Sejarah

Sejarah Tata Kota Indonesia (32): Tata Kota di Pekanbaru di Daerah Aliran Sungai Siak; Indragiri di Selatan dan Bengkalis di Utara


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tata Kota di Indonesia di blog ini Klik Disini

Pada
masa ini disebutkan kota Pekanbaru tengah mengubah konsep membangun kota: dari ‘taman
dalam kota’ akan menjadi ‘kota dalam taman’. Kita tunggu saja. Yang tidak bisa
ditunggu, namun sudah berlalu adalah bagaimana narasi sejarah awal kota
Pekanbaru sendiri. Apakah itu mendesak? Sejarah kota adalah garis continuum
kota dari masa lampau ke masa kini hingga ke masa depan. Konon, dulunya, di
awal sejarah kota Pekanbaru sudah menggunakan konsep ‘kota dalam taman’.
Bagaimana bisa?


Pekanbaru Menuju Kota Dalam Taman. Rabu, tempo.co.
28 April 2021. Kota Pekanbaru saat ini bersalin rupa menjadi Kota
Metropolitan. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur
perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan
pemanfaatan ruang terbuka hijau (RTH) yang luas minimalnya sebesar 30 persen
dari luas wilayah kota. Bagaimana dengan Kota Pekanbaru? Agar tak bernasib sama
dengan kota-kota lainnya, Wali Kota Pekanbaru mengubah konsep pembangunan dari
membangun ‘taman dalam kota’ menjadi membangun ‘kota dalam taman’. Pusat
perkantoran baru di Kecamatan Tenayan Raya menjadi percontohan berbasis green
city. Proyeksi 20 persen RTH di Kota Pekanbaru akan terwujud. Konsep pengelolaan
kota yang mengedepankan lingkungan diadopsi dari Singapura dan Xiamen, Cina.
Kawasan Perkantoran di Kecamatan Tenayan Raya akan menjadi kota baru. Dari tota
lahan seluas 300 ha baru 117 ha yang digunakan untuk pembangunan 10 gedung.
Modelnya sembilan gedung menjadi satelit atau mengelilingi gedung utama yang
menjadi pusat pemerintahan.
(https://nasional.tempo.co/)

Lantas bagaimana sejarah tata kota Pekanbaru
di daerah aliran sungai Siak? Seperti disebut di atas, kota Pekanbaru tengah
berbena
dari ‘taman dalam kota’ akan menjadi ‘kota
dalam taman’. Okelah, itu satu hal. Dalam hal ini bagaimana terbentuk kota
Pekanbaru? Yang jelas di masa lampau Indragiri di wilayah selatan dan Bengkalis di wilayah utara. Lalu bagaimana
sejarah tata kota Pekanbaru di daerah aliran sungai Siak? Seperti kata ahli
sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan
wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.

Tata Kota Pekanbaru di Daerah Aliran Sungai Siak;
Indragiri di Selatan dan Bengkalis di Utara

Kapan kota Pekanbaru terbentuk? Kapan nama Pekanbaru
bermula? Pada masa ini
hari jadi (Hari Ulang Tahun) kota
Pekanbaru
disebut 23 Juni 1784.
Bagaimana menghitungnya? Apakah hanya sekadar
surat kenal lahirnya saja tanggal 23 Juni tahun 1784, tetapi tidak memiliki
surat akta kelahiran
. Okelah itu satu hal. Dalam
hal ini yang penting bagaimana kota Pekanbaru terbentuk yang terus eksis hingga
ke hari ini. Satu yang jelas bahwa orang Eropa pertama ke pedalaman pantai
timur Sumatra di wilayah Riau yang sekarang adalah Thomas Dias. Itu terjadi
pada tahun 1683.


Dalam laporan Thomas Dias disebutkan bahwa Gubernur Malaka menganggap
sangat penting ekspedisi ke Pageeroejoeng, sebaliknya Pagerroejoeng dengan
cepat merespon niat Gubernur Malaka untuk bekerjasama di Sumatra’s Oostkust.
Dalam hubungan ini, VOC/Belanda di Malaka mendapat izin perdagangan di Siak.
Lantas mengapa harus ke Pagaroejong? Thomas Dias mencatat bahwa Kerajaan Johor
mengklaim Siak sebagai kekuasaannya tetapi ketika dikonfirmasi di
Pagerroejoeng, Radja Pagaroejoeng menolak klaim tersebut.  Apa yang mendasari klaim Johor ini terhadap
pantai timur Sumatra tidak begitu jelas. Hal itulah diduga mengapa Gubernur
Malaka memastikan dengan mengirim utusan ke Pagaroejoeng melalui sungai Kampar
dan sungai Siak. Thomas Dias telah mengkonfirmasi, yang kemudian
ditindaklanjuti ke dalam kontrak. Seperti biasa, (pemerintah) VOC biasanya
membuat kontrak atas dasar persetujuan pemimpin lokal (sebagai dasar
legitimasi). Dasar legitimasi ini penting karena akan membuat situasi dan
kondusif di wilayah perdagangan (ketika bertransaksi dengan penduduk).

Laporan Thomas Dias tersebut bersesuaian dengan
catatan Kasteel Batavia tahun 1684 yang menyatakan adanya surat dari Radja
Pagaroejoeng serta adanya kontrak antara Thomas Dias dan Radja Pagaroejoeng (lihat
Daghregister 25 Desember 1684). Apa yang menjadi isi kontrak tersebut dalam
kunjungan Thomas Dias ke Pagaroejoeng sebagai perwakilan VOC (Belanda)
disepakati bahwa VOC diizinkan membuka pos perdagangan di daerah aliran sungai
Siak.


Dengan adanya kontrak yang dibuat Thomas Dias dan Radja Pagaaroejong,
VOC/Belanda mengabaikan klaim Johor tersebut. Thomas Dias sebagai perwakilan
VOC dari Malaka (benteng Belanda) mulai melakukan aktivitas perdagangan di Siak
dengan bersekutu dengan Pagerroejoeng. Kujungan Thomas Dias ini ke Pagaroejoeng
memiliki arti yang lain. Sementara itu, Inggris telah mengirim seorang utusan
ke Atjeh dan mendapat persetujuan untuk mendirikan maskapai di Pariaman tahun
1684 untuk perdagangan lada (lihat Oprechte Haerlemsche courant, 11-04-1686). 

Pada tahun 1686 dibuat kontrak di Malaka antara VOC
dan Kerajaan Pagaroejoeng tentang pasokan timah dengan para pemimpin penduduk
di Ajer Tiris, Bangkenang, Salo dan Kuwon. Dalam catatan Kasteel Batavia
(Daghregister) pembuatan kontrak tersebut dari pihak VOC diwakili Jacob van
Naerssen dengan empat pemimpin penduduk di Patapahan, Aijer Tiris, Bangkinang,
Sala dan Kuwon. Empat wilayah ini sudah pernah dikunjungi oleh Thomas Dias pada
tahun 1684 maupun sebelumnya.


Dalam laporan Thomas Dias ini tidak ada indikasi nama tempat Pekanbaru.
Nama-nama lain selain nama-nama yang disebut di atas adalah Lipat Kain dan
Sidomo (daerah aliran sungai Kampar). Rute perjalanan Thomas Dias ke
Pagaroejoeng dari muara sungai Kampar dan kemudian bergeser ke sungai Siak
(yang juga menjadi jalur pulang melalui Siak ke Malaka). Besar dugaan nama
Pekanbaru (hingga) pada saat kunjungan Thomas Dias tahun 1683 nama Pekanbaru
belum ada.

Setelah kunjungan Thomas Dias ke Pagerroejoeng dan
sebelum kontrak timah dibuat pada tahun 1686, pada tahun 1685 terjadi pertempuran
berdarah antara Inggris dan Belanda di Sumatra’s Westkust, lalu Inggris pindah
dari Padang ke Bengkoelen tahun 1686.


Bagi Pagerroejoeng tampaknya ada dua keuntungan dengan kerjasama dengan
VOC/Belanda ini, pertama VOC/Belanda telah berhasil mengusir pengaruh Kerajaan
Atjeh di Sumatra’s Weskust (sejak tahun 1665) dan kedua VOC/Belanda telah
mengembalikan hak Pagerroejoeng terhadap klaim Johor di Siak. Dengan demikian,
VOC/Belanda melakukan aktivitas di pantai-pantai dan Pagerroejoeng melakukan
aktivitas dengan tenang di pedalaman (pengaruh Atjeh dan Johor telah
tereliminasi). Hal itulah mengapa kerja sama itu penting bagi kedua belah
pihak, karena perdagangan akan bersinegeri (pedalaman dan pesisir/lautan).
Hanya yang masih ada ganjalan antara Pagoroejoeng di pedalaman dan VOC/Belanda
di pantai adalah karena ada kesepakatan antara Inggris dan Atjeh tentang
pendirian pos perdagangan Inggris di Pariaman.

Dalam konteks inilah ekspedisi Thomas Dias ke
pedalaman Sumatra melalui sungai Kampar dan sungai Siak penting untuk
mengidentifikasi nama Pekanbaru. Fakta bahwa tidak disebutkan nama Pekanbaru.
Thomas Dias sendiri adalah pegawai VOC di Malaka, seorang keturunan Indo Portugis
bekulit coklat yang sudah malang melintang di pantai timur Sumatra seperti
Indragiri (sungai Indragiri) di pantai di selatan dan Patapahan di pedalaman di
barat (sungai Siak). Hal itulah diduga kuat, dengan pengalaman Thomas Dias di
pantai timur Sumatra (Kampar dan Siak) menjadi alasan bagi Gubernur Malaka
mengirim Thomas Dias sebagai utusan ke Pagaroejoeng.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Indragiri di Selatan dan Bengkalis di Utara: Kota
Pekanbaru Masa ke Masa

Wilayah provinsi Riau (daratan) yang sekarang dimana
kota Pekanbaru sebagai ibu kota provisi di sisi sungai Siak, pada masa lampau
jelas bukan wilayah kosong yang tidak berpenghuni. Satu yang jelas adalah bahwa
nama Pekanbaru belum disebut. Bahkan, boleh jadi tempat yang menjadi nama Pekanbaru
belum ada. Namun demikian perlu ditelusuri sejak kapan nama Pekanbaru
terbentuk. Seperti disebut di atas, apakah benar-benar sudah eksis pada tanggal
23 Juni 1784?


Catatan tertua tentang wilayah pantai timur Sumatra sudah ada sejak abad
ke-7 yakni prasasti Kedukan Bukit (682). Di dalam prasasti disebut nama tempat
Minanga dan Matajap. Nama Minanga diduga kuat Binanga di daerah aliran sungai
Baroemoen (Padang Lawas, Tapanuli Selatanl dimana kini terdapat pusat percandian
terluas di Indonesia). Nama Matajap tidak diketahui secara jelas. Dalam
prasasti Tanjore (1030) disebut nama-nama tempat antara lain Pannai (Pane?),
Ilangasogan (Binanga Songgam?), Mappappalam (Sipalpal?), Takkolam (Akkola?) dan
Madamalingam (Mandailing?). Nama-nama tersebut pada masa ini diduga berada di
Padang Lawas. Dalam teks Negarakertagama (1365) disebut nama-nama tempat Lawas
(Padang Lawas), Pane (Panai?), Mandahiling (Mandailing?), Rekan (Rokan?), Siyak
(Siak?), Kampar, Karitang, Kandis dan Jambi. Selanjutnya dalam dalam sumber
Portugis, berdasarkan laporan Mendes Pinto (1539) yang pernah mengunjungi
Kerajaan Aroe disebutkan Kerajaan Aroe sedang bermasalah dengan Atjeh di Lingga
(wilayah Karo?) dan Nagoer (wilayah Simalungun?). Mendes Pinto mencatat
Kerajaan Aroe delapan ribu dari 15.000 tentara Kerajaan Aroe (di daerah aliran
sungai Baraoemoen) adalah orang Batak, sebagian yang lain didatangkan dari
Minangkabau, Indragiri, Jambi, Borneo dan Luzon. Dalam laporan Mendes Pinto
juga disebutkan bahwa Kerajaan Malaka sebelum dikuasai Portugis (1511) pernah
diserang Kerajaan Aroe (dan Malaka selalu takut kepada Aroe). Ini menunjukkan
bahwa Kerajaan Aroe dan Kerajaan Pagaroejoeng bersahabat (musuh mereka adalah
Atjeh). Dari keterangan Mendes Pinto tiga kerajaan yang eksis di Sumatra (Aroe,
Minangkabau dan Atjeh), sementara Malaka di Semenanjung Malaya adalah yang
terpenting. Dalam perkembangan lebih lanjut, pada tahun 1641 VOC yang berpusat
di Batavia (Kasteel Batavia) berperang dengan Portugis di Malaka. Lalu kemudian
VOC menaklukkan Portugis di Kamboja pada tahun 1641. Portugis terusir dari Malaka
dan Kamboja dan Portugis hanya menyisakan pos perdagangan di Ternate dan Macao.
Situasi dan kondisi baru tersebut dimanfaatkan oleh (kerajaan) Johor
bekerjasama dengan VOC, sebab musuh Johor yang pernah menaklukkan Malaka
(Portugis) pada tahun 1511 telah hengkang dari Semenanjung. Kerjasama ini disambut
VOC, karena VOC tidak memiliki hutang pada Malaka dan Johor (Johor adalah
suksesi kerajaan Malaka). Apa yang mendasari klaim Johor terhadap pantai timur
Sumatra masih belum begitu jelas. Sebelum VOC menaklukkan Malaka (1641) jelas
bahwa Johor berada di bawah bayang-bayang Portugis di Malaka (Portugis juga
membuka pos perdagangan di pulau Bintan). Setelah Belanda hadir di Malaka dan
Bintan (1641) secara defacto Johor baru berada dalam posisi terlindungi. Tentu
saja antara tahun 1641 hingga 1684 VOC mengetahui ruang gerak (kerajaan) Johor.
Adanya klaim tersebut terhadap pantai timur Sumatra membuat Gubernur Malaka
ingin memastikannya ke Pagaroejoeng dengan mengutus Thomas Dias. Secara
teoritis dalam hubungan VOC akan membuka pos perdagangan di pantai timur
Sumatra, jika VOC merasa klaim Johor valid, tentu saja VOC tidak perlu repot
mengutus Thomas Dias ke Pagaroejong dengan biaya mahal, bahkan akan lebih murah
jika kontrak dibuat di Malaka atau di Johor dengan Johor. Demikianlah
seterusnya di pantai timur Sumatra di bawah yurisdiksi VOC/Belanda.

Seperti disebut dalam artikel sebelumnya, setelah tercipta hubungan yang
baik di Borneo, VOC kemudian merintis
kembali jalan
ke pantai
timur Sumatra pada tahun 1739
dengan pos perdagangan di muara sungai Siak di pulau Gontong. Namun karena pos
ini diserang, VOC kemudian meninggalkan muara Siak
dan lebih konsentrasi di pulau Bintan. Pada VOC (Peta 1775) di teluk pantai selatan Bintan
diidentifikasi nama Rheo, yang diduga menjadi asal usul nama Riau.
Pada tahun 1784 VOC di Malaka diserang.


Oleh karena pusat VOC berada di Batavia (Jawa), posisi Malaka seakan
terpencil. Kerajaan-kerajaan kecil di kawasan kerap menggang
gu eksistensi VOC di kawasan.
Kerajaan-kerajaan Melayu Selangor, Djohor dan Riau menyerang Malaka pada tahun
1784. Dengan kekuatan yang didatangkan dari Batavia berhasil membebaskan
Malaka. Sebagai hukuman, VOC menyerang Selangor dan merebutnya. VOC kemudian
menyerang Riau dan Radja Riau terbunuh (lihat Hollandsche historische courant,
12-03-1785).

Setelah Radja Riau terbunuh
dalam perang dengan VOC, Riau jatuh ke tangan VOC
tahun 1785. Untuk membawahi wilayah taklukan ini di bawah
pimpinan Captain JP van Braam
dibangun benteng di pulau Bintan (sekitar Tanjung Uban). Besar dugaan tidak lama
kemudian ditinggalkan. Pada tahun 1787 Riau
(pulau Bintan) diambilalih oleh (kerajaan) Soeloe. Pengambilalihan
ini boleh jadi karena kerajaan Riau sudah melemah setelah radjanya terbunuh
oleh VOC dan tidak hadirnya VOC
lagi (di Riau). Setelah VOC menempati kembali pulau Bintan, seperti di berbagai tempat,
benteng VOC juga
kembali
dibangun
di
pulau Bintan
yang lebih baik. Pimpinan di pulau Bintan
diangkat G Pungel (lihat
Leydse courant, 16-11-1789). Lantas mengapa benteng di pulau Bintan dibangun? Boleh jadi untuk
memindahkan kekuatan dari Malaka ke pulau Bintan.
Malaka yang terpencil dan lebih dekat ke wilayah
Atjeh kerap terancam.


Benteng VOC di pulau Bintan menjadi sangat strategis, tidak hanya ke
utara di Semenanjung (Malaka), juga ke barat di pantai timur Sumatra (sungai
Batanghari, sungai Indragiri, sungai Kampar, sungai Siak, dan sungai Rokan).
Kolaborasi dengan kerajaan Pagaroejoeng menjadi bonus bagi VOC di kawasan perairan
pantai timur Sumatra. Kekuatan VOC berada di Padang di pantai barat Sumatra dan
di Palembang (Sumatra bagian selatan). Lalu bagaimana dengan nama Pekanbaru di
sungai Siak? Apakah tanggal 23 Juni 1784 yang dijadikan sebagai hari lahir kota
Pekanbaru merujuk pada penaklukan VOC terhadap perlawanan Riau, Johor dan
Selangor? Seperti disebut di atas, Johor pernah mengklaim Siak sehingga VOC
memastikannya dengan mengutus Thomas Dias ke Pagaroejoeng pada tahun 1684
melalui sungai Kampar dan sungai Siak.

Singkat narasi, nama Pekanbaru paling awal diketahui
pada Peta 1825. Tahun pemetaan ini belum lama terjadi perjanjian antara Belanda
dan Inggris tahun 1824 (Traktat London). Suatu perjanjian yang pada intinya
menetatpkan batas-batas yurisdiksi Belanda dan Inggris. Malaka milik Belanda (pantai
barat Semenanjung) tukar guling dengan Bengkoeloe milik Inggris (pantai barat
Sumatra). Batas yurisdiksi ditetapkan pulau Singapura masuk Inggris, dan pulau
Bintang masuk Belanda (Pemerintah Hindia Belanda).


Dalam Peta 1825 ini nama Pekanbaru diidentifikasi sebagai nama kampong
kecil di hulu daerah aliran sungai Siak. Di wilayah hilir sungai Siak diidentifikasi
nama Siak atau Sri Indrapoera. Nama-nama kampong lainnya di hilir Siak
Indrapoera adalah Pinang, Buantan, Sagu dan Tanjong Pedada. Di wilayah muara
sungai Siak tidak ada identifikasi nama kampong, pun di pulau-pulau Rantau, Padang
dan Bancalis. Mengapa? Sementara itu, ada beberapa kampong antara Sri
Indrapoera dengan Pekanbaroe. Di hulu kampong Pekanbaroe ada dua nama kampong
yakni Panti Tjermin dan kampong Patapahan (terjauh di sungai Siak). Di barat
daya Patapahan di pegunungan diidentifikasi nama tempat Songei Trap, Pagaroejoeng
dan Soroaso. Ketiga nama tempat ini berada di hulu daerah sungai Kuantan/sungai
Indragiri. Sungai Kampar sendiri berada diantara sungai Siak di utara dan
sungai Indragiri di selatan. Bagaimana dengan sungai Rokan di utara sungai
Siak? Sungai bercabang di hulu, ke kanan ke Padang Lawas dan ke kiri ke Rao.

Nama Pekanbaru tampaknya (hanya) merujuk pada Peta 1825.
Tidak ada nama Pekanbaru di masa lampau. Yang sudah eksis adalah Siak yang
berganti nama Sri Indrapoera. Artinya nama Siak tetap lestari sebagai nama
sungai, nama tempat yang baru disebut Sri Indrapoera. Nama Siak sendiri sudah
disebut dalam teks Negarakertgama 1365. Nama yang disebut Thomas Dias di sungai
Siak pada tahun 1684 hanya nama Patapahan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top