Sejarah

Sejarah Padang Lawas (14):Soal Kilas Balik NavigasiPelayaran Perdagangan Kuno;Cina, Borneo, Filipina, Sulawesi, Maluku, Pasifik


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Lawas dalam blog ini Klik Disini

Kapan
bermula (kerajaan) Sriwijaya? Pertanyaan ini akan membawa ke pertanyaan
bagaimana sejarah nusantara di masa lampau (sebelum) terbentuknya kerajaan
Sriwijaya. Satu yang jelas sebelum nama Sriwijaya terinformasikan dalam
prasasti Kedoekan Boekit (682) dimana djuga disebut nama Minanga/Binanga, sudah
ada navigasi pelayaran perdagangan ke Sumatra bagian utara. Dalam konteks
inilah perlu wilayah Padang Lawas dipahami.


Sudah
ada navigasi pelayaran perdagangan di masa lampau yang telah menghubungkan
pantai timur Mesir (laut merah dan laut Mediterani) dan pantai timur Tiongkok
(Canton). Dalam hal inilah posisi nusantara pemenjadi sangat penting dan
strategis. Wilayah nusantara terutama pulau Sumatra menjadi hub antara barat
dan timur dalam navigasi pelayaran perdagangan.

Lantas bagaimana sejarah kilas balik navigasi pelayaran
perdagangan zaman kuno? Seperti disebut di atas sebelum terinformasikan nama Minanga/Binanga
dan Sriwijaya sudah terinformasikan navigasi pelayaran perdagangan dari dan ke
Sumatra bagian utara.
Tiongkok, Borneo, Filipina, Sulawesi, Maluku dan Pasifik. Lalu bagaimana sejarah kilas balik navigasi
pelayaran perdagangan zaman kuno? Seperti
kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.Link  
https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah
seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan
tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan
imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.

Kilas Balik Navigasi Pelayaran
Perdagangan Zaman Kuno; Tiongkok, Borneo, Filipina, Sulawesi, Maluku, Pasifik 

Tunggu Tidak banyak bukti tentang sejarah navigasi
pelayaran perdagangan zaman kuno. Oleh karena itu sulit menyusun narasinya.
Namun sejarah zaman kuno tetaplah sejarah zaman kuno. Sebab
sejarah seharusnya memiliki
permulaan. Dalam hal inilah navigasi pelayayaran zaman kuno penting di nusantara,
wilayah yang banyak pulau. Sumber tertua yang telah diidentifikasi sebagai
berikut:

1.      Catatan geografis Ptolomeus
pada abad ke-2 dimana di Eropa sudah diketahui pulau Sumatra sebagai Aurea
Chersonesus dan pulau Kalimantan sebagai Taprobana (dua pulau yang dekat dengan
daratan Asia). Di pantai barat pulau Sumatra bagian utara diidentifikasi nama
Tacola yang diduga Angkola. Dalam catatan juga disebut kamper diimpor dari
Sumatra bagian utara.

2.      Catatan Tiongkok abad ke-2
menyebutkan utusan Raja Ye-tiao dari laut selatan menemuai Kaisar Tiongkok di
Peking untuk membukan pos perdagangan. Yeh-tiao diduga wilayah Sumatra bagian
utara.

3.      Terdapat prasasti beraksara
Brahmi ditemukan di Vietman pada abad ke-3, di Kalimantan Timur abad ke-4 dan
prasasti Tugu di Jawa Barat abad ke-5. Aksra Brahmi berasal dari sebelah barat
India..

4.  Catatan Eropa pada abad ke-5
disebut kamper diekspor dari pelabuhan yang disebut Barousse (yang diduga nama
Barus, Tapanuli di pantai barat Sumatra).

5.      Catatan Tiongkok pada abad
ke-6 dinasti Leang (502-556 disebut nama-nama tempat seperti Tu-k’un (diduga
Tiku), Pien-tiu of Pan-tiu (Panti), Mo-chia-man (Pasaman) dan Pi-song
(Hepesong/Sipisang) serta Kiu-li of Ktu-tchiu (Puli). Semua nama-nama tempat
tersebut berada di pantai barat Sumatra.

6.      Prasasti abad ke-7 ditemukan
di pantai timur Sumatra yang menyebut nama Sambau, Minanga dan Sriwijaya. Nama
Sriwijaya adalah nama kerajaan dan nama Sambau dan Minanga/Binanga adalah
nama-nama tempat di Padang Lawas. Dalam teks prasasti bertarih 682 juga ada
indikasi perjalanan juga dilakukan dengan pelayaran dari Minanga ke Matayap.

7.      Dalam catatan Tiongkok awal abad
ketujuh, para pedagang asing sudah membentuk koloni di Canton dan juga di
Ch’üan-chow serta Yang-chow. Sejumlah pedagang Arab sudah masuk di Canton yang
menjadi awal siar agama Islam di Tiongkok. Antara tahun 618 dan 626 M empat
pengikut Muhammad yang membawa Islam di Tiongkok. Satu mengajar di Canton, satu
di Yang-chow dan dua lainnya di Ch’üan-chow. Dalam teks P’an-yü-hsien-chih bab
53 disebutkan bahwa: ‘Ketika perdagangan laut dibuka pada Dinasti T’ang,
Muhammad, raja (nabi) Muslim di Medina mengunjungi koloni Muslim di Canton’.
Orang-orang Muhammad membentuk pemukiman besar di pelabuhan-pelabuhan Tiongkok,
orang Tiongkok menyetujui orang asing yang tinggal dalam kelompok di wilayah
mereka, semacam pemerintahan sendiri, Orang asing diizinkan untuk menggunakan
hukum mereka sendiri dan mengamati kebiasaan dan kebiasaan mereka sendiri
begitu lama karena mereka bisa hidup tertib dan damai dengan orang Tiongkok.
Pihak berwenang Tiongkok tidak akan mempertimbangkan untuk ikut campur dalam
hal-hal yang menyangkut orang asing, kecuali bila hal itu perlu’. Catatan: tahun
Hijrah dimulai tahun 622 M. Boleh jadi dari sejarah inilah diketahui adanya
hadis yang menyatakan ‘tuntutlah ilmu itu walau jauh ke negeri Tiongkok’

8.      Masih pada abad ke-7 I’tsing
dalam laporannya menyebutkan tahun 671 dalam pelayarannya dari Che-li-fo-si
(diduga nama Sungai Musi) selama 15 hari tiba di Moloyu dan berdiam selama dua
bulan. Nama Moloyu diduga Malea/ Maleya/Moloyu di wilayah Padang Lawas. I’tsing
juga menyebut nama Kun-lun (pulau emas) dan nama Seng-ho-lo. Nama Kun-lun
diduga nama Kuntu atau Kunkun dan nama Seng-ho-lo diduga Sangkilon (di Padang
Lawas). Catatan: Moloyu, Seng-ho-lo dan Kun-lun berada di wilayah pertambangan
emas di Sumatra bagian utara.
 

Bagaimana navigasi pelayaran perdagangan tersebut
terwujud adalah kemampuan membuat kapal dan memiliki kemampuan navigasi. Tingkat
teknologi kapal dalam hal navigasi ini adalah teknologi yang sudah mampu mengarugi
lautan (bukan sampan dengan teknologi sederhana yang umumnya digunakan di
sungai/danau).


Tingkat teknologi kapal laut dapat diperhatikan sebagaimana digambarkan
dalam relief candi Borobudur di Jawa (candi yang dibangun pada abad ke-9).
Kapal yang digambarkan pada relief telah memiliki teknologi layer gulung dan
elemen penyeimbang kapal di kiri dan kana (cadik).

Sumber lain yang dapat dijadikan sebagai indikasi
adanya pelayaran perdagangan adalah keberadaan aksara Batak. Schröder, seorang
Jerman menemukan ada kemiripan aksara Fenisia dengan aksara Batak (lihat A
Phoenician Alphabet on Sumatra by EEW Gs Schröder ini Journal of the American
Oriental Society, Vol. 47, 1927). Aksara Aramaik menurunkan aksara Arab dan
aksara Brahmi. Adanya pertukaran ilmu pengetahuan dalam aksara diduga karena factor
adanya navigasi pelayaran perdagangan.
Aksara Batak berbeda dengan
aksara Jawa.

Aksara Fenesia menurunkan aksara Yunini (alfabet); Aksara Arab adalah
aksara abjad, sedangkan aksara Brahmi adalah aksara abugida. Aksara Yunani
menurunkan aksara Latin, sedangkan aksara Brahmi menurunkan aksara Pallawa yang
kemudian diadopsi di Jawa dalam pembentukan aksara Jawa. Aksara Batak bersifat
abjad (seperti aksara Arab), tetapi aksara yang digunakan aksara Batak
mengikuti bentuk aksara Fenesia (alfabet). Oleh karena itu aksara Batak berbeda
asal-usul dengan aksara Fenesia. Aksara Jawa yang sekarang disebut baru terbentuk
abad ke-17. Sementara itu aksara Batak diduga sudah sejak zaman kuno terbentuk.
Mengapa? Aksara Fenesia sudah punah di zaman kuno seiring dengan lebih populernya
aksata Yunani dan aksara Arab. Hal itulah mengapa aksara Batak diduga sudah
sangat tua, karena aksara pendahulunya sudah punah di zaman kuno.

Dalam konteks pertukaran zaman kuno, komoditi,
bahasa, aksara, budaya dan ilmu pengetahuan pelayaran adalah factor penting yang
mendukung dalam perkembangan peradaban diantara satu tempat dengan tempat yang
lainnya. Seperti disebut di atas, prasasti di pantai timur Sumatra yang berasal
dari abad ke-7 diduga menggunakan aksara Pallawa (turunan aksara Brahmi) dengan
menggunakan dua bahasa (bahasa Sanskerta dan bahasa Batak).

 

Dalam prasasti abad ke-7 di pantai timur Sumatra (prasasti Kedoekan
Boekut 682) selain menyebut nama Sambao dan Minanga di Padang Lawas, aksara
yang digunakan adalah aksara Pallawa yang mana dapat diidentifikasi bahasa
Batak seperti kata mengalap, marlapas dan marbuat yang merupakan awalan dan
kosa kata dalam bahasa Batak. Juga terdapat akiran na dalam bahasa Batak. Dalam
teks juga teridentifikasi sebutan bilangan dalam bahasa Batak yakni sampulu dua
yang maksudnya 12.

Bahasa adalah warisan, bahasa yang berlangsung turun
temurun. Oleh karena itu bahasa dapat dianggap sebagai suatu warisan yang dalam
hal ini dapat dijadikan sebagai data yang bersifat warisan (data non fisik yang
masih eksis).

Tunggu deskripsi lengkapnya 

Tiongkok, Borneo, Filipina, Sulawesi, Maluku, Pasifik:
Jalur Penyebaran dan Bahasa dan Budaya

Perpindahan populasi menjadi penting dalam navigasi
pelayaran perdagangan. Dalam kegiatan perdagangan dan navigasi pelayaran diduga
telah terjadi perpindahan populasi dari satu tempat ke tempat lain. Dengan berbagai
sebab telah terjadi kolonisasi penduduk pendatang di suatu wilayah. Mereka yang
berkolonisasi terkait dengan navigasi pelayaran perdagangan tersebut. Perpindahan
populasi dapat diperhatikan karena ada kemiripan bahasa, aksara dan budaya
serta ilmu pengetahuan lainnya. Pada masa ini hasil-hasil studi genom (DNA)
dapat digunakan untuk memperkuat dugaan adanya perpindahan populasi.


Kelompok-kelompok populasi yang ada di nusantara (khususnya wilayah Indonesia
sekarang) dapat dibedakan atas perbedaan signifikan DNA populasi Austronesia, Melanesia
(Papua) dan Austo Asiatik (Indo China). Kelompok populasi Batak lebih cenderung
bersifat Austronesia yang berbeda dengan kelompok populasi Jawa (pengaruh
Austro Asiatik sangat kuat).  Dalam
kelompok populasi Batak juga ada elemen Indo Eropa dan India.

Studi genom (DNA) juga dapat digunakan untuk memperkuat
dugaan adanya perpindahan populasi diantara kelompok populasi di nusantara
dengan kelompok populasi di Filipina, Indochina dan dipantai timur Tiongkok.
Demikian juga sebaliknya pola perpindahan dari daratan Asia ke wilayah kepulauan
(nusantara).


Dalam kelompok populasi di pantai timur Tiongkok (seperti Canton) yang
dominan adalah genom Asiatik (China) yang berwana hijau. Juga ada genom Austro
Asiatik di Indo China (warna kuning) genom Austronesia berwarna biru muda. Pola
di pantai timur Tiongkok relatif mirip dengan kelompok populasu di Vietnam.
Bagaimana dengan di Filipina genom yang kuat adalah gabungan antara DNA Asiatik
(China) dengan DNA negroid (kulit berwarna gelap). Lalu bagaiman di wilayah
Malaysia? Adanya genom negroid di Malaysia diduga karena keberadaan populasi
asli di Semenanjung (orang Semang). Bandingkan dengan di Sumatra dan Jawa kontribusi
genom negroid ini nyaris tidak ada. Golong negroid terdekat dari Sumatra
terdekat berada di Semenanjung dan di kepulauan Andaman,

Seberapa tua percampuran populasi terjadi tidak
diketahui secara pasti. Yang jelas dari studi genom didapat gambaran percampuran
populasi berbeda antara satu kelompok populasi dengan kelompok populasi lainnya
(misalnya antara Batak dan Jawa). Tua mudanya percampuran tersebut dapat
dihubungkan dengan adanya pertukaran dalam bahasa dan aksara.


Seperti disebut di atas aksara Jawa yang sekarang belum lama terbentuk
dibandingkan dengan aksara Batak. Aksara Jawa yang sekarang yang berasal dari
garis aksara Brahmi berbeda dengan aksara Batak yang merujuk pada akasara Fenesia.
Oleh karena ada unsur genom Indo Eropa dalam kelompok populasi Batak maka
dimungkinkan pertukaran aksara pada kelompok populasi Batak diduga sudah tua.
Satu gambaran tentang kelompok populasi dapat diperhatikan pada relief candi Borobudur.
Tampak profil yang ditampilkan orang-orang berambut keriting yang umumnya topical
kelompok populasi berkulit gelap. Lalu apakah populasi di Jawa pada era
pembangunan candi Borobudur berbeda dengan populasi Jawa yang sekarang? Yang
jelas dari studi genom kelompok populasi Jawa pengaruh Austo Asiatik sangat
kuat. Dengan kata lain tipologi populasi di Jawa pada relief Borobudur tidak
merefleksikan populasi Jawa yang sekarang. Sebaliknya adanya DNA dari Indo Eropa
di dalam genom Batak diduga terkait dengan kehadiran pendatang di masa lalu
yang bertukar dalam berbagai aspek termasuk dalam hal aksara.
 


Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top