Sejarah

Sejarah Air Bangis (7): Detik-Detik Terakhir Belanda pada Era Kolonial Belanda di Air Bangis; Kolonisasi Jawa di Ranah Batahan




false
IN




























































































































































false
IN



























































































































































Laboratorium penyakit Malaria di Medan sudah lama
ada. Laboratorium ini dirintis oleh dokter WAP Schüffner. Pada tahun 1916 Achmad
Mochtar yang baru lulus sekolah kedokteran STOVIA ditempatkan di Medan untuk
ikut membantu Kepala Inspektur Dinas Kesehatan di Sumatra, Dr W Schüffnerm (De
Preanger-bode, 05-07-1916). Dr Achmad Mochtar kemudian ditempatkan sebagai
dokter pemerintah di Tapanoeli di Taroetoeng dan Padang Sidempoean dengan tetap
membantu Dr W Schüffner (lihat De Preanger-bode, 23-12-1918). Saat itu wilayah
malaria berada di Batangtoroe dan Mandailing. Seetelah selesai berdinas di
Sumatra, atas rekomendasi Dr. W. Schuffner kemudian Dr. Achmad Mochtar melanjutkan
studi ke Belanda pada tahun 1923. Dr. Achmad Mochtar akhirnya berhasil mencapai
gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran pada tahun 1927 (De Telegraaf,
11-02-1927). Disebutkan bahwa Achmad Mochtar lahir di Bondjol dengan desertasi
berjudul ‘Onderzoekingen omtrent eenige leptosplrenstummen’. Dr. Achmad
Mochtar, Ph.D kembali ke tanah air dan berdinas sebagai ahli laboratorium dari
satu tempat ke tempat lainnya akhirnya dipindahkan ke Geneeskundig Laboratorium
te Batavia pada bulan Mei 1937 (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 12-05-1937). Laboratorium ini kelak lebih dikenal sebagai
Lembaga Eijkman. Dr. Achmad Mochtar, Ph.D lahir di Bonjol tahun 1892. Ayahnya,
Omar Mochtar adalah seorang guru di Bodjol yang berasal dari Mandailing. Kini
nama Achmad Mochtar ditabalkan menjadi nama rumah sakit daerah di Bukittinggi.

Pada bulan Januari 1941
sebanyak 500 orang sudah ditempatkan di daerah Batahan Air Bangis di kampong
Baharoe dan kampong Pasir Pandjang (lihat De Indische courant, 27-03-1941).
Disebutkan mereka ini adalah kelompok pertama yang akan menempati lahan seluas 19.000
Ha yang diantaranya direncanakan 10.000 Ha lahan beririgasi.
Dinas kesehatan DVD telah
menempatkan satu dokter dan 2 mantri di kolonisasi baru yang dilengkapi satu gedung
rawat jalan semi-permanen dan bangunan rawat inap yang mampu menampung 30 pasien.
Penduduk asli menerima kehadiran kolonisasi karena mereka mendapat manfaat dari
pengembangan irigasi pertanian.
De Indische courant, 27-03-1941
Kampong Baharoe adalah
kampong baru. Kampong yang menjadi tempat kolonisasi ini kini menjadi satu dari
dua kanagarian di Kecamatan Batahan (kabupaten Pasaman Barat). Kanagarian
Silaping yang menjadi ibu kota Batahan sudah dikenal sejak tempo doeloe. Di
daerah pengaliran sungai sungai Batahan tedapat dua kampong besar: di hilir
adalah kampong Batahan (yang sudah diidentifikasi sejak jaman kuno) dan di hulu
adalah kampong Silaping. Pembagian wilayah oleh Pemerintah Hindia Belanda
(1826) dua kampong yang satu kerabat ini menjadi terpisah. Batahan di hilir
menjadi district Natal (Mandailing Natal) dan Silaping di hulu menjadi district
Air Bangis (Pasaman Barat). Kampong Silaping adalah wilayah Kerajaan Pakantan
(lihat Beschrijving van het eiland Sumatra, 1789). Kelak nama district Air
Bangis dijadikan  nama Afdeling, yang
mana afdeeling Air Bangis terdiri dari lima laras (Air Bangis, Sikarbou,
Odjoenggading dan Sikilang) yang dalam hal ini nagari Batahan masuk ke dalam
laras Air Bangis. Dalam hal ini dapat dikatakan kecamatan Ranah Batahan
(Pasaman Barat) secara historis terhubung dengan kecamatan Batahan (Mandailing
Natal). Catatan: Nama kampong Batahan di hilir paling tidak sudah
diidentifikasi pada peta kuno (1619).
Namun yang menjadi
pertanyaan adalah mengapa wilayah kolonisasi yang dipilih dan ditetapkan di
daerah hulu sungai Batahan, laras Air Bangis, district Air Bangis,
Onderafdeeling Ophir, Afdeeling Agam, Residentie West Sumatra
? Tentu saja tidaklah karena alasan keberadaan NV
Cultuur Mij Ophir yang berpusat di Taloe, tetapi diduga karena secara spasial
district Air Bangis telah lama ditinggalkan dan pembangunan berpusat di jalur
jalan poros Padang-Sibolga via Fort de Kock, Loeboeksikaping, Kotanopan, Padang
Sidempoean dan Batangtoroe. Pemerintah tampaknya ingin mengembalikan harkat
penduduk Air Bangis.

Kolonisasi (kata lain
untuk transmigrasi) karena semata-mata untuk tujuan meningkatkan welfare
penduduk (yang miskin di Jawa) dengan menyediakan lahan yang cukup di luar Jawa
dan juga untuk untuk meningkatkan produktivitas penduduk lokal. Pengeluaran
pemerintah dalam hal ini tidak sedikit. Program kolonisasi ini sudah sejak lama
di Lampong dan bersamaan dengan di West Java ini juga dilakukan di Palembang
dan Djambi.
Program kolonisasi (kini
program trasmigrasi) adalah program pemerintah pusat (di Batavia). Pemerintah
pusat mengkoordinasikan antara pemerintah daerah (Residentie) asal dan Resident
tujuan. Tentu saja pemerintah daerah (Residen) telah mendapat masukan dari para
ahli (hasil studi kelayakan) dan para stakeholder lainnya termasuk para Asisten
Residen, Controleur, anggota dewan Minangkabauraad dan para pemimpin penduduk
di wilayah Air Bangis khususnya kepala kampong (nagari) Silaping dan kampong
Baharoe di sekitar hulu daerah aliran sungai Batahan. Controleur berada di Air
Bangis dan di Taloe serta Asisten Residen 
berkedudukan di Loeboeksikaping. Sejumlah tokoh masyarakat yang berasal
dari daerah setempat (Air Bangis dan Ophir Districten) sudah barung tentu telah
diminta oleh pemerintah tentang pertimbangan mereka. Keputusan kolonisasi tidak
mudah dan banyak pertimbangan strategis.
Tokoh-tokoh masyarakat dari sekitar kolonisasi
antara lain Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kanaikan, Dr. Sjoeib Proehoeman,
Ph.D, Dr Achmad Mochtar, Ph.D dan Dr. Abdoel Hakim. Kebetulan tiga tokoh ini
berasal dari Mandailing. Dr Abdoel Hakim Nasution asal Goenoengtoea,
Panjaboengan sejak 1931 adalah Wakil Wali Kota (Locoburgemeester) Padang; Dr.
Achmad Mochtar, Ph.D kelahiran Bondjol asal Kotanopan adalah kepala
laboratorium Batavia; Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D kelahiran Pajacoembo asal
Pakantan sejak 1935 adalah kepala laboratorium Soerabaja; dan Soetan Kanaikan
adalah pemilik sekolah pertanian di Loeboeksikaping yang juga anggota dewan
Minangkabauraad. Tentu saja pemerintah pusat telah meminta pertimbangan dari
empat anggota dewan pusat (Volksraad) yakni Dr. Abdoel Rasjid, Mangaradja
Soangkoepon, Dr. Radjamin Nasution dan Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D. Dr.
Abdoel Rasjid Siregar (dari dapil Tapanoeli) adalh kelahiran Padang Sidempoean yang
pernah bertugas sebagai dokter pemerintah di Panjaboengan adalah adik dari
Mangaradja Soangkoepon (dari dapil Oost Sumatra). Todoeng Harahap gelar Soetan
Goenoeng Moelia (dari dapil Batavia) kelahiran Padang Sidempoean pernah menjadi
direktur sekolah HIS di Kotanopan dan Dr, Radjamin Nasution (dari dapil Oost
Java) kelahiran Mandailing yang sebelumnya anggota dewan kota (Gemeenteraad)
Soerabaja yang paling senior (Wethouder).
Belum lama koloniasi di
Batahan, Air Bangis nasib buruk menimpa Belanda. Pemerintah Hindia Belanda
menyerahkan kekuasan kepada Pemerintah Militer Jepang. Pada era rezim militer
Jepang ini situasi dan kondisi kolonisasi di Batahan terabaikan. Pemerintah
Hindia Belanda yang menyokong (anggaran dan pembinaan) koloniasi tidak
diteruskan oleh Pemerintah Militer Jepang. Misi kedua rezim (penjajah) ini
berbeda.

Selama pendudukan militer Jepang situasi dan kondisi
di Indonesia khususnya di Sumatra Barat tidak terpantau dengan baik. Sudah
barang tentusa situasi dan kondisi di area kolonisasi di Batahan tidak terpantau.
Pada era perang kemerdekaan juga tidak terpantau situasi dan kondisi di
kolonisasi Batahan. Sejumlah warga asal Jawa di kolonisasi di Batahan banyak
yang pindah ke tempat lain.
Setelah era pengakuan
kedaulatan Indonesia oleh Belanda, dan setelah kembalinya ke bentun negara
kesatuan RI (NKRI) wilayah kolonisasi di Batahan mulai diperhatikan. Ini
bermula dari kunjungan Gubernur Sumatra Tengah, Ruslan Muljohardjo ke Pasaman,
Air Bangis dan Batahan pada tahun 1951 (lihat De nieuwsgier, 13-10-1951).
Disebutkan Gubernur Muljohardjo akan segera akan mengeksplorasi kemungkinan
menggunakan kembali Batahar sebagai daerah kolonisasi.
Tunggu deskripsi
lengkapnya

*Akhir
Matua Harahap
, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top