Sejarah

Sejarah Yogyakarta (28): Lapangan Terbang Maguwo dan Adi Sucipto; Berita Pesawat Dakota dari Singapura 1947 di Jogjakarta




false
IN




























































































































































false
IN



























































































































































Nieuwe courant, 30-07-1947: ‘Insiden
penerbangan. Aneta mengirim berita dari Singapura, yang mana pesawat pertama
dengan obat-obatan Palang Merah untuk Indonesia dari bandara Kallang kemarin (Rabu, 29-07-1947).
Pesawat membawa setengah ton obat-obatan dan perban dengan penicilin memberi
tahu kami berita berikut dari Radio Djocja: Pesawat Inggris-Indonesia, yang
datang dari Singapura ditembak jatuh oleh dua pesawat Belanda di atas bandara
Djocja. Ada empat warga negara Inggris dan lima orang Indonesia di dalam pesawat
serta sejumlah obat-obatan untuk Palang Merah Indonesia. Hanya satu orang
Indonesia yang lolos dari kematian. Pesawat sudah dalam posisi roda pendaratan
dan siap mendarat ketika diserang oleh pesawat Belanda. Pemerintah Republik
mengeluarkan sebuah komunike dimana ia menyatakan kesedihan dan simpati
terhadap kerabat mereka yang terkena dampak. Warga negara Inggris adalah mantan Wing
Commander Constantine dan istrinya, mantan pemimpin skuadron Hazelhurst dan seorang
Inggris yang tidak diketahui namanya. Selanjutnya, orang Indonesia adalah Adi
Soetjipto, Dr. Abdoelrachman Saleh, Hadji Soemarmo Wirjokoesoemo dan Arifin. Seorang
penumpang Indonesia Abdul Gani selamat. Sebelumnya telah dilaporkan bahwa
pesawat telah meninggalkan Singapura. Tampaknya tidak ada pengaturan khusus
yang dibuat dengan Belanda untuk perjalanan bebas melintas dari Dakota ini’.

Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin
Harahap Memimpin Pemakaman

Pesawat Dakota tersebut yang ditembak jatuh oleh dua
pesawat tempur Belanda adalah milik Indier Patniak dari Government of Orissa
yang mana seminggu sebelumnya telah membawa Perdana Menteri Soetan Sjahrir ke
India diharapkan kembali lagi ke Singapoera pada hari Rabu.

Dr Hassan Aljuneid dari Singapura,
kepala Palang Merah Indonesia menyatakan mereka yang berkontribusi pada Palang
Merah Indonesia untuk pengiriman adalah Gubernur Jenderal Malaka Malcolm
MacDonald dan istrinya yang menyumbangkan 500 Straits Dollars, Sementara masing-masing
250 Staits Dollars dari Gubernur Siredward Ghent dari Uni Malaya dan dua orang
Eropa yang tidak ingin disebut namanya, sedangkan United Malaya National Organization
menyumbangkan 5.000 dolar (lihat Algemeen Indisch dagblad, 30-07-1947).
Jatuhnya pesawat Dakota
menjadi simpang siur. Ini dapat dibaca pada surat kabar  Algemeen Indisch dagblad, 31-07-1947: ‘Disebutkan
bahwa pesawat tidak melakukan prosedur normal untuk mendapatkan penerbangan
bebas melalui wilayah militer Belanda. Ini diakui oleh seorang pejabat Inggris.
Dua pilot Belanda yang diwawancara mengatakan tidak sedang menembak jatuh
pesawat tetapu jatuh sendiri setelah terbang rendah dan menabrak pohon kelapa.
Kami terlalu jauh di belakangnya. Pilot Letnan Satu Penerbang BJ Ruesink dari
Den Haag dan Sersan Mayor Penerbang WE Erkelens mengatakan lebih lanjut bahwa
pesawat Dakota jatuh disebabkan kebakaran pesawar sendiri dan tampak api dari
samping pesawat. Menurut pilot Belanda bahwa pesawat yang jatuh delapan mil
dari Djogja meledak dengan tiba-tiba.
Mereka yang meninggal
telah dimakamkan sore tanggal 30 Juli empat anggota Angkatan Udara Indonesia
yang tewas dalam Dakota India (Inggris) di Djokja. Upacara tersebut dipimpin oleh
Perdana Menteri Indonesia Amir Sjarifoeddin Harahap yang juga dihadiri anggota
lain dari pemerintah Indonesia. Para korban Inggris akan diperintahkan esoknya
sesuai dengan kebiasaan Kristen atas permintaan Konsul Jenderal Inggris di Batavia,
karena tidak mungkin untuk memindahkan jenazah ke Batavia akan dimakamkan di
Djogja. Catatan: Amir Sjarifoeddin Harahap diangkat menjadi Perdana Menteri RI
sejak tanggal 3 Juli 1947 (sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI).
Atas kejadian tersebut di
Singapoera dilakukan penyelidikan menyeluruh. Sementara itu Palang Merah
Indonesia di Singapura telah menyelenggarakan pertemuan protes malam ini
terhadap apa yang terjadi dengan Dakota. Resolusi akan diajukan, mengecam
tindakan Belanda. Di lain pihak Sekretaris Jenderal Gubernur Jenderal, Sir
Ralph Hone di Singapoera mengatakan bahwa tidak ada otorisasi yang diberikan
sama sekali untuk penerbangan. Pesawat itu tidak memiliki pelat nomor Palang
Merah dan dia pikir Belanda bertindak sesuai dengan hak hukum mereka.
Perwakilan Palang Merah
Internasional di Singapura, Mr. H. Schweizer, sangat terpengaruh oleh insiden
tersebut. Dia menyatakan bahwa dia telah melakukan kontak dengannya untuk
melakukan penerbangan di bawah pengawasan Palang Merah Internasional, tetapi
dia tidak dapat memberikan otorisasi untuk ini, karena dia tidak memiliki izin
dari Jenewa untuk melakukannya. Penerbangan itu adalah penerbangan pribadi, itu
tidak dilakukan untuk Palang Merah atau untuk pemerintah Malaka. Juga muncul
pertanyaan apakah pesawat telah melebihi muatan? Officier bandara di Singapoera
menyatakan pintu pesawat yang akan berangkat dibuka lagi untuk mengeluarkan
seorang pemuda Indonesia, karena pilot tampaknya percaya bahwa pesawat itu
kelebihan muatan.
Lapangan Terbang Magoewo Menjadi
Bandara Adi Sucipto

Pasca perang kemerdekaan
dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (Desember 1949), ada dua
infrastruktur strategis yang segera dikuasai oleh orang Indonesia. Dua
infrastruktur tersebut adalah bandara (di berbagai kota) dan pabrik senjata dan
mesiu di Bandoeng. Ini dimaksudkan untuk memperkuat kedaulatan Indonesia di
bidang penerbangan sipil untuk moda transportasi cepat bagi penduduk Indonesia dan
produksi senjata dan mesiu untuk kebutuhan militer Indonesia.
Sejumlah pejabat Indonesia yang
diangkat pada awal tahun 1950 diantaranya Ir. Tarip Abdullah Harahap sebagai
Kepala Penerbangan Sipil yang berkedudukan di Djakarta dan Overste (Letkol) Ir.
AFP Siregar gelar MO Parlindungan sebagai Kepala Perusahaan Sendjata dan Mesiu
(PSM) yang berkedudukan di Bandoeng. Ir. Tarip Abdullah Harahap lulus tahun 1939
dari departemen teknik sipil dari Technisch Hoogeschool di Bandoeng (kini ITB).
Ir. AFP Siregar lulus tahun 1940 dari departemen teknik kimia dari Universiteit
te Delft. Ir. AFP Siregar adalah lulusan kedua dari Delft, sedangkan yang
pertama adalah Ir. Pandji Soerachman Tjokroadisoerjo yang pada tahun 1950
diangkat sebagai Presiden (Rektor) Universiteit Indonesia (kini Universitas
Indonesia).
Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 10-06-1935: ‘Technische Hoogeschool. Dalam ujian akhir
tingkat satu yang diikuti 45 kandidat, yang berhasil lulus adalah: Abdul Kader,
Ms. A. Adels, R. Ahja, EJA Corsmit, E. Edward, M. Hoesen, H. Johannes, Lauw
Jan, Liem Kiem Kie, Lic Hok Gwan, Lic Soen Giap, R. Moempoeni Dirdjosoebroto,
Sardjono, JA van Schalk, AB Schrader, M. Soemarman, JF Strach, Tarip Abdullah
Harahap, The Lian Thong dan Thee Kian Boen. Sebanyak 24 kandidat gagal;
sementara satu kandidat dilakukan ujian ulangan’.
Pada fase inilah
lapangan-lapangan terbang yang sejak era kolonial Belanda sebagai basis
angkatan udara difungsikan untuk penerbangan sipil, termasuk lapangan terbang
Magoewo di Djogjakarta. Namun persoalannya menjadi muncul karena
pesawat-pesawat militer berukuran kecil-kecil.
Lapangan terbang yang pertama
dikuasai oleh Republiken (pasca pengakuan Indoneisa oleh Belanda 27 Desember
1949) adalah lapangan terbang (vliegveld) di Magoewo. Di lapangan terbang
Magoewo Kepala Staf Angkatan Darat Indonesia Kolonel Abdul Haris Nasution bermarkas.
Di lapangan terbang lainnya seperti Tjililitan di Djakarta dan lapangan terbang
Andir di Bandoeng masih intens pergerakan militer Belanda yang sebagian telah
dipulangkan ke Belanda. Setelah mulai kondusif Kolonel Abdul Haris Nasution
pindah ke Djakarta (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 09-01-1950).

Kepala Penerbangan Sipil, Ir. Tarip Abdullah Harahap
mulai bekerja keras untuk merehabilitasi lapangan terbang yang ada karena
banyak kerusakan selama perang dan juga melakukan renovasi (perluasan bandara)
agar memenuhi persyaratan penerbangan internasional. Untuk itu Ir. Tarip
Abdullah Harahap segera bergegas dengan anak buah ke Australia untuk
mempelajari seluk beluk penerbangan sipil dan syarat-syarat yang akan dipenuhi
untuk kelayakan lapangan terbang untuk pesawat (penerbangan) sipil. Lapangan
terbang Magoewo dan lapangan terbang Tjililitan (kini Halim) mendapat high
priority.

Ir. Tarip Abdullah Harahap sebagai
Kepala Penerbangan Sipil dari Kementerian Perhubungan memimpin langsung untuk melakukan
tugas-tugas pemeriksaan terhadap sejumlah lapangan terbang di Indonesia yang
dimulai di Tjililitan dan Magoewo. Namun tidak semua lapangan terbang dapat
dengan mudah dilakukan terutama di Makassar sehubungan dengan masih adanya properti
militer Belanda. Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 29-05-1951: ‘Ir. Tarip Abdullah Harahap di Makasser, Kepala
Departemen Penerbangan Sipil Kementerian Perhubungan berdiskusi dengan tentara
dan administrasi sipil, menyangkut rencana untuk memulihkan hubungan udara
antara Djakarta dan Ambon melalui Makasser’. Lapangan terbang di Makassar dan
Ambon adalah lapangan terbang pertama di luar Jawa yang mendapat rehabilitasi
dan renovasi untuk keperluan penerbangan sipil. Setelah itu baru Medan
sebagaimana dilaporkan surat kabar Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-07-1952: Di
Medan telah dibentuk sebuah komisi penerbangan (civil aviation) dalam rangka
mengevaluasi kelayakan bandara Polonia Medan dan juga untuk melakukan studi
persiapan bandara Blang Bintang di Kota Radja (kini Banda Aceh) untuk persiapan
pendaratan jenis pesawat Convalrs. Komisi terdiri dari Tarip Abdullah Harahap
(ketua)’.
Upaya rehabilitasi dan
renovasi lapangan terbang (vliegveld) di berbagai kota tersebut dilakukan
sebagai tindak lanjut dari kebijakan pemerintah yang telah membeli
(mengakuisisi) sebanyak delapan pesawat jenis Convalrs (lihat De vrije pers :
ochtendbulletin, 29-09-1950). Disebutkan bahwa Dr. E. Van Konijnenburg, Direktur
(maskapai) Garuda mengatakan bahwa akan melakukan akuisisi delapan
Convairliners, (maskapai) Garuda akan mengeluarkan anggaran total lebih dari 70
juta Ruplah’. Pesawat jenis Convalrs memiliki badan yang lebih besar dari jenis
Dakota.
Tidak seperti perusahaan
strategis seperti Perusahaan Sendjata dan Mesiu (PSM) di Bandoeng yang harus dimiliki
dan dipimpin oleh anak negeri (Ir. AFP Siregar), perusahaan-perusahaan non
strategis pemerintah beberapa diantaranya dalam bentuk joint venture (Garuda dengan
KLM) dan pengelolaannya diberikan kepada profesional asing seperti Direktur
Garuda, Dr. E. Van Konijnenburg, Hingga awal tahun1951 jumlah armada Garuda
Indonesian Airways sudah mencapai 38 buah pesawat (lihat De Tijd :
godsdienstig-staatkundig dagblad, 05-05-1951). Disebutkan bahwa Mr van Houten,
wakil direktur Garuda Indonesla Airways telah mengumumkan bahwa GIA saat ini
memilik 8 buah Convalrs, 22 buah Dakota dan 8 buah Catalinas’. Pesawat GIA
jenis Convalrs secara bertahap akan menggantikan jenis Dakota (lihat Algemeen
Indisch dagblad: de Preangerbode, 31-12-1952).
Sementara Perusahaan
Garuda Indonesian Airways (GIA) terus meningkatkan kapasitasnya sebagai
operator tunggal di Indonesia, Kementerian Perhubungan cq Direktorat
Penerbangan Sipil yang dipimpin Ir. Tarip Abdullah Harahap terus bekerja keras
untuk membenahi secara bertahap sejumlah lapangan terbang di berbagai kota.
Lapangan terbang Tjililitan dan lapangan terbang Magoewo mendapat perhatian
khusus sebab dua lapangan terbang ini menghubungkan jalur udara paling intens.
Sementara itu, rehabiitasi dan renovasi lapangan terbang lainnya terus
dilakukan.
Java-bode:nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-03-1954: ‘Ir. Harahap dari direktora
penerbangan sipil, lapangan terbang di Den Pasar, Sumbawa. Waingapu, Kupang, Maumere
dan Makassar dan lainnya menginspeksi bandara di bagian timur Indonesia’.

Itulah riwayat lapangan
terbang Magoewo dan peristiwa jatuhnya pesawat terbang Indonesia di dekat
lapangan terbang Magoewo yang mana salah satu pahlawan Indonesia yang gugur
adalah Adi Soetjipto. Dalam perkembangannya, nama lapangan terbang Magoewo
diresmikan dengan nama lapangan terbang (bandara) baru dengan menabalkan nama
Adi Sucipto.

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top