Sejarah

Sejarah Tangerang (40): Sejarah Dramaga dan Landhuis Kampus IPB Bogor; Mengapa Dramaga Masuk Kabupaten Bogor Barat?




false
IN



























































































































































*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Dramaga bukanlah nama baru, Dramaga adalah kota
tua. Keberadaan kota Dramaga paling tidak sudah dipublikasikan pada tahun 1772
oleh Josh Rach. Kota pertama yang terbentuk di hulu sungai Tangerang/sungai
Tjisadane adalah kota Tjiampea dimana benteng VOC dibangun pada tahun 1710. Dari
kota Ciampea kemudian muncul kota-kota baru seperti Dramaga, Leuwiliang,
Djasinga dan Tjigoedeg. Dalam hal ini munculnya kota Dramaga sebagai
perkembangan lebih lanjut dari keberadaan Kota Ciampea.

Landhuis Dramaga: Old (Oud) en Now (Nieuwe)

Kampus
IPB Bogor relokasi dari Kota Bogor ke Kabupaten Bogor di Dramaga. Pada tahun
1989 wisuda tidak lagi dilakukan di Gedung Rektorat IPB Kampus Baranang Siang
tetapi dilakukan kali pertama di gedung olahraga (GOR) Kampus IPB Dramaga. Yang diwisuda termasuk saya.
Sejak itu, wisuda selalu diadakan di kampus IPB Dramaga hingga ini hari. Saat
itu desa Dramaga tengah persiapan untuk pemisahan desa Dramaga dari kecamatan
Ciomas dalam pembentukan kecamatan baru (Kecamatan Dramaga). Pembentukan
Kecamatan Dramaga sendiri baru terlaksana pada tahun 1997. Kini, Kecamatan Dramaga
bersama 13 kecamatan lainnya akan membentuk Kabupaten Bogor Barat, Tiga belas
kecamatan lainnya itu adalah Ciampea, Parung Panjang, Tenjolaya, Pamijahan,
Cibungbulang, Rumpin, Tenjo, Sukajaya, Jasinga, Nanggung, Cigudeg, Leuwisadeng
dan Leuwiliang.

Itulah mengapa Kecamatan Dramaga pada masa ini secara historis sesuai dimasukkan
ke dalam rencana pembentukan Kabupaten Bogor Barat. Pertanyaan yang sedikit
membingungkan boleh jadi karena sebelum terbentuk Kecamatan Dramaga tahun 1997,
desa Dramaga termasuk wilayah Kecamatan Ciomas. Namun sejatinya di masa lampau
di era VOC, Dramaga adalah wilayah yang terpisah dari Tjiomas dan wilayah
Dramaga justru lebih terintegrasi (menyatu) dengan wilayah Ciampea. Dengan kata
lain, masuknya Kecamatan Dramaga dalam Kabupaten Bogor Barat pada dasarnya
sudah diperhitungkan sejak era VOC sebagai satu kesatuan wilayah baik secara spasial
ekonomi maupun geografis wilayah. Untuk lebih memahami bagaimana sejarah
Dramaga berlangsung, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Dramaga di Kabupaten Bogor Barat

Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.

Landhuis Dramaga dan Landhuis Struiswijk: Dari Dramaga ke Salemba
Sejarah masa lampau adakalanya tidak terduga pada
masa kini. Itu hanya soal pemahaman dan keterbatasan data yang ada. Siapa
sangka di dalam kampus baru IPB di Dramaga pada masa ini masih tampak
tanda-tanda jaman lampau: Landhuis Dramaga. Semakin tersedianya data historis
dengan sendirinya meningkatkan pemahaman kita pada objek tertentu pada masa
ini. Adanya eks landhuis di tengah kampus IPB Dramaga sedikit banyak telah
memicu kita untuk melihat kembali (melacak) sejarah Dramaga pada masa lampau. Landhuis di
Dramaga tempo doeloe tersebut kini telah bertransformasi menjadi Wisma Tamu IPB
Landhuis.

Landhuis Dramaga dan landhuis Struiswijk

Jejak landhuis
tidak hanya ada di kampus IPB di Dramaga (landhuis Land Dramaga), tetapi juga
ada jejak landhuis di tengah kampus UI di Salemba (landhuis Land Struiswijk).
Anehnya belum lama ini baru saya sadari landhuis Struiswijk dulu pernah menjadi
kantor tempat saya bekerja. Pada tahun 1991 bangunan utama landhuis Struiswijk
sudah tersungkur di tanah dan hanya puing-puing yang terlihat (berada di halaman belakang RSCM). Tetapi (saat itu)
bangunan lain dari landhuis itu (yang masuk area FEUI)  masih digunakan sebagai ruang kelas dan
perkantoran FEUI (kini diubah total menjadi gedung Lembaga Manajemen FEB-UI). Untuk
lebih lengkapnya lihat artikel di dalam blog ini:Sejarah Jakarta (36): Sejarah Salemba, Struiswijk, Pabrik Opium dan STOVIA; Kini Jalan Salemba Raya No. 4 Jakarta. Sementara itu, landhuis Dramaga kini diubah
menjadi bangunan Wisma Tamu IPB. Pada tahun 1989 saya juga bertanya-tanya
mengapa ada bangunan kuno yang terkesan berbeda di tengah kampus (baru) Dramaga. Untuk
sekadar nostalgia, sepulang dari rumah dosen pembimbing skripsi di perumahan
dosen kampus IPB Dramaga saya beberapa kali melihat-lihat lingkungan sekitar
yang masih banyak hutan. Saat itulah bangunan kuno itu saya lihat
keberadaannya sebagai bagian dari Fateta. Topik skripsi saya adalah tentang perilaku menabung keluarga
petani tanaman terubuk di kecamatan Cigudeg (kecamatan ini kini ditetapkan sebagai ibu kota
kabupaten Bogor Barat).

Landhuis adalah bangunan utama yang menjadi rumah
dan sekaligus kantor pemilik land (landheer). Lokasi land biasanya berada di
tempat paling strategis di dalam land. Landhuis menjadi semacam ibu kota di
dalam land, Land-land besar umumnya mendirikan pasar yang menyebabkan area
sekitar landhuis tumbuh dan berkembang menjadi kota (town). Banyak kota-kota pada masa ini bermula
dari area sekitar land (town) seperti kota Leuwiliang, kota Cigudeg, kota
Parung, kota Depok dan kota Jasinga. Kota Bogor sekarang awalnya adalah sebuah
land (land Bloeboer) yang dibeli oleh pemerintah Hindia Belanda dari pemilik
land di era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) untuk dijadikan kota
(stad) pemerintah. Land (tanah partikelir) pada masa lampau semacam negara dalam
negara.
Fort Tjiampea, kini menjadi nama kampong Benteng

Land Dramaga dibentuk oleh pemerintah VOC pada tahun 1778. Batas land
Dramaga ini antara sungai Tjiomas di timur (di Sindang Barang yang sekarang)
dan sungai Tjiapoes di barat (batas sebelah barat kampus IPB yang sekarang). Dengan
kata lain Land Dramaga ini di timur berbatasan dengan land Tjiomas dan sementara
di barat berbatasan dengan land Tjiampea; sedangkan di sisi utara berbatasan
langsung dengan sungai Tjiasadane. Pada tahun 1808 land Dramaga ini diketahui
telah dimiliki oleh GWC van Motman. Setelah kematian GWC van Motman tahun 1821
sempat dijual oleh sang istri untuk membesarkan empat anak di Batavia, tetapi
oleh anak-anaknya setelah dewasa membeli kembali land Dramaga pada tahun 1846.
Pada saat pembelian kembali land Dramaga ini landhuis baru dibangun di lokasi
yang baru (yang kini menjadi Wisma Tamu IPB di tengah kampus IPB Dramaga).
Landhuis yang lama berada di sisi barat sungai Tjihiedeung (lokasinya kini di
dekat jembatan jalan raya Bogor-Dramaga, simpang ke arah desa Petir).
Pembangunan baru landhuis di land Dramaga diduga terkait dengan pemilik land Dramaga
(keluarga van Motman) telah memperluas usaha (pertanian) dengan menyewa land
Tjiampea, land Tjiboengboelang dan land Sading/land Panjawoengan (di sisi
selatan sungai Tjianten/singai Tjikaniki.

Benteng (Fort) Tjiampea (1713)

Untuk mengetahui sejarah awal Dramaga, dimana
kampus IPB berada sekarang, mulailah dari benteng (fort) Tjiampea. Benteng Tjiampea
dibangun pada tahun 1710 sebagai perluasan pertahanan setelah sebelumnya
benteng Sampoera (benteng Serpong) dibangun. Benteng dijaga oleh pasukan
pribumi yang direkrut dari pulau lain yang dipimpin oleh seorang sersan
Eropa/Belanda. Fungsi benteng adalah untuk menjaga keamanan dan memberi
perlindungan kepada para pedagang VOC dalam melakukan transaksi dagang dengan
penduduk pribumi. Benteng Tjiampea menjadi simpul perdagangan yang pertama VOC
di hulu sungai Tangerang (sungai Tjisadane).
Pada
tahun 1667 (pasca perang Gowa) kebijakan VOC bergeser dari perdagangan yang
longgar di (kota-kota) pantai menjadi kebijakan yang mana penduduk dijadikan
sebagai subjek. Para pedagang VOC segera memulai membuka lahan pertanian untuk
mengusahakan perkebunan. Usaha ini dimulai di seputar Batavia. Pada tahun 1674,
seorang pedagang VOC, Cornelis Snock membuka lahan pertanian di sisi barat
sungai Tangerang dengan mendatangkan pekerja dari berbagai tempat. Untuk
menjaga keamanan sendiri Cornelis Snock membangun palisade dari bambu dan
kayu. Pada tahun 1682 terjadi perang saudara di kesultanan Banten (terjadi
kudeta). Situasi menjadi tidak aman di sisi barat sungai Tangerang. Pemerintah
VOC meningkatkan palisade dengan membangun benteng (benteng Tangerang).
Cornelis van Mook yang meneruskan usaha Cornelis Snock meningkatkan kanal
irigasi di dekat benteng dengan membangun kanal pelayaran dari benteng
Tangerang ke benteng Angke (Batavia). Kanal yang selesai dibangun tahun 1687 ini
kemudian disebut kanal Mookervaart sesuai nama si pembuat (kini sungai yang
berada di sisi jalan Daan Mogot antara Tangeang dan Pesing). Benteng Tangerang
ini menjadi cikal bakal Kota Tangerang yang sekarang.
Sejak
adanya kanal Mookervaart, lalu lintas (air) semakin lancar antara Batavia dan
Tangerang. Para pedagang VOC secara perlahan-lahan semakin banyak yang
mengikuti langkah Cornelis van Mook untuk membangun pertanian. Pada masa-masa
inilah terbentuknya tanah-tanah partikelir (land). Land pertama yang dibentuk
di daerah aliran sungai Tangerang adalah Land Tangerang, kemudian menyusul Land
Babakan dan Land Tjikokal. Lambat laun jumlah land semakin banyak dan semakin
meluas hingga ke Serpong. Pemerintah VOC kemudian membangun benteng di Serpong
(Fort Sampoera). Segera setelah dibangun benteng di Serpong, pemerintah VOC
pada tahun 1710 membangun benteng di Tjiampea. Fungsi benteng di Tjiampea lebih
pada jangkar pertahanan ketika para militer melakukan eksplorasi ke wilayah
barat mengikuti sungai Tjianten, sungai Tjiaruteun dan sungai Tjikaniki. Fungsi
benteng juga untuk melindungi para pedagang VOC yang melakukan transaksi hingga
ke hulu sungai Tangerang/sungai Tjisadane (perkembangan land baru, eksploitasi
lahan sebatas benteng Tangerang dan benteng Sampoera (di Serpong).
Pada tahun 1713 benteng Ciampea diperkuat dengan
memperluas pertahanan dengan membangun benteng baru di Panjawoengan. Hal ini
setelah beberapa kali dilakukan ekspedisi ke daerah hulu sungai Tjikaniki. Benteng
Panjawoengan ini kini lokasinya berada di selatan sungai Tjikaniki di kampong
Panjaungan, desa Kalong, kecamatan Leuwisadeng. Sementara para militer
melakukan eksplorasi wilayah ke arah pedalaman (hingga Djasinga), pusat
perdagangan di Tjiampea terus tumbuh. Pasar Tjiampea menjadi pusat transaksi perdagangan
utama di hulu sungai Tangerang (dari Sindang Barang di arah timur dan dari
Panjawoeangan/Sading di arah barat).
Pada
tahun 1687 pemerintah VOC mengirim tim ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong yang
dipimpin oleh sersan Scipio. Berbeda dengan ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan
di daerah aliran sungai Tangerang yang selalu dimulai dari benteng Tangerang, ekspedisi
ke hulu sungai Tjiliwong justru dimulai dari daerah muara dan menyusuri aliran
sungai Tjimandiri (kini Pelabuhan Ratu). Seperti biasanya ekspedisi yang
dipimpin militer juga disertakan para ahli seperti ahli geologi ahli botani,
ahli geografi sosial (untuk pemetaan) dan juga ahli lingusitik (sosial, budaya
dan bahasa). Tim ekspedisi Scipio dari selatan Jawa mencapai gunung Salak dan
membangun benteng di antara titik singgung terdekat sungai Tjiliwog dengan
sungai Tjisadane. Benteng ini disebut benteng (fort) Padjadjaran (lokasinya
kini tepat berada di halaman belakang Istana Bogor). Ekspedisi Scipio ini
kemudian menyusuri sisi timur daerah aliran sungai Tjiliwong dari (kampong)
Tjiloear, ke Batavia (Kasteel Batavia) via Tjibinong, Tandjoeng (kini Pasar
Rebo), dan Meester Cornelis (kini Jatinegara).
Pada
tahun 1703 dari Batavia dilakukan ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong yang
dipimpin oleh Mr. Abraham van Riebeck. Ekspedisi ini dari Tjililitan melalui
sisi barat sungai Tjiliwong melalui Tandjoeng, Sering Sing, Pondok Tjina, Depok,
Pondok Terong, Bodjong Manggis (Bj Gede), Tjilibeut, Parong Angsana . Ekspedisi
ini juga mencapai Tjisaroea dan Preanger (Tjiandjoer). Pada tahun-tahun ini
juga dilakukan ekspedisi yang lain dari pantai utara ke arah pedalaman melalui
daerah aliran sungai Bekasi/sungai Tjilengsi dan sungai Karawang/sungai
Tjitaroem. Secara keseluruhan ekspedisi-ekspedisi ini, satu hal yang tergambar
adalah bahwa pengembangan wilayah (eksplorasi dan eksploitasi) tidak terhubung
antara wilayah daerah aliran sungai Tangerang/sungai Tjisadane dengan daerah
aliran sungai Tjiliwong. Pengembangan wilayah daerah aliran sungai
Tjisadane/sungai Tangerang berkembang ke arah barat hingga Djasinga menuju
Banten; sedangkan pengembangan wilayah daerah aliran sungai Tjiliwong
berkembang ke arah timur hingga Megamendoeng menuju Preanger.
Pembentukan Land Tjiampea dan Land Dramaga (1778)
Setelah sejumlah benteng dibangun di hulu sungai
Tangerang/sungai Tjisadane (benteng Serpong, benteng Tjiampea dan benteng
Panjawoengan) mulai terjadi perdagangan yang intens di pedalaman. Namun
pengembangan land baru terjadi hingga wilayah Serpong. Sebelum pembentukan land
meluas ke hulu sungai Tjisadane di Tjiampea situasi telah menjadi tidak
kondusif. Terjadi lagi ketegangan antara VOC/Belanda dengan (kesultanan)
Banten.

Pada
tahun 1750 an terjadi serangan dari kesultanan Banten di wilayah pedalaman.
Situasi dan kondisi di daerah hulu aliran sungai Tjisadane tidak kondusif. Para
militer terus berupaya untuk mempertahankan wilayah.
Setelah ketegangan mereda di daerah hulu sungai
Tjisadane, pengembangan wilayah kembali diteruskan. Pada tahun 1778 pemerintah
VOC/Belanda membentuk sejumlah land di hulu sungai Tangerang. Beberapa land
yang dibentuk adalah land Dramaga dan land Tjiampea. Lalu kemudian land Tjiomas,
land Tjiboengboelan dan land Panjawoengan (kelak disebut daerah Leuwiliang).
Pada tahun 1799 VOC bankrut dan kemudian diakuisisi kerajaan Belanda dengan
membentuk pemerintah Hindia Belanda.
Pada
era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) pemerintahan Hindia Belanda membeli
sejumlah land untuk dijadikan sebagai ibu kota pemerintahan, termasuk untuk
membangun kota Batavia, kota Buitenzorg dan kota Tangerang. Namun sebaliknya
pemerintah juga menjual sejumlah lahan di daerah aliran sungai Tjitaroem dan
daerah di sebelah barat sungai Tangerang. Lahan-lahan yang dijual ini dalam
bentuk land. Land-land yang baru dibentuk di daerah hulu sungai Tangerang
adalah land Tjoeroek Bitoeng (kelak disebut Nanggung), land Sadeng Djamboe
(kini kecamatan Leuwisadeng), Pembentukan land ini juga mencapai sungai
Tjidoerian yakni terbentuknya land Bolang (kini kecamatan Cigudeg) dan land
Janlappa (Djasinga).

Wilayah barat Buitenzorg
lambat laun semakin berkembang dan kemudia pada tahun 1826 dibentuk
pemerintahan district dengan ibu kota di Djasinga (land Djasinga hasil
pemekaran dari land Janlappa). Pada tahun 1829 jalan poros Buitenzorg-Rangkas
Bitoeng dibangun melalui Tjiampea, Panjawoengan, Sading Djamboe, land Bolang
dan land Djasinga.

Land Dramaga dan Keluarga van Motman (1808-1949)

Pada tahun 1799 VOC/Belanda dibubarkan lalu diakuisisi
oleh Kerajaan Belanda dengan membentuk Pemerintahan Hindia Belanda. Meski
demikian hal kepemilikan land masih berada di tangan swasta. Land-land masih
eksis.

Pada era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) seorang perwira militer
Gerrit Willem Casimir (GWC) van Motman ditempatkan di Buitenzorg. Namun tidak
lama kemudian kekuasaan beralih dari Belanda ke Inggris (pemerintahan
pendudukan Inggris di bawah Letnan Gubernur Jenderal Raffles). Orang-orang
Belanda ada yang kembali ke Belanda dan sebagian besar masih bertahan di Hindia
meski rezimnya sudah berbeda. Banyak mutasi kepemilikan land. Pada era
pendudukan Inggris inilah kemudian GWC van Motman membeli land Dramaga tahun
1812 dan mengusahakannya. Setelah berakhir era pendudukan Inggris yang
digantikan kembali oleh pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1817 GWC van
Motman diangkat sebagai Residen pertama Preanger Regentschappen
(yang berkedudukan di Buitenzorg dan kemudian ibu kota di geser ke
Tjiandjoer).
Setelah kekuasaan beralih kembali ke tangan Belanda
pada tahun 1816 land-land juga diteruskan oleh pada pemilik. Land Dramaga tetap
diusahakan oleh GWC van Motman. Pada tahun 1821 GWC van Motman meninggal dunia.
Land Dramaga diteruskan oleh istrinya. Namun karena anak-anak alm. GWC van
Motman masih kecil-kecil lalu land Dramaga dijual untuk membesarkan anak-anak
di Batavia. Setelah dewasa anak-anak alm GWC van Motman kembali membeli land
Dramaga.

Algemeen Indisch dagblad, 20-06-1947

Pada saat pembelian kembali ini keluarga van Motman membangun landhuis
baru di lokasi landhuis dimana Wisma Tamu IPB sekarang. Landhuis land Dramaga
yang lama sebelumnya berada di sisi sungai Tjihiedeung di jalan raya Buitenzorg
dekat jembatan ke arah desa Petir yang sekarang. Pemindahan landhuis ini diduga
karena keluarga van Motman telah menyewa land Tjiampea, land Tjiboengboelang dan
land Panjawawoengan. Tujuan semua pengusahaan lahan ini (land Dramaga dan tiga land
lainnya di sekitar) adalah untuk membangun perkebunan (onderneming).

Land Dramaga terus berkembang karena sangat subur
dan bertopografi datar. Banyak sawah-sawah yang dikembangkan. Land Dramaga menjadi
penyuplai beras untuk wilayah sekitar termasuk untuk kebutuhan beras di
Buitenzorg. Keluarga van Motman juga semakin makmur. Dalam perkembangannya
keluarga van Motman membeli land Tjoeroek Bitoeng dan land Sading Djamboe.  Dalam perkembangan lebih lanjut land Bolang
juga diakuisisi oleh keluarga van Motman (FHC van Motman).
Pada saat pendudukan militer Jepang semua tanah partikelir (land) dihapus
dan semuanya diambil alih oleh pemerintahan militer Jepang dengan cara
proklamasi. Untuk wilayah sisi barat sungai Tangerang/sungai Tjisadane proklamasi
diadakan di land Gunung Sindoer pada bulan Juni 1942. Pada tanggal 17 Aguistus
1945 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Namun tidak lama kemudian Belanda
kembali. Pemerintah Hindia Belanda (NICA) mengembalikan status kepemilikan
lahan pribadi dan land-land yang sebelum pendudukan Jepang dikembalikan kepada
pemilik. Land Dramaga melalui wakil keluarga yang dalam hal ini oleh Pieter
Reinier van Motman sebagai administrateur land Dramaga merayakan peresmian kembali
land Dramaga yang diadakan di Batavia dengan mengundang tamu dari berbagai
kalangan (lihat Algemeen Indisch dagblad, 20-06-1947).
Namun dalam perkembangannya pemerintah Hindia
Belanda/NICA mengeluarkan kebijakan baru untuk membeli land-land yang ada
dengan membentuk panitia pada bulan April 1949. Salah satu land yang termasuk
yang diakuisisi oleh pemerintah NICA adalah land Dramaga. Berakhir sudah
keberadaan Land Dramaga.
Pada akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia setelah disepakati
perjanjian damai melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Hasil
perjanjian itu berlaku pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan dibentuknya
pemerintahan Indonesia (RIS), tuan pemilik lahan Dramaga tidak lagi Pemerintah Belanda,
tetapi tuan yang baru, Pemerintah Indonesia.

Akhir Dari Dinasti Keluarga van Motman dan Institut
Pertanian Bogo
r

Setelah pembebasan land Dramaga pada tahun 1949, perusahaan Onderneming
Dramaga yang juga mengusahakan lahan di land Dramaga (sejak 1848) masih tetap
dimiliki oleh keluarga van Motman, yang dalam hal ini diwakili oleh PR van
Motman. Pengusahaan lahan Dramaga ini oleh keluarga van Motman masih terdeteksi
hingga tahun 1954 (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 13-10-1954). Namun kisah (eks land) Dramaga menjadi lain ketika
PR van Motman diduga terlibat dalam tindakan subversif (melawan Pemerintahan
Indonesia/RIS tahun 1950).
Satu kesalahan berat yang dilakukan oleh van Motman di Dramaga ikut
memfasilitasi rencana para militer KNIL untuk menggulingkan Pemerintah
Indonesia/RIS yang dimotori oleh Kapten Schmidt dan Jungschlager dengan cara melawan
TNI. Gudang di land Dramaga (dan di land Serpong) dijadikan tempat penyimpanan
senjata. Kejadian yang terjadi pada bulan Maret 1950 diadili pada bulan
September 1954 (lihat De waarheid, 23-09-1954). Pengadilan yang berlarut-larut
ini pengadilan tinggi Indonesia telah menetapkan Jungschlager bersalah dan
mendapat hukuman (lihat Limburgsch dagblad, 30-10-1956).
Dengan dinyatakannya Jungschlager tahun 1956
bersalah, maka Onderneming Dramaga di bawah administrateur van Motman diduga
dinyatakan telah ikut bersalah. Besar dugaan setelah kasus ini terbukti di
pengadilan, onderneming Dramaga disita untuk negara. Hal ini Onderneming
Dramaga telah turut melawan TNI. Dengan kata lain onderneming Dramaga oleh
pemilik van Motman telah melibatkan diri dalam hal upaya untuk menjatuhkan
pemerintah (negara). Saat proses pengadilan Jungschlager ini, Pieter Reinier van
Motman sudah berada di Australia.

Posisi GPS landhuis Dramaga

Land Dramaga sebagai tanah partikelir yang dikuasai oleh keluarga van
Motman sejak 1812 harus berakhir pada tahun 1949. Pengusahaan lahan Dramaga
oleh keluarga van Motman berakhir sudah pada tahun 1956. Untuk sekadar catatan,
land Dramaga dibentuk pada tahun 1778 dan pemiliknya diketahui tahun 1812
adalah Gerrit Willem Casimir (GWC) van Motman (kakek buyut PR van Motman).
Serelah GWC van Motman meninggal pada tahun 1821, land Dramaga diteruskan oleh
keluarga van Motman. Pada tahun 1956 lahan Dramaga diusahakan oleh generasi keempat
(cicit GWC van Motman).

Setelah usaha (perkebunan) Dramaga disita oleh
negara pada tahun 1956, lahan perkebunan itu dalam perkembangannya diketahui
telah dihibahkan oleh negara untuk Institut Pertanian Bogor. Lahan dari
onderneming Dramaga yang dikuasai oleh keluarga van Motman inilah kemudian yang
menjadi lahan yang digunakan untuk pembangunan kampus baru Institut Pertanian
Bogor. Satu yang masih tersisa di lahan kampus tersebut adalah eks landhuis keluarga
van Motman (yang kemudian diubah menjadi
Wisma Tamu IPB Landhuis).
Stambuk keluarga van Motman di land Dramaga

Keluarga van Motman: Istri GWC van Motman melahirkan pada tahun 1819 dan
dicatat secara sipil tahun 1820 (lihat 
Bataviasche courant, 16-09-1820). Putra bungsu GWC van Motman ini diberi
nama Jan Casimir van Motman. Namun tidak lama kemudian GWC van Motman
dikabarkan meninggal dunia pada usia 49 tahun (lihat Bataviasche courant,
02-06-1821). Setelah menikah semua anak-anaknya, janda GWC van Motman, Reiniera
Jacoba Bangeman meninggal di Dramaga tanggal 
9 Februari 1860. Land Dramaga diteruskan oleh Jacob Gerrit Theodoor van
Motman (anak ketiga GWC van Motman). Diberitakan JGT van Motman meninggal di
Dramaga tanggal 20 September 1890 (lihat Java-bode : nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 23-09-1890). Kemudian land Dramaga
diteruskan oleh Pieter Henrik Cornelis van Motman  lalu diteruskan lagi oleh Pieter van Motman
(cicit GWC van Motman) sebagai orang terakhir dari keluarga van Motman yang
mengusahakan land Dramaga (lihat stambuk). Untuk sekadar catatan tambahan: GWC
van Motman menikah dengan RJ Bangeman pada tanggal 5 Februari 1809 di Batavia (istri
yang kedua). Willem Reinier van Motman adalah anak dari istri pertama.

Keluarga van Motman sejak awal sudah menguasai dan menyewa sejumlah lahan
di daerah hulu sungai Tangerang. Setelah yang pertama, GWC van Motman
mengusahakan land Dramaga, usaha pertanian juga turun kepada anak dan
cucu-cucunya. Pada tahun-tahun terakhir land Dramaga diusahakan dalam bentuk
onderneming (perusahaan) NV Dramaga (sejak 1875). Pieter Reinier van Motman memimpin
onderneming sejak 1897 (untuk menggantikan ayahnya JGT van Motman). Sejak 1911
yang memimpin onderneming NV Dramaga adalah AHC van Motman sebagai administrateur.
AHC (Alphonse Constant Henri) van Motman adalah adik Pieter Reinier van Motman.
Pada tahun 1923 salah satu pengurus NV Dramaga, CJ van Motman meninggal (paman
dari AHC van Motman). Pada tahun 1935 diberitakan AHC van Motman meninggal dalam
usia 51 tahun. Perusahaan ini kemudian dilanjutkan (kembali) oleh sang abang, Pieter
Reinier van Motman (sebagai orang terakhir di land Dramaga).

Land keluarga van Motman di West
Buitenzorg (Bogor Barat)

Keluarga van Motman (pernah) memiliki hampir seluruh lahan di wilayah
Bogor Barat yang sekarang. Hanya land Tjiampea, land Tjiboengboelan dan land
Panjawoengan atau land Sading yang tidak pernah dimiliki. Namun tiga land
pernah disewa oleh tiga bersaudara generasi kedua van Motman. Land-land yang
pernah dimiliki tersebut adalah  land
Dramaga, Sading Djamboe, Bolang, Tjoeroek Bitoeng, Roempin, Djasinga, Kedong
Badak, Tjikandi-ilir, Tjikoleang, Tjikandi-Oedik. Land-land tersebut secara
bertahap diakuisisi pemerintah. Land yang pertama diakuisisi adalah land
Djasinga dan land yang terakhir diakuisisi adalah land Dramaga (1949).

Seperti telah disebut di atas, Pieter Reinier van
Motman melakukan kesalahan dengan berkolaborasi dengan para pemberontak
Jungschlager Cs, maka tamat sudah riwayat keluarga van Motman. Padahal riwayat
keluarga van Motman sejak kakek moyangnya GWC van Motman sangat dihormati oleh
penduduk di wilayah Buitenzorg. Keluarga van Motman sangat terkenal sebagai
landheer yang baik yang nyaris tidak tercela dan cukup peduli terhadap penduduk
apakah soal pajak, kerja rodi, bencana, kesehatan dan pendidikan penduduk. Di
antara para landheer Eropa/Belanda, keluarga van Motman dikenal sangat humanis
terhadap penduduk setempat lebih-lebih JGT van Motman di land Dramaga. Namun
semua itu harus berakhir di tangan Pieter Reinier van Motman (anak JGT van
Motman).

Lontjeng langhuis land Dramaga (Peta 1902)

Selain
landhuis di land Dramaga, peninggalan lain dari keluarga van Motman ini adalah
bangunan lonceng yang berada tidak jauh dari landhuis di tengah kebun
onderneming Dramaga. Pada awal mula pengusahaan setiap land di masa lampau para
pemilik land (landheer) membangun dua atau empat tiang tinggi untuk meletakkan
lonceng besar. Bangunan lonceng land Dramaga dibangun di sebelah barat landhuis
dekat dengan sungai Tjiapoes. Gunanya lonceng ini pada awalnya adalah penanda
alarm sewaktu-waktu jika terjadi serangan dari luar dan kemudian bergeser
menjadi fungsi penanda waktu tertentu (waktu mulai atau berhenti bekerja bagi
para pekerja kebun).

Replikasi bangunan lonceng di depan Wisma Tamu IPB Landhuis

Pada
era perang kemerdekaan, terutama pada tahun 1946-1948 wilayah hulu sungai
Tangerang adalah area gerilya pejuang RI (Republiken) dimana landhuis land
Dramaga sebagai salah satu basecamp para pejuang. Para pejuang ini bermula dari
Tangerang dan Serpong lalu bergeser ke arah Tjiampea demikian juga pejuang dari
Bogor bergeser ke arah barat ke Tjiampea. Pada saat inilah land Dramaga sebagai
salah satu pusat gerilya yang penting di wilayah barat sungai Tangerang/sungai
Tjisadane. Namun dalam perkembangannya pusat gerilya bergeser ke land
Nanggoeng. Dalam perkembangannya tempat dimana lonecng land Dramaga berada
menjadi perkampungan penduduk (pada era keluarga van Motman di area lonceng
hanya digunakan sebagai barak para pekerja). Seperti benteng Tjiampea menjadi
nama kampong Benteng, besar dugaan nama kampung Tegal Lonceng di desa Ciherang
diduga karena adanya lonceng ini. Kini, tugu lonceng yang berada di land
Dramaga ini telah dipindahkan ke depan Wisma Tamu IPB Landhuis (sebagai replikasi).

Mengapa Pieter Reinier van Motman melakukan hal berbahaya (subversif) itu
sesungguhnya dapat dipahami. Pieter Reinier boleh jadi kecewa dengan pengakuan
Kerajaan Belanda terhadap Indonesia, sementara wilayah Buitenzorg telah turut
aktif dibangun oleh kakeknya GWC van Motman dan ayahnya JGT van Motman. Sebagai
Indo (lahir dan besar di Hindia) tentu sulit melepaskan warisan (sejarah) dan lebih-lebih
populasi marga van Motman (keturunan GWC van Motman) terbilang cukup banyak di
Hindia. Hal-hal inilah diduga mengapa Pieter Reinier van Motman melakukan
tindakan yang heroik dari sisi pandang keluarga van Motman tetapi berlawanan
dari arus umum. Tapi celakanya itu menjadi noda dalam keluarga van Motman.
Tentu saja itu karena faktor Jungschlager, yang kebetulan berasal dari Limburg
seperti keluarga van Motman.

Pemakaman keluarga van Motman di Leuwisadeng

Keluarga
van Motman sudah identik dengan daerah hulu sungai Tangerang/sungai Tjisadane.
Arwah kakek moyang mereka keluarga van Motman yang berada jauh dari Eropa semua
berada di pemakaman land (Sading) Djamboe (kini kecamatan Leuwisadeng). Sang
pionir, GWC van Motman dimakamkan di pekuburan keluarga tersebut. Sang nenek
moyang juga dimakamkan di pekuburan tersebut. GWC dikuburkan di Sading Djamboe
pada tanggal 25 Mei 1821 (lihat Bataviasche courant, 02-06-1821). Istri JCT van
Motman dimakamkam di Djamboe (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 10-10-1855). JCT van Motman dimakamkan di Djamboe
(lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
27-12-1865). FHC meninggal tanggal 19 dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di
Djamboe (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 24-09-1889). JGT van Motman meninggal di
Dramaga tanggal 20 dalam usia 74 tahun dan dimakamkan di Djamboe (lihat Java-bode
: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 24-09-1890). CJ
van Motman dimakamkan di Djamboe tahun 1923 (lihat De Indische courant, 12-07-1923).
ACH dimakamkan di Djamboe (lihat Het nieuws van den dag voir NI, 08-01-1935).
Pemakaman (keluarga) van Motman di Djamboe

Demikianlah sejarah panjang (land) Dramaga secara
sesingkat-singkatnya. Sejarah Dramaga tampaknya akan terus abadi sepanjang
Institut Pertanian Bogor tetap berada di Dramaga. Ke depan, Dramaga akan
menjadi pintu gerbang (gate) menuju ibu kota baru kabupaten Bogor Barat di
Cigudeg (dari arah timur sisi selatan sungai Tjisadane dari Bogor; dari arah
utara dua sisi sungai Tangerang).

Dalam
hal ini sudah harus mulai dipikirkan langkah strategis untuk menyelamatkan agar
Dramaga tidak macet total tetapi juga memikirkan akses yang lebih lancar agar
pertumbuhan dan perkembangan ibu kota baru di Cigudeg kondusif. Secara teoritis,
upaya meminimalisasi munculnya permasalahan baru di Dramaga akan sendirinya memaksimalkan
perkembangan baru di Cigudeg. Sudahkah terpikirkan itu? IPB yang berada di
(land) Dramaga, sebagai pewaris semangat keluarga van Motman harus berperan
aktif mewujudkan Dramaga sebagai kota metropolitan yang baru di selatan Kota Tangerang
Selatan dan di barat Kota Bogor. Kita tunggu saja.
Last but not least: Artikel ini didedikasikan
kepada semua civitas akademika IPB Bogor, yang kebetulan dua anak saya
bersamaan satu bulan lalu: yang satu lulus dari program studi teknik sipil,
Fateta/IPB dan yang satu lagi diterima di program studi teknik sipil, FT/UI.
Sudah barang tentu artikel ini didedikasikan kepada teman-teman yang tempo
doeloe pernah studi di TPB-IPB. Lihat artikelnya di blog ini: Sejarah Bogor (26): Sejarah TPB IPB dan Mahasiswa Tingkat Keragaman Tinggi; Lulus, Bagai ‘Air Mangalir Sampai Jauh’

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top