Sejarah

Sejarah Aceh (40): Sejarah Kerajaan Aceh di Krueng Atjeh dan Kerajaan Aru di Batang Baroemoen; Lamuri, Indrapuri dan Daru




false
IN


























































































































































 

*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini
Klik Disini
 

Sejarah
zaman kuno lebih sulit memahaminya karena faktor ketersedian data. Tidak
demikian dengan kerajan (kesultanan) yang lebih muda. Sejak era Portugis,
lebih-lebih pada era VOC (Belanda) eksistensi kerajaan-kerajaan muda lebih
terinformasikan. Namun fakta tidak pernah mengubah sejarah. Yang berubah adalah
narasi sejarah. Hal ini karena data baru ditemukan. Sejauh penggalian data
terus dilakukan, sejauh itu pula narasi sejarah diupdate terus untuk
menjelaskan fakta masa lampau di zaman kuno.

Tidak hanya narasi sejarah zaman kuno, narasi
sejarah modern Indonesia terus diperbaiki secara terus menerus. Tentu saja ada
data baru yang ditemukan yang lebih menjelaskan kejadian dan fakta yang
(pernah) ada. Munculnya pro-kontra tentang narasi sejarah berbagai tepat yang terdapat
di seluruh belahan muka bumi, bukanlah soal fakta masa lalunya tetapi justru data
yang digunakan untuk menjelaskan fakta tersebut. Persoalan ini sangat jamak.
Namun dalam kontroversi narasa sejarah modern, ketika datanya cukup tersedia,
yang menjadi pangkal perkara adalah soal penafasiran dari data dan hasil
analisis data. Penafasiran yang berbeda dapat karena lebih mengedepankan subjektivitas
daripada objektivitas. Tapi sejarah tetaplah sejarah, karena fakta adalah fakta
yang tidak bisa diubah. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, sejarah adalah
narasi fakta dan data. Para peneliti sejarah bisa salah, tetapi tidak boleh
bohong. Salah karena pemahaman yang salah.

Kerajaan
Atjeh termasuk kerajaan yang sudah eksis dari zaman kuno. Hal ini karena
kerajaan Atjeh sudah ditulis oleh para penulis-penulis pada era Portugis. Pada
masa itu juga sudah banyak kerajaan-kerajaan yang eksis, salah satu diantaranya
Kerajaan Aru. Untuk memahami dua kerajaan ini kita tidak perlu bantuan ahli
arkeologi, karena sudah banyak tertulis pada era Portugis dan era VOC. Lantas
bagaimana sejarah Kerajaan Atjeh
? Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap ada
baiknya kita pelajari sejarah Kerajaan Aru
? Bagaimana bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya
ada permulaan.
Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber
tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya
untuk lebih menekankan saja*.

Kerajaan Atjeh dan Kerajaan
Aru: Era Portugis

Dalam
berbagai tulisan disebut Kesultanan Aceh adalah sebuah kerajaan Islam yang terletak
di utara pulau Sumatra, yang mana didirikan oleh Ali Mughayat Syah pada tahun
1496 yang kemudian rajanya dinobatkan sebagai Sultan pada tanggal 8 September
1507. Kerajaan Atjeh dapat dikatakan kerajaan baru jika dibandingkan dengan
kerajaan Lamuri.

Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah
kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan
sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524
wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti
dengan Aru. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya
yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian
Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa
hingga tahun 1571. Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas
pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa
kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama.
Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di
Melaka dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung
Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh
menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh. Kemunduran Kesultanan
Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah makin menguatnya
kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya
wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta
Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah
adanya perebutan kekuasaan diantara pewaris tahta kesultanan (lihat Wikipedia).

Kerajaan
Lamuri awalnya adalah suatu kerajaan Hindoe. Pada masa ini disebutkan kerajaan
Lamuri terletak di Lam Reh (kecamatan Mesjid Raya, kabupaten Aceh Besar). Nama
Lamuri merujuk nama India (Lamori, Lamora atau Lambri). Bangsa asing
menyebutnya dengan Ramni, Lanli dan Lanwuli. Kerajaan Lamuri inilah kemudian
bertransformasi menjadi Kerajaan Atjeh.

Nama tempat Lamuri berada di lereng gunung
Seilawah Agam di belakang pantai. Lamuri diduga kuat sebagai pelabuhan zaman
kuno. Nama Seulawah Agam sendiri merujuk pada nama India. Dalam perkembangannya
muncul nama tempat di arah tenggara di muara sungai Pidi namanya Pedi (Pedir).
Sungai Pidi berhulu di pedalaman-pegunungan di Tangse. Oleh karena itu orang
Pedir menyebut sungai Pedir, sedangkan orang pedalaman (di Tangse) sebagai
sungai Pidi. Nama Tangse, Pedi dan Pidi keduanya merujuk pada nama India.
Posisi GPS Pedir sendiri kini seakan di pedalaman, namun di masa lampau berada
di muara sungai Pidi di pantai. Teluk di depannya kemudian terjadi proses
sedimentasi jangka panjang sehingga teluk tertutup menjadi rawa kemudian menjadi
darataan. Di daratan baru inilah kemudian terbentuk kampong Segli (kini Sigli).
Sedangkan Lamuri (kini Lamreh) posisi GPS sendiri tetap berada di pantai
(karena tidak ada sungai besar di Lamuri). Kemudian di arah tenggara muncul
pelabuhan lain yakni Pasai dan Ambuaru. Idem dito dengan posisi GPS Pedir dan
Sigli, kota pelabuhan Pasai berada di antara muara sungai Pasai dan muara
sungai Ambuara dimana di tengah teluk terdapat suatu pulau. Oleh karena proses
sedimentasi jangka panjang teluk menjadi daratan yan mendekat dengan pulau.
Posisi GPS kerajaan Pasai ini kira-kira di teluk (Lhoksukon) dan di pulau kelak
terbentuk kampong Lhokseumawe. Idem dito juga dengan posisi kerajaan Ambuaru di
muara sungai Abuaru (kini Jambu Aer) berada di pantai (kini posisi GPS di
sekitar Lhoknibong).

Lantas
sejak kapan Kerajaan Atjeh relokasi ke tempat yang baru ke arah barat yang
berada di hilir (muara) suatu sungai besar (sekitar Kampong Jawa yang sekarang).
Tidak diketahui apa nama sungai besar tersebut. Sungai tersebut kemudian
disebut menjadi sungai Krueng Atjeh (berhulu di pedalaman di pegununugan
sekitar Tangse; sebagaimana sungai Pidi atau Pedir). Diduga kuat sejak relokasi
inilah kemudian nama kerajaan menjadi Kerajaan Atjeh (1496
?). Nama kerajaan Atjeh tidak merujuk pada nama India
(karena masih baru), tetapi merujuk pada nama (bahasa) Melayu: Atas, Ateue
menjadi Atjeh.

Kota tua di daerah aliran sungai besar ini adalah
kota Indrapoera atau Indrapoeri. Kota ini terhubung ke pedalaman di Tangse.
Dari namanya Indrapoera, sebagaimana Lamuri, Pidi-Pedir dan Tangse diduga
merujuk pada nama India (era Hindoe). Dalam hal perdagangan, kota pelabuhan (kerajaan)
Atjeh tidak hanya terhubung dengan induknya (Lamuri) juga dengan kota
Indtrapoeri di pedalaman (sebagaimana halnya Pedir terhubung dengan Tangse melalui
sungai Pidi dan (kerajaan) Pasai terhubung dengan Takengon di danau pedalaman
melalui sungai Ambuaru atau Djambo Aer). Sebagaimana di pantai timur Atjeh
(Lamuri, Pedir, Pasai dan Ambuaru), di pantai barat Atjeh juga terbentuk
kota-kota pelabuhan (yang juga terjadi proses sedimentasi) yakni kerajaan Daya,
kerajaan Labo (Meulaboh) dan kerajaan Singkil yang terhubung ke pedalaman di
Tangse dan Takengon (dimana penduduk asli Gayo berada). Nama kota pelabuhan
Daya, Labo dan Singkil atau Singh(il) ini juga merujuk pada nama India (era
Hindoe),

Sementara
kota-kota pelabuhan terbentuk (sebelum berbentuk kerajaan) di pantai (muara
sungai), di wilayah pedalaman (pegunungan) Sumatra sudah lama terbentuk
kerajaan-kerajaan. Dua kerajaan yang terbesar adalah Kerajaan Aru dan Kerajaan
Minangkabao. Kerajaan Aru di sekitar daerah aliran sungai Baroemoen (sekitar candi
Padang Lawas, Tapanuli) dan Kerajaan Minangkabao di sekitar daerah aliran
sungai Kampar (sekitar candi Muara Takus, Bangkinang).

Secara teoritis, pedagang-pedagang India di
zaman kuno menyusuri (karena faktor kedekatan geografis) pantai barat Sumatra,
terutama dalam perdagangan kooditi zaman kuno seperti emas, hasil hutan berupa
kamper, kemenyan, damar dan gading serta kulit harimau. Untuk meningkatkan
produksi perdagangan, para pedagang-pedagang ini kemudian berbaur dengan
penduduk asli pedalaman dengan mebenntuk koloni-koloni di dekat danau-danau
pegunungan yang diduga bermula di danau Siais (danau pegunungan paling dekat ke
pantai). Beberap kampng kuno dekat danau dekat danau ini adalah Batoe Rombi dan
Mosa. Nama Siais, Rombe dan Mosa terkait dengan nama India. Sungai yang beruara
di danau dan melewati kampong-kampong ini disebut sungai Angkola (juga nama
terkait India). Di hilir sungai Angkola ini di kawasan pertambangan emas
(hingga kini) dibangun candi kuno, candi Simangambat yang diduga dibangun pada
abad ke-8 (masih eksis hingga ini hari). Pada abad ke-11 di timur gunung Malea
(merujuk pada nama Himalaya) muncul kawasan metropolitan zaman kuno (kawasan
percandingan Padang Lawas, yang candi-candinya masih eksis hingga ini hari). Ke
arah utara pulau Sumatra pedagang=pedagang India memasuki pedalaman di sekitar
danai Toba melalui Baroes dan di sekitar danau Takengon (kini danau Laut Tawar)
melalui Singkil (Singhil). Lalu ke arah selatan Sumatra di danau Maninjau
(Agam), danau Singkarak (Solok), danau Kerinci dan danau Ranau. Pada zaman kuno
era Hindoe penduduk asli di sekitar danau-danau ini mengembangkan aksara
sendiri yang mirip satu sama lain (aksara Gayo, aksara Batak, aksara Kerinci
dan aksara Lampong). Lalu di atas ilmu pengetahuan yang sudah berkembang ini
dibangun kota-kota metopolitan seperti di pusat percandian Padang Lawas
(Tapanuli) dan candi Muara Takus (Bangkinang). Pasca era Hindoe inilah
terbentuk kerajaan-kerajaan awal seperti Kerajaan Aru di Padang Lawas dan
Kerajaan Minangkabao di Tanah Datar.

Dua
kerajaan besar di Sumatra ini satu era dengan kerajaan besar Majapahit di Jawa
(suksesi kerajaan Singhasari atau Singosari. Kerajaan Aru dan Kerajaan
Miangkabao adalah suksesi kerajaan Sriwijaya (yang diduga berpusat di
Palembang). Dalam berbagai tulisan disebutkan Kerajaan Sriwijaya ditaklukkan
oleh Kerajaan Cola di India. Untuk menguasai selat Malaka, pasukan Cola mengintegrasikan
diri di daerah aliran sungai Baroemoen dimana sudah sejak lama terdapat
kounitas India (yang berdampingan dengan orang-orang India daerah aliran sungai
Angkola). Besar dugaan Kerajaan Cole menyerang Sriwijaya di Palembang karena
ancaman bagi pusat komunitas India di daerah aliran sungai Baroemoen dan daerah
aliran sungai Angkola (Tapanuli).

Di dalam Prasasti Kedukan Bukit (Palembang) bertarik
683 M ada indikasi di masa lampau Sriwijaya diserang oleh orang-orang India
yang berpusat di daerah aliran sungai Baroemoen. Hal ini di dalam prasasti itu
disebut pasukan itu berangkat dari Minanga. Nama ini adalah nama yang merujuk
pada nama India. Minanga ini diduga berada di daerah aliran sungai Baroemoen,
sebab pada masa ini di muara sungai Batang Pane di sungai Barumn terdapat nama
kota Binanga (ibu kota kabupaten Padang Lawas).

Pasca
era Boedha-Hindoe ini di daerah aliran sungai Baroemoen di sekitar area
percandian muncul kerajaan baru yakni Kerajaan Aru sekitar tahun 1225. Ada
penulis yang menyebut pada tahun 1299 Kerajaan Aru ini menjadi kerajaan Islam
(kesultanan). Pada era orang-orang Moor beragama Islam dari Afrika Utara sudah
memasuki selat Malaka. Sebelumnya, sebagai pendahulu orang beragama Islam, di
pantai barat Sumatra sudah sejak lama kehadiran pedagang-pedagang orang-orang
Arab dan Persia (seperti di Baroes). Orang-orang Moor ini berpusat di pantai
barat Semenanjung Mlaya di Muar (tenggara Malaka).

Tunggu
deskripsi lengkapny
a

Kesultanan Atjeh Era VOC

Tunggu
deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top