Sejarah

Sejarah Surakarta (4): Pembangunan Kanal di Surakarta dan Sungai Mati; Drainase dan Perkebunan Tebu pada Era Hindia Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini 

Pembangunan kanal tempo doeloe tidak hanya di
kota-kota pantai seperti Jakarta, Semarang, Surabaya dan Padang, juga ada kanal
dibangun di kota-kota-kota pegunungan di pedalaman, diantaranay kota Bandung dan
kota Surakarta. Pembangunan kanal dimaksudkan berbagai tujuan, terutama untuk drainase
dan pengendalian banjir. Di Surakarta pembangunan kanal, selain untuk
pengendalian banjir juga untuk lalu lintas pelayaran sungai dan dalam kaitannya
pengembangan perkebunan tebu.   


Saksi
Kejayaan Perkebunan di Sukoharjo Utara: Telusuri Kanal Baki, Sungai Buatan di
Masa Kolonial Belanda.
Radar Solo, Sukoharjo, 3 July 2022. Pada masa
lalu, Kecamatan Baki, Kecamatan Gatak, dan Kecamatan Grogol, Sukoharjo
merupakan wilayah perkebunan tebu, tembakau, dan nila. Wilayahnya merupakan
area persawahan subur. Sistem irigasinya pun masih bisa ditemui hingga saat
ini. Jejak sejarah tersebut bisa ditemui di Kali Baki. Penjajah mengubah sungai
alami menjadi kanal untuk irigasi. Saat itu, Belanda dan Keraton Surakarta
menjadikan wilayah ini sebagai wilayah pertanian dan perkebunan yang sangat
diandalkan. Masuk ke dalam wilayah Residen Soerakarta dan di bawah Kawedanan
Kartasura. Sebelum era 1860 an di sekitar Baki sudah berdiri empat pabrik yaitu
Pabrik Gula di Temulus, Pabrik Gula di Bentakan, Pabrik Nila di Gentan, dan
Pabrik Nila di Ngruki. Kemudian pada sekitar 1890-an, mulai muncul
pabrik-pabrik baru dan dengan komoditi yang berbeda pula yaitu Pabrik Temulus
yang berubah menjadi pabrik pengolahan Tembakau, Pabrik Bakipandeyan, Pabrik
Manang, dan Pabrik Gawok. Pendirian pabrik-pabrik di kawasan Baki ini mendorong
pembangunan infrastruktur.
(https://radarsolo.jawapos.com/daerah/sukoharjo/)

Lantas bagaimana sejarah pembangunan kanal di
Surakarta dan munculnmya sungai mati? Seperti disebut di atas, di wilayah Surakarta
juga terdapat kanal yang dibangun sejak era Pemertintah Hindia Belanda. Pembangunan
dimaksudkan untuk drainase, kelancaran navigasi pelayaran sungai dan
perkembangan perkebunan tebu. Lalu bagaimana sejarah pembangunan kanal di
Surakarta dan munculnmya sungai mati? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe,
semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan
sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.

Pembangunan Kanal di Surakarta dan Sungai Mati;
Drainase, Pelayaran, Perkebunan Tebu Pemerintah Hindia Belanda

Kapan pembangunan kanal dimulai
di (residentie) Soeracarta? Tampaknya belum ada pada era VOC/Belanda hingga
pendudukan Inggris (1811-1816). Pada tahun 1819 adalah kali pertama Gubernur
Jenderal Hindia Belanda berkunjung ke kraton Soeracarta dan bertemu Soesoehoenan
(Opregte Haarlemsche Courant, 05-02-1820). Pada saat ini yang menjadi residen adalah
HG Nahuijs. Dalam kunjungan ini tidak terinformasikan apa yang menjadi
pembicaraan terkait dengan pembangunan. Sementara itu, di Buitenzorg mulai
direalisasikan pembangunan kanal dari sungai Tjipakantjilan menuju land Kedoeng
Badak unntuk pembangunan sawah baru.


Pada saat mulai digalakkan pembangunan di berbagai wilayah (khusunya di
Jawa) untuk menambah produksi padi, dengan membangun kanal-kanal irigasi, di
wilayah Residentie Soeracarta mulai terasa eskalasi politik yang terjadi di
wilayah (residentie) Djogjakarta. Ini bermula Residen HD Nahuijs di Jogjakarta
(mantan residen Soeracarta) yang mulai menjalankan program tetapi gunung Merapi
meletus tahun 1823. Namun tidak lama kemudian pemberontakan terjadi di Jogjakarta
tahun 1825. Sistuasi dan kondusi yang kondusif di wilayah (residentie) Soeracarta
mulai terganggu. Hal itu karena kota Soeracarta menjadi basis (pintu gerbang)
kehadiran militer yang terus meningkat dari waktu ke waktu menuju wilayah
(residentie) Djogjakarta.

Pada tahun mendekati berakhirnya perang, program
pemerintah di bawah Gubernur Jenderal van de Bocsh, produk ekspor digalakkan. Budidaya
kopi sejak 1830 ditingkatkan di sejumlah wilayah seperti di Buitenzorg, Preanger
dan Semarang. Boleh jadi ini dimaksudkan untuk menutupi deficit pemerintah
karena banyaknya pengeluaran perang dalam lima tahun terakhir.


Dalam beberapa tahun terakhir ini di residentie Batavia, Buitenzorg,
Krawang, Madioen, Soerakarta dan Djokjokarta pencetakan sawah baru telah
meningkat lebih dari sepertiga sehingga budidaya padi basah menjadi sekitar
1.100.000 bau dan padi kering menjadi sekitar 250.000 bau.
 

Tampaknya pendapatan devisa yang terus meningkat
(budiaya kopi koffiekultuur yang ditingkatkan menjadi koffiestelsel) tidak
membuat pemerintah surut tetapi terius menggenjot dengan meningkatkan
pendapatan dari ekspor komiditi lainnya di residentie Batavia, Buitenzorg,
Krawang, Madioen, Soerakarta dan Djokjokarta. Celakanya sawah basah kelas satu
menjadi korban. Pada bulan Desember 1835 Pemerintah membuat kontrak, sebanyak 20.000
Ha dan telah ditanami tebu ditambah 4.000 Ha di tanah kering dan untuk perkebunan
nila dilakukan di area seluas 14.000 hektar tanah basah dan 10.000 hektar tanah
kering.


Dari semua ini dapat disimpulkan bahwa jika hanya perhitungan sawah, yang
ada pada tahun 1833, diambil sebagai standar, sebesar tiga puluh dua persen dari
sawah di wilayah-wilayah tersebut telah disisihkan untuk produksi gula dan nila.
Namun di sisi lain. dari 31.000 bau yang telah ditempati budidaya tebu dan nila,
seluas 25.000 bau telah dikembalikan melalui pencetakan sawah baru.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Drainase, Pelayaran, Perkebunan Tebu Pemerintah Hindia
Belanda: Pengembangan Kanal Masa ke Masa di Surakarta

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top