Untuk
melihat semua artikel Sejarah Singapura dalam blog ini Klik Disini
Candi
kuno tidak hanya ditemukan di Jawa dan Sumatra, tetapi juga ditemukan di
Semenanjung (kini Malaysia). Sejauh ini tidak ditemukan candi di pulau-pulau Filipina. Lantas apa
pentingnya memahami keberadaan candi di Semenanjung? Sudah barang tentu akan memperkaya pemahaman
keberadaan candi-candi di Indonesia. Lalu apa yang menjadi keutamaan candi di
Semenanjung yang ditemukan di Kedah? Diduga kuat candi di Kedah sejaman dengan era
Kerajaan Aru di bagian utara Sumatra dan Kerajaan Sriwijaya di bagian selatan
Sumatra.

Candi di Semenanjung berada di Lembah Bujang
di wilayah negara bagian Kedah, Besar dugaan candi ini adalah peninggalan
kerajaan Kadaram zaman kono yang berada di wilayah Kedah yang sekarang. Dalam
prasasti Tanjore 1030 dalam invasi Kerajaan Chola, nama-nama Kadaram, Panai dan
Sriwijaya disebut sebagai (pelabuhan) yang ditaklukkan, Kerajaan Sriwijaya pada
saat itu diduga kuat (masih) berada di muara sungai Batanghari. Sedangkan
Kerajaan Panai (Kerajaan Aru) berada di selat Malaka di pantai timur Sumatra
(daerah aliran sungau Barumun, Padang Lawas, Tapanuli). Daerah aliran sungai
Barumun pada masa kini ditemukan belasan candi-candi dari zaman kuno.
Lantas
bagaimana sejarah candi di Semenanjung umunya dan secara khusus sejarah candi
di wilayah Kedah? Tentu saja sejarah candi di Kedah menarik, karena
Kerajaan Kadaram yang menjadi pendahulu Kerajaan Kedah sejaman dengan dua
kerajaan besar di Sumatra yakni Kerajaan Aru dan Kerajaan Sriwijaya. Lalu dalam
mempelajari candi-candi di Malaysia sekarang ini darimana dimulai? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya
ada permulaan. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah internasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.

sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Candi Kuno di Semenanjung:
Kerajaan Kadaram hingga Kerajaan Malaka
Candi
zaman kuno di Kedah dapat dikatakan satu-satunya pusat percandian di
Semenanjung Malaya, Bangunan terpenting di kawasan percandian ini adalah candi
Bukit Batu Pahat, suatu sisa bangunan yang hanya berupa tangga dan batur yang
membentuk kaki candi dengan sebagian tubuhnya. Pada bagian depan candi terdapat
mandapa atau pelataran candi. Kawasan candi berada diantara gunung Jerai di utara
dan sungai Merbok di selatan. Peradaban di sekitar candi ini diduga bermula
pada abad ke-5.

James Low. Aksara yang digunakan Brahmi, sangat mirip dengan prasasti
Purnawarman dan karena itu diperkirakan prasasti ini dibuat pada abad ke-5.
Prasasti Purnawarman berada di Jawa Barat (Kerajaan Tarumanegara).
Kawsan
selat Malaka diduga baru berkembang setelah perkembangan awal di pantai barat
Sumatra. Ptolomeus (90-168 M) dalam bukunya menyebut Sumatra bagian utara
adalah penghasil kamper. Masih dalam literatur Eropa disebut kamper diekspor
dari pelabuhan Barus sejak abad ke-5. Besar dugaan kamper dari Tanah Batak di
Angkola Mandailing di sungai Barumun (Kerajaan Aru) ditransfer ke (pelabuhan)
di pantai barat Semenanjung Malaya (Kerajaan Kadaram di Kedah yang sekarang).
Sebab saat itu satu-satunya wilayah penghasil kamper adalah wilayah Tanah Batak
dengan pelabuhan Binanga (muara sungai Barumun).

Palembang bertarih 682 disebutkan Dapunta Hyang berangkat dari Minana dengan
20.000 tentara dan tiba di Hulu Upang. Nama yang mirip Minana pada masa ini
adalah Binanga di sungai Barumun (Padang Lawas Tapnuli) dan Hulu Upang sebagai
nama sungai di Bangka. Nama Radja di wilayah Padang Lawas adalah Dapunta Hyang
(Kerajaan Aru) dan nama radja di Hulu Upang adalah Sriwijaya (yang menjadi nama
kerajaan). Tentu saja Kerajaan Aru dengan pelabnhannya di Binanga adalah
kerajaan yang kaya (sentra kamper). Pelabuhan di Kadaram dan pelabuhan Sriwijaya
adalah tujuan transfer produk kamper yang keluar dari pelabuhan Binanga.
Setelah
Barus di pantai barat Sumatra, pada saat berkembangnya pelabuhan Binanga,
pelabuhan Kadaram dan pelabuhan Sriwijaya, kemudian muncul pelabuhan baru di
ujung utara pulau Sumatra (Kerajaan Lamuri). Kerajaan Lamuri ini juga menjadi
tujuan produk kamper dari Tanah Batak. Pada tahun 1025 Kerajaan Chola dari
India Selatan menyerang tiga pelabuhan di selat Malaka (Lamuri, Kadaram, Panai
dan Sriwijaya). Keterangan ini ditemukan pada prasasti Tanjore 1030. Panai
adalah nama lain dari pelabuhan Binanga (sungai Batang Pane bermuara di sungai
Barumun di kota Binanga yang sekarang). Di sekitar kawasan ini pada masa kini
ditemukan banyak candi.
Pasca pendudukan Chola, Kerajaan Panai atau
Keajaan Aru kembali bangkit. Selama pendudukan Chola muncul kerajaan di hulu
sungai Batanghari (Kerajaan Mauli). Kerajaan ini diduga kuat sebagai para
pemimpin Kerajaan Aru melarikan diri ke hulu sungai Batanghari dan Kerajaan
Sriwijaya yang awalnya (diserang() di muara sungai Batanghari melarikan diri
(relokasi) ke daerah aliran sungai Musi. Hal itulah mengapa di muara sungai
Batanghari terdapat situs candi.
Pada
saat kebangkitan kembali Kerajan Aru, sesunguhnya Kerajaan Kadaram berusaha kembali.
Namun pelabuhan Malayu yang berada di tenggara Kerajaan Kadaram juga bangkit
kembali. Namun menjadi masalah bagi Kerajaan Kadaram karena pelabuhan Malayu lebih
pesat perkembangannya. Dengan semakin intensnya kehadiran pedagang-pedagang
Arab dan Persia serta Moor menyebabkan pelabuhan Malayu yang Hindoe Boedha
menjadi Kerajaan Islam yang disebut Kerajaan Malaka.
Seperti halnya Kerajaan Malaka yang telah
beragama Islam (Arab), Kerajaan Lamuri di ujung utara Sumatra juga telah
menjadi kerajaan Islam. Kerajaan Lamuri ini kemudian menyerang Kerajaan
Kadaram. Kerajaan Lamuri yang Islam inilah kemudian yang berubah menjadi
Kerajaan Atjeh (yang dalam perkembangannya diperkuat militer Kerajaan Turki).
Saat
Kerajaan Malayu menjadi Islam (diperkuat pedagang Arab), kerajaan Lamuri yang
diperkuat pedagang Persia (kemudian digantikan Turki), pedagang-pedagang Moor
di pelabuhan Muar di tenggara Malaka merapat ke pantai timur (Kerajaan Aru).
Nama Muar merujuk pada nama Moor atau Moear). Dalam posisi inilah Kerajaan Aru
pernah menyerang Kerajaan Malaka seperti ditulis Mendes Pinto yang pernah
berkunjung ke Kerajaan Aru pada tahun 1537. Dengan kata lain, Kerajaan Malaka
berada di bawah Kerajaan Aru dan Kerajaan Kadaram (yang menjadi Kerajaan Kedah)
di bawah Kerajaan Atjeh. Pasca pendudukan Kerajaan Aru, Kerajaan Malaka
berusaha bangkit tetapi belum pada puncaknya ditaklukkan oleh pelaut-pelaut
Portugis.

orang-orang Portugis di Malaka kemudian mendekati Kerajaan Aru yang juga pada
saat itu Kerajaan Aru tengah berselisih dengan Kerajaan Atjeh. Pendudukan
Kerajaan Atjeh di Kerajaan Kedah menjadi batu sandungan bagi Portugis di
Malaka. Atas dasar inilah dari Malaka Portugis mengirim utusan Mendes Pinto ke
Kerajaan Aru pada tahun 1537. Menurut catatan Mendes Pinto, Raja Kerajaan Aru
beragama Muslim dengan kekuatan 15.000 tentara yang mana diantaranya sebanyal
7.000 didatangkan dari Indragiri, Jambi, Broenai dan Luzon. Masih menurut
Mendes Pinto, Kerajaan Aru diperkuat oleh pedagang-pedagang Moor. Dalam hal ini orang Moor adalah orang
beragama Islam yang berasal dari Afrika Utara di laut Mediterania seperti
Mauritania, Maroko dan Tunisia. Orang-orang Moor inilah yang terusir dari
Spanyol (Cordoba) pasca Perang Salib yang menyebar ke Afrika Timur (Madagaskar)
terus ke India (Surate, Gujarat dan Goa) hingga meneukan jalan ke selat Malaka.
Kedatangan Ibnu Batutah pada tahun 1345 diduga karean kounitas orang Moor sudah
banyak di selat Malaka. Dengan semakin kuatnya Portugis di Malaka, dalam
perkembangannya muncul Kerajaan Johor di ujung selatan Semenanjung (diduga
berasal dari para pemipin Kerajaan Malaka).
Sementara
itu, pasca pendudukan Chola, Kerajaan Sriwijaya di daerah aliran sungai Musi yang
mulai berkembang, Kerajaan Mauli di hulu sungai Batanghari mendapat dukungan
dari Jawa (Kerajaan Singhasari) yang mana Kerajaan Aru telah memiliki hubungan
dagang dengan Kerajaan Singhasari. Sebagaimana diingat bahwa Kerajaan Mauli
yang juga disebut Kerajaan Dharmasraya adalah anak dari Kerajaan Aru. Pada fase
inilah Radja Singhasari yang terakhir Kertanegara mengadopsi agama Boedha Batak
sekte Bhairawa. Pada saat inilah Kerajaan Sriwijaya diserang Kerajaan
Singhasari (tamat Kerajaan Sriwijaya). Sebagaimana diketahui bahwa Radja
Kertanegara (meninggal 1298) adalah pendukung fanatik agama Batak sekte
Bhairawa. Radja terakhir Kerajaan Mauli (Dharmasraya) Adityawarman yang telah
merelokasi kerajaan ker hulu sungai Indragiri (kemudian disebut Kerajaan
Pagaroejoeng) juga adalah pendukung fanatik agama Boedha Batak sekte Bhairawa.
Radja Adityawarman yang juga bergelar Mauli dan Rajendra (Chola) meninggal pada
tahun 1375.
Saat Kerajaan Pagaroerjoeng tetap dengan sekte
Bhairawa, Kerajaan Aru mulai dipengaruhi pedagang-pedagang Moor. Hal itulah
pada saat ekspedisi Tiongkok (Cheng Ho) sekita 1403-1433 pelabuhan Kerajaan Aru
juga dikunjungi. Sejak kapan Kerajaan Aru dipengaruhi Islam lewat
pedagang-pedagang Moor dapat diperhatikan pada prassti Batugana yang menyatakan
Kerajaan Panai (Kerajaan Aru) dua diantara ranya bergelar Kadi (juga peimpin
agama Islam).dan satu diantara Kadi ini bergelar Haji. Catatan: Kerajaan Aru
satu-satunya Kerajaan yang berbentuk federasi (seperti Negara Malaysia saat
ini) yang berbeda dengan kerajaan monarki seperti di Jawa dan Sriwijaya dan kerajaan
oligarki seperti Malaka dan Atjeh. Gambaran di Kerajaan Panai (Kerajaan Aru)
ini masih ditemukan dalam catatan Mendes Pinto 1537.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Apakah Ada Candi Lainnya di
Malaysia: Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Aru
Bahasa
Sanskerta (Sanskrit) adalah lingua franca di wilayah India selatan pada zaman
kuno. Bahasa Sanskerta pada dasarnya adalah bahasa suci (agama) Hindoe dan
Boedha. Agama-agama yang memiliki kasta inilah yang mana kasta kedua (Kastria)
dan kasta kedua (Waisya) yang melakukan navigasi pelayaran perdagangan hingga
mencapai Hindia Timur di pantai barat Sumatra (jarak terdekat dari India).
Dalam catatan Ptolomeus (abad ke-2) di Eropa disebut Sumatra bagian utara
penghasil kamper.
Para pelaut dan pedagang India selatan ini
datang ke pantai barat Sumatra untuk berdagang produk-produk tahan lama, tidak
terlalu berat tetapi memiliki nilai tinggi dalam perdagangan internasional di
pantai barat India (Surate, Gujarat dan Goa). Produk bernilai tinggi seperti
emas ditemukan di berbagai wilayah pegunungan di pantai barat Sumatra mulai
dari bagian utara (Batak), tengah (Kerinci) dan selatan (Komering). Karena
itulah pulau Sumatra disebut Svarnadwipa sebagai pulau emas (prasasti Nalanda
860) Namun yang menjadi sentra produk
kamper dan kemenyan hanya di wilayah Batak (dari Angkola Mandailing hingga Alas
Gajo). Kamper inilah yang menyebabkan terbentuknya pelabuhan zaman kuno Barus
yang diidentifikasi sebagai pelabuhan ekspor kamper (kapur Barus) sejak abad
ke-5 sebagaimana ditemukan dalam literatur Eropa.
Dalam
perkembangannya para pedagang dari India selatan ini membentuk koloni-koloni,
ayang awalnya di kota-kota pantai kemudian merangsek ke pedalaman, di lembah-lembah
yang subur dimana terdapat danau-danau pedalaman. Di wilayah Angkola Mandailing
(Tapanuli Bagian Selatan yang sekarang) tiga danau yang ada adalah danau Siais,
danau Siabu dan danau Pakantan (danau Laut). Di wilayah pedalaman inilah koloni
India ini berinteraksi dengan penduduk setempat yang menghasilkan produk hasil
hutan (kamper, kemenyan dan damar), hasil tambang (emas) dan hasil berburu
(kulit harimau dan gading).
Dengan kesuburan tanah surplus pangan, dengan
kekayaan hasil perdagangan (hasil hutan, tambang dan berburu) penduduk Angkola
Mandailing menjadi makmur. Dengan transfer budaya dari India seperti religi,
ilmu pengetahuan (aksara) dan seni maka sistem pemerintahan dimodernisasi yang
menjadi suatu kekuatan politik yang kemudian terbentuknya Kerajaan Aru (kelak
disebut juga Kerajaan Panai). Perkampongan-perkampongan menjadi semakin banyak
populasi dengan semakin meningkatnya arus pendatang (pedagang India) dan
terbentuk kota-kota yang banyak dari pantai barat (Barus) hingga pantai timur
Sumatra (Binanga).
Para
pendatang dari India yang berbahasa Sanskerta, maka penduduk Angkola Mandailing
juga menjadi bilingual. Ibarat sekarang di Angkola Mandailing setiap orang
bilingual (bahasa Indonesia dan bahasa Batak). Seperti masa kinilah, pada zaman
kuno penamaan geografi di Angkola Mandailing termasuk nama kota (huta) banyak
yang menggunakan nama India (bahasa Sanskerta). Sebagai wilayah makmur maka
untuk mendukung religi baru dibangun candi pusat wilayah Kerajaan Aru (candi
Simangabat)—candi tertua di Sumatra.
Bahasa Sanskerta yang menjadi lingua franca,
lambat laun dengan adanya interakasi bahasa di dalam navigasi pelayaran
perdagangan dengan berbagai penduduk yang berbeda bahasa di kota-kota pantai di
Sumatra, Jawa, Semenanjung Asia dan Borneo menyebabkan bahasa Sanskerta semakin
diperkaya. Modus bahasa baru inilah yang melahirkan bahasa baru sebagai lingua
franca di nusantara yang dikenal sebagai bahasa Melayu Kuno. Dalam perkembangan
selanjutnya nanti, lalu bahasa Melayu Kuno ini semakin berkembang dengan
masuknya bahasa Tiongkok dan Eropa yang menjadi bahasa Melayu Modern. Proses
itu terus berlanjut, bahasa Melayu Modern yang berkembang di wilayah kekuasaan
Pemerintah Hindia Belanda dideklarasikan sebagai Bahasa Indonesia (1928). Pada
masa ini Bahasa Indonesia (bahasa Melayu Modern yang semakin diperkaya) menjadi
lingua franca dan bahasa Melayu Modern menjadi bahasa daerah yang setara dengan
bahasa Batak, bahasa Jawa.
Dalam
hubungan perkembangan wilayah di Angkola Mandailing (Kerajaan Aru) semakin
meluas hingga ke wilayah Simalungun (kemudian ke Gajo). Pada saat Kerajaan Aru
berbasis di tiur pegunungan Bukit Barisan terbentuk pelabuhan baru di Binanga.
Dengan demikian Kerajaan Aru memiliki dua pelabuhan ekspor di barat di Barus
dan di timur di Binanga. Pada saat inilah Kerajaan Aru ekspansi ke Kerajaan
Sriwijaya di pulau Bangka (lihat prasasti Kedukan Bukit 682). Pada fase ini
Kerajaan Aru juga membentuk pelabuhan baru di Ambuaru (kini Perlak). Dalam era
inilah diduga muncul pelabuhan-pelabuhan lain di Lamuri dan Kadaram.
Nama Kerajaan Aru merujuk pada terminologi aru
dari bahasa India Selatan yang diartikan sungai. Jadi Kerajaan Aru adalah
Kerajaan Sungai (dimana terdapat banyak sungai). Salah satu kota terpenting di
sisi barat pegunungan bukit barisan adalah S-aru-matinggi (dekat candi
Simangambat), Pelabuhan Binanga berada di muara sungai B-aru-mun. Nama aru
sejak abad ke-5 juga digunakan nama pelabuhan B-aru-s sebagai pelabuhan
Kerajaan Aru. Pada saat terbentuk pelabuhan Lamuri dan pelabuhan Kadaram,
Kerajaan Aru membentuk pelabuhan baru di sebelah utara yakni pelabuhan Ambu-aru
(kini dikenal sebagai nama sungai Jambu
Air di Perlak). Nama pelabuhan Malaya (erujuk pada nama Hialaya) di tenggaa
Kadaram kelak disebut Malaka oleh orang-orang Moor (Himalaya, Malaya, Malaka
dan penduduknya disebut Malayu).
Dengan
memperhatikan keberadaan pelabuhan Kadaram yang menjadi Kerajaan Kadaram lalu
muncullah pembangunan candi-candi yang kurang lebih sejaman dengan candi di
Kerajaan Aru dan candi di Jawa (Batujaya dan Kendal). Pada saat inilah kejayaan
pelabuhan dan kerajaan di pantai barat Semenanjung berjaya sehingga mampu
membangun candi. Namun setelah itu tidak ada lagi pembangunan candi meski sudah
terbentuk pelabuhan Malaya di selatannya. Sementara itu pembangunan candi terus
berlangsung di daerah aliran sungai Barumun (Kerajaan Aru). Pada saat kejayaan
candi-candi inilah Kerajaan Aru menyerang Kerajaan Malaka (seperti disebut
Mendes Pinto 1537).
Di Kerajaan Aru bahasa yang digunakan bersiat
bilingual (bahasa Batak dan Sanskerta) seperti halnya penamaan nama-nama
geografi di wilayah Kerajaan Aru. Dalam perkembangannya terbentuk bahasa Melayu
Kuno dan Jawa Kuno (dari bahasa Sanskerta). Pada fase lingua franca yang baru
ini penduduk di Kerajaan Aru tetap bilingual (bahasa Batak dan bahasa Melayu
Kuno). Hal itulah mengapa
prasasti-prasasti di eks wilayah Kerajaan Aru ditemukan prasasti beraksara
Pallawa dengan bahasa bilingual (Batak dan Sanskerta) dan kemudian prasasti
yang lebih baru beraksara Batak Kuno (merujuk pada aksara Pallawa) tetapi
dengan bahasa bilingual (bahasa Batak dan bahasa Melayu Kuno)—Tentu saja pada
masa kini penduduk Angkola Mandailing (eks wilayah Kerajaan Aru) masih
bilingual (bahasa Batak dan bahasa Indonesia).
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir
Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.