*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Riau di blog ini Klik Disini
Keberadaan
orang Riau di Afrika Selatan dilaporkan oleh J Greshoff dalam tulisannya
berjudul Maleis Leven in Zuid-Aftika (lihat Amigoe di Curacao, 09-01-1945).
Laporan ini, seperti disebutnya, Greshoff sudah beberapa kali berkunjung ke
Afrika Selatan. Tentu saja keberadaan orang Riau di Afrika Selatan menarik,
karena selama ini tidak terinformasikan.

Padang di Afrika Selatan mengirimkan suatu bentuk prasasti kepada saya untuk
membuat interpretasinya. Disebutkan di dalam prasasti itu bahwa ada tiga Orang
Kaija (pemimpin lokal) yang berasal dari pantai barat Sumatra diasingkan ke
Afrika Selatan pada tahun 1667. Saya telah memberi pendapat kepada mereka di
Afrika Selatan bahwa tiga tokoh itu menjadi penyebar agama Islam pertama di
Afrika Selatan, jauh sebelum kehadiran Sjech Jousouf dari Makassar. Lantas
bagaimana orang dari Riau? Pada era yang jauh lebih awal saya juga menemukan
dalam catatan Frederik de Houtman pada tahun 1596 yang membuat perbandingan
bahasa Malagasi dengan bahasa Melayu di pulau Madagaskar. Frederik de Hourman
adalah adik Cornelis de Houtman yang menjadi ahli bahasa dalam pelayaran
Belanda pertama tersebut. Dengan modal kamus bahasa Melayu yang dikumpulkan di
Madagaskar ini tiga kapal yang dipimpin Cornelis de Houtman berlayar ke Hindia. Besar dugaan orang yang berbahasa Melaya mulai eksis di Madagaskan pada era Portugis atau pada era sebelumnya orang-orang Moor (pendahulu orang Portugis).
Sejarah
pada masa lampau, pada masa kini adakalanya tidak terduga. Nah, itu tadi
bagaimana J Greshoff menginformasikan bahwa sudah ada orang Riau di jaman
lampau di Afrika Selatan. Selama ini semua berpikir bahwwa hanya Sjeich Jousouf
van Makassar yang memulainya. Okelah, itu satu hal. Hal yang lebih penting
adalah apakah orang Riau benar-benar sudah sampai ke Afrika Selatan pada masa
lampau? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan
wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya
sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi,
sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti
surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan
artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel
saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah
pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk
lebih menekankan saja*.
Malaka dan Orang Riau
Pada
tahun 1643 VOC-Belanda di masa Gubernur Jenderal Antonio van Diemen dengan
dukungan orang Bali menyerang Portugis dan kemudian menduduki kota pelabuhan
Malaka. Lantas apa masalahnya bagi orang Riau? Orang Riau yang sudah nyaman dengan Portugis selama
lebih dari satu abad tentu saja tidak senang dengan keberadaan Belanda di
Malaka. Orang-orang Riau adalah pedagang penghubung antara Maluku dan Malaka.
Hubungan orang Riau dengan Malaka menjadi terputus (sebagian bertahan di Gowa).
Sejak inilah diduga menjadi pangkal perkara munculnya perselisihan antara VOC
Belanda dan orang-orang Riau.
Pada tahun 1645 van Diemen meninggal dan
kemudian digantikan oleh Cornelis van der Lijn. Namun sosok van der Lijn tidak
sekokoh van Diemen. Meski demikian Lijn cukup lama memimpin hingga tahun 1650 mengundurkan
diri karena sudah tua dan sakit yang digantikan oleh Carel Reyniersz. Gangguan
yang selama ini muncul di selat Malaka diselesaikan oleh Reyniersz. Hal ini
karena tahun 1649 Pemerintah VOC mengirim korps pasukan Eropa ke Makasser untuk
memberikan bantuan dalam pertempuran. Pada tahun 1650 kekuatan VOC di Makasser
telah berhasil memenankannya dan kembali ke Batavia. Pada tahun 1652 Reyniersz
menyelesaikan benteng Kasteel Batavia. Namun tahun berikutnya Reyniersz
meninggal dunia.
J
Greshoff dalam tulisannya (1945) menyebut orang-orang Riau tiba di Afrika Selatan
pada tahun 1652. Lalu angin apa yang menyebabkan orang Riau diasingkan ke
Afrika Selatan? Satu-satunya jawaban ini adalah pertempuran di
Makassar pada tahun 1649 yang dimenangkan oleh VOC pada tahun 1650. Hanya pertempuran
Makassar ini yang terjadi di sekitar tahun 1652.
Pangkal perkara hubungan VOC (Batavia) dengan
Makassar (Gowa) bermula sebagai berikut: Gubernur Jenderal Anthony van Diemen
mengangkat seorang pedagang (koopman) di Makassar N van Vliet sebagai gubernur
(landvoogden). N van Vliet terbunuh pada tahun 1638 lalu digantikan oleh oleh
kepala pedagang (opperkoopman) VOC di Makassar, Johan van Suijdewijk.
Pengangkatan Johan van Suijdewijk sebagai gubernur hanya berlangsung hingga
1646. Setelah itu fungsi gubernur VOC di Makassar ditadakan. Seperti disebut di
atas, Malaka berhasil ditaklukkan pada tahun 1643 dan kemudian pada tahun 1649
perang dilancarkan di Makassar yang ditingkatkan dengan pasukan Eropa dan
berhasil dimenangkan pada tahun 1650., Setelah inilah pada tahun 1651 fungsi
gubernur di Makassar diaktifkan kembali dengan mengangkat Evert Jansz. Ruijs.
Siapa
sebenarnya yang menjadi lawan VOC berperang di Makassar? Bukan dengan kerajaan Gowa (yang beribukota di
Sombaopoe), akan tetapi dengan orang-orang Portugis dan partnernya orang Melayu
yang didukung oleh kerajaan Gowa. Saat ini kekuatan Portugis berpusat di
Ternate. Hubungan perdagangan antara Ternate dan Makassar saat ini sangat
intens.
Pada tahun 1655 Ruijs digantikan oleh Abraham
Verspreet. Namun belum lama menjabat sebagai gubernur, Abraham Verspreet harus
ditarik kembali ke Batavia. Posisi di Makassar kemudian nanti dipindahkan ke
Bima. Garis pertahanan VOC dari Batavia, Bali, Bima, Banda dan Amboina, setelah
kemenangan di Makasar pada tahun 1650 (terhadap Portugis dan Melayu), VOC mulau
mengusir Portugis di Tidore dengan bekerjasama dengan Ternate. Akhirnya
Portugis terusir dari Tidore tahun 1657 dan Portugis tamat.
Pada
bulan Desember 1660 Aroe Palakka melarikan diri ke Boethon karena dianggap
Kerajaan Gowa (Makassar) melakukan pemberontakan di Bone. Boethon yang berada
di bawah perlindungan Ternate (yang telah bekerjasama dengan VOC) berseberangan
dengan Makassar.
Pasukan Bone atas nama Makassar mengejar Aroe
Palakka hingga ke Boethon. Lalu Boethon meminta Aroe Patodjo (dan Aroe Palakka)
ke Batavia. Sekitar satu bulan kemudian Aroe Palakka dengan keluarganya
bergabung dengan warga Ambonsch yang bersekutu dengan orang-orang VOC. Aroe
Palakka tinggal di Angke (bersama dengan orang-orang Bugis).
VOC
bersama Ternate berhasil mengusir Spanyol dari Semenanjung Celebes dan kemudian
VOC mendirikan benteng di Manado pada tahun 1661. Pada situasi ini, posisi
Kerjaan-Kesultanan Gowa dalam posisi terjepit (dari semua penjuru). Namun
Kesultanan Gowa sudah terlanjur menjadi kesultanan besar dengan pusar
perdagangan yang banyak dikunjungi oleh berbagai bangsa.
Pada tahun 1661 hubungan timbal balik antara
Batavia (VOC) dengan Bima semakin intens setelah ditempatkan viceroy (Gubernur-Residen)
di Bima (lihat Daghregister 12 September 1661). Hasil pembicaraan antara
Residen VOC dengan radja Bima (koning van Bima) dicatat dalam Daghregister pada
tanggal 4 Oktober 1661. Dalam hal ini, Bima menjadi tempat terpenting kedua VOC
di timur (selain Amboina). Di Bima sudah ditempatkan gubernur dan residen VOC.
Dengan
posisi VOC yang semakin kuat yang didukung oleh banyak pihak, mulai membuat
perhitungan dengan Gowa (Makassar) karena Gowa dianggap masih terhutang atas
kematian N van Vliet yang terbunuh pada tahun 1638 di Makassar. Pemerintah VOC
juga membuat perhitungan dengan Kesultanan Atjeh karena Cornelis de Houtman
terbunuh di Atjeh pada tahun 1601. Laksamana
Cornelis Speelman mempersiapak serangan ke Gowa. Namun sebelum itu Pemerintah
VOC ingin menyelesaikan terlebih dahulu pantai barat Sumatra dimana Atjeh
bercokol.
Pada tahun 1666, Abraham Verspreet memimpin
sebuah ekspedisi kedua di Sumatra’s Westkust. Abraham Verspreet bertindak
sebagai Komisaris (civiel) merangkap komandan (militair) untuk menumpas
pelawanan Paoeh di muara sungai Batang Araoe yang beberapa bulan sebelumnya
telah memberi perlawanan kepada ekspedisi Belanda pertama dibawah pimpinan Jacob
Grujs. Abraham Verspreet membawahi pasukan ‘multi nasional’ yang dibawa dari
Batavia pada bulan Agustus 1666 yang terdiri dari 300 orang Belanda dan 100
orang Ambon dibawah komando Kapitein Jonker. Aroe Palakka yang posisi pelarian
dari Celebes dan sedang menganggur di Batavia menawarkan pasukannya 250 orang
untuk bergabung dengan ekspedisi di bawah komando Poolman ke Sumatra’s Westkust.
Dengan demikian ekspedisi ke Sumatra’s Westkust ini di bawah komisaris Abraham
Verspreet dan komandan militer Majoor Poolman memiliki kekuatan yang berjumlah
1.000 orang. Tawaran Aroe Palaka ini diterima pemerintah untuk menguji Aroe
Palaka sendiri.
Pasukan
VOC di pantai barat Sumatra berhasil mengusir Atjeh. Aroe Palakka telah
melayani dengan baik dalam ekspedisi dan telah kembali ke Batavia 3 November
1666 dengan banyak penghormatan. Persahabatan Poolman dan Aroe Palakka semakin
intens dan menjadi sahabat.
Namun tidak lama kemudian, delapan belas hari
setelah di Batavia, Aroe Palakka berangkat dengan salah satu kapal yang menuju
Makassar untuk bergabung dengan Laksmana Speelman yang akan mengeksekusi Gowa-Tallo
yang telah melanggar perjanjian (contract). Armada Speelman sendiri telah meninggalkan
Batavia pada tanggal 24 September 1666 dan berlayar terlebih dahulu ke Boethon.
Laksamana
Speelman dari Ternate dan Boethon tiba pada tanggal 10 Desember 1666. Sehari
sebelumnya, Aroe Palakka telah menangkap beberapa orang Badjau subyek Gowa, di
pulau Tanakeke. Penangkapan ini mengindikasikan benar-benar perang sudah
dimulai sebelum diumumkan. Kesultanan Gowa hanya tinggal sendiri. Hanya tinggal
selangkah lagi Aroe Palaka akan menjadi Sultan (membalas dendam terhadap Gowa).
Bukti yang ditunjukkan Aroe Palakka dengan
pasukannya di Sumatra’s Westkust menjadi pasword untuk bergabung dengan pasukan
Speelman yang akan menghukum Goa-Tallo. Cornelis Speelman memang membutuhkan
sekutu baru untuk bisa mengalahkan kekuatan Goa-Tallo. Rekomendasi Poolman
memperkuaat penerimaan Speelman terhadap Aroe Palakka. Sementara itu, Speelman
tidak menyukai pangeran Makassar karena telah melakukan banyak pelanggaran
teritorial (menyerang kapal-kapal VOC dan mengganggu pegawai-pegawai VOC) dan
segera melakukan serangan dengan menaikkan bendera merah. Armada Speelman
berlayar ke Boethon setelah mengetahui pasukan Makassar ingin menyerang Boethon
karena telah membantu Aroe Palakka. Boeton tertolong karena armada Speelman
berada tiba pada tepat waktu. Pada
tanggal 1 Januari 1667 dengan meningkatnya ekskalasi suhu perang, 5.000
Bonéerér, Soppengers dan Boeginer lainnya merapat kepada Aroe Palakka (yang
datang dari Batavia). Pasukan lawan yang tersisa menyerah pada tanggal 3
Januari.
Setelah
‘pertempuran’ Speelman dan Gowa-Tallo di Boethon, Aroe Palakka ‘ngepos’ di
Boethon. Sementara Speelman melanjutkan pelayaran ke Maluku untuk tujuan
tertentu. Aroe Palakka mendapat pesan dari Spoelman untuk mengutus pasukan
untuk membebaskan Boné, Soppeng dan Adjatappareng melawan Gowa. Namun semua
pasukan di Bone dihabisi oleh Makassar, tetapi Soppeng dan Adjatappareng
terhindar karena pasukan Speelman yang sudah kembali mendekat.
Speelman sendiri kembali ke Boeton pada bulan
Juni 1667 yang didampingi oleh Soelthan Ternate, Mandarsjah, serta pasukan
pembantu dari Ternate, Tidore dan Batjan. Setelah membuat kontrak dengan
Boethon, Speelman pada bulan Juni itu ke Makassar yang diikuti semua pasukan
yang berafiliasi dengan Speelman dari Maluku, pasukan Aroe Palakka dan ditambah
1.000 pasukan dari Boethon. Total, Speelman di Makassar membawahi 11.000
pasukan dan siap melawan Goa-Tallo (lihat Sejarah Bone pada surat kabar
Soerabaijasch handelsblad, 16-08-1905).
Akhirnya
kerajaan Gowa berhasil ditaklukkan VOC. Benteng Somba Opu yang juga merupakan
ibukota (Stad) Somba Opu pasca penaklukan telah dihancurkan. Hal ini didasarkan
pada perjanjian Bongaya (16 November 1667). Perjanjian ini terdiri dari 30
pasal (artikel). Pada Art.10 dinyatakan bahwa seluruh benteng di garis pantai
Makassar harus dihancurkan (Barombong, Panekoke, Grise, Marisso, Borrebos).
Hanya benteng Somboepo [Sombaopoe] yang tetap ada bagi Raja. Sedangkan Art.11
menyatakan bahwa benteng Udjoeng Pandang diserahkan kepada VOC dalam keadaan
baik, bersama perkampungan dan lahan di sekitarnya.
Setelah kerajaan Gowa tiada, pemerintah VOC
kembali memperkuat hubungan (komunikasi) dengan kerajaan/kesultanan Bima.
Perjanjian (contract) baru antara pemerintah VOC dan kerajaan Bima diperbarui
tangga 13 November 1669 sebagaimana dicatat dalam Daghregister.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Orang Afrikans di Cape Town
Pada
tahun 1899 Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda di Padang, yang menjabat sebagai
editor surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat marah kepada orang Belanda dan
orang pribumi yang mengumpulkan dana di seluruh Hindia Belanda untuk membantu dalam
kasus transvaal (bantuan orang-orang kepada golongan putih de Boer di Afrika
Selatan). Satu keberatan Dja Endar Moeda karena di Hindia Belanda sendiri pribumi
dilanda kemiskinan yang justru memerlukan bantuan. Perang opini ini terjadi
pada bulan Desember 1899 yang dimuat pada surat kabar Sumatra-courant yang
terbit di Padang.

15-12-1899 (pembaca menulis): ‘saya ingin memulai dengan apa yang telah
diketahui yang disebut: Transvalomanie (bantuan untuk Belanda di Afrika).
Ketika semua orang terdengar simpati di Belanda dan kepentingan chariti
ordonante. Dalam Ind. Revuew, November 1899 kita membaca, kata-kata yang sangat
tepat berikutnya: …. bawah Transvalomanie untuk menunjukkan bahwa dari Belanda di sini uang
datang dalam jumlah banyak untuk Transvaal. Tujuannya baik. Tapi sama seperti
cinta tanpa pengetahuan adalah fatal, mungkin amal tanpa menyalip tujuan.
Sampai saat ini (9 November) hanya dari beberapa tempat penting di Nusantara
telah terkumpul jumlah f37.115,28. Untuk berperang di Belanda sudah dikumpulkan
f220.000. Ayo ke sana, ketika India adalah dalam kesulitan (yang kronis terjadi)
yang itu sangat besar buat disini. Bagaimana terpuji itu, bantuan untuk
diberikan penghasilan sementara disini terancam, disini miskin dan juga
terlihat di sekitar. Yang susah payah uang dari Timur dikirim, sedangkan tempat
kami tinggal masih begitu banyak kemiskinan dan banyak air mata terlalu kering.
Panti Asuhan dan pendirian amal lainnya memiliki kesulitan terbesar untuk tetap
di tempat. The Transvaal didukung oleh seluruh dunia beradab Hindia bahkan ibu
pertiwi. Transvaal akan menjadi kegagalan senegara tertekan kami. Dja Endar
Moeda, Editor sini muncul lembar Melayu Pertja-Barat, baru ini menunjukkan yang
pasti tidak hangat dan tidak tulus mengeluarkan hati simpati untuk Transvaal.
Sekarang saya peduli sangat sedikit untuk sering membabi buta meniru Transvaal
Transfigurasi membuat banyak kebodohan tentu tidak biasa dilakukan. Editor ini
melaporkan dalam koran melayu, bahkan dia mengaku putih, mengganggu, mereka
makan wooiden dalam Melayu: Nenek Mojang, kurang digunakan untuk berarti: nenek
moyang atau mengejek dala rangka mengutuk. Dan saya hanya bertanya: di mana
perlu untuk memarahi, dan apa yang membantu para petani?’.
Siapa
yang memusuhi golongan putih de Boer di Afrika Selatan tersebut? Mereka itu adalah orang-orang Afrika Selatan
yang disebut Afrikaans. Orang Afrikaans ini adalah ras campuran
antara orang-orang Hindia (baca: Nusantara) dengan penduduk asli dan antara
orang-orang Hindia dengan orang kulit putih (Indo).
Apa yang disebut J Greshoff dalam tulisannya
(1945) bahwa orang-orang Riau tiba di Afrika Selatan pada tahun 1652 ada
benarnya. Lalu kemudian pada tanggal 24 Januari 1667 tiga Orang Kaija dari
pantai barat Sumatra diberangkatkan dari Batavia untuk diasingkan ke Kaapland
(Afrika Selatan). Sementara itu perang Gowa baru berakhir dengan perjanjian
pada bulan November 1667. Sech Joesoef sendiri (asal Makassar) baru tiba di
Afrika Selatan pada tahun 1694.
Pengasingan
orang-orang Hindia ke Afrika Selatan ditutup pada tahun 1767. Ini berari
orang-orang Hindia berada di Afrika Selatan dala kurun waktu lebih dari satu
abad. Keturunan mereka inilah yang kemudian pada tahun 1899 memusuhi
orang-orang kulit putih (Belanda) di Afrika Selatan. Dja Endar Moeda paham
siapa yang dibantu dengan penggalangan dana nasional dan siapa yang akan
menjadi lawannya di Afrika Selatan. Dja Endar Moeda sendiri pada tahun 1892
setelah pensiun jadi guru berangkat haji ke Mekkah. Pada tahun 1895 kembali ke
Hindia dan mendirikan sekolah swasta di Padang dan kemudian menjadi editor
Pertja Barat pada tahun 1897. Tentu saja Hadji Saleh Harahap gelar Dja Endar
Moeda banyak bertemu dengan orang-orang Afrikaan yang menunaikan haji ke
Mekkah.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.