Sejarah

Sejarah Menjadi Indonesia (729): Melanau di Serawak, Malinau di Indonesia; Apakah Ada Hubungan Populasi Zaman Kuno?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Negara Serawak (kini
masuk Federasi Malaysia) di pantai utara Borneo beragam etnik yang mana
populasi dominan adalah etnik Iban yang hampir separuh populasi (negara) Serawak.
Sementara etnik Melanau termasuk lima besar penduduk asli yang jumlahnya
sekitar enam persen. Di wilayah tetangga Serawak di bagian wilayah Indonesia
terdapat nama (wilayah) Malinau yang secara toponimi sama. Dalam hal ini apakah
etnik Melanau di Serawak dan nama Malinau di (provinsi) Kalimantan Utara memiliki
hubungan propulasi?


Melanau merupakan bangsa penduduk asli Sarawak dan dikategorikan Austronesia. Kaum Melanau juga
merupakan penduduk pedalaman Sarawak terawal. Morris (1991) menyebutkan mereka
mempunyai hubungan linguistik dan sosial dengan etnik dari kawasan hulu yang
bertetangga dengan etnik Kayan, Kenyah, Kajang, Bidayuh. Etnik Melanau
bermigrasi ke hilir di masa lampau melalui sungai Batang Mukah dan Oya. Di wilayah
hilir Sebagian etnik Melanau Bergama Islam. Kaum Melanau dikategorikan sebagai
Austronesia berdasarkan penggunaan bahasa yang tergolong dalam
Malayo-Polynesian, sama seperti kaum Kayan, Kenyah, Bidayuh, Iban, Melayu dan
lain-lain. Perkampungan orang Melanau kebanyakannya dibangun di tepi sungai dan
berdekatan dengan pantai. Pada masa kini hampir keseluruhan masyarakat Melanau menganuti
agama Islam dan Sebagian kecil menganuti agama Kristen namun terdapat juga yang
mempercayai tuhan laut iaitu “inah” ataupun juga dikenali sebagai
“ipok”. Etnik -ektnik Melanau berkumpul di kawasan persisiran pantai
seperti kawasan lembah utara sungai Rajang, Igan, Roban, Kabong, Matu-Daro,
Pulau Bruit, Mukah, Gua Niah, Taman Negara Mulu, Dalat, Oya, dan Bintulu,
tetapi terdapat juga populasi mereka di kota-kota lain seperti Kuching, Sibu
dan Miri
.
(Wikipedia).
 

Lantas bagaimana sejarah
etnik Melanau di Serawak dan apakah ada hubungan populasi dengan nama Malinau
di Indonesia? Seperti disebut di atas, secara linguistic Bahasa etnik Melanau
di pesisir Serawak berkerabat dengan Bahasa-bahasa di pedalaman termasuk di
wilayah bagian Indonesia di Malinau. Lalu bagaimana sejarah etnik Melanau di
Serawak dan apakah ada hubungan populasi dengan etnik Malinau di Indonesia?
Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya
memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis,
setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi
sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam
artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan
lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru
yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Melanau di Serawak, Malinau di Indonesia: Catatan
Sejarah Etnik Dayak dan Melayu di Pulau Kalimantan

Fakta bahwa wilayah populasi (orang) Melayu berada
di wilayah pesisir, di berbagai tempat di Nusantara. Terbentuk. Ini mengindikasikan
bahwa populasi yang berbahasa Melayu memiliki tipologi yang sama. Populasi ini
diduga kuat adalah mix population antara pendarang dengan penduduk asli.
Populasi berbahasa Melayu yang kerap diidentifikasi orang (budaya) Melayu,
tetapi faktanya bahwa populasi yang disebut Melayu antara satu dengan yang lain
terdapat variasi yang lebih besar jika dibandingkan dengan populasi (orang asli)
di belakang pantai (di pedalaman). Populasi Melayu di pesisir memiliki hubungan
dekat dengan populasi asli di pedalaman seperti halnya di wilayah Serawak.


Secara teoritis, populasi berbahasa Melayu harus
dibedakan antara populasi (menggunaan) berbahasa Melayu yang terbentuk di suatu
tempat (wilayah/area) dengan populasi berbahasa Melayu yang melakukan
perpindahan tempat dari satu tempat ke tempat lain (migrasi). Perpindahan
populasi juga terjadi di pedalaman, tetapi karena hambatan geografis hanya bergerak
dalam jarak pendek (cenderung tidak jauh dari tempat asal). Perbedaan tempat
dari populasi asal membentuk populasi baru dengan dialek/aksen yang sedikit
berbeda. Oleh karena itu populasi di suatu wilayah besar yang terdiri dari
berbagai dialek/aksen masih dengan mudah dikelompokkan apakah masih merupakan ciri
populasi awal (etnik tertentu) yang dapat dibedakan dengan kelompok populasi
yang lain (bertetangga). Hal itu berbeda dengan berbagai populasi di pesisir
yang satu sama lain terdapat persamaan linguistic (Bahasa Melayu) tetapi secara
atropologis berbeda. Interaksi dan pembauran dengan penduduk asli di pedalaman
dan pendatang dari arah lautan populasi berbahasa Melayu di suatu tempat akan
membentuk dialek Bahasa dan budaya sendiri-sendiri. Dalam hal ini yang ingin diregaskan
adalah bahwa populasi Melayu (karena berbahasa Melayu) dapat dibedakan antara
kelompok Melayu yang terbentuk dan kelompok Melayu yang berpindah tempat. Dalam
sejarahnya, banyak populasi-populasi asli yang dekat di belakang pantai yang
kemudian berbahasa Melayu dianggap atau mengidentifikasi diri sebagai orang Melayu.
Proses Melayunisasi juga terjadi wilayah pantai utara Borneo, dalam hal ini di
wilayah Serawak. Juga secara teoritis wilayah yang memiliki populasi kecil jika
terbentuk Bahasa Melayu (karena pendatang) akan hilang Bahasa asli (menjadi
Melayu), sebaliknya wilayah dengan populasi besar relative terhadap pendatang
(yang berbahasa lingua franca Bahasa Melayu) Bahasa asli tidak punah (tetap
menjadi etnik yang terus eksis, seperti Batak di Sumatra dan Jawa di Jawa).
Dalam hal ini etnik Melanau tetap Melanau (yang dapat dibedakan dengan etnik
Melayu).

Di wilayah pantai/persisir Serawak terdapat
berbagai etnik pada masa ini, antara lain Iban, Melanau, Melayu dan lainnya.
Jelas dalam hal ini antar satu etnik di wilayah ini bisa membedakan diri dengan
yang lain. Pengelompokkan ini tampaknya didasarkan pada elemen pertama yang
memiliki Bahasa yang sama (atau mirip satu sama lain) dan elemen budaya lainnya
seperti kebiasaan dan bentuk hubungan sosial. Dalam hal ini populasi di wilayah
tersebut dapat dibedakan pada dua populasi besar yakni kelompok yang termasuk Melayu
dan kelompok yang termasuk Dayak yang mana etnik Melanau termasuk kelompok (etnik)
Dayak.


Umumnya populasi Dayak cenderung berada di pedalaman
pulau Borneo/Kalimantan. Sebaliknya Melayu cenderung berada di pesisir. Sangat
jarang populasi Dayak berada di wilayah pesisir. Namun harus diingat sebelun
berada di pedalaman, awalnya berada di pesisir tetapi kemudian ‘terdesak’
bertempat tinggal ke pedalaman (semakin lama semakin jauh ke pedalaman). Jika
etnik Melanau adalah etnik Daya, maka populasi tersebut bukan bagian Melayu.
Akan tetapi seperti diijelaskan teori di atas, ada etnik Dayak yang terus
berada di pesisir tetapi dalam perkembangannya berbahasa Melayu atau tetap
dengan Bahasa asalnya (Bahasa Dayak). Percampuran yang intens dengan pendatang,
yang lalu berbahasa Melayu, telah bertrasformasi menjadi Melayu (meski secara
geografis tidak pernah berpindah). Kelompok Melayu yang mana diantara yang berada
di wilayah pesisir Serawak tidak diuketahui lagi (karena sudah berlkangsung
sejak lama, bahkan di jaman kuno). Etnik Iban dan etnik Melanau yang sebagian atau
umumnya berada di wilayah pesisir dapat dikelompokkan etnik Dayak karena secara
linguistic atau elemen budaya lainnya dapat dilihat persamaannya dengan etnik
lainnya yang berada di pedalaman.

Seperti dikutip di atas, bahwa etnik Melanau
memiliki kedekatan budaya dengan etnik Kayan, Kenyah, Kajang dan Bidayuh di
(wilayah) pedalaman. Lantas bagaimana dengan etnik Malinau di wilayah pedalaman?
Apakah antara etnik Melanau dan nama Malinau memiliki hubungan budaya, atau
hanya sekadar kedua nama tersebut memiliki kemiripan (Melanau-Malinau).


Etnik Kayan
adalah etnik Dayak dari rumpun Kayan atau Orang Ulu yang berasal dari wilayah
hulu sungai Baram, Sarawak. Etnik Kayan juga ditemukan di wilayah Kalimantan
Utara di daerah Apau Kayan tepatnya di daerah aliran sungai Kayan, dikarenakan
alasan perang antar suku dan mencari daerah yang lebih subur. Pada masa ini
etnik Dayak Kayan tersebar di Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan
Barat, Sabah dan Sarawak. 
Etnik Kenyah
adalah etnik Dayak yang termasuk rumpun Kenyah-Kayan-Bahau yang berasal dari
dataran tinggi Usun Apau, daerah Baram, Sarawak. Dari wilayah tersebut suku
Kenyah memasuki Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara melalui sungai Iwan di
Sarawak terpecah dua sebagian menuju daerah Apau Kayan yang sebelumnya
ditempati suku Kayan dan sebagian yang lainnya menuju daerah Bahau. Pergerakan etnik
ini menuju ke hilir akhirnya sampai ke daerah Mahakam dan akhirnya sebagian
menetap di Kampung Pampang Samarinda Utara. Sebagian lagi bergerak ke hilir
menuju Tanjung Palas (etnik Kenyah merupakan 2,4% penduduk Kutai Barat). Orang
Ulu
atau etnik-etnik yang termasuk dalam kelompok Orang Ulu yang berada di
sepanjang perbatasan Serawak dan Kalimantan Utara/Barat/Timur adalah Kayan,
Kenyah, Bahau, Seputan/Uheng Kereho, Aoheng/Penihing, Kajang, Kejaman, Punan,
Ukit, Bukat, Penan, Lun Bawang, Lun Dayeh, Murut, Berawan, dan Kelabit. Kelompok
etnik berada di Kabupaten Kapuas Hulu, Mahakam Ulu, Malinau, dan Nunukan. Di
Sarawak kelompok etnik ini tidak disebut Dayak, karena hanya disebut Dayak Laut
(Iban/Malayik) dan Dayak Darat (Bidayuh) dan Dayak hanya dikaitkan dengan Bidayuh
(Dayak Darat). Etnik Bidayuh merupakan sub-etnik dari etnik Dayak rumpun
Klemantan yang merupakan sub-bagian dari kelompok Ribunic/Jangkang yang terdiri
atas etnik Dayak Ribun, Dayak Pandu, Dayak Pompakng, Dayak Lintang, Dayak
Pangkodatn, Dayak Jangkang, Dayak Simpakng, Dayak Bisomu dan Dayak Simpakng. Secara
keseluruhan dari gambaran tersebut tampaknya ada kaitan antara etnik Melanau
(di Serawak) dan nama Malinau (di Kalimantan Utara).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Melanau
di Serawak, Malinau di Indonesia: Apakah Ada Hubungan Populasi Zaman Kuno?

Nama (etnik) Melanau di Serawak adalah nama
tunggal untuk mewakali berbagai etnik/subetnik yang populasinya satu dengan
yang lain terbilang kecil. Sementara Malinau adalah nama wilayah dimana
terdapat berbagai etnik yang diduga memiliki hubungan populasi dengan etnik
Melanau di Serawak. Populasi terbesar di wilayah (kabupaten) Malinau adalah penduduk
berbahasa Punan dan Bahasa Lundayeh. Juga terdapat pengguna Bahasa Kayan dan Bahasa
Kenyah serta Bahasa Tidung.


Pada masa ini nama Malinau adalah nama wilayah. Di kabupaten
Malinau (Kalimantan Utara) tidak ada nama kampong yang ada adalah nama-nama
kecamatan (barat, utara dan selatan). Dimana awal nama tempat (kampong) pada
masa lampau tidak diketahui lagi.Dalam peta-peta masa lalu, Malinau
diidentifikasi sebagai nama tempat di pedalaman Kalimantan (Utara). Nama
Melanau juga diidentifikasi di dalam peta-peta lama di wilayah Serawak yang
sekarang. Peta 1601

Pada peta-peta Portugis nama Melanau sudah
diidentifikasi sebagai nama Malano sebagai suatu tempat (kerajaan) yang setara
dengan Brunai (lihat Peta 1601). Pada Peta 1657 nama kerajaan besar hanya
Sambas. Sementara pada Peta 1724 teridentifikasi nama Brunai sebagai kerajaanb
besar, sedangkan Malano/Melanau hanya sebagai kerajaan kecil di sisi barat sugai
Passara yang berseberang dengan kerajaan Passara di sisi lain sungai.


Sungai Passara pada peta-peta Hindia Belanda
didientifikasi sebagai sungai Redjang, sungai besar yang berhulu di pedalaman,
yang tidak jauh dari hulu sungai Kayan (yang juga disebut sungai Boeloengoen di
hilir). Ada dua sungai besar yang melalui Malinau yakni sungai Bahau dan sungai
Kayan yang bermuara ke pantai timur laut (di Tanjung Selor). Nama Malinau
sendiri baru terpetakan pada peta-peta Hindia Belanda sebagai nama tempat di
pedalaman Kalimantan di hulu sungai Kayan/Boeloengan (kini menjadi nama
desa/keluarahan di Kota Malinau.

Lantas
apakah ada hubungan populasi yang spesifik antara etnik Melanau di Serawak
dengan nama Malinau di wilayah hulu sungai Kayan? Dari aspek lingusitik kosa
kata elementer Bahasa Melanau untuk ibu adalah ‘tina’ (t-ina) dan ayah adalah ‘yama’
(y-ama). Dua kosa kata elementer tersebut jelas bukan masuk Bahasa Melayu, dan
juga bukan kosa kata yang ditemukan dalam Bahasa Dayak di pedalaman. Besar
dugaan bahwa ‘ina/tina’ dan ‘ama/yama’ adalah kosa kata baru dalam populasi
yang berasal dari Bahasa di wilayah lain. Sementara itu di wilayah Malinau di
sungai Kayan etnik dominan adalah etnik/Bahasa Punan dan etnik/Bahasa Lundayeh. 
Juga terdapat etnik
Tidung.


Di wilayah Malinau
juga terdapat etnik Tidung yang populasinya lebih banyak berada di hilir di
sekitar pantai. Kosa kata elementer Tidung untuk ibu adalah ‘ina’ dan ayah
adalah ‘yama’ (y-ama). Hanya kosa kata elementer ‘ina’ dan ‘yama’ sebagai
satu-satunya Bahasa di Malinau yang mirip dengan kosa kata elementer Bahasa
Melanau. Kosa kata elementer ‘ina’ dan ‘ama’ tidak ditemukan secara geografis
(populasi besar) di pedalaman melaninkan di wilayah pesisir. Kosa kata
elementer ‘ina’ dan ‘ama; ini ditemukan di berbagai wilayah seperti di Sabah,
Minahasa, pulau-pulau di Filipina dan di Serawak (Melanau) dan di wilayah
Sumatra bagian utara (etnik Batak). Jelas dalam hal ini etnik-etnik yang
memiliki kosa kata elementer ‘ina’ dan ‘ama’ di satu pihak bukan Melayu dan di
pihak lain juga bukan termasuk etnik Dayak di pedalaman. Dalam hal ini etnik
Melanau di Serawak dan etnik Tidung di Kalimantan Utara adalah etnik diantara
kedua etnik besar tersebut di pulau Kalimantan. Etnik Melanau maupun etnik
Tidung sebagai penduduk asli (Dayak) diduga telah bercampur dengan penduduk
pendatang, tetapi tidak menjadi Melayu. Sebagai catatan: nama gunung tertinggi
di Kalimantan adalah gunung Kinabalu yang merujuk pada ‘kina’ dan ‘balu’.
Gunung sebagai penanda navigasi pelayaran perdagangan di zaman kuno menjadi
awal penamaan dari pendatang (dari laut) bukan oleh penduduk asli (Dayak). Kosa
kata ‘kina’ yang sangat mirip ditemukan dalam Bahasa etnik-etnik Batak di pulau
Palawan (Filipina) sebagai ‘qinak’. Untuk ‘balu’ sendiri sebagai gunung hanya
ditemukan dalam Bahasa etnik Batak sebagai ‘bulu’ atau ‘balu’ dan juga
diartikan ‘balu’ sebagai perempuan yang ditinggal suami karena meninggal. Nama gunung
Kinabalu dihubungkan dengan pemujaan leluhur pada zaman kuno.

Dalam
hal ini diduga bahasa etnik Melanau di Serawak dan bahasa etnik Tidung di
Kalimantan Utara setengah Melayu dan setengah Dayak dengan unsur pendatang yang
diduga berasal dari Sumatra bagian utara. Itu terjadi di zaman lampau. Hal itu terjadi
sebelum era Portugis yang mana dalam buku Mendes Pinto (1537) disebutkan
Kerajaan Aru Batak Kingdom di pantai timur Sumatra adalah salah satu kerajaan
kuat yang memiliki kekuatan 15.000 pasukan dimana sebanyak delapan ribu orang
Batak dan sisanya didatang dari Minangkabau, Jambi, Idragiri, Brunai dan Luzom.
Wilayah pelayaran perdagangan Kerajaan Aru sebelum era Portugis yang dibantu
oleh para pedagang Moor beragama Islam mencapau Borneo Utara, pulau-pulau di
Filipina, Sulawesi hingga pulau-pulau du Maluku.


Dalam Wikipedia
disebutkan suku Tidung merupakan suku yang tanah asalnya berada di bagian utara
Pulau Kalimantan (Kalimantan Utara). Suku ini juga merupakan anak negeri di
Sabah, jadi merupakan suku bangsa yang terdapat di Indonesia maupun di Sabah). Suku
Tidung semula memiliki kerajaan yang disebut Kerajaan Tidung. Tetapi akhirnya
punah karena adanya politik adu domba oleh pihak Belanda. Bahasa Tidung dialek
Tarakan merupakan bahasa Tidung yang pertengahan karena dipahami oleh semua
warga suku Tidung. Beberapa kata bahasa Tidung masih memiliki kesamaan dengan
bahasa Kalimantan lainnya. Kemungkinan suku Tidung masih berkerabat dengan suku
Dayak rumpun Murut (suku-suku Dayak yang ada di Sabah). Karena suku Tidung
beragama Islam dan mengembangkan kerajaan Islam sehingga tidak dianggap sebagai
suku Dayak, tetapi dikategorikan suku yang berbudaya Melayu (hukum adat Melayu)
seperti suku Banjar, suku Kutai, dan suku Pasir. Suku Melanau, sama seperti
suku kaum Iban, tinggal di dalam rumah panjang (yang dibuat dengan tinggi).
Namun, masyarakat Melanau pada masa kini telah mengubah cara kehidupan mereka
dengan tinggal di dalam rumah kampung yang mengikut corak orang Melayu.
Masyarakat Melanau yang bukan beragama Islam mempercayai makhluk ghaib yang
dipanggil Ipok. Suku etnik Melanau berkumpul di persisiran pantai seperti
kawasan lembah utara Sungai Rajang, Igan, Mukah, Oya, dan Bintulu. Masyarakat
yang terawal di Sarawak menetap di Mukah. Bahasa Melanau mempunyai tata
bahasanya sendiri dan tidak begitu sukar untuk dipelajari. Sebagai satu bahasa
yang mempunyai banyak dialek, bahasa Melanau memiliki tata bahasa yang serupa.
Oleh itu apa yang perlu diperhatikan ialah kosakata yang unik untuk dialek itu
saja.

Tunggu deskripsi
lengkapnya

 

 

 *Akhir
Matua Harahap
, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top