Sejarah

Sejarah Singapura (17): Sejarah Awal Nama Malaya, Malaka, Malaca, Malayu, Melayu, Malay dan Malaysia; Himalaya dan Malea




false
IN


























































































































































 

*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Singapura dalam blog ini Klik Disini

Nama
Melayu jelas sangat penting. Sejak era Portugis di Malaka (1511) sudah disebut
bahasa Melayu sebagai lingua franca. Dalam prasasti kuno di Palembang sudah
menggunakan bahasa Melayu kuno (Sanskerta). Nama Malaka adalah sebutan bagi
orang-orang Moor pendahulu orang-orang Portugis (orang Portugis menulisnya
sebagai Malaca). Sementara itu orang-orang Inggris mengkuti nama aslinya Malaya
(Malayu atau Melayu) menjadi Malay (dan kemudian muncul nama Malaysia).

Di Semenanjung Malaya terdapat tiga nama
gunung (yang terlihat dari pantai). Tiga gunung itu disebut gunung Malaya,
gunung Ophir dan gunung Raja (baca: Raya). Nama Malaya diduga kuat reduksi dari
Himalaya. Di kaki gunung Malaya inilah terbentuk kota (pelabuhan). Nama (kota)
Malaya kemudian dijadikan nama wilayah (semenanjung). Sementara itu di pantai
barat Sumatra juga terdapat tiga nama gunung tersebut: gunung Raja di Angkola,
gunung Malea (reduksi dari Himalaya) di Mandailing dan gunung Ophir di Pasaman
(gunung Ophir juga saling dipertukarkan dengan nama gunung Pasaman). Tiga
wilayah gunung di pantai Sumatra ini adalah sama-sama penghasil emas. Tidak
jauh dari gunung Malea terdapat candi kuni (di Siabu) dan candi yang lebih baru
di Portibi (Padang Lawas) dan di Muara Takus (antara hulu sungai Rokan dan hulu
sungai Kampar). Muara sungai Rokan yang sekarang adalah suatu teluk yang jauh
ke pedalaman (tidak jauh dari percandian). Oleh karena nama gunung dan
candi-candi tersebut terkait dengan India maka arah terbentuknya candi-candi
tersebut berasal dari pantai barat Sumatra. Apakah migrasi orang Angkola Mandailing sudah terjadi sejak zaman kuno, jauh sebelum kehadiran penduduk dari Jawa, Minangkabau, Bugis dan
Borneo
?

Lantas
bagaimana sejarah nama Malaya hingga menjadi Malaysia
? Tampaknya Semenanjung Malaya telah menjadi simpul
pertemuan antara (kebudayaan) Barat (India) dan (kebudayaan) Timur (Tiongkok). Antara
orang India dan Sumatra dari arah barat dan orang Tiongkok dan Indochina. Bagaimana hal itu bisa
? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya
ada permulaan.
Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
internasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Malaya

Pegunungan
Himalaya adalah pegunungan yang memisahkan daratan India dan daratan Tiongkok.
Dari daratan India, orang zaman doeloe banyak yang melakukan pelayaran ke India
Timur (baca: Hindia Timur) hingga ke pulau yang kini dikenal sebagai Pulau
Sumatera. Tujuan mereka adalah untuk perdagangan dengan penduduk (asli)
Sumatera yang mengahasilkan produk-produk zaman kuno seperti emas, gading,
kamper, kemenyan, damar dan sebagainya yang dipertukarkan dengan produk-produk
industri dari India seperti kain, besi, peralatan rumah dan sebagainya.

Orang-orang Tiongkok juga telah melakukan
pelayaran dari daratan Tiongkok ke pulau-pulau di selatan Laut Cina seperti
Borneo, Semenanjung Malaya dan pantai timur Sumatra (dan bahkan hingga ke Jawa).
Orang-orang Tiongkok datang untuk berdagang dengan mempertukarkan produk industri
dengan produk alamiah seperti emas, gading,  hasil hutan, rempah-rempah dan sebagainya. Dalam
konteks inilah kelak muncul nama-nama seperti Marco Polo (Italia) via Tiongkok
dan Ibnu Batutah (Tunisia-Maroko) via India,

Tentulah
orang-orang India berlayar ke Hindia Timur pada jarak yang lebih dekat, seperti
pantai barat Sumatra dan dan pantai barat Semenanjung Malaya. Namun dimana
orang-orang India kali pertama berlabuh tentu saja sulit diketahui. Hal itu
karena temponya sudah lama berlalu di zaman kuno. Akan tetapi itu tidak menjadi
halangan untuk mengetahui meski itu sudah lama berlalu. Tempat dimana
orang-orang India berlabuh (dan bahkan menetap) dapat diasumsikan dimana
terdapat produk yang mereka butuhkan untuk diperdagangkan di India. Oleh karena
perdagangan itu berlangsung untuk waktu yang lama (antar generasi) menjadi faktor
penting dibuatnya peta-peta (navigasi dan koloni) yang mencatat nama-nama
geografi seperti nama sungai, nama gunung, nama tempat dan sebagainya. Dalam
pencatatan nama geografi itu didasarkan pada penamaan lokal (oleh penduduk
asli) atau penamaan yang dilakukan sendiri.

Dalam peta-peta tersebut pada masa ini dapat
diperbandingkan antara nama-nama yang diberikan dengan nama-nama tempat yang
terdapat di India. Nama-nama penanda navigasi seperti nama gunung, nama sungai
dan nama tempat menjadi penting sebagai sumber sejarah. Nama-nama navigasi
tersebut, seperti halnya di dalam pembuatan peta, juga diturunkan dari generasi
ke generasi. Sudah barang tentu sulit menemukan nama-nama Timur Tengah atau
Eropa, sebab penduduk pendatang di Hindia Timur baru orang-orang dari India
atau dari Tiongkok. Oleh karena orang-orang India membuat koloni maka mereka
bercampur dengan penduduk asli yang menjadi faktor penting terjadinya
akulturasi budaya dan pertukaran ilmu pengetahuan.

Di
pantai barat Sumatra wilayah koloni India tertua diduga di sekitar wilayah
Angkola (Tapanoeli) yang sekarang. Diantara sisa-sisa India (era Boedha-Hindoe)
yang masih bertahan hingga ini hari adalah batu-batu candi di daerah hilir aliran
sungai Angkola (candi Simangambat, Siabu). Di wilayah ini juga terdapat
nama-nama geografi kuno yang dapat dihubungkan dengan India seperti nama gunung
Malea yang diduga reduksi dari nama gunung Himalaya. Di daerah hulu sungai
Angkola ini juga ditemukan nama gunung Raja. Di dekat candi Simangabat
ditemukan nama tempat S-aroe-matinggi (batas pemisah antara aliran sungai
Angkola yang lebih rendah dan yang lebih tinggi). Beberapa sungai yang beruara
di gunung Malea di arah hilir bersatu enjadi sungai besar ke pantai timur Sumatra
(selat Malaka). Sungai itu disebut sungai B-aroe-moen. Kata aroe dalam bahasa
India (selatan) adalah sungai.

Tunggu
deskripsi lengkapnya

Malaya, Malaka dan Malaysia

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top