*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini
Seperti halnya candi-candi, bangunan-bangunan
yang terbentuk kemudian di Soerakarta, termasuk peninggalan bangunan kolonial
dapat dikatakan warisan sejarah. Disebut demikian karena masih eksis apakah
dalam bentuk asli atau bentuk lain yang telah bertransformasi dalam wujud relief,
bentuk, pola atau ciri tradisi lainnya. Bangunan ini mulai dari kraton hingga
rumah tinggal biasa penduduk. Dalam bangunan-bangunan inilah kita dapat melihat
bentuk-bentuk arsitektur tradisi dan arsitektur modern.
Arsitektur
dan peninggalan sejarah di Surakarta. Sebagai kota, berusia hampir 250
tahun, memiliki banyak kawasan situs bangunan tua. Selain bangunan tua, ada
juga yang terkumpul di berbagai lokasi sehingga membentuk beberapa kawasan kota
tua, dengan latar belakang sosial beragam. Kraton Kasunanan Surakarta tentu
saja adalah bangunan paling pokok dalam konsep penataan ruang Solo, salah satu
kota pertama di Indonesia yang dibangun dengan konsep tata kota modern. Kraton berdekatan
dengan Bengawan Solo selalu terancam banjir, kemudian dibangun tanggul yang
hingga kini masih dapat dilihat membentang dari selatan wilayah Jurug hingga
kawasan Solo Baru. Berdasarkan Surat Keputusan Walikota Tahun 1997 terdapat 70
objek di Solo yang masuk kategori cagar budaya: Kelompok kawasan sebanyak 4
objek: Keraton Kasunanan, Keraton Mangkunegaran, Kampung Baluwarti, Kampung
Laweyan. Kelompok bangunan rumah tradisional sebanyak 8 objek: Dalem
Brotodiningratan, Dalem Purwodiningratan, Dalem Sasono Mulyo, Dalem
Suryohamijayan, Dalem Wuryaningratan, Dalem Mloyosuman, Dalem Ngabean, Dalem
Kadipaten. Kelompok bangunan umum kolonial sebanyak 19 objek antara lain Pasar
Gede, Bank Indonesia, Museum Radya Pustaka, Stasiun Balapan, Stasiun Purwosari,
Stasiun Jebres, Benteng Vastenburg, Loji Gandrung, Rumah Sakit Kadipolo. Kelompok
bangunan peribadatan sebanyak 7 objek, antara lain Masjid Agung Surakarta,
Masjid Al Wustho, Langgar Laweyan, Gereja St. Antonius Purbayan, Vihara
Avalokiteswara, Vihara Po An Kiong. Kelompok gapura, tugu, monumen dan perabot
jalan sebanyak 24 objek, antara lain: Gapura Batas Kota Surakarta (Kleco,
Jurug, Grogol), Gapura Keraton Surakarta (Klewer, Gladang, Batangan, Gading),
Tugu Lilin, Tugu Cembengan, Tugu Talirogo/Kalirogo, Tugu Jam Pasar Gede, Tugu
Tiang Lampu Gladag. Kelompok ruang terbuka/taman sebanyak 8 objek, antara lain Makam
Ki Ageng Henis, Taman Sriwedari, Patilasan Panembahan Senopati, Taman
Balekambang, Taman Jurug, Taman Banjarsari (Wikipedai)
Lantas bagaimana sejarah arsitektur dan bangunan
di Surakarta? Seperti disebut di atas, wujud arsitektur dapat diperhatikan pada
bangunan-bangunan lama, yang menjadi perantara antara wujud arsitektur zaman kuno
dengan arsitektur zaman modern. Daftar bangunan-bangunan, termasuk taman cukup
banyak di Surakarta. Lalu bagaimana sejarah arsitektur dan bangunan di
Surakarta? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan.
Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita
telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Arsitektur dan Bangunan di Surakarta; Candi Zaman Kuno
hingga Bangunan Modern Masa Kini
Tunggu deskripsi
Arsitektur dan bangunan di Surakarta pada dasarnya termasuk
yang mewakili (pulau) Jawa, arsitektur dan bangunan di Surakarta dapat diperhatikan
dengan kraton Soerakarta dan arsitektur dan bangunan yang berlaku umum diadopsi
oleh penduduk. Hal serupa ini analog dengan di berbagai wilayah dimana terdapat
kraton/rumah besar para raja-raja. Rumah raja/kraton menjadi representatif arsitektur
dan bangunan secara historis menginformasikan dimensi waktu.
Rumah raja/kraton dibangun secara cermat. Rumah raja/kraton melibatkan
raja sendiri, paling tidak orang atau ahli yang mewakili raja seperti apa dan
bentuk bagaimana bangunan dibuat. Oleh karena lingkungan raja (kraton) adalah
inti dari wilayah dimana raja berkuasa maka pola bangunan yang dibuat harus
disertakan dengan mengadopsi elemen komunitas populasi penduduk tersebut
sebagai ciri khas. Oleh karena bangunan dibuat untuk raja, bangunan dibuat
sebaik mungkin, semewah mungkin, dan paling mahal diantara bangunan penduduk.
Hal itulah mengapa bangunan rumah raja/kraton berkualitas dan menjadi tahan
lama yang terus lestari hingga jauh di masa datang. Gambar: Pola atap pintu
gerbang kraton Surakarta.
Rumah raja/kraton/istana dapat dijadikan data sejarah
dalam memahami pola bangunan dan arsitektur yang mewakili komunitas populasi
penduduknya. Antar kraton sejaman dapat diperbandingkan untuk melihat persamaan
dan perbedaan ciri pola bangunan dan arsitektur. Data historis masa lampau
sesungguhnya juga terdapat pada bentuk dan gaya arsitektur yang terdapat dalam bangunan
candi-candi. Dalam hal ini secara historis apakah ada pola-pola yang sama antar
masa yang berbeda sebagai wujud dari kesinambungan pola bangunan khusunya.
Pola bangunan dan arsitektur bangunan khususnya rumah penduduk dapat terwwakili
dalam rumah raja/istana/kraton. Demikian sebaliknya. Oleh karena rumah raja/istana
diarsiteki oleh seorang ahli, bisa kemungkinan arsitek tersebut didatangkan
dari luar yang membawa teknologi konstruksi dan ragam arsitektur. Hal itu
banyak ditemukan dalam ragam arsitektur dan pola bangunan masjid di berbagai wilayah
di Asia dan di Indonesia. Namun tentu saja jika tidak sepenuhnya, ada juga di
dalam bangunan menyertakan ciri arsitektur setempat. Kegiatan arsitektur cenderung
bersifat campuran karena sifatnya karya seni (art). Sementara itu bangunan dan arsitektur
yang berlaku umum di dalam komunitas penduduk, sangat tergantung pembuaatannya
oleh para ahli setempat, yang cenderung menerapkan pola bangunan dan gaya
arsitektur yang diwariskan sejak lama (habit), karena keahlian yang dimiliki
(dan terbatas) juga termasuk teknologi bersifat diwariskan. Unsur tradisi dalam
pola bangunan dan arsitektur penduduk dalam hal ini adalah wujud pelestarian
dan kelestarian budaya (warisan leluhur yang haru dihormati pula). Pola
bangunan dan artistektur yang umum diantara bangunan penduduk dapat dikatakan
sebagai representasi pewarisan (seperti halnya bahasa, religi, adat, teknologi
dan seni). Gambar: Pola atap rumah pada relief candi Borobudur.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Candi Zaman Kuno hingga Bangunan Modern Masa Kini:
Manarik Benang Lurus di Dalam Hamparan Tepung
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.