*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini
Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, flora dan
fauna pulau Bali dan pulau Jawa mirip satu sama lain, ada harimau Bali dan ada
harimau Jawa, juga ada salak Bali dan ada salak Soenda. Harimau Bali dan
harimau Jawa sudah punah, tapi salak Bali masih eksis. Satu yang unik unik di
pulau Bali adalah jenis burung jalak yang dikenal sebagai Jalak Bali, suatu
burung endemik yang hanya ditemukan di Bali, karena itu disebut burung Jalak
Bali.

Jalak Bali (Leucopsar
rothschildi) adalah sejenis burung pengicau berukuran sedang, dengan panjang
lebih kurang 25cm, dari suku Sturnidae. Jalak Bali hanya ditemukan di hutan
bagian barat pulau Bali dan merupakan hewan endemik Indonesia. Burung ini juga
merupakan satu-satunya spesies endemik Bali dan pada tahun 1991 dinobatkan
sebagai lambang fauna Provinsi Bali. Jalak Bali ditemukan pertama kali pada
tahun 1910. Nama ilmiah Jalak Bali dinamakan menurut pakar hewan berkebangsaan
Inggris, Walter Rothschild, sebagai orang pertama yang mendeskripsikan spesies
ini ke dunia pengetahuan pada tahun 1912. Sementara itu, nama jalak terkenal di
Jawa disebut Jalak Harupat, namun bukan suatu burung tetapi sejenis ayam jantan
dalam bahasa Sunda. Ayam tersebut dimitoskan sebagai ayam yang kuat, pemberani,
nyaring saat berkokok, selalu menang saat diadu. Sifatnya yang demikian
membuatnya dijadikan julukan bagi seorang pemberani seperti Otto Iskandardinata
(lihat Wikipedia).
Bagaimana sejarah Jalak Bali? Namanya sudah
dipatenkan dengan nama ilmiah Leucopsar rothschildi yang dihubungkan dengan seorang kolektor asal Austria yang tinggal di Inggris, Walter Rothschild. Jauh sebelumnya sudah ada seorang
Inggris di Lombok yakni Alfred Russel Wallace. Tentu saja jangan lupa dengan
nama Prof. Dr. Soekarja Somadikarta yang juga ahli burung terkenal Indonesia. Seperti kata ahli sejarah tempo
doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan
wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah
seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan
tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan
imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Flora dan Fauna Bali: Walter Rothschild
Ketika menulis artikel ini, saya teringat Prof Dr
Soekarja Somadikarta, meski sudah tua namun masih enerjik. Saya dengan beliau kerap
saling bertukar info sejarah. Prof Dr Soekarja Somadikarta dapat dikatakan
generasi penerus dari tokoh-tokoh fauna Indonesia: Alfred Russel Wallace dan Lionel
Walter Rothschild. Jika Lionel Walter Rothschil penemu burung Jalak Bali (Leucopsar rothschildi), Soekarja
Somadikarta adalah penemu burung Kacamata Togian (Zosterops somadikartai).
Soekarja
Somadikarta lahir di Bandoeng tanggal 21 April 1930) adalah seorang ahli burung
Indonesia dan guru besar emeritus di Universitas Indonesia. Prof Dr Soekarja Somadikarta sejatinya adalah Bapak
Ornitologi Indonesia, seorang pelopor dalam penelitian burung di Indonesia.
Penemuanya terhadap burung Kacamata Togian namanya ditabalkan sebagai nama
akademik burung tersebut Zosterops somadikartai. Soekarja Somadikarta meraih
gelar doktor (Ph.D) di Freie Universitat Berlin tahun 1959. Pada tahun 1974
diangkat sebagai guru besar Universita Indonesia dan menjadi dekan Fakultas
MIPA UI dua periode (1978-1984). Pada tahun 2000 Prof Dr Soekarja Somadikarta pensiun sebagai guru
besar di Universitas Indonesia. Selagi saya masih mahasiswa, anak Pak Soma (Prof
Dr Soekarja Somadikarta) bernama Dedi
Ahadiat pernah menjadi asisten kami dalam mata kuliah fisika.
Lionel Walter Rothschild adalah seorang kolektor
kutu (Sumatra-bode, 11-04-1911). Meski demikian, Lionel Walter Rothschild
adalah seorang putra milioner di Eropa, Baron Albert von Rothschild asal Wina
yang sebagian investasinya di Inggris meninggal pada tangga 11 Februari 1911 (lihat
Bataviaasch nieuwsblad, 14-03-1911). Dengan uang yang sangat melimpah Lionel
Walter Rothschild mendatangkan spesimen kutu dari seluruh penjuru dunia dan
disimpan di galerinya yang mewah (museum Tring) di London. Lionel Walter
Rothschild adalah keturunan Jahudi tersukses di Inggris. Lantas apakah Lionel
Walter Rothschild pernah ke Bali?
Lionel
Walter Rothschild tampaknya tidak pernah datang ke Bali. Tidak pernah ada
berita yang mengindikasikan Lionel Walter Rothschild prnah melakukan perjalanan
ke Hindia Belanda. Lionel Walter Rothschild adalah seorang sponsor dalam
pengiriman ahli-ahli untuk melakukan penelitian etnografi termasuk zoology ke
Hindia Belanda seperti Dr ID Tauern yang telah melakukan penelitian ke pulau
Misool, pulau Seram dan pulau Bali (lihat Algemeen Handelsblad, 03-06-1914).
Sudah barang tentu para ahli yang dikirim seperti
Dr ID Tauern yang menemukan burung Jalak Bali dan namanya diberi sesuai nama
sponsornya Lionel Walter Rothschild. Hal seperti ini sejak doeloe sudah lazim.
Misalnya ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pieter Merkus mengirim seorang Jerman Jung
Huhn untuk melakukan ekspedisi geologi dan botani ke Tapanoeli tahun 1840. Di district
Sipirok (onderafdeeling Angkola) Jung Huhn menemukan pohon pinus yang khas.
Lalu pohon itu diberi nama botaninya sebagai Pinus Merkusii Jungh. et de Vriese.
Pada
tahun 1846 Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Jacob Rochussen mengirm seorang
Jerman Heinrich Zollinger ke pulau Bali dan pulau Lombok untuk melakukan ekspedisi ilmiah untuk memetakan geologi dan
botani. Dalam laporannnya Zollinger menyatakan ‘kakatua putih ditemukan di
Lombok, belum di Balie, juga spesies burung nuri kecil yang sangat indah di
Jawa dan Balie tidak diketahui’. Dalam laporan Dr R van Eck asal Belanda yang
diterbitkan tahun 1878 menyatakan: ‘akhirnya melihat satawa hutan bersayap,
kami mencari kakatoewa dengan sia-sia, yang pertama kali ditemukan di Lombok.
Untuk melihat noeri (sejenis nuri kecil, sangat indah) kita harus pergi ke
perbatasan timur Karangasem atau ke salah satu pulau di dekat Kloengkoeng. Di
sisi lain, banyak burung berjanggut, sari buah, wielewalen, pelatuk, burung
jalak, kwikstaarten, kelelawar, dan spesies lain beterbangan di Bali, yang
tidak terjadi atau jarang ditemukan di seberang selat Lombok’.
Lantas mengapa nama Jalak Bali diberi nama Leucopsar
rothschildi padahal R van Eck sudah mencatatnya pada tahun 1878. Apakah hal itu
karena R van Ecjk tidak mendiskusikannya dengan ahli yang kompeten. R van Eck
sendiri adalah etnolog. Berbeda dengan Jung Huhn yang setelah pulang dari
Tapanoeli mendiskusikan temuannya dengan Prof de Vriese di Buitenzorg. Oleh
karena itu, nama pinus temuan Jung Huhn diberi nama Pinus Merkusii Jungh. et de Vriese.
Setelah
Heinrich Zollinger ke Bali dan Lombok pada tahun 1846, seorang geolog dan
botanis Inggris Alfred Russel Wallace berada di pulau Lombok pada tahun 1856. Wallace
tidak ke Bali. Boleh jadi hal ini karena di pulau Lombok sejak 1833 terdapat
seorang pedagang Inggris yang terkenal GP King. Keberadaan orang asing di Bali
dan Lombok menjadi penting karena radja-radja sangat selektif siapa yang boleh
masuk ke pedalaman. Zollinger adalah orang pertama dan terakhir yang masuk
pedalaman Lombok hingga tahun 1895.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Jalak Bali: Dr. K Deninger, E Stresemann dan Dr. OD Tauern
Bagaimana para ahli menemukan Jalak Bali
sesungguhnya tidak sengaja. Ekspedisi ilmiah yang dilakukan oleh Dr. Deninger,
Dr. OD Tauern dan E Stresemann menuju
pulau Seram di Maluku terdampar di Bali pada bulan Januari 1910 (lihat Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-05-1911). Selama perbaikan kapal
di Soerabaja, disebutkan Dr. Tauern dan E Stresemann, yang tetap tinggal di Bali
melakukan perjalanan di pulau ke arah yang berbeda. Dalam perjalanan tersebut Dr
Tauern mengumpulkan banyak materi etnografi Bali. Lalu pada tanggal 16 April, setelah
Dr. Deninger kembali dari Soerabaja ketiga peneliti ini bertemu kembali di atas
kapal uap (di Bali) dan kemudian bersama-sama berangkat ke Maluku untuk
kelanjutan ekspedisi mereka.

ekspedisi ilmiah ini adalah Prof Dr. Karl Deninger, seorang geolog di Universitas
Freiburg dan Erwin Stresemann seorang zoologist dari Universitas Munchen. Dalam tim
ini juga termasuk Dr Odo Deotadus Tauern, ahli fisika dan geografi dari Universitas
Freiburg. Dr. K Deninger sendiri sudah
pernah ke Maluku di pulau Boeroe pada tahun 1906.1907 untuk melakukan studi
geologi. Dalam kunjungan kedua ke Maluku ini didampingi dua ahli lainnya yang
memulai perjalan dari Singapoera pada tanggal 24 November (1909), Kapal mereka
tiba di Pasar Ikan Batavia dan kemudian bertemu dengan Gubernur Jenderal.
Setelah itu berlayar ke Soerabaja selama 72 jam. Di dalam kapal ini dari
Batavia ikut tiga pribumi dari perusahaan Soerabajahschen Machinehandel yang
akan membantu menangani mesin (kapal sendiri sudah bermasalah sejak dari
Muntok). Dalam pelayaran ini Dr. Deninger dan Mr. Stresemanu duduk sebagai nahoda
dan sementara Dr. Tauern mengoperasikan mesin. Pada awal Januari berangkat dari
Soerabaja (ke Maluku) namun setelah 24 jam kapal bermasalah dan mereka terpaksa
berlayar ke Bali dan ingin berlabuh ke pelabuhan Boeleleng. Namun sebelum
mencapai pelabuhan mereka mengalami badai barat yang tak terduga dan sangat hebat,
Kapal terlempar ke pantai dan rusak parah. Kapal yang rusak kemudian, tidak ada
pilihan lain, akan ditarik kembali ke Soerabaja untuk diperbaiki. Pada tanggal
20 Februari, kapal uap Speelman membawa kapal mereka kembali ke Soerabaja. Dr.
Deninger juga ikut untuk memperbaiki kapal. Sambil menunggu perbaikan kapal, Dr.
Deninger melakukan perjalanan ke selatan Oost Java dimana dia terlibat dalam
penyelidikan geologi untuk formasi tersier. Setelah selesai kapal, Dr. Deninger
berangkat ke Bali tetapi sial kapal tersangkut di selat Madoera. Kapal dibawa
kembali ke Soerabaja, Sialnya lagi kapal tidak bisa ditunggu karena
perbaikannya akan lama. Dengan kapal uang Dr. Deninger ke Bali untuk menemui
koleganya untuk melanjutkan perjalanan ke Maluku.
Selama di pedalaman Bali, diduga salah satu dari E
Stresemann dan Dr OD Tauern telah menemukan burung jalak Bali. Besar dugaan
zoolog E Stresemann yang kemudian mendiskusikan tentang penaman burung endemik
Bali tersebut. Seperti disebutkan di dalam berbagai tulisan, burung jalak Bali sudah
sejak 1910 diberi nama botani lLeucopsar rothschildi.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Prof. Dr. Soekarja Somadikarta: Bapak Ornitologi Indonesia
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.