Sejarah

Sejarah Padang Lawas (8): Wilayah Padang Lawas Era VOC/Belanda, Orang Pedalaman Terisolasi; Dunia Lama versus Dunia Baru


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Lawas dalam blog ini Klik Disini

Wilayah sejarah adalah ibarat layout
rumah/istana, banyak sisi (utara, timur, barat dan selatan) tetapi pada setiap
masa hanya ada satu utama dimana terdapat gerbang utama. Demikianlah sejarah di
wilayah Padang Lawas, awalnya pintu belakang (sisi barat di Angkola/Barus) lalu
berubah menjadi pintu depan (sisi timur di Padang Lawas). Setelah sempat
sejarah Padang Lawas gelap gulita (selama era VOC/Belanda), lalu seperti kita
lihat nanti, sejarah wilayah Padang Lawas terbuka kembali, tetapi dari sisi
selatan (Mandailing) pada era Pemerintah Hindia Belanda.

 

Setelah
kejatuhan Kerajaan Aru dalam perang dengan Kerajaan Aceh, dalam perkembangannya
Kerajaan Aru mulai memudar. Pada era Ma Huan (1403-1415) ibu kota Kerajaan Aru
berada di daerah aliran sungai Barumun. Pada masa ini disebut Kerajaan Nakur
pernah menyerang kerajaan di Sungai Karang dan rajanya terbunuh. Dalam laporan
Mendes Pinto (1537) disebut tiga anak Radja Aru terbunuh di Lingau dan Nakur.
Dalam hal ini wilayah Kerajaan Aru yang (tersisa) di wilayah pesisir mulai dari
batas sungai Rokan hingga batas sungai Ambuaru plus wilayah pedalaman mulau dari
batas Minangkabau hingga batas Kerajaan Aceh). Dalam laporan Mendes Pinto ibu
kota Kerajaan Aru berada di Panaju di daerah aliran sungai Panatiao. Wilayah
Nakur (Simalungun) dan wilayah Gajo berpusat di Lingau/Lingga (kini masuk Karo)
dipimpin oleh para pangeran Kerajaan Aru (anak dari Radja Aru).

Lantas bagaimana sejarah wilayah Padang Lawas era
VOC/Belanda dan penduduk di pedalaman terisolasi? Seperti disebut di atas,
Keraajaan Aru memudar setelah mengalami kekalahan dalam perang melawan Kerajaan
Aceh. Situasi dan kondisi menjadi dunia lama versus dunia baru dan semmua
tergantung pada supremasi kerajaan-kerajaan. Lalu bagaimana sejarah wilayah
Padang Lawas era VOC/Belanda dan penduduk di pedalaman terisolasi? Seperti kata
ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan
dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber
tempo doeloe.
Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.

Wilayah Padang Lawas Era VOC/Belanda dan Orang
Pedalaman Terisolasi; Dunia Lama versus Dunia Baru

Nama Lambri adalah nama baru. Nama yang sudah dikenal lama adalah Minanga
(sebagaimana disebut dalam prasasti Kedoekan Boekit, 682). Minanga (kini Binanga)
berada di pertemuan sungai Pane dan sungai Sangkilon. Nama Pane dan nama Lamuri
dicatat dalam prasasti Tanjore, 1030. Nama Pane dan Lamuri masih tercatat pada
teks Negarakertagama (1365). Dalam catatan Ma Huan (ekspedisi Cheng Ho 1405-1431)
ada empat nama tempat yang disinggahi yakni Chiu-chiang (diinterprtasi Palembang,
A-lu (Aru, Su-men-ta-la (intepretasi saya Su-ngai-ka-rang), Na-kur (Nakur/Nagur)
dan Li-tai (diinterpretasi Lambri). Catatan: hanya nama A-lu, Su-men-ta-la dan Na-kur
yang paling mudah diasosiaskan. Argumrntasi Li-tai diasosiakan dengan Lambri dalam
teks Cina hanya berdasarkan kalimat/kata-kata berikut: “The country produces
nothing for export” dan “the king… Sumatra”;


Kesultanan Aceh sebuah kerajaan Islam pernah di Aceh, terletak di utara pulau Sumatra didirikan oleh Ali Mughayat Syah
tahun 1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri
sebagai Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan
menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie,
Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari
kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan
oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga
tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah
al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.
(Wikipedia) 

Okelah, Lambri disebut dalam Ma Huan. Nama Lambri
inilah kemudian yang disebut dalam narasi sejarah sekarang sebagai awal dari
terbentuknya (kerajaan) Atjeh. Namun harus dicatat nama Atjeh (juga dicata Ateh
atau Atas) adalah nama tempat yang berbeda dengan Lambri. Besar dugaan kekuatan
yang ada di Lambri kemudian melakukan invasi ke Ateh yang kemudian terbentuk
(kerajaan) Atjeh (di bagian dalam sungai Krueng).


Kapan Ali
Mughayat Syah tahun 1496
di Lambri relokasi ke Ateh/Atjeh? Disebutkan Kerajaan Lamuri, kemudian
menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya,
Pedir, Lidie
dan Nakur. Dalam laporan Ma Huan (1405-1431) nama Nakur sudah
disebut yang mana sang rajanya muka ditato (pagan). Dalam laporan Mendes Pinto
(1537) Kerajaan Aru sedang berperang dengan Kerajaan Atjeh dimana sebelumnya tiga
putra Raja Aru terbunuh di Nakur dan Lingga. Namun kapan itu terbunuh, sebagai
sebab alasan berperang, tidak terinformasikan.

Pertanyaan tentang kapan (ibu kota) rekolasi dari
Lambri ke Ateh/Atjeh sangat penting karena nama tempat Atjeh inilah kemudian
yang menjadi ibu kota Kerajaan Atjeh seterusnya.? Pertanyaan ini menjadi lebih penting
lagi, Lambri berada di pantai dan mengapa relokasi ke tempat yang jauh di
belakang pantai di daerah aliran sungai Krueng. Ini tidak lazim. Oleh karena
itu menimbulkan sejumlah pertanyaan.


Dalam laporan Mendes Pinto perang antara Kerajaan Aru dengan Kerajaan
Atjeh, pasukan Aru merangksek mendekati pusat (pasukan/kerajaan) Atjeh dan
menyerang terlebih dahulu, dan kemudian dipukul mundur yang menimbulkan korban
jiwa yang banyak. Dalam hal ini tidak terinformasikan apakah Nakur sudah diduduki
pasukan Atjeh atau belum diduduki setelah percobaan pertama yang menyebabkan
putra Radja Aru terbunuh. Satu yang jelas dalam perang tersebut, pasukan/kerajaan
Lambri sudah di Atjeh. Lantas apakah ibu kota telah direlokasi dari Lambri ke Atjeh?
Boleh jadi ibu kota sudah relokasi ke Atjeh sehingga pasukan Kerajaan Aru mengetahui
kemana pertempuran ditujukan. Lalu apakah hanya karena semata-mata alasan putra
terbunuh yang menyebabkan Radja Aru berambisi untuk menghancurkan Atjeh (namun tidak
mampu dan sebaliknya kekalahan yang didapat dengan korban jiwa). Boleh jadi nama
tempat Atjeh telah direbut Lambri dan mendudukinya dan dijadikan sebagai ibu
kota. Hal ini disebabkan, antara lain, dalam peta Portugis, di kota Atjeh (kota
Radja) diidentifikasi nama d’Aru. Lantas apakah sebelum diduduki Lambri, kota/kampong
Atjeh adalah pusat perdagangan Kerajaan Aru di ujung pulau Sumatra? Populasi
yang bermukim di kampong/kota Atjeh dimana terdapat titik tertentu disebut d’Aru
adalah kelompok populasi (pedalaman) orang Gajo. 

Besar dugaan sebelum terbentuk kerajaan Islam di Lamuri (India) di belakang
pantai di daerah aliran sungai Krung telah popler nama pelabuhan di
kampong/kota Ateh, Dari sinilah diduga asal-usul nama Bandar Ateh (yang lalu
kemudian pada era Kerajaan Atjeh menjadi Banda Atjeh tetapi kemudian menjadi
Kota Radja, ibu kotanya Kerajaan Atjeh).

Besar dugaan, lambat atau cepat, Kerajaan Atjeh yang
dibantu militer Turki dengan persenjataan yang jauh lebih baik, satu per satu
menguasai pusat-pusat perdagangan yang berada jauh di belakang pantai, tidak
hanya Ateh/Atjeh, juga kota/kampong Sungai Karang yang saat itu sungai Karang
masih berada di wilayah pesisir muara Sungai Karang (kini Galang di sungai Ular).
Bagaimana dengan Nakur? Besar dugaan tidak diduduki Kerajaan Atjeh karena
alasan strategis (kota yang jauh di belakang pantai akan selalu terancam dari
penduduk di pedalaman).


Bagaimana dengan kota/kampong Lingga yang menjadi wilayah Kerajaan Aru di
pedalaman yang sebelumnya pernah diserang oleh pasukan Kerajaan Lambri/Atjeh?
Seperti halnya Nakur, kota/kampong Lingga tetap menjadi pemukiman penduduk
pendalaman (Gayo). Oleh karena itu, Tangse, Takengon (sekitar danau pegunungan/Takengon
atau Laut Tawar), Lingga, Nakur (sekitar danau pegunungan/Toba) hingga Aru di
pedalaman masih terhubung dalam jalur perdagangan pedalaman. Setelah memudarnya
Kerajaan Aru, pasukan Kerajaan Atjeh lebih konsentrasi di jalur perdagangan
laut/pesisir.

Bagaimana dengan Kerajaan Aru sendiri? Kerajaan Aru
tetap eksis, tetapi hanya memudar, kekuatan perdagangannya di wilayah
pantai/pesisir tertutup (telah digantikan oleh Kerajaan Atjeh). Dalam hal ini apa
yang membedakan kerajaan Aru dan kerajaan Atjeh diduga kuat soal sifat
pemerintahannya. Kerajaan Atjeh bersifat monarki (sejak era Kerajaan Samodta)
sementara Kerajaan Aru bersifat federalis (yang mana raja adalah raja yang
bersifay primus interpares). Oleh karena itu (secara federalis) Kerajaan Aru
tetap eksis tetapi tidak kuat lagi dan hanya diperankan oleh kerajaan-kerajaan
yang menjadi anggotanya seperti, katakanlah Angkola, Mandailing, Silindung,
Toba, Simalingun, Karo, dan Gayo).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Dunia Lama versus Dunia Baru: Penduduk Batak
Terisolasi di Pedalaman, Supremasi Kerajaan Aceh di Pantai Timur dan Pantai
Barat Sumatra

Kerajaan Atjeh semakin menguat, kerajaan Aru semakin
memudar. Lalu apakah Kerajaan Aru benar-benar telah tamat? Tidak. Mengapa? Pelaut/pedagang
Eropa masih percaya bahwa Kerajaan Aru masih eksis di pedalaman. Hal itulah
mengapa pelaut-pelaut Eropa seperti Portugis/Spanyol masih melaporkan/memetakan
keberadaan Kerajaan Aru yang kemudian para ahli kartografi Eropa mengidentifikasi
dalan peta-peta yang diterbitkan.


Dalam peta-peta Portugis,
bahkan hingga era VOC/Belanda masih diterbitkan. Dalam peta Portugis diidentifikasi
wilayah Kerajaan Aru sebagai Terra Daru (Tanah Daru). Dalam hal ini Daru adalah
pergeseran dari frase de Aru atau d’Aru menjadi Daru. Ibu kota Kerajaan Aru
diidentifikasi di pesisir (lihat peta). Di lepas pantai diidentifikasi pulau(-pulau)
Aru (Ilha Daru). Ibu kota kerajaan Aru ini di pantai timur Sumatra tepat berada
cukup dekat dengan kota Malaka (Portugis) di pantai barat Semenanjung. Di pantai
barat Sumatra diidentifikasi nama Barus dan nama Bathan (Batahan). Di bagian
utara di pantai timur Sumatra diidentifikasi nama Ambuara/Ambuaru dan Pasai. Dua
nama tempat Pasai (sungai Pase) adalah kerajaan dengan tetangga (kerajaan) Ambuara
(sungai Ambuara).

Dalam perkembangannya, pedagang-pedagang VOC menyebut (sungai) Ambuara sebagai
sungai Djamboe Aer (kini Jambo Aye atau Jamnu Air; dialek Melayu menjadi dialek
Atjeh). Letak kota/kampong Ambuara ini di Lhoknibong sekarang. Lhok diduga kuat
merujuk pada sebuah telok, teloek yang mereduksi menjadi Lhok. Nama tempat yang
menggunakan nama Lhok ini adalah Lhoksoekon (suatu telok zaman kuno) dan
Lhokseumawe (teluk di pulau).

.

Setelah hampir satu abad kehadiran Portugis (sejak 1509) di Hindia Timur,
pelaut/pedagang Belanda muncul. Ini bermula ketika ekspedisi Belanda pertama
yang dipiimpin oleh Cornelis de Houtman (1595-1597) mencapai (pulau) Enggano
lalu ke pantai selatan Sumatra di Lampung dan seterusnya mencapai (pelabuhan)
Bantam. Dari Bantam menuju Maluku tetapi haru kembali ke Belanda dengan berbalik
di pulau Lombok karena kerusakan satu dari tiga kapal. Ekspedisi kedua dipimpin
oleh Oliver Nort. Ekspedisi berikutnya Cornelis de Houtman langsung menuju
Atjeh (1599). Di muara sungai Krueng terjadi perselisihan antara pelaut dan
hulubalang Atjeh yang menyebabkan perang terbuka. Cornelis de Houtman terbunuh.
Sejumlah pelaut, termasuk adik Cornelis de Houtman yakni Frederik de Houtman
berhasil ditangkap lalu dijadikan sebagai tahanan. Setelah terjadi negosisi
dengan utusan Kerajaan Belanda, Frederik de Houtman dkk dibebaskan pada tahun 1601.

Nama Kerajaan Aru masih diidentifikasi pada era VOC/Belanda
sebagai Rijk de Aru, sementara di wilayah utara diidentifikasi Rijk de Dilli. Seperti
kita lihat nanti, pada awal era Pemerintah Hindia Belanda, nama Kerajaan Aru
masih disebut dalam peta 1818. Lantas bagaimana munculnya nama Dilli dan
kemudian Kerajaan Dilli. Besar dugaan nama Dilli ini sudah eksis sejak era
Portugis.


Nama Dilli tidak hanya di pantai timur Sumatra, juga nama Dilli juga
ditemukan di pantai utara pulau Timor (wilayah Portugis). Sementara itu, sejak
(Federasi) Kerajaan Aru memudar, terbentuk Kerajaan Dilli (di ibu kota di Deli
Tua yang sekarang), Pengusung kerajaan ini diduga kuat adalah dua anggota
Federasi Kerajaan Aru yakni Kerajaan Sibajak Lingga (wilayah kabupaten Karo
yang sekarang) dan Kerajaan Goenoeng Raja (wilayah kabupaten Simalungun yang
sekarang). Kapan nama Dilli ini muncul dan kapan Kerajaan Dilli terbentuk?

Pada tahun 1619 Kerajaan Dilli ini diserang Portugis
yang berpusat di Malaka (tahun ini merupakan tahun yang mana VOC/Belanda membuka
pos perdagangan utara di Batavia). Mengapa? Yang jelas saat ini antara Portugis
dan Kerajaan Atjeh masih terus dalam hubungan politik yang pasang surut. Besar
dugaan serangan Portugis ini ke Kerajaan Dilli karena factor Kerajaan Atjeh.


Seperti disebut di atas, Kerajaan Dilli diduga awalnya adalah sebuah
pelabuhan bersama yang dibentuk atau terbentuk oleh, paling tidak dua eks
Kerajaan Aru yakni Lingga dan Nakur di hulu sungai Deli. Pelabuhan ini didukung
oleh pedagang Portugis. Sebagaimana disebt sebelumnaya, antara Portugis di
Malak dan Kerajaan Aru cukup akrab. Boleh jadi Kerajaan Atjeh menganggap
wilayah daerah aliran sungai Deli sebagai wilayah kekuasaanya (pasca perang
Aru/Atjeh 1537). Lalu dalam perkembangannya, Kerajaan Atjeh mengakuisisi
pelabuhan di pedalaman. Respon Portugis di Malaka diduga negative. Untuk
mempertahankan pelabuhan diduga kuat pasukan Atjeh telah memperkuat pertahanan
pelabuhan Dilli (dengan tembok-tembok pertahanan).  Pelabuhan dengan tembok pertahanan yang dikuasai
Kerajaan Atjeh lalu diserang pasukan Portugis dari Malaka.

Kehadiran Atjeh di hulu sungai Deli ini yang diduga
yang sebelum atau sesudah serangan Portugis terbentuk Kerajaan Dilli, suatu
kerajaan yang menjadi vassal Kerajaan Atjeh. Kerajaan Dilli ini untuk waktu
yang lama berada di bawah bayang-bayang perseteruan Kerajaan Atjeh dan Portugis
di Malaka.


VOC/Belanda di Hindia Timur semakin menguat yang menjadi pesaing Portugis
dan Spanyol. Setelah melemahnya ancaman (kerajaan) Mataram di Jawa, militer
VOC/Belanda menyerang Portugis di Malaka dan mendudulinya pada tahun 1641. Tamat
sudah kekuatan Portugis di Hindia Timur. Sementara itu Belanda dengan payung VOC
menjadi kekuatan baru di selat Malaka. Bagaimana reakasi Atjeh? Jelas
berterimakasih kepada VOC/Belanda, tetapi pasang surut hubungan Atjeh dan
VOC/Belanda tetap terjadi.

Setelah terusirnya Portugis dari selat Malaka, dan
pedagang-pedagang VOC yang belum mengenal betul situasi dan kondisi politik,
terutama di pantai timur Sumatra, Kerajaan Dilli bangkit kembali. Pusatnya
tidak lagi di hulu sungai Deli tetapi kemudian relokasi ke wilayah hilir di
teluk Dilli (dimana sungai Deli dan sungai Hamparan Perak bermuara). Seperti
kita lihat nanti, kelak pelabuhan Dilli di hulu sungai Deli disebut sebagai
Deli Tua, sementara pelabuhan baru yang terbentuk di hilir disebut Laboehan
(kelak pada era Pemerintah Hindia Belanda disebut Labuhan Deli). Lantas
bagaimana dengan kerajaan-kerajaan di pedalaman eks Kerajaan Aru? Nyaris tidak
terinformasikan, tertutup rapat oleh kepopuleran Kerajaan Atjeh yang masih menguasai
seluruh wilayah pesisir bagian utara (pantai barat dan pantai timur).

 

Dalam laporan-laporan VOC/Belanda ada beberapa kerajaan yang
terinformasikan. Berdasarkan laporan-laporan VIC di Baroes, sisa Kerajaan Aru
hanya tinggal Angkola, Mandailing dan Padang Lawas tiga wilayah pertama yang
menjadi pendahulu Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7) serta pendukung Kerajaan
San-fo-t’si (Tambusai) pasca invasi Chola dan Kerajaan Aru (pasca serangan
Majapahit). Seperti disebut di atas, di wilayah utara sudah muncul Kerajaan
Lingga (kini wilayah Karo) dan Kerajaan Raja (kini wilayah Simalungun). Masih
dari laporan-laporan VOC di Baroes muncul nama tiga kerajaan di sekitar danau
Toba. Berdasarkan deskripsi Radermacher (1787) disebutkan terdapat tiga
kerajaan di Tanah Batak (Het Land der Batak), yakni Het Ryk Simamora, Het Rykje
Batak Silindong dan Het Rykje Boetar, Dari tiga nama kerajaan yang dicatat
Radermacher tersebut hanya Kerajaan Silindoeng yang diimbuhi nama Batak.
Wilayah Silindoeng cukup jelas (kabupaten Tapunuli Utara yang sekarang),
wilayah Boetar (kabupaten Toba Samosir yang sekarang) dan wilayah Simamora pada
saat ini terdiri dari beberapa kabupaten (Samosir, Humbang Hasundutan, Pakpak
Dairi, Pakpak Barat dan Dairi).

Pada tahun 1772 Kerajaan Dilli diserang Kerajan
Siak, Kerajaan Dilli berakhir, Pada saat ini seorang pedagang Inggris di India/Bengkoeloe
Charles Miller melakukan ekspedisi ke wilayah Angkola.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan
(ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami
ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah
catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top