kuat saat itu tidak ada sekaya sentra-sentra emas di (pulau) Jawa.
Satu sumber komoditi ekspor Sumatra bagian utara saat itu adalah hasil-hasil
hutan terutama kamper dan kemenyan.


Hubungan antara Tiongkok dan kepulauan nusantara (Hindia) sudah sangat
tua (dalam hubungannya dengan Boedha), dan laporan Tiongkok tentang Kepulauan Hindia, tertua yang diberitahukan
oleh Sinolog Prancis Pelliot, menyebutkan sebuah kerajaan Howang-tche, yang
mungkin berarti Sumatera bagian utara.
Lalu kemudian dalam catatan Tiongkok (Heu han shu) pada tahun 132
menyebutkan seorang raja Ye-tiao (Yawa-dwipa/Jawa). Catatan Tiongkok tahun 414
memberikan peziarah Tiongkok Fa-Hien, yang meninggalkan Tiongkok pada tahun 399
untuk melakukan perjalanan ke tempat-tempat suci di Hindia Timur dan Ceylon
yang menyebut Jawa sebagai Ye-p’o-t’i. Pada tahun 414 ia kembali melalui laut,
tetapi kapalnya karam di dekat Jawa. Dia tinggal disana selama lima bulan dan
memberitahu kami bahwa dia tidak menemukan orang Tionghoa di Jawa, tapi dia
memberi laporan pertama tentang umat Hindu di Jawa. Laporan dari tahun 435
menceritakan tentang Dja-va-da. Nama pulau emas Suvannabhümi sudah disebut pada
tahun 450 (Milindapanha). Laporan Tiongkok tahun 515.menyebut nama Langga-Soe
atau Langga. Kronik Dinasti T’ang (618-906) menyebutkan bahwa Jawa berdagang
dengan Tiongkok dan mengirimkan utusan ke sana, dan menyebut negara itu Kaling,
mungkin karena umat Hindu Kalinga (India) yang tinggal disana memiliki kekuasaan.
Namun Kalinga disebut Djava di tempat lain. Catatan Tiongkok (HuenThsang,
625-649) menyebut nama Yen-mo-na (diduga Yawana atau Jowana?)/

Saat kehadiran I’tsing (671)
di Sumatra sudah mengindikasikan wilayah yang ramai. I’tsing menyebut pulau emas
sebagai Kun-lun. Sumatra dapat dikatakan satu-satunya wilayah di selatan
Tiongkok dan di timur Tiongkok sebagai sentra emas.


Apa yang disebut I’tsing tentang pulau Sumatra sebagai pulau emas, besar
dugaan itu mewakili wilayah di Sumatra bagian utara. Di wilayah inilah diduga
kuat menjadi awal terbentuknya kerajaan Sriwijaya sebagaimana nama Sriwijaya
pertama terinformasikan pada prasasti-prasasti abad ke-7. Nama-nama yang
disebut dalam catatan Tiongkok dinasti Leang (502-556) selain Tu-k’un, Pien-tiu
of Pan-tiu, Mo-chia-man dan Pi-song serta Kiu-li of Ktu-tchiu juga disebut nama
Pa-ka-da-to: ‘Orang-orang mengatakan bahwa kerajaan mereka didirikan lebih dari
400 tahun yang lalu’. Juga disebut Raja mereka Raja Pa-kada-to. Jika kerajaan
ini didirikan 400 tahun itu berarti sekitar abad ke-2. Pada abad ini dalam peta
Ptolomeus yang dibuat tahun 150 diidentifikasi di pantai barat Sumatra bagian
utara nama Tacola (Angkola.). Dari sumber lain catatan Tiongkok (Heu han) disebut pada tahun
132 seorang utusan Raja Yeh-tiao dari laut selatan menemui Kaisar Tiongkok di Peking
untuk membuka pos perdagangan. Nama Raja Pakadato mirip dengan nama yang
dicatat oleh Charles Miller tahun 1772 di wilayah Padang Lawas dengan nama tempat
Pakadolo. Apakah Pa-ka-da-to dan Pakadolo merupakan nama yang sama pada masa
ini sebagai Pangkaldolok di bagian barat wilayah Padang Lawas tidak jauh dari
Minanga? Seperti disebut di atas dalam prasasti Kedoekan Boekit disebut nama
Minanga dan Samwwo (di wilayah Padang Lawas). Pusat Sriwijaya di wilayah utara
(Padang Lawas) sesuai dengan pernyataan I’tsing saat berangkat ke Nalanda
(India) berangkat dari Che-li-fo-che (muara sungai Musi) berlayar 15 hari ke
Moloyu (Maleya, Moloyu) di pantai timur Sumatra (sebelah timur Panti dan Puli)
dan berdiam selama dua bulan. Moloyu ini diduga kuat di daerah aliran sungai
Rokan di Tambusai. Lalu kemudian I’tsing berlayar mengitari pulau Sumatra
hingga sampai ke Po-lu-sse (Barus), 
Catatan: nama Yeh-tiao ini ada yang mengartikan sebagai Jawa (lihat G
Ferrand, Ye-tiao, Sseu-tiao et Java ini Journal asiatiqne, 2de Serie T. VIII,
N°. 3, Nov.—Dec. 1917).

Pada era I’tsing ini diduga kuat Barus adalah pelabuhan utama di pantai
barat yang mana Moloyu (Tambusai di sungai Rokan) dan Minanga di sungai Barumun
sebagai pelabuhan di pantai timur. Diantara pelabuhan-pelabuhan inilah terletak
wilayah Padang Lawas. Dalam hal ini Minanga dan Moloyu tidak jauh dari
kota-kota yang menjadi sumber emas (Sipisang/Heposong, Puli dan Panti).


I’tsing (sesuai hasil bacaan Prof Chavannes dan hasil terjemahan dan
bacaan Dr Takakusu dan terhadap laporan I’tsing dalam Prof Kern:
Een Chineesch reiziger op
Sumatra di dalam Tijdschrift voor Neerland’s Indië jrg 1, 1897
) disebutkan perjalanannya
dari Canton mencapai Bhodja (Kamboja?) dalam waktu dua puluh hari. Dimana dia
tinggal selama tiga bulan. Lalu berangkat dengan pelayaran 15 hari ke Moloyu
dan tinggal dua bulan (dimana terdapat pohon pinus). Setelah tinggal di sini
selama dua bulan. Selanjutnya berangkat berlajayar 14 hari ke Kie-tja dan kemudian
menuju utara dari Kie-tja, tercapai setelah sepuluh hari berlayar, seseorang
mencapai negeri orang telanjang (Andaman?) dan seterusnya ke Nalanda. Setelah tinggal
selama sepuluh tahun di Nalanda, kembali melalui Kie-tja ldan Bhoja. Di Bodja dia
tinggal cukup lama sebelum ke Tiongkok.
Ia tidak tinggal lama di tanah kelahirannya, karena
ia berangkat pada tahun 689 dia kembali ke Bhodja, di mana dia menyelesaikan
beberapa karyanya sampai tahun 895. Selama di bekerja Bodja I-tsing berkunjung
ke Sumatera sebanyak tiga kali.
I-tsing menyebutkan selusin “pulau-pulau”
yang
paling barat pulau adalah wilayah Po-loe-she. I’tsing
juga menyebut nama Koe-loen atau Koen-loen (pulau emas) dan nama A-shan. Menurut
sumber Tiongkok, dikutip oleh Prof. Chavannes, tanah Qribhodja dan Lang-po-loe-se
dua negara bagian, negara bagian barat namanya Lang-po-loe-se, dan menurut peta
Tiongkok Qri-bhodja dan Po-loe-se terletak di pulau Sumatera. Di sebelah timur
Po-loe-se terletak Qri-bhodja.

Dalam hal ini dimana nama-nama tempat itu? Bodja adalah
Kamboja, Moloyu adalah Maleya serta dimana itu Kie-tja? Lalu bagaimana dengan
nama A-shan?
Seperti disebut di atas dalam
catatan Tiongkok dinasti Leang (502-556) seperti Tu-k’un, Pien-tiu of Pan-tiu,
Mo-chia-man dan Pi-song serta Kiu-li of Ktu-tchiu lalu apakah berkaitan dengan
nama Moloyu, Kie-tja dan A-shan?


Nama-nama tempat yang disebut I’tisng dibedakan menurut tiga masa: dalam
perjalanan ke Nalanda dan dalam perjalanan pulang dari Nalanda serta kembalinya
I’tsing ke Bodja dan kunjungannya tiga kali ke Sumatra. Nama Apakah nama A-shan
adalah Asahan? Selanjutnya dimana letak Kie-tja? I’tsing dalam perjalanan ke
Nalanda menyebut nama Mo-chia-man di sebelah barat. Kecuali Bodja, nama-nama
yang disebut oleh I’tsing diduga hanya terbatas di Sumatra bagian utara termasuk
Mo-chia-man (Pasaman). Para peneliti pada era Pemerintah Hindia Belanda sangat
sulit menemukan nama Kie-tja ini dimana berada. Kie-tja menurut Dr Beal adalah Këdah.
Apakah itu benar? Dari semua nama-nama yang disebut di atas dari abad ke-6 sejatinya
hanya menggambarkan nama-nama tempat di pulau Sumatra (khususnya di bagian
utara). Nama tempat Kie-tja haruslah di seputar itu. Apakah Kie-tja adalah
Bila? Sebagaimaimana diketahui sungai Bila bermuara ke sungai Barumun (Bila
dalam hal ini sebagai representasi sungai besar Barumun). Di sebelah utara (sungai)
Bila terdapat (sungai) Asahan.

Dari nama-nama yang disebutkan I’tsing, mengapa para
peneliti pada era Pemerintah Hindia Belanda selalu mengaitkan Palembang
(sebagai pusat Sriwijaya)? Ini bermula dari penemuan Beal di Bangkok bahwa
Bodja (sebenarnya adalah Kamboja) menyebut pusat Sriwijata di Sumatra (tidak
menyebut nama Palembang), Yang kemudian menyebut nama Palembang adalah Coedes
(di Bangkok) setelah menerjemahkan dan membaca prasasti yang baru ditemukan di
Palembang (Kedoekan Boekit).


Nama Sriwijaya baru ditemukan pada tahun 1920 pada prasasti Kedoekan Boekit
yang berasal dari abad ke-7 (682). Dari sinikah kemudian Coedes meyakini pusat
Sriwijaya berada di Palembang (tempat ditemukan prasasti). Lalu nama Bodja dari
laporan I’tsing dihubungkan dengan nama Sriwijaya. Nama Bodja adalah suatu hal
(Kamboja) dan nama Sriwijaya adalah hal lain lagi (nama kerajaan, bukan nama
tempat). Sejak ini pula semua nama-nama tempat dihubungkan dengan nama Sriwijaya
(Palembang). Fakta bahwa di dalam prasasti disebut nama Minanga yang diduga
dalam hal ini Binanga di muara sungai Barumun di Padang Lawas. Apakah dengan demikian
nama Sriwijaya masih misteri?

Untuk memahami lebih lanjut wilayah Padang Lawas, dalam
catatan Tiongkok dinasti Soeng II ahun
1017 disebut raja Ha-ch’i-su-wu-ch’a-p’u-mi (lihat Ferrand dan Groenevelt). Ha-ch’i-su-wu-ch’a-p’u-mi mirip dengan Ha-ch’i Suwarnabumi. Banyak peneliti
yang menyebut Suwarnabumi adalah bumi emas atau pulau Sumatra. Jika kita mengurutkan
waktu dengan I’tsing (671-692) yang menyatakan pulau emas, maka hingga tiga
abad kemudian pulau Sumatra masih dikenal di Tiongkok sebagai pulau emas dengan
nama S
u-wu-ch’a-p’u-mi.


Catatan Tiongkok dinasti Sui ((589-618) disebut nama Tu-po. Lalu kemudian
I’tsing menyebut nama Kw’un-lun (pulau emas). Pulau Sumatra sebagai
pulau/semenanjung emas sudah disebut Ptolomeus pada abad ke-2 sebagai Aurea
Chersonesus. Selanjutnya dalam catatan Tiongkok dalam Kia Tan (730-805) disebut
nama Fo-che. Catatan Tiongkok tahun 904/5 disebut nama San-fo-ts’i, Chen-la dan
Chö-p’o. Nama San-fo-ts’i, diduga Tambosai (daerah aliran sungai Rokan), Chen-la
(?) dan Chö-p’o adalah Sebo (di daerah aliran sungai Batangjari). Dalam catatan
Tiongkok era dinasti T’ang (906) disebut nama Ho-ling. Nama Holing ini diduga (manda)
Hiling. Dalam catatan Tiongkok 977 (dinasti Sung) disebut nama Pu-ni. Oleh
karena catatan Tiongkok
Ha-ch’i-su-wu-ch’a-p’u-mi terkait dengan nama pulau emas, besar dugaan Pu-ni
yang dimaksud adalah Pane atau Panai. Seperti disebut di atas dalam prasasti
Tanjore disebut nama Pannai. Dari nama-nama yang disebut di atas pada dasarnya terkait
nama tempat di Sumatra: Kw’un-lun, Che-li-fo-che, Moloyu, Sangkilon (671-692); Fo-che
(730-805); San-fo-ts’i, Chen-la dan Chö-p’o (904/5); Ho-ling (906); Pu-ni (977);
Ha-ch’i-su-wu-ch’a-p’u-mi (1017); Pannai, Malayur dan Madamalingam (prasasti Tanjore 1030) dapat
dikatan nama-nama tempat di Sumatra bagian utara. Dalam prasasti Tanjore tidak
ada nama tempat yang dapat diasosiakan di wilayah Sumatra bagian selatan (meski
sudah dikenal nama Che-li-fo-che, Fo-che dan Cho-po), Catatan Tiongkok pada
abad ke-14 disebut nama Po-lin. Nama Polin diduga berbeda dengan nama Holing
(seperti halnya nama Tu-po dan Cho-po). Nama Polin ini diduga nama Palembang
sebagaimana dalam teks Negarakertagama (1365). Catatan: Dalam catatan Tiongkok
pada dinsri Ming disebut nama Kou-li-pan-tsou (Puli-Pancur).

Dalam konteks pulau Sumatra
sebagai pulau emas yang dikenal sejak lama, diduga kuat terbentuknya kerajaan
besar di Sumatra yang berpusat di Padang Lawas. Nama Sriwijaya sebagai nama
kerajaan baru terinformasikan pada abad ke-7 dalam prasasti-prasasti. Dalam
catatan I’tsing tidak menyebut nama Sriwijaya, hanya menyebut nama-nama
geografis yang sudah diidentifikasi di atas. Nama lain yang disebut I’tsing
dalam perjalanan pulang dari India adalah nama Lang-ka-su dan Sêng-ho-lo. 


Beberapa peneliti menyebut nama Lang-ka-su sebagai nama Langkasuka di
Semenanjung Malaya. Akan tetapi tampaknya hal itu tidak masuk akal karena
I’tsing dalam pelayaran ke India (dari Sungai Musi) maupun sepulangnya melalui
pesisir pulau Sumatra. Lalu apakah Lang-ka-su, tersebut merupakan nama
Langga-payung yang sekarang (di daerah aliran sungai Barumun dimana sungai
Kanan bermuara di hilir Minanga/Binanga). Bagaimana dengan dengan nama
Sêng-ho-lo? Apakah Sêng-ho-lo adalah nama Sangkunur di pantai barat atau
Sangkilon di pantai timur? Foto: Reruntuhan candi di Sangkilon.

Nama Sriwijaya disebut dalam prasasti Kedoekan Boekit
(682), prasasti Karang Brahi (684) dan prasasti Kota Kapoer (686). Saat I’tsing
pulang dari India (Nalanda) tidak/belum menyebut nama Sriwijaya, hanya menyebut
nama Lang-ka-su dan Sêng-ho-lo, dua nama tempat yang tidak jauh dari Minanga/Binanga.
Lantas mengapa sejauh ini dalam catatan Tiongkok tidak ditemukan nama Sriwijaya?
Bolej jadi nama Sriwijaya bukan nama tempat (tetapi nama suatu federasi kerajaan).
Setelah nama Sriwijaya disebut dalam prasasti-prasasti nama Sriwijaya kemudian baru
terinformasikan kembali pada abad ke-11 di dalam prasasti Tanjore (1030) yang
ditemukan di India.


Prasasti Tanjore bertarih 1030 ditemukan di India selatan. Peneliti pertama
yang membaca teks prasasti Tanjore yang dihubungkan dengan nama-nama tempat di
Sumatra adalah G Coedes. Prasasti ini tidak ditemukan seperti prasasti-prasasti
di Sumatra, prasasti Tanjore masih tersimpan dan lestari di suatu bangunan kuil
di India. Tidak ada peneliti di India yang mengaitkan isi teks dengan Sumatra
kecuali yang pertama G Coedes. Seperti disebut sebelumnya G Coedes seorang peneliti
kepurbakalaan di Bangkok. Sebelumnya pada abad ke-10 dalam catatan Tiongkok
disebut nama U-tang-ta-lim. Boleh jadi nama ini adalah nama sungai Batangpane
(Ba-tang-pa-nai) atau nama sungai Batanghari (Ba-tang-ha-ri)
 

Nama-nama yang disebut dalam prasasti Tanjore yang
yang dihubungkan dengan nama tempat di Sumatra adalah Vidyadhara-torana, Pannai,
Malaiyur, Mayirudingam, Ilangasogam, Mappappalam, Mevilimbangam, Valaippanduru,
Takkolam, Madamalingam, Ilamuri-Desam, Nakkavaram dan Kadaram. Nama Sriwijaya
cukup jelas dipahami oleh para peneliti sebagai nama wilayah/federasi/kerajaan
di Sumatra. Dalam prasasti Tanjore nama Sriwijaya bukan sebagai nama tempat
tetapi nama suatu kawasan (federasi/kerajaan). Disebut dalam prasasti sebagai
pintu gerbang (wilayah) Sriwijaya. Bagaimana dengan nama-nama yang lainnya di
dalam prasasti Tanjore?


Nama Mayirudingam menurut Coedes yang juga diamini Ferrand adalah pulau
Singapoera; Coedes menyebut nama Sriwijaya=Palembang; Pannai=Panai, Pane (yang
juga diamini oleh Prof Ronkel), Malaiyur=Dhambi; Ilangasogam disebut Coedes
sebagai Langkasuka berdasarkan catatan Ferrand; Mappappalam=Penang; Mevilimbangam=Perak;
Valaippanduru=Phanrang (di Viernam); Takkolam sulit/tidak diidentifikasi
kecuali hanya disebut dihubungkan dengan nama Tacola dalam Ptolomeus (abad
ke-2); Madamalingam=Lingga atau Likor; Ilamuri-Desam=Lamuri di Atjeh; Nakkavaram=Nikobaren;
Kadaram-Kedah.

Tampaknya nama-nama tempat di prasasti Tanjore
kurang menarik bagi peneliti lain untuk mengkritisi dan hanya mengikuti
pendapat dari Coedes saja. Dalam narasi sejarah yang sekarang juga kurang
mendapat perhatian kecuali hanya mengutip nama-nama Sriwijaya dan Kedah. Lantas
mengapa peneliti cukup puas dengan hasul penafsiran dari Coedes? Seperti
nama-nama yang disebut I’tsing, nama-nama yang disebut Coedes tidak terjadi
perdebatan yang berarti.


Pertanyaan pertama dalam hal ini mengapa Coedes meyakini Sriwijaya=Palembang? G Coedes adalah orang
pertama yang melaporkan nama Sriwijaya di Palembang. Okelah itu satu hal. Hal
lainnya dalam prasasti Tanjore mengapa Kadaram=Kedah? Secara harfiah nama
Kadaram lebih mirip dengan Mataram. Seperti disebut Coedes di atas, nama
Panai=Pane (Padang Lawas) dan
Ilamuri-Desam=Lamuri di Atjeh berada di Sumatra. Kedua
nama ini memang mirip. Bagaimana dengan
Malaiyur=Dhambi? Lalu apakah Moloyu yang disebut I’tsing (671)
adalah Jambi? Para peneliti menyebut demikian, tetapi I’tsing dari
Che-li-fo-che (sungai Musi) ke Moloyu berlayar selama 15 hari. Seperti disebut
di atas Moloyu adalah Tambusai (bukan Jambi). Oleh karena Coedes berpendapat
Kadaram=Kedah dan Ma
yirudingam adalah pulau Singapoera maka dugaannnya tentang nama Ilangasogam=Langkasuka, Mappappalam=Penang;
Mevilimbangam=Perak; Valaippanduru=Phanrang (di Viernam)
; Madamalingam=Lingga atau Likor. Bagaimana dengan nama Takkolam? Coedes hanya menghubungkan dengan nama Tacola
dalam Ptolomeus (abad ke-2)
.

Sangat tidak mungkin nama Sriwijaya adalah nama
tempat. Dalam prasasti Tanjore hanya mengindikasikan sebagai suatu kawasa.
Demikian juga dalam prasasti abad ke-7 juga tidak menunjukkan tempat tetapi
suatu nama Kawasan (kerajaan). Oleh karena itu, jika pusat Sriwijaya berada di
Padang Lawas dan nama
Malaiyur di Tambusai, Panai di
Padang Lawas dan
Ilamuri-Desam=Lamuri
di Atjeh
, lalu apakah nama-nama
berikut ini benar: Kadaram=Kedah, Mayirudingam=Singapoera,
Ilangasogam=Langkasuka, Mappappalam=Penang; Mevilimbangam=Perak;
Valaippanduru=Phanrang dan Madamalingam=Lingga atau Likor. Namun sebelum
mempertanyakan nama-nama yang disebut Coedes di Semananjung Malaya perlu
dijawab lebih dahulu dimana itu tempat Takkolam? Coedes hanya merujuk pada nama
Tacola dalam peta Ptolomeus. Dalam peta Prolomeus nama Tacola yang
diidentifikasi berada di pantai barat Sumatra wilayah utara yang diduga nama
Angkola yang sekarang. Wilayah Angkola berada diantara Barus dan Binanga.


Oleh karena Takkolam adalah Angkola, Sriwijaya berpusat di Padang Lawas
(Minanga) dan nama Panai/Pane dan nama Moloyu/Tambusai juga di Padang Lawas,
maka kemungkinan nama-nama lain yang disebut dalam prasasti Tanjore cukup
berdekatan. Cukup jelas nama Ilamuri-Desam=Lamuri di Atjeh tidak jauh dari Padang Lawas (di sebelah utara) dan nama
Nakkavaram=Nikobaren (pulau-pulau Nikobar). Apakah dalam hal ini nama-nama
Kadaram=?, Mayirudingam=Ruding, Ilangasogam=Binanga-Sunggam,
Mappappalam=Sipalpal; Mevilimbangam=Limbang/Limbong; Valaippanduru=? dan
Madamalingam=Mandailing. Nama-nama tersebut diduga semua berada di Sumatra
bagian utara yang terkonsentrasi di wilayah Padang Lawas dan sekitarnya (dan
masih eksis hingga hari ini).

Nama-nama tempat di Sumatra paling tidak disebut
tiga nama dalam prasasti-prasasti abad ke-7 yakni Samwwo, Minanga dan
Sriwijaya. Tiga nama ini dihubungkan dengan wilayah Padang Lawas. I’tsing
menyebut nama Moloyu yang diduga kuat adalah Tambusai (Malea, Maleya, Moloyu di
wilayah Tambusai). Dalam catatan Tiongkok pada tahun 800 disebut nama Lo-yue
yang diduga adalah nama Moloyu pada era I’tsing dan Malaiyur (era prasasti
Tanjore).
Catatan
Tiongkok pada tahun 1225 (Chau Ju-Kua) menyebut nama San-fo-ts’I
dan Tho-po. Sebelumnya nama San-fo-ts’i
adalah Tambosai/Tambusai
, Tho-po dalam hal ini diduga (muara) Tebo


Coedes menafsirkan San-fo-ts’i sebagai Palembang. Lagi-lagi Coedes selalu
mengaitkan banyak hal dengan Palembang. Bukankah pengucapan nama
San-fo-ts’i lebih dekat dengan
Tambosai daripada pengucapan Palembang? Nama-nama lainnya berdasar
Chau Ju-Kua (1225) yang ditafsirkan
Coedes adalah F’öng-föng=Pahang; Töng-ya-nöng=Trengganau; Ling-ya-ssï-kia=Léngkasoeka, Ki-lan-tan=Këlantan.
Sementara Hirth & Rockhill berpendapat nama-nama Fo-lo-an=Poelowan; Ji-lo-t’ing=Jelutong,
Ma-hasin=Toemasik); Ts’iën-mai=Sëmang;
Pa-t’a=Batak;
Tan-ma-ling=Tambralingga=Ligor;
Pa-lin-föng=Palembang; Sin-t’o=Sunda; Kiën-pi=Kampe,
Lan-wu-li=Lambri di Atjeh;
Si-lan=Ceilan. Catatan: Nama Si-lan diasosiasikan dengan Ceilan (Sri Langka)
terlalu jauh. Di pantai timur Sumatra ada nama masa kini (gunung) Sahilan;
Fo-lo-an=Palawan (di Riau), Tan-ma-ling=Mandailing; Ts’iën-mai=Jambi;
Ji-lo-t’ing=?; Sin-t’o=?. Apakah nama Sitopayan di
Padang Lawas (sungai Batangpane dekat Gunungtua dimana ditemukan reruntuhan
candi? Nama Ji-lo-t’ing yang agak mirip adalah nama tempat di sebelah barat
Padang Lawas nama desa Siloting yang sekarang. Lan-wu-li diduga bukan Lambri
tetapi Mauli.

Catatan Tiongkok berikutnya terdapat nama-nama
tempat di dalam
Tao i
chih lio oleh Wang Ta-yüan tahun 1349
yang ditafsirkan oleh Rockhill. Nama-nama tempat tersebut adalah Pai-hua-yüan, Ma-tung, Ta-pan dan Jung-ya-lu menghasilkan lada; Hi-ning, Tung-ki, Takang, Huang-ma-chu, Ma-li, Niu-lun, Tan-jung-wu-lo, Ping-ya-i dan Wu-nu-ku.


Nama-nama lainnya adalah Wi-chih-pa (tanah timah); Lung-yen haü, Min-to-long, Tanmaling, Ma-li-lu, Hsia-lai-wu,
P’èng-k’êng-kiang, Ki-lan-tan, Ting-kia-lu, Tung-chungku-la, Jung Oedjoeng;
Lo-wei, So-lo-ko, Pa-tu-ma, Tan-mo Tavoy; Pa-ch’ieh-na-chien, San-fo-ch’i,
Hsiao-pen, P’o-ni, Chao-wa, Chung-ka-lo, Tu-tu-an.
Wen-tan, So-lu,
Lung-ya-hsi-kio, Su-mên-pang, Ch’iu-chiang, Paru-ya-po-t’i, Pan-tsu, Pu-pen,
Ka-li-ma-ta, Wen-lau-ku, Ku-li Ti-mên, Lung-ya mèn, Tung-hsi-chu, Chi-shui-wan.
Hua-mien, Tan-yang, Hsü-wén-ta-la, Kou-lan shan, T’ê-fan-li, Nan-wu-li, Tung
Tan-mo, Pa-nan-pa-his. Nama-nama berikutnya adalah Sun-ku-na, Keih-1ing-kiang,
Keih-ta-kiang, Keih-limên, Tan-ma-seih, Ta-na-ki-seu. Ma-gan-shan, Pei-chiao,
Tung-sich’uh, Pi-sung-seu,
Chang-yaou-seu, Sia-ch’ien-shan, Muan-la-kia,
Pin-lang-seu. Mien-huachien.

Di dalam catatan Tiongkok 1349 disebut hu-tsiau (=lada)
berasal dari tempat-tempat Thö-p’o, Su-ki-tan, Ta-pan, Pai-hua-yüan, Ma-tung,
dan Jung-ya-lu, Namun lada yang berasal dari Sin-t’o adalah yang terbaik
sedangkan varietas Ta-pan menempati posisi kedua. Dimana nama-nama tempat ini
berada?


Thö-p’o/Shö-p’o diduga adalah Tebo/Sebo di daerah aliran sungai Batang
Hari. Tapan diduga berada di wilayah Kerinci (kini masuk wilayah kabupaten
Pesisir Selatan, provinsi Sumatra Barat). Nama tempat Thö-p’o dan nama Tapan
berada di wilayah relative yang berdekatan. Bagaimana dengan Su-ki-tan,
Pai-hua-yüan, Ma-tung, dan Jung-ya-lu. Apakah Jung-ya-lu adalah Djangga?

Daftar di atas adalah nama-nama yang dicatat sebelum
tahun
1349. Yang jelas daftar 1349 dan daftar 1365 ada yang sama dan ada yang berbeda.
Dalam dafyar 1349 nama di Jawa hanya disebut satu saja (Chao-wa). Daftar 1349
mengindikasikan nama-nama di Sumatra bagian utara, pantai barat Sumatra,
kepulauan Riau, pantai utara Kalimantan, Semenanjung dan pantai utara Sulawesi
serta Maluku.


Pada tahun 1345 utusan Moor Ibnu Batutah dalam perjalanannya mengunjungi
Sumatra, Jawa dan pantai timur Tiongkok. Ibnu Batutah cukup lama berada di
Samodra. Apakah Samodra adalah Sumentala dalam catatan Tiongkok 1349 dan dalam
laporan Ma Huan? Tampaknya tidak mirip Samodra=Sumentala, tetapi Sumentala
lebih tepat sebagai Sungaikarang. Mengapa?

Nama-nama tempat dari daftar tersebut dapat
dibandingkan dengan catatan Ma-Huan dalam ekspedisi Cheng Ho (1405-1431). Seperti
disebut dalam bab terdahulu nama-nama tempat yang disinggahi oleh Cheng Ho di
Sumatra adalah Alu, Sumentala, Nakur dan Lamuri. Mengapa tidak ada nama Alu
dalam daftar 1349, sementara ada disebut nama Hsü-wén-ta-la? Apakah ini
mengindikasikan nama A-lu adalah Aru/Haru? Ada nama Haru dalam teks
Negarakertagama (1365). Lantas mengapa ekspedisi Cheng Ho hanya menyingggahi
beberapa nama tempat saja termasuk AluAru//Haru?

 

Kerajaan Aru pernah dikunjungi oleh Mendes Pinto tahun 1537. Kerajaan Aru
menurut Mendes Pinto memiliki kekuatan 15.000 sebanyak delapan ribu orang Batak
dan sisanya didatangkan dari Minangkabau, Indragiri, Jambi, Broenai dan Luzon.
Di wilayah kerajaan Aru, orang Mandarin di wilayah pesisir. Kerajaan Aru pernah
menyerang Malaka dan orang di Malaka selalu takut jika terjadi serangan lagi.
Saat Mendes Pinto di Kerajaan Aru, sedangkan berselih dengan kerajaan Atjeh.

Seberapa banyak nama-nama tempat disebut pada masa
lampau di wilayah Sumatra bagian selatan? Yang jelas nama tempat di daerah
aliran sungai Batang Hari cukup banyak nama tempat yang disebut. Pa-lin-föng=Palembang
hanya ditemukan pada catatan Tiongkok tahun 1225. Dalam catatan Tiongkok 1349
tidak disebut nama Palembang dan nama-nama tempat di daerah aliran sungai Musi.
Namun di dalam teks Negarakertagama disebut nama Palembang. Dalam catatan
Tiongkok 1349 disebut nama San-fo-ch’i yang mana nama ini diduga adalah Tembesi.
Nama San-fo-ch’i berbeda dengan
San-fo-ts’i/San-fo-t’sai, yang mana San-fo-ts’i dalam catatan Tiongkok
1225 adalah Tambusai di sungai Rokan (berada diantara candi Sangkilon dan candi
Muara Takus).


Wilayah candi di Sumatra hanya terkonsentrasi di wilayah Padang Lawas.
Pada masa ini ditemukan sebanyak 26 candi masa lampau termasuk candi Sangkilon
(di daerah aliran sungai Barumun, sungai Pane, sungai Sirumambe dan sungai
Sangkilon). Candi lainnya di Sumatra terdapat di Muara Takus (Bangkinang) di
hulu sungai Kampar dan dua candi di daerah aliran sungai Batanghari yakni candi
Muara Jambi di hilir dan candi Padang Roco di hulu. Peta: area candi-candi di
Padang Lawas

Adanya candi-candi di wilayah Sumatra haruslah
dianggap sebagai wilayah dimana terdapat peradaban tinggi, suatu wilayah yang
memiliki kerajaan dimana raja mampu membangun kerajaan dan mampu membangun
candi-candi apakah sebagai tempat ibadah atau tempat pemakaman raja. Salah satu
candi tertua di Sumatra ditemukan di Simangambat. Candi Simangambat terletak diantara
Angkola, Mandailing dan Maleya. Seperti disebut di atas, I’tsing sebelum
berangkat ke Nalanda singgah selama dua bulan di Moloyu, suatu tempat/pusat
Boedha di wilayah Padang Lawas yang diduga wilayah Maleya.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel
sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or
perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top