*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini
Di wilayah pegunungan selatan Surakarta, pada
masa ini telah terbentuk bendungan/waduk besar Gajah Mungkur yang menampung air
sungai-sungai Bengawan Solo, Kaduang, Tirtomoyo, Parangjoho, Temon, dan sungai
Posong. Luas genangan 8.800 Ha mencangkup 7 kecamatan dimana bangunan bendungan
berada di desa Pokohkidul, kecamatan Wonogiri. Kita tidak sedang membicarakan
waduk, tetapi bagaimana sejarah wilayah Wonogiri di wilayah pegunungan selatan
di mana kini terdapat waduk Gajah Mungkur. Ada gunung Mungkur, lalu apakah ada
gajah?
Wonogiri
adalah wilayah kabupaten di Jawa Tengah, Di utara berbatasan kabupaten
Karanganyar/kabupaten Sukoharjo, di selatan dengan pantai selatan, di barat dengan
Gunungkidul (DI Jogjakarta), di timur dengan wilayah Jawa Timur (Ponorogo, Magetan
dan Pacitan). Sejarah bermula di “kerajaan kecil” di bumi Nglaroh desa
Pule, kecamatan Selogiri tahun 1741. Penduduk Wonogiri dengan pimpinan Raden
Mas Said selama penjajajahan Belanda telah pula menunjukkan reaksinya menentang
kolonial. Pangeran Samber Nyawa (Raden Mas Said) sukses dan menjadi Adipati di
Mangkunegaran. Wilayah Wonogiri sebagian besar terdiri dari pegunungan yang
berbatu gamping, terutama di bagian selatan, termasuk jajaran Pegunungan Seribu
yang merupakan mata air dari Bengawan Solo, yang separuh datar, dataran rendah 100–500
M dpl. Wilayah ketinggian ≥500 M di Jatiroto dan Karangtengah. Geologi di Wonogiri
batuan terdiri atas batuan sedimen, batuan gunung berapi, batuan terobosan dan
endapan permukaan. Struktur geologi berupa lipatan sesar dan kekar, umumnya
mempunyai arah barat–timur dan barat laut–tenggara. Di beberapa tempat di selatan
Wonogiri adanya gua-gua dan sungai bawah tanah dan hutan jati. Nama-nama tempat
antara lain Baturetno, Bulukerto, Girimarto, Giriwoyo, Jatipurno, Jatiroto, Karangtengah,
Manyaran, Paranggupito, Selogiri, Wonogiri, Glesungrejo, Bulukerto, Domas,
Singoboyo, Kopen, Boto. Gondangsari, Tasik Hargo, Pule, Gebang, Beji dan Banaran
(Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah Pegunungan Selatan di
wilayah Surakarta? Sejauh ini tidak ada yang memperhatikan. Ibarat garam di
laut asam di gunung dan giri di gunung gili di laut. Nama Wonogori di wilayah
pegunungan selatan Surakarta ini sangat penting sejak era Wonogiri hingga era Waduk
Gajah Mungkur. Lalu bagaimana sejarah Pegunungan Selatan di wilayah Surakarta? Seperti
kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Pegunungan Selatan Wilayah Surakarta, Giri di Gunung
Gili di Laut; Sejak Wonogiri hingga Waduk Gajah Mungkur
Untuk memahami wilayah
Wonogiri di (residentie) Surakarta dari awal sejarah, tampaknya yang perlu
diperhatikan adalah posisi pegunungan Selatan, suatu rantai pegunungan dari
barat (gunung Merapi) ke timur di belakang pantai selatan Jawa. Pegunungan
Selatan ini menjadi ‘pagar’ antara pantai selatan Jawa dan wilayah dataran
Surakarta. Untuk memasuki wilayah pegunungan hingga ke pagar pegunungan selatan
terdapat celah sempit dimana kini berada kota Wonogiri dan di selatannya lagi
kini terbentuk waduk Gajah Mungkur.
Pegunungan Selatan sebagai pagar selatan, di wilayah Surakarta terdapat
gunung yang tersisolasi yakni gunung Lawu. Disebut gunung terisolasi karena
gunung Lawu terpisah dari rantai pegunungan di selatan (pegunungan Selatan). Wilayah
antara lereng gunung Lawu dan (rantai) pegunungan Selatan terdapat celah yang
menjadi jalan kuno antara Surakarta di barat dan Magetan di timur via Wonogiri.
Sementara celah yang lain ke selatan dari Wonogiri adalah hulu daerah aliran
sungai Bengawan Solo (yang kini dibangun waduk Gajah Mungkur).
Nama sungai Bengawan Solo sejatinya adalah nama dari dua sungai yakni
sungai Bengawan dan sungai Semanggi (dua nama kuno). Dari (kampong) Wonogiri ke
pegunungan (selatan; pegunungan Sewu) disebut sungai Bengawan, dimana
sungai-sungai kecil bermuara. Sungai Bengawan/sungai Semanggi/sungai Solo
sejatinya bermuara di Pegunungan Selatan (gunung Sewu/gunung Seribu). Sementara
di hilir Wonogiri (setelah pertemuan sungai Panobasan dari leteng gunung Lawu
dan sungai Pice dari lereng gunung Merapi) disebut sungai Semanggi merujuk pada
nama kampong Semanggi (tidak jauh dari kraton Soerakarta (bedakan dengan
Kartosoero), Kampong Semanggi ini menjadi pelabuhan kuno (dari dan ke muara
sungai di Bojonegoro).
Ujung terjauh hulu sungai Bengawan ini di kampong Galanggang (perbatasan
dengan Patjitan di pegunungan Selatan). Nama-nama tempat yang disebut di atas diduga
nama-nama kuno (era Hindoe-Boedha), yakni gunung Lawu (awalnya disebut gunung Loewoe), gunung Merapi, Pice,
Panobasan, Galanggang, Semanggi, Bengawan, Kaduwang. Nama Bengawan diduga awalnya
adalah nama geografis (nama tempat/kampong atau nama gunung) tetapi tidak
terindentifikasi lagi seperti (Tji)Sadane, (Tji)Tarum dan (Tji)Liwung dan (Tji)Lengsi.
Uniknya, dan itu sangat aneh, nama Pice, Panobasan dan Galanggang juga
ditemukan di wilayah Angkola (Tapanuli Selatan). Di Angkola juga terdapat dua
gunung yang berhadap-hadapan seperti gunung Lawu dan gunung Merapi yakni gunung
(Sorik) Marapi dan gunung Loewoe (Raja). Semakin aneh lagi, ornament yang
terdapat di candi Sewu (di pegunungan selatan) mirip dengan candi di Angkola
(candi Simangambat). Semakin aneh lagi di pantai selatan terdapat dua kampong
kuno yakni Bolak dan Pagoetan, karena di Angkola juga ada nama tempat (Padang)Bolak
dan Pa(r)g(ar)oetan. Apakah ini serba kebetulan?
Penamaan sungai lazim antara nama di hulu (di
pedalaman) dan di hilir (pesisir pantai) karena dari sudut pandang yang
berbeda. Populasi penduduk di pedalaman memiliki nama yang berbeda untuk sungai
yang sama dengan populasi penduduk di hilir. Dalam hal ini sungai Bengawan
adalah nama yang diberikan oleh populasi penduduk di hulu/pedalaman, sedangkan
nama Semanggi diberikan oleh populasi penduduk di Semanggi (kemudian kraton
relokasi dari Karto Soero ke dekat Semanggi dengan nama Soera Karta).
Nama-nama sungai di wilayah Sumatra umumnya nama tunggal seperti sungai
Musi, sungai Batanghari, sungai Indragiri, sungai Kampar, sungai Siak, sungai
Rokan dan sungai Barumun di pantai timur. Sementara nama-nama sungai di pulau
Jawa banyak yang memiliki nama ganda (hulu-hilir): sungai Tjiliwung di hulu
sungai Jakatra/Jakarta di hilir; sungai Tangeran di hilir sungai Tjisadane di
hulu, sungai Bekasi di hilir sungai Tjilengsi di hulu dan sungai Tjitarum di
hulu dan sungai Karawang di hilir. Hal serupa inilah yang terjadi dengan nama
sungai Bengawan di hulu dan sungai Semanggi/Solo di hilir sehingga kini disebut
sungai Bengawan Solo. Tentu saja sungai Kediri di hulu dan sungai Brantas dan
sungai Soerabaj di hilir (bercabang di Modjokerto; pusat Majapahit tempo doeloe).
Bengawan dalam bahasa Sanskerta adalah sungai besar.
Oleh karena itu diduga nama Bengawan lebih dahulu eksis daripada nama
Semanggi/Solo, suatu nama yang diberi oleh populasi penduduk di pegunungan
Selatan. Nama lain dari sungai yang berasal dari era Hindoe Boedha adalah ‘aru’,
‘aro’, ‘ari’ dan ‘ara’ seperti sungai B-aru-mun; sungai Aro-kan (Rokan), sungai
Batang Ari (Batanghari), sungao S-aru-langun dan sungai Batang Ara-u. Tentu
saja penamaan serupa ini ada di Jawa/Madura yakni sungai Aros-baya/Arus-baya
(dari ‘aro’ dan ‘aru’ dan nama kebalikannya sungai Sora-baya/Sura-baya (dari ‘saru’
atau ‘saro’ yang artinya air/sungai). Lalu apakah dalam hal ini terkait dengan nama Sura-karta nama
kebalikannya Karta-sura? Dalam hal ini ‘sura’ adalah ‘sungai dan ‘karta’ seperti
halya ‘kerto’ atau ‘kerta’ adalah pusat pemerintahan (ibu kota) seperti
Maja/Mojokerto dan Kerta/pati/h. Lalu bagaimana dengan Solo sendiri? Yang jelas
bukan ‘solo’ dari bahasa Latin tetapi ‘solo’
atau ‘sala’ di Jawa dan ‘silo’ di Sumatra yang artinya air/sungai.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Sejak Wonogiri hingga Waduk Gajah Mungkur: Pegunungan
Selatan dan Wonogiri dari Surakarta
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.