*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tata Kota di Indonesia di blog ini Klik Disini
Pada
era Pemerintah Hindia Belanda, Poso di teluk Tomini dijadikan sebagai ibu kota
(afdeeling) Midden Celebes, Residentie Manado. Pada era Republik Indonesia
(daerah) Sulawesi Tengah dihapuskan pada tahun 1952 (lihat Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-08-1952). Tamat Poso
sebagai ibu kota afdeeling (daerah). Pada tahun 1964 provinsi Sulawesi
dimekarkan dengan membentuk provinsi Sulawesi Tengah namun ibu kota provinsi
Sulawesi Tengah tidak dipilih di Poso (ibu kota lama) tetapi ditentukan di
Paloe (sebagai ibu kota baru).
Sejarah
Kota Palu. 20-03-2018. Sulawesi Tengah. Palu adalah “Kota Baru” letaknya di
muara sungai. Dr. Kruyt menguraikan Palu tempat baru dihuni orang (De Aste
Toradja’s van Midden Celebes). Awal mula pembentukan kota dari penduduk Desa
Bontolevo di Pegunungan Ulayo, setelah pergeseran penduduk ke dataran rendah. Kota
Palu bermula dari kesatuan empat kampung: Besusu, Tanggabanggo, Panggovia,
Boyantongo. Mereka membentuk satu Dewan Adat disebut Patanggota. Salah satu
tugasnya adalah memilih raja dan para pembantunya yang erat hubungannya dengan
kegiatan kerajaan. Kerajaan Palu lama-kelamaan menjadi salah satu kerajaan yang
dikenal dan sangat berpengaruh. Itulah sebabnya Belanda mengadakan pendekatan
terhadap Kerajaan Palu. Belanda pertama kali berkunjung ke Palu pada masa
kepemimpinan Raja Maili (Mangge Risa) untuk mendapatkan perlindungan dari
Manado di tahun 1868. Pada tahun 1888, Gubernur Belanda untuk Sulawesi bersama
dengan bala tentara dan beberapa kapal tiba di Kerajaan Palu, mereka pun
menyerang Kayumalue. Setelah peristiwa perang Kayumalue, Raja Maili terbunuh oleh
pihak Belanda dan jenazahnya dibawa ke Palu. Setelah itu ia digantikan oleh
Raja Jodjokodi, pada tanggal 1 Mei 1888 Raja Jodjokodi menandatangani
perjanjian pendek kepada Pemerintah Hindia Belanda. (https://bpmpsulteng.kemdikbud.go.id/)
Lantas bagaimana sejarah tata kota di Palu,
Mamuju dan Parepare? Seperti disebut di atas, Palu adalah kotaa baru, bahkan
jauh lebih muda dibandingkan dengan Mamuju dan Parepare. Suatu wilayah diantara
Makassar dan Manado pantai barat Sulawesi. Lalu bagaimana sejarah tata kota di
Palu, Mamuju dan Parepare? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada
permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Tata Kota di Palu, Mamuju dan Parepare; Wilayah Antara
Makassar dan Manado Pantai Barat Sulawesi
Seberapa tua kota Palu? Tidak diketahui secara
pasti. Yang jelas posisi GPS Palu mirip dengan kota Bima suatu teluk di pulau
Sumbawa. Kota Palu tidak setua Bima. Palu, tampaknya baru, belum tua. Yang
sudah tua adalah populasi penduduk Kaili di daerah aliran sungai di wilayah
Donggala. Pada era VOC disebutkan oleh Montanus (1675) bahwa Raja Jala dari
Kaili mengirim utusan menemui VOC di Manado. Nama-nama lain yang mengirim
utusan adalah Boeol dan Toli Toli.
Sebagaimana diketahui VOC telah membuka pos perdagangan pada tahun 1659
di Manado (dimasukkan di bawah yusrisdiksi Residentie/Kerajaan Ternate).
Kerajaan lain yang sudah lama eksis adalah Kerajaan Gowa di Makassar. Pada fase
ini wilayah Kaili sendiri sudah menjadi pusat perdagangan di teluk.
Lanskap Kaïli atau Kajeli dulu terdiri dari enam
kerajaan: Paloe atau Palos, Banawa atau Donggala, Kajeli, Sigi, Tipa atau Taipa
dan Besi atau Bolien (anak sungai ke Ternate sebelum abad ke-17). Lalu kemudian diokuvasi oleh orang Eropa (VOC) yang berhutang budi kepada Raja Makassar, Tuni
Balangga. Tampaknya tetap berada di bawah kekuasaan orang Makassar sampai tahun
1669.
Pada tahun 1683 Laksamana Speelman
mengembalikannya ke Ternate dan kemudian menyerahkannya melalui kontrak kepada
VOC yang telah membuatnya tunduk pada Pemerintah Makassar sejak tahun 1679. Hal
itu karena para pangeran Ternate kurang intens, sementara ketika di bawah VOC
yang sangat peduli pada Kaili, secara terus-menerus mengalami gangguan
internal, secara bergantian didominasi oleh orang Mandar, Makassar, dan Bugis. Beberapa
kali VOC diminta untuk memenuhi permintaan bantuan para pangeran Kaili, tetapi
ketika kekuatan Boni meningkat, pengaruh VOC di bagian wilayah itu berkurang.
Pada tahun 1790 seluruh wilayah Kaïli jatuh dari VOC. Teluk itu, bagaimanapun,
kadang-kadang dikunjungi oleh kapal perang Belanda, sementara hubungan antara
pangeran dan pemerintah di Makassar dipertahankan sampai batas tertentu melalui
campur tangan kepala orang Bugis yang tinggal di teluk, yang tinggal di
Donggala, yang diberi gelar Mayor dan yang kepentingan komersialnya
mengharuskan hubungan yang lebih dekat dengan pemerintah.
Dalam susunan pemerintahan di
Sulawesi pada tahun 1824, Kaïli pada awalnya ditempatkan di bawah Menado,
tetapi tidak lama kemudian dimasukkan di bawah Pemerintah Makassar. Sejak saat
itu kembali Kaili menjalin hubungan persahabatan dengan Pemerintah tanpa
mengingat banyak hutang lama. Meskipun pada tahun 1824 Komisaris Van Schelle
dan Tobias telah menandatangani kontrak dengan para pangeran Kaïli dan
ditentukan bahwa sebuah pos akan didirikan di Teluk Palos,
Arus barang dari Kaili bahkan sudah sampai ke Gresik (lihat
Nederlandsch-Indisch handelsblad, 30-11-1831). Produk antara lain tali
pengikat, gaun Kaili, damar, emas dan karet alam. Sebagai bukti betapa kecilnya
raja-raja Kaili yang menganggap diri mereka sebagai subyek dari Pemerintah,
dapat disebutkan bahwa ketika Asisten Residen Schaap pada tahun 1847, pada
kesempatan misinya ke teluk Palos, mengusulkan gagasan penyelesaian Pemerintah,
izin raja untuk melakukannya tunduk pada sentimen para pangeran Gowa dan Boni.
Nama tempat di kawasan teluk disebut nama Kaili
Paloe yang adakalanya dicatat sebagai Kaijeli Pulos atau Kayeli Pulos, suatu
kawasan rawa (lihat Aardrijkskundig woordenboek der Nederlanden, 1851). Dalam
sumber lain disebutkan bahwa pada pameran tahun 1851 sepotong pakaian, terbuat
dari kayu kertas dari kayu dikirim dari pantai barat Sulawesi, tempat yang
disebut Kaili (lihat De volksvlijt).
Keadaan kebetulan membawa beberapa perubahan di Palu. Pada tahun 1852 seorang Syarif Achmad Baginda
Umar, yang juga dipanggil Tuwan Lolo, yang telah melakukan pembunuhan di residentei Menado, melarikan diri ke
Kaili; atas permintaan ekstradisinya, para pangeran Kaili menyatakan diri
mereka tidak berdaya untuk melakukannya. Selama kunjungan berikutnya ke teluk
Palos pada tahun 1854 oleh Gubernur Van der Hart, dengan beberapa kapal perang
dan divisi pendaratan, mereka yang melarikan diri ke pegunungan tidak berhasil
mendapatkan Tuwan Bolo, tetapi setidaknya kontrak dibuat dengan para pangeran
Palos, Donggala, dan Towaïli, kontrak yang, bagaimanapun, belum disahkan oleh adat,
sehingga nilainya kecil. Otoritas para pangeran telah dirusak oleh sejumlah
besar orang asing, seperti: Bugis, Makassar, Melayu dan Arab; terutama pengaruh
yang terakhir dan orang Makassar tampaknya lebih dominan, sedangkan pengaruh
orang Bugis memudar antara lain karena perpecahan diantara mereka, karena
ketidakhadiran Mayor Kangkang yang berulang kali. Gubernur van der Hart
sekarang mengangkat Patana Ba Bandoe sebagai kepala suku Bugis dengan gelar
letnan, bawahan Mayor sebagaimana dimaksud, tampaknya untuk memperkuat pengaruh
orang Bugis.
Setelah meninggalnya Gubernur van der Hart, gejolak terus berlanjut, terutama melalui penghasutan Radja Muda Palos
yang memiliki pengaruh lebih besar daripada pangeran sendiri, sehingga
permusuhan bahkan dilakukan terhadap orang Bugis dan pemerintah, sementara itu
menolak menerima pengesahan kontrak. Namun, setelah kematian Radja Muda pada
tahun 1855, perdamaian dibuat dan
pada bulan Oktober 1856 para pangeran menyatakan diri mereka siap untuk
menerima kontrak yang telah diratifikasi, yang juga dilakukan pada bulan
November tahun itu; mereka disajikan kepada para pangeran oleh komandan kapal
uap ZM Montrado.
Pada bulan Maret 1861, orang-orang dari beberapa daerah Palos dan
Donggala bersalah atas perampokan dan pembunuhan seorang pejabat pemerintah
yang datang untuk berdagang di teluk Palos dengan prahunya; pengiriman kapal
uap HM Reinier Claessei kesana mengakibatkan pangeran Palos dan rakyat Towaeli
membayar ganti rugi yang dituntut, sedangkan pangeran Donggala menyerahkan
salah satu pelakunya. Pada bulan November 1861 pangeran Towaeli mengirim orang
La Garoeda, yang menikah dengan putri pangeran itu, ke Makassar untuk
memperbarui kontrak tahun 1854 atas namanya, yang menurut pendapat. raja itu
seharusnya terjadi karena kematian Gubernur Jansen. La Garuda yang dikenal
sebagai bajak laut terkenal, yang telah dilacak selama bertahun-tahun, tetapi masih
berhasil lolos. Meskipun pangeran Towaeli, yang diberitahu tentang pemenjaraan
ini, meminta pengampunan untuk menantunya, dia diserahkan ke pengadilan dan
dihukum 15 tahun kerja paksa. Para penguasa Kaïli yang memerintah pada tahun
1854 dengan siapa kontrak yang disebutkan di atas dibuat, meninggal
berturut-turut dan, menurut kebiasaan negara, pengganti mereka dipilih, untuk
Palos Djodjokodi Tomesina, putra pangeran yang telah meninggal dan untuk
Donggala La Maka Gilli Tomedada, keponakan mendiang raja. Sesuai dengan
ketentuan pasal. 20 dari kontrak yang dibuat dengan lanskap tersebut pada tahun
1854, perjanjian tersebut seharusnya diperbarui, tetapi karena tidak lagi
sesuai dengan persyaratan saat ini.
Hollander menyebut nama Kaili dengan Kajeli dan
Paloe dengan Palos (lihat Hollander, 1872). Disebutkan Kajeli di Kerajaan Palos
(tetapi) penduduk setempat menyebutnya Paloe. Pada tahun 1888 kontrak baru dibuat dengan penguasa local (tepatnya tanggal 1 dan 2 Mei 1888). Pada kesempatan penghentian
Parigi di rawa Tomini pada bulan November 1888 oleh orang Bugis di teluk Palos,
sebagai pembalasan atas pembunuhan dan perampokan yang dilakukan terhadap
beberapa rekan senegaranya disana, dan untuk mengurangi tindakan berani mereka,
oleh Pemerintah dikeluarkan Surat Keputusan tertanggal 18 September 1891 No 9,
dengan persetujuan kerajaan lebih lanjut, seorang pemegang jabatan dengan
personel yang diperlukan ditempatkan di Donggala.
Pada bulan November 1891 pemegang pos yang disebutkan di atas diinstall;
pada kesempatan itu disepakati bahwa pengadilan yang ada sejak berdirinya orang
Bugis, yang disebut Raad van Oudsten, dipimpin oleh Mayor atau Luitenant
Kalankangang, dan dimana beberapa sesepuh bertindak sebagai anggota, akan
selalu duduk di hadapan pemegang jabatannya, yang, bagaimanapun, hanya memiliki
satu suara penasihat. Hukuman yang dijatuhkan oleh Raad dalam kejahatan, yang
dapat dihukum dengan pengusiran di luar lanskap Banawa, diajukan untuk
persetujuan kepada Direktur Kehakiman, yang juga menunjukkan tempat hukuman. Berdasarkan Staatsblad 1893 No 80 pemegang pos
secara definitif dimasukkan ke dalam layanan. Berdasarkan Staatsblad 1895 No 115 ia digantikan
oleh seorang gubernur letnan sipil. Dia telah diinstruksikan untuk mengawasi
urusan Tanah Kaili, serta orang Bugis di dekat Teluk Palos.
Pada dasarnya kawasan teluk
Palos ini sangat dipengaruhi oleh pedagang-pedagang orang Bugis, Makassar dan
Mandar yang tinggal di sepanjang pantai teluk. Dalam hal ini, kawasan Kaili di
teluk Palos ini kemudian lebih dikenal sebagai Donggala (tempat dimana para
pedagang berada (lihat
Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1905).
Seperti disebut di atas, penutur bahasa Kaili mendiami sebagian besar
dari provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah kabupaten Donggala (dan Kota
Palku), kabupaten Sigi dan seluruh daerah di lembah antara gunung Gawalise,
gunung Nokilalaki, gunung Kulawi dan gunung Raranggonau. Penutur bahasa Kaili
juga terdapat di wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi kabupaten
Parigi-Moutong, kabupaten Tojo Una-Una dan kabupaten Poso. Salah satu dialek
bahasa Kaili adalah bahasa Kaili Da’a yang penuturnya terdapat di dataran
tinggi wilayah kabupaten Sigi dan kabupaten Donggala dan juga terdapat di
Bambaira, kabupaten Mamuju Utara.
Berdasarkan catatan di atas,
Kaili pada dasarnya nama yang sudah lama yang awalnya disebut Kajeli. Hal ini
bermula dari Kerjaan Ternate yang menempatkan orang Kajeli (di pulau Buru) di
sekitar teluk pada era VOC. Mereka inilah yang dapat dikatakan pendatang
pertama yang berinteraksi dengan penduduk asli (Alifurun). Namun karena
perubahan arsitektur perdagangan dan adanya pengaruh politik di kawasan
(terutama orang Mandar, Makassar dan Bugis) maka situasi dan kondisi mengalami
perubahan. Sebagian wilayah Tanah Kajeli atau Kaili menjadi lanskap Banawa atau
Donggala yang terbagi tiga distrik yakni Banawa atau Donggala, Lero atau
Towaeli dan Bala Esang en Dampelas. Wilayah inilah yang kini dikenal sebagai
kabupaten Donggal (termasuk Kota Palu). Sementara sisa wilayah Kajeli adalah kabupaten Sigi yang
sekarang,
Tunggu deskripsi lengkapnya
Wilayah Antara Makassar dan Manado Pantai Barat
Sulawesi: Palu Masa ke Masa
Pada hari Kamis tanggal 1
Desember 1927 pukul 12.45 telah terjadi gempa dahsyat di Donggala. Gempa ini
juga cukup keras dirasakan di Palu. Kantor Asisten Residen di Donggala runtuh
sebagian. Di Palu dua pasar runtuh dan sebagian bangunan dermaga hancur. Sebuah
gelombang pasang (baca: tsunami) di Teluk Paloe menyebabkan kehancuran
rumah-rumah di daratan. Sebanyak 14 orang tewas terbunuh dan sekitar lima puluh
orang luka. Nilai kerusakan diperkirakan sekitar f50.000. Gubernur Jenderal
mendelegasikan wewenang kepada Asisten Residen di Dongala untuk menyelidiki
bantuan dimana ia dapat menggunakan uang kas daerah yang tersedia. Berita di atas ditransmisikan oleh dari Manado
yang dikutip oleh surat kabar yang terbit di Soerabaija, Soerabaja Handelsblad
yang kemudian dilansir oleh surat kabar yang terbit di Batavia yakni Bataviaasch
nieuwsblad edisi 03-12-1927.
Kejadian gempa yang cukup besar juga pernah terjadi di Kakas Menado,
tidak jauh dari Donggola dan Poso. Kejadian gempa itu terjadi pada tahun 1932.
Sura kabarDe Sumatra post, 19-05-1932
melaporkan sebagai berikut: Buitenzorg 19 Mei (Aneta). Sebuah telegram dari
Residentie Menado melaporkan bahwa tidak dapat dimengerti bahwa jumlah korban
di Kakas sangat besar, sebanyak 592 rumah telah
hancur. Kerusakannya mencapai nilai satu ton emas. Penduduk Kakas dan daerah
sekitarnya mengungsi. Penduduk beberapa kota di Amurang juga telah meninggalkan
kampung, karena takut tenggelam di pantai atau gelombang pasang (tsunami).
Belum ada pesan yang diterima dari tempat-tempat lain seperti dari Donggala,
Poso dan Sangihe. Residen memperkirakan bahwa
di Minahassa lebih dari 600 rumah hancur dan 400 hancur sebagian. Kerusakannya
mencapai sekitar f200.000, tidak termasuk sekolah, gedung gereja dan pekerjaan
umum. Den Haag 19 Mei (Aneta). The Orange Cross memberi isyarat kepada dewan
dana bantuan moneter untuk bencana di Sulawesi dari Belanda jika diperlukan.
Dalam hal jawaban afirmatif, panggilan akan dilakukan kepada orang-orang
Belanda’.
Kejadian gempa besar di
Donggala kembali terjadi tanggal 21 Mei 1938.
Gempa ini juga diikuti tsunami. Gempa ini mendapat liputan yang luas tidak
hanya di Hindia tetapi juga di Belanda. Pengeran Bernhard di Belanda juga terus
memantau.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.