*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini
Soal
sejarah kesehatan selalu hanya fokus sejarah rumah sakit dan sejarah
institusinya. Nyaris tidak pernah diperhatikan sejarah kesehatan penduduk
(kesehatan masyarakat). Padahal yang mendasari dibentuknya institusi kesehatan
dan sarana-prasarana kesehatan (seperti klinik dan rumah sakit) adalah adanya
permasalahan kesehatan penduduk. Dalam hubungan ini sebelumn munculnya prasarana
kesehatan peran para dokter diterjunkan ke wilayah endemik atau epidemik.
Itulah awal sejarah kesehatan di berbagai wilayah di Indonesia termasuk di
Aceh.

epidemik (seperti cholera) di tengah penduduk di berbagai wilayah di era Hindia
Belanda menyebabkan pemerintah merancang program pendidikan kedokteran pribumi
untuk membantu dokter-dokter Belanda lulusan Eropa. Sejak era VOC hingga era
Pemerinta Hindia Belanda (paruh pertama abad ke-19) terjadi banyak kasus
epidemik yang tidak hanya menyebabkan banyak korban pribumi juga orang Eropa
(Belanda) sendiri. Upaya menekan atau mengentaskan berbagai penyakit pada
penduduk dan penyelengaraan pendidikan kedokteran bagi pemuda pribumi juga
secara langsung untuk menjamin keselamatan kesehatan orang Belanda sendiri.
Tentu saja upaya peningkatan status kesehatan penduduk tersebut juga
dimaksudkan agar penduduk produktif (bekerja) agar ekonomi perdagangan memberi
kontribusi lebih besar pada tujuan pemerintah (keuntungan finansial).
Okelah,
memangg sejarah kesehatan masih diperlukan. Namun dari mana dimulai sejarah
kesehatan di Aceh. Yang jelas bukan dari Instansi Kesehatan (IKES) Daerah Istimewa
Aceh, juga bukan dari RSUD Meuraxa Banda Aceh, tetntu saja bukan dari Fakultas
Kedokeran Universitas Syiah Kuala. Lalu dari mana? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya
ada permulaan. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber
tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya
untuk lebih menekankan saja*.
Endemik Epidemik di Atjeh
Pada
era Hindia Belanda, sebelum merintis pendidikan bagi penduduk pribui,
pemerintah masih terbatas pada penanganan aspek-aspek primer seperti keamanan,
pembentukan cabang pemerintahan (pada tingkat lokal), situasi dan kondisi
ekonomi perdagangan, pembanguna infrastruktur jalan dan jembatan, pengembangan
pertanian dan penanganan masalah kesehatan. Aspek kesehatan mendapat prioritas
karena untuk meminimalkan jumlah kematian dan menurunkan tingkat morbiditas.
Peningkatan status kesehatan penduduk ini akan meningkatkan produktivitas
penduduk dan juga akan meminimalkan risiko orang-orang Eropa (Belanda)
terjangkit. Hal itulah mengapa dokter Belanda ditempatkan segera di Atjeh (yang
diintegrasikan tugasnya untuk dokter di lingkungan militer).
Untuk membantu dokter-dokter (lulusan
Eropa-Belanda), yang bekerja di seluruh Hindia Belanda, pada tahun 1851 Pemerintah
mulai menyelenggarakan pendidikan kedokteran bagi lulusan sekolah dasar yang diadakan
di rumah sakit militer di Weltevteden (kini RSPAD). Pendidikan kedokteran dua
tahun ini setelah lulus, para dokter-dokter muda ini ditempatkan di wilayah
endemik dan epidemik. Pada tahun 1854 dua siswa asal Afdeeling Mandailing en
Angkola (Residentie Tapanoeli) bernama Si Asta dan Si Angan diterima di sekolah
kedokteran di Weltevreden (Docter Djawa School). Dua siswa ini adalah siswa
yang pertama dari luar Jawa. Pada tahun 1856 Dr Asta ditempatkan di
Onderafdeeling Mandailing dan Dr Angan di onderafdeeling Angkola. Pada tahun
1856 dua siswa asal Mandailing en Angkola Dja Doerie dan Dja Boedi diterima di
Docter Djawa School. Dr Dja Dorie ditempatkan di Afdeeling Airbangis dan Dr Dja
Bodie Sibolga. Demikian seterusnya siswa-siswa asal Mandailing en Angkola
diterima secara reguler di Docter Djawa School. Sejak 1858 Afdeeling Mandailing
en Angkola praktis sudah surplus dokter (karena dokter yang dibutuhkan di
afdeeling tersebut hanya dua orang). Catatan: setiap tahun (angkatan) sekolah
Docter Djawa School hanya menerima dengan kapasitas 10 siswa.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Dokter dan Rumah Sakit di
Atjeh
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir
Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.