Sejarah

Sejarah Sukabumi (1): Asal Usul Kota Sukabumi; Tanah Partikelir (land), Raffles, Engelhardt, de Wilde dan van der Capellen




false
IN




























































































































































false
IN



























































































































































Kebijakan
radikal tersebut yakni dengan membangun jalan pos trans-Java dari Batavia ke
Anjer dan dari Batavia ke Soerabaja via Buitenzorg. Berdasarkan beslit
pemerintah tahun 1810 jalan pos ini melalui Tjiseroa, Bajabang dan Soemedang
terus ke Tjirebon. Pada era Gubernur Jenderal Daendels ini juga dilakukan
pembangunan pertanian dengan meningkatkan irigasi dengan memperluas jangkauan
kanal dari Katoelampa (Osterslokkan). Juga meningkakatkan kanal irigasi
Tjipakantjilan dengan membuat rencana baru dengan meningkatkan debit air dengan
membendung sungai Tjisadane (kelak disebut Empang).

Kebijakan lainnya yang dibuat oleh Gubernur
Jenderal Daendels adalah mulai membangun kota-kota pemerintahan. Untuk tujuan
itu Daendels membeli land Weltevreden yang di atasnya dibangun istana
Weltevreden (kini dikenal sebagai gedung kementerian keuangan di lapangan
Banteng). Daendels juga membeli land Bloeboer untuk mendirikan kota pemerintah
di Buitenzorg. Untuk menutupi biaya-biaya tersebut, sebelumnya Daendels juga
menjual lahan lainnya kepada swasta sebagai tanah partikelir (land).
Land-land
yang baru tersebut berada di barat sungai Tjitaroem dan di barat sungai
Tjisadane. Land yang dibentuk di barat sungai Tjitaroem yang sebelumnya masuk
Residentie Krawang dan dimasukkan ke wilayah Residentie Batavia adalah land
Tjabangboengin, land Kedonggede, land Tjikarang dan land Tjibaroesa. Sedangkan
land yang dibentuk di barat sungai Tjisadane (termasuk sungai Tjianten dan
sungai Tjikaniki) adalah land Grendeng (kini Karawatji), land Tjigronson, land
Sading Djamboe (kini sebagai kecamatan Leuwisadeng), land Bolang (kini dikenal
sebagai kecamatan Cigudeg), land Tjoeroek Bitoeng (kemudian dikenal land
Nanggoeng) dan land Janlappa (Djasinga). Dengan pembentukan land baru ini maka
luas Residentie Banten dikurangi dan luas Residentie Batavia bertambah hingga
mencapai sungai Tjidoerian/Tjikande.
Namun semua itu segera berakhir karena terjadi
pendudukan Inggris. Gubernur Jenderal Daendels digantikan oleh Letnan Jenderal
Raffles. Pemerintah pendudukan Inggris memulai pemerintahannya dengan membentuk
16 Residentie di seluruh (pulau) Jawa. Di wilayah barat terdiri dari Residentie
Batavia, Residentie Banten, Residentie Buitenzorg, Residenti Krawang dan
Residentie Preanger.
Pada permulaan
Pemerintah Hindia Belanda wilayah Preanger terbagi dua: wilayah barat masuk
Batavian en Preanger Bovenlanden dan wilayah timur adalah Chirebon en Preanger
Bovenlanden. Saat itu, asisten residen berkedudukan di Buitenzorg termasuk
Preanger Bovenlanden (yang meliputi wilayah Tjiandjoer en Soekaboemi). Kemudian
pada era pendudukan Inggris dua wilayah Preanger disatukan dengan membentuk
Residentie Preanger dimana residen berkedudukan di Tjianjoer.
Dalam pemerintahan ini pemerintahan pendudukan
Inggris tidak memilih Batavia sebagai ibu kota (stad) tetapi di Buitenzorg (dan
di Semarang). Satu kesulitan yang dihadapi Inggris adalah mengadministrasikan
Residentie Soeracarta dan Residentie Djogjacarta. Pemimpin lokal di Djogjakarta
melakukan perlawanan dan terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
Inggris. Sementara itu, dalam situasi ‘dingin’ di Residentie Buitenzorg dan
Residentie Preanger, tidak disangka Letnan Gubernur Jenderal Raffles menjual
lahan kepada swasta di Residentie Preanger.
Dua
lahan yang dijual ini berada di Tjipoetri (Tjipanas) dan di Goenoeng Parang
(kelak masuk wilayah Asisten Residen Soekaboemi). Yang membeli kedua lahan
tersebut adalah Engelhardt. Tentu saja penjualan lahan ini sangat membingungkan
karena pemerintah pendudukan Inggris tidak dalam posisi kekurangan uang tunai.
Dua lahan yang berada di sisi selatan dan timur gunung Pangrango/gunung Gede ini
berada diantara land Tjikoppo/Srogol (Tjigombong) dan land Tjisaroea di perbatasan
Tjiandjoer (yang bersingungan langsung dengan land-land yang sudah lama
terbentuk di Afdeeling Buitenzorg, Residentie Batavia). Land yang berada di
district Goenoeng Parang ini kemudian disebut Land Soekaboemi.
Menurut peta yang dikumpulkan oleh de Haan, land ini dibentuk yang mana
land tersebut pada tahun 1815 dimiliki oleh Andries de Wilde.

Mengapa land di district Goenoeng Parang ini disebut Land Soekaboemi?
Pada saat itu tidak ada nama kampong yang disebut Soekaboemi di Residentie
Preanger. Nama kampong Soekaboemi hanya ditemukan di Residentie Batavia dan
Residentie Soeracarta. Kampong Soekaboemi di Residentie Batavia telah dijadikan
nama properti/land yang merujuk nama kampong Soekaboemi. Land Soekaboemi ini
paling tidak telah dipetakan pada peta yang berjudul Schets van de landen
tusschen de Sontar en de Ankee, ongeveer 1770 (lihat de Haan). Nama kampong
Soekaboemi di Batavia diduga kampong yang dulunya dibuka dan huni oleh eks
pasukan pendukung militer VOC yang berasal dari Soeracarta. Lantas, apakah nama
Soekaboemi sebagai nama land di district Goenoeng Parang merujuk pada properti/land
Soekaboemi di Batavia?

Kekuasaan Inggris tidak lama, pada
tahun 1816 kekuasaan beralih (kembali) ke tangan Pemerintah Hindia Belanda. Dalam
perkembangannya land Soekabomi diketahui telah dimiliki oleh Andries de Wilde.
Kerajaan Belanda mengangkat Godart Alexander Gerard
Philip Baron van der Capellen sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang
baru (Agustus 1816- Januari 1826). Satu yang penting dari kebijakan van der
Capellen adalah memperluas wilayah ke pantai barat Sumatra (sementara Inggris
tetap bercokol di Bengkoelen).
Pada permulaan Pemerintahan Hindia Belanda
(pasca pendudukan Inggris), rumor tentang keberadaan land Tjipoetri dan land
Goenoeng Parang mulai muncul. Penjualan lahan oleh Raffles menjadi isu hangat
karena selama era Daendels pembentukan land hanya dibatasi di Residentie
Batavia. Di luar Residentie Batavia adalah lahan-lahan pemerintah. Land
Tjipoetri dan land Goenoeng Parang dalam masalah.
Daftar Residen Preanger di Tjiandjoer, 1816-1871)

Pada awal pemerintahan Gubernur Jenderal van der Capellen
untuk Resident di Residentie Preanger diangkat PWL van Motman (saudara sepupu
pemilik land Dramaga, GWC van Motman). Oleh karena PWL van Motman dikabarkan
meninggal dunia, lalu residen Preanger yang baru diangkat Robert Lieve Jasper
van der Capellen (saudara sepupu Gubernuer Jenderal). Pada masa inilah isu
pembebasan dua land di Residentie Preanger semakin menguat. Pada tahun 1819 Andries
de Wilde diberitakan telah kembali ke Belanda. Boleh jadi de Wilde tidak
meneruskan kepemilikan land. Namun tidak jelas apakah de Wilde telah menjual
lahannya kepada pihak lain. Residen Preanger tampaknya ingin Residentie
Preanger bebas dari tanah partikelir.

Pada
tahun 1823 Gubernur Jenderal van der Capellen mengakuisisi dua land di
Residentie Preanger menjadi milik pemerintah kembali. Eks tanah partikelir di
Residentie Preanger tersebut kemudian dikenal dengan nama land Soekaboemi dan
land Tjipoetri. Ibu kota Preanger sendiri sejak era pendudukan Inggris tetap masih
berada di Tjiandjoer. Dengan pengembalian dua land ini menjadi domain
pemerintah (diserahkan kepada Bupati Tjiandjoer), penduduk sedikit lega karena
beban pajak sawah hanya dikenakan 1/10 (sementara sebelumnya pada era tanah
partikelir penduduk harus membayar 1/5).
Pada
tahun 1825 gunung Goentoer meletus dan terjadi kerusakan yang parah. Produksi
kopi menurun drastik. Ketersediaan bahan pangan menjadi langka di wilayah Priangan
termasuk di (land) Soekaboemi. Untuk mengamankan kelangkaan pangan di
Residentie Preanger, pemerintah mendistribusikan beras. Distribusi beras di
(land) Soekaboemi dilakukan di tiga gudang yang dapat diakses oleh penduduk
yakni di gudang di Tjiheulang, Tjimahie dan Goenoeng Parang (lihat Javasche
courant, 21-10-1828). Gudang milik pemerintah di Goenoeng Parang diduga
lokasinya berada di kampong Tjikole (yang kini menjadi nama jalan Gudang di
Kota Sukabumi).
Untuk mempercepat proses pemulihan
di Residentie Preanger kemudian diangkat Controleur di Sumadang (1ste-klass) di
Bandong (2de-klass) di Tjiandjoer (2de-klass) dan Limbangan (Javasche courant,
06-08-1829). Pemulihan tersebut utamanya untuk merehabilitasi lahan-lahan kopi
yang rusak dan juga untuk meningkatkan luas lahan kopi yang baru.
Terlihat bahwa penempatan controleur klass-1ste di
Sumadang menunjukkan bahwa Sumadang lebih penting (utama) jika dibandingkan
dengan Bandong (controleur klas-2). Penempatan Controleur ini selain untuk
mengefektifkan pemerintahan yang berpusat di Tjiandjoer juga diduga karena
terkait dengan penerapan koffiestelsel.
Pada tahun 1830 Johannes van den
Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal yang baru. Johannes van den Bosch
tidak asing dengan wilayah Residentie Buitenzorg dan Residentie Preanger.
Sebagaimana Abraham van Riebeeck yang pertama memetakan wilayah hulu sungai
Tjiliwong dan sempat meninjau ke Priangan di masa lampau, Johannes van den
Bosch adalah orang pertama yang memetakan wilayah Priangan dan yang menjadi ‘anak
buah’ ternaik dari Gubernur Jenderal Daendels. Kini, Johannes van den Bosch
telah menjadi Gubernur Jenderal.
District Goenoeng Parang (Peta-1823-1829)

Dalam berbagai surat pembaca di surat kabar, banyak pihak
yang mengharapkan Johannes van den Bosch sebagai Gubernur Jenderal yang baru
diangkat agar lebih bertindak adil jika dibandingkan dengan sebelumnya. Harapan
ini berdasarkan dua hal. Pertama, selama ini telah terjadi penindasan terhadap
penduduk oleh para pemimpin lokal dalam hubungannya dengan kontrak-kontrak
penanaman kopi dan kurang mendapat perhatian dari pemerintah pusat. Banyak
penduduk yang mengeluh. Kedua, Johannes van den Bosch adalah orang yang selama
ini terlibat langsung dalam pengelolaan land. Johannes van den Bosch telah
memiliki land Pondok Gede (di Afdeeling Bekasi). Lalu kemudian Johannes van den
Bosch memiliki land lain di wilayah Tjiawie (land Klein Pondok Gede). Namun
harapan itu tidak menjadi kenyataan.  

Program utama Johannes van den Bosch
sebagai Gubernur Jenderal yang baru adalah mengubah koffiekultuur menjadi
koffiestelsel. Tampaknya Johannes van den Bosch ingin mengejar setoran yang
lebih besar. Sebab Perang Jawa baru saja berlalu dan mengeluarkan biaya yang
sangat besar. Sementara itu, harga kopi di pasar dunia (terutama di Eropa)
tengah naik daun.
Peta 1840

Penerus
Johannes van den Bosch melihat koffiestelsel tidak cukup hanya di Jawa
khususnya di Preanger dan Buitenzorg, tetapi harus diperluas. Tanaman kopi yang
sudah sejak lama diintroduksi oleh orang Inggris di Padangsvhe dan Tapanoeli
dianggap strategis untuk memperluas koffistelsel. Para veteran Perang Jawa
mulai dialihkan ke pantai barat Sumatra yang kemudian terjadi Perang Bondjol
(Paangsche) dan Perang Pertibie (Tapanoeli). Sementara itu, koffiestelsel yang
juga mencakup wilayah Soekaboemi, ketika produksi sudah mulai mengalir ke
Buitenzorg, jalan antara Buitenzorg dan Tjiandjoer via Soekaboemi ditingkatkan
menjadi jalan pos. Pos-pos yang dibentuk berada di Tjitjoeroek, Nagrak,
Soekabomi dan Tjikembar. Tentu saja nama Tjibadak saat itu belum
teridentifikasi.

Kebijakan koffiestelsel yang
mendapat perlawanan terus menerus di Padangsche (Residentie Padangsche
Bovenlanden) dan di Afdeeling Angkola dan Mandailing (Residentie Tapanoeli)
pemerintah pusat mulai mengendorkan kebijakan koffiestelsel ala warisan
Johannes van den Bosch.

District Tjimahi (Peta 1823-1829)

Sejak
pembebasan land Soekaboemi dan menjadi domain pemerintah diduga banyak penduduk
dari wilayah Batavia (Afdeeling Buitenzorg) yang pindah ke wilayah Soekaboemi.
Disebutkan bahwa penduduk onderfadeeling Soekaboemi telah meningkat tajam
menjadi 80.000 jiwa (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-,
nieuws- en advertentieblad,    19-08-1850).
Afdeeling Soekaboemi yang masuk Regetshap Tjiandjoer terdiri dari beberapa
district, yakni: District Goenoeng Parang, District Tjimahi (termasuk
Tjikembar), District Tjiheulang, District Tjoetjoereok, District Soeniawenang
(kini Pelabuhan Ratu), District Djampang Koelon dan District Djampang Wetan. Ketujuh
district baru ini telah dibuat peta masing-masing.

Dalam perkembangannya di wilayah Afdeeling
Soekaboemi nama District Soeniawenang berubah menjadi District Palaboehan.
Dalam perkembangan berikutnya pada tahun 1870 District Djampang Wetan (timur)
dimasukkan ke Afdeeling Tjiandjoer dan di Afdeeling Soekaboemi District
Djampang Koelon dimekarkan dan dibentuk dasitrict baru yang disebut District
Djampang Tengah. District Tjiheulang sendiri kini lebih dikenal sebagai
Kecamatan Cibadak. Kepala District Tjimahi berkedudukan di Karang Tengah;
Kepala District Goenoeng Parang berkedudukan di Tjikole.

Javasche courant, 02-10-1833

Dalam Peta Etappenkaart van Java tahun 1836 yang dibuat
oleh van Schukkmann. disebutkan bahwa tidak ada jalan langsung dari Batavia ke
Soekaboemi. Rute etappen (persinggahan lalu lintas pos) ke Soekaboemi hanya
melalui Tjiandjoer terus ke Soeniawenang di Wijnkoopsbaai (kelak disebut Palaboehan
Ratoe). Pada saat itu pelabuhan di selatan (pulau) Jawa ini sudah
teridentifikasi sebagai pelabuhan perdagangan (lihat Javasche courant, 02-10-1833).
Dalam tabel item perdagangan yang masuk ke Wijnkoopsbaai masih sebatas arak
(untuk kebutuhan militer). Garnisun militer terdapat di Wijnkoopsbaai (lihat Javasche
courant, 09-04-1834). Setelah ditingkatkannya jalan akses (pos)
Buitenzorg-Tjiandjoer via Soekaboemi, garnisun ini direlokasi ke Tjikembar
(posisi antara pelabuhan dan jalan pos).

.

Lalu kemudian pada tahun
1870 dilakukan reorganisasi pemerintahan. Ibukota Afdeeling Mandailing tempat
dimana asisten Residen dipindahkan dari Panjaboengan ke Padang Sidempoean. Hal
yang sama juga dilakukan diberbagai wilayah termasuk di Residentie Preanger.
Sementara
itu, dalam penataan pemerintahan di Residentie Preanger yang dilakukan tahun
1871, tempat kedudukan Residen Preanger dipindahkan dari Tjiandjoer ke Bandong.
Dalam fase perpindahan ini resident Preanger tetap dijabat oleh C van der
Moore. Dalam reorganisasi ini Asisten Residen di Residentie Preanger terdapat
di Bandoeng, Tjitjalengka, Tjiandjoer, Soekaboemi, Soemedang, Limbangan, Soekapoera
dan Tasikmalaja. Sementara Bupati (Regent) Tjiandjoer berkedudukan di
Tjiandjoer, Bandong di Bandong, Limbangan di Garoet dan Soemedang di Soemedang.
Dalam reorganisasi pemerintahan tahun
1870an tersebut, Regentschappen (kabupaten) Tjiandjoer terdiri dari dua
afdeeling, yakni: Tjiandjoer dan Soekaboemi. Afdeeling Tjiandjoer terdiri dari
sembilan district dimana Asisten Residen berkedudukan di Tjiandjor; Afdeeling Soekaboemi
terdiri dari tujuh district dimana Asisten Residen berkedudukan di Soekaboemi. Secara
keseluruhan di Residentie Preanger total terdapat 62 district dari sembilan afdeeling.

Ketujuh
district di Afdeeling Soekabomi tersebut adalah Tjitjoeroek, Palaboehan,
Tjiheulang, Djampang Koelon, Djampang Tengah, Tjimahi dan Goenoeng Parang.
Kedudukan Asisten Residen (Afdeeling) Soekaboemi berada di kota Soekaboemi.
Untuk membantu Asisten Residen ditempatkan dua Controleur, yakni Controleur di
onderafdeeling Tjitjoeroek (district Tjitjoeroek, Palaboehan dan Tjiheulang)
yang berkedudukan di (kampong/kota) Tjitjoeroek dan Controleur di
onderafdeeling Lengkong (district Djampang Koelon dan Djampang Tengah) yang
berkedudukan di (kampong/kota) Njalindoeng. Untuk district Tjimahi dan Goenoeng
Parang langsung berada di bawah Asisten Resid
en.
Konsekuensi dari reorganisasi pemerintahan ini
sesuai ordonansi 10 September 1870, pemerintah mulai menerapkan retribusi
(tjoekei) untuk lahan-lahan sawah di Residentie Preanger (lihat Bataviaasch
handelsblad, 15-04-1871). Untuk wilayah Tjiandjoer diterapkan terbatas di (land)
Soekaboemi dan Tjipoetri.
Pembentukan Kota (Gemeente) Soekaboemi
Meski wilayah Sukabumi yang sekarang sudah
dikenal sejak era VOC, tetapi baru berkembang sejak era koffiestelsel (1830).
Perkembangan ini sempat terhambat karena pembebasan land Soekaboemi pada tahun
1823. Sementara land yang ada hanya sampai di land Tjikoppo (sekitar
Tjigombong).
Para
pemilik land umumnya mengembangkan jalan dan jembatan dan lalu kemudian jalan
antar land lambat laun terhubung. Hal ini berbeda di wilayah yang dikuasai
pemerintah seperti di Afdeeking Soekaboemi yang dalam hal pengangkutan komoditi
(kopi) hanya menggunakan jalan setapak yang menjadi lalu lintas pengangkutan
dengan cara dipikul menuju Tjiandjoer atau menuju Buitenzorg melalui
tanah-tanah partikelir. Jalan raya yang dapat dilalui oleh pedati hanya
terbatas pada jalan pos dari Tjiandjoer melalui Tjisaroea menuju Buitenzorg. Meski
demikian, para pedagang Tionghoa yang sebelumnya berbasi di Buitenzorg lambat
laun memasuki wilayah Soekaboemi yang membentuk pemukiman di kampong Tjikole.
Pada tahun 1821 kampong Tjikole sudah banyak dihuni oleh orang-orang Tionghoa.  
Pada tahun 1836 pemerintah menetapkan status
jalan (lihat Javasche courant,         30-01-1836).
Jalan kelas satu diantaranya jalan pos dari Batavia ke Buitenzorg terus ke
Bandoeng melalui Megamendoeng/Tjisaroea. Untuk jalan kelas dua adalah dari
Buitenzorg ke Djasinga melalui Tjiampea dan jalan dari Buitenzorg ke Tangerang
melalui Koeripan dan Parong. Sedangkan jalan kelas tiga adalah jalan kecil.
Pada jalan kelas satu dan kelas dua dikenakan retribusi untuk pedati.
Dalam
beslit penetapan status jalan ini tidak teridentifikasi jalan di wilayah
Soekaboemi. Besar dugaan jalan utama di wilayah Soekaboemi tergolong jalan
kelas tiga (hanya dapat dilalui oleh kuda beban). Pada Peta 1840 jalur jalan
kelas tiga di wilayah Soekabomi ini adalah dari Tjiandjoer ke Soekaboemi; dari
Buitenzorg ke Soekabomei melalui Tjitjoeroek dan Nagrak; serta dari Soekaboemi
ke pelabuhan melalui Tjikembar. Jalan antara Tjiandjoer dan Buitenzorg melalui
Soekaboemi lambat laun terus ditingkatkan. Hal ini karena semakin berkembangnya
perkebunan-perkebunan teh di Tjijoeroek, Sinagar dan Parakan Salak.
Kota Soekaboemi lambat laun tumbuh dan
berkembang. Orang-orang Eropa yang membuka perkebunan di wilayah Soekaboemi
tidak lagi tinggal di Tjiandjoer atau di Buitenzorg tetapi secara bertahap
memusat di Soekaboemi. Orang-orang Tionghoa di Buitenzorg juga terus mengalir deras
masuk ke Soekaboemi.
Penduduk
pribumi juga terus bertambah karena perkembangan perekonomian yang pesat di
wilayah Soekaboemi. Pada tahun 1850 jumlah penduduk Afdeeling Soekaboemi telah
meningkat pesat menjadi sekitar 80.000 jiwa (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant
: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 19-08-1850).
Seiring dengan pertumbuhan perkebunan dan
perkembangan penduduk di wilayah Soekaboemi, pada Peta 1857 jalan antara
Buitenzorg dan Tjiandjoer vai Soekaboemi telah diidentifikasi sebagai jalan kelas
dua. Peningkatan ini diduga karena peran Controleur yang ditempatkan di Soekaboemi.
Wilayah
Soekaboemi dan Tjipoetri tidak hanya menghasilkan kopi dan teh, pada tahun 1858
dua wilayah ini dilaporkan untuk kali pertama mengekspor beras (lihat Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-07-1858). Ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk telah memberi kontribusi dalam pencetakan
sawah-sawah baru yang pada gilirannya menghasilkan surplus beras. Melihat
perkembangan yangt pesat di Soekaboemi, ketika Gubernur Jenderal melakukan
kunjungan ke Tjiandjoer juga menyempatkan diri dalam perjalanan pulang ke
Soekaboemi (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant : staats-, handels-, nieuws- en
advertentieblad, 14-09-1860).
Pertumbuhan dan perkembangan di Afdeeling
Soekaboemi kemudian pemerintah pusat pada tahun 1871 meningkatkan status
Controleur Soekaboemi menjadi Asisten Residen dan menempatkan satu Controleur
di Tjitjoeroek. Dampaknya jalur Buitenzorg dan Soekaboemi semakin ramai.
Bataviaasch handelsblad, 31-08-1882

Jalur
ini menjadi jauh lebih ramai jika dibandingkan jalur dari Soekaboemi ke
Tjiandjoer. Soekaboemi kemudian menjadi salah satu destinasi wisatawan
sehubungan dengan beroperasinya jalur kereta api Batavia-Buitenzorg pada tahun
1873. Di Soekaboemi sudah tersedia satu losmen (logement) yang dikelola oleh
seorang Italia (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 02-06-1882). Hotel di Soekaboemi ini adalah hotel baru milik JH Ploem
(lihat Bataviaasch handelsblad, 31-08-1882).

Pada tahun 1883 jalur kereta api Buitenzorg-Bandoeng
via Soekaboemi dan Tjiandjoer dioperasikan. Kota Soekaboemi juga terus tumbuh
dan berkembang. Jarak tempuh Soekaboemi tidak hanya lebih dekat dengan Buitenzorg,
tetapi juga arus barang dan orang dari Soekaboemi ke Batavia juga semakin
intens. Kota Soekaboemi tampaknya telah mampu mengejar ketertinggalannya dari kota
Tjiandjoer. Kota Soekaboemi semakin tidak terbendung, kota telah tumbuh dan
berkembang. Dan pada akhirnya kota Soekaboemi menjadi Kota (Gemeente).
Hotel Ploem di Soekaboemi, 1902

Pada
tahun 1914 kota Soekaboemi ditingkatkan statusnya menjadi Kota (Gemeente).
Penetapan ini berlaku sejak tanggal 1 April 1914. Kota Soekaboemi telah
memiliki dewan kota (gemeenteraad). Meski demikian, wali kota (burgemeester)
belum diangkat, Asisten Residen Soekaboemi merangkap sebagai pimpinan Gemeente
Soekaboemi. Berdasarkan daftar dewan daerah (Gewest) dan dewan kota (Gemeente)
tahun 1921, Kota Soekaboemi termasuk salah satu dari 31 Kota (Gemeente) di
Hindia Belanda. Di West Java sendiri yang bestatus Gemeente adalah Batavia,
Buitenzorg, Cheribon, Bandoeng, Meester Cornelis dan Soekaboemi.

Kota Soekaboemi baru tahun 1926 memiliki wali
kota secara definitif. Wali kota pertama adalah GF Rambonet. Sebagai
perbandingan: Gemeente Buitenzorg yang dibentuk pada tahun 1905 baru tahun 1920
memiliki wali kota yakni A. Bagchus (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 31-01-1920).
Sedangkan Gemeente Bandoeng yang ditetapkan sejak 1904 baru tahun 1917 wali
kota diangkat secara definitif (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 18-06-1917).

Kota Sukabumi (Peta 1899)

Di
dalam Kota Soekaboemi terdapat dua kediaman/kantor peminpim daerah yakni
Asisten Residen dan Burgemeester. Rumah/kantor Residen menghadap alun-alun kota
(jalan pos), sedangkan di sisi barat alun-alun di jalan pos berada masjid dan
di sisi timur alun-alun di jalan pos rumah/kantor Burgemeester. Sementara itu
kantor.rumah kepala district Soekaboemi berada di kampong Njomplong di selatan
rel jalan ke arah Pelabuhan Ratoe, kini dikenal sebagai jalan Pajagalan (di
selatan jalan ini tempo doeloe terdapat pejagalan).

Demikianlah sejarah panjang
Sukabumi yang ditulis sesingkat-singkatnya ini. Ketika menulis artikel ini saya
teringat nama kawan lama di jalan Kebon Djati, Sukabumi yang bernama Dandan
Dian Gandani yang kami harus berpisah pada tahun 1983 karena Dandan ikut
program Habibie untuk studi ke Jerman. Pertemuan terakhir saya dengan Dandan
ketika izajah SMAnya tertinggal dan saya harus antar sendiri ke Bandung ke
tempat karantina mereka di PT Nurtanio. Artikel ini saya dedikasikan buat my
friend Dandan Dian Gandani. Waar ben je nu. No..no.. Where are you now? Wo bist
du jetzt? Artikel ini juga didedikasikan buat sepupu-sepupu dan keponakan-keponakan
saya di Sukabumi.

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top