*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Bahasa Lamaholot atau bahasa
Solor adalah bahasa yang digunakan suku Lamaholot atau Solor. Penuturnya
tersebar dari di ujung timur Flores sampai barat Solor, mencakup
kantung-kantung di pantai utara Pantar, barat laut Alor dan pulau-pulau
sekitarnya. Bahasa ini termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.
Masyarakat
Lamaholot yang mendiami wilayah Flores Timur daratan, pulau Solor, Adonara
(bahasa Adonara bisa jadi bahasa mandiri) dan sebagian besar Lembata berbicara
dalam bahasa Lamaholot, kecuali masyarakat Kedang di Lembata bagian timur
menggunakan bahasa Kedang. Bahasa Lamaholot dalam pelafalannya memiliki dialek
dan subdialek yang khas berdasarkan tata letak wilayah hunian. Keraf (1978) BL 33
dialek, yakni antara lain Lamalera, Mulan, Ile Ape, Belang, Lewotala, Imulolo, Lewuka,
Kalikasa, Lewokukun, Mingar, Wuakerong, Lewopenutu, Lamahora, Merdeka, Lewokeleng,
Lamatuka, Atawolo, Kiwang Ona, Duli, Watan, Horowura, Botun, Waiwadan, Lamakera,
Ritaebang, Lewolema, Baipito, Waibalun, Bama, Lewolaga, Tanjung Bunga, Lewotobi,
Painara dan Pukaunu yang berbatasan langsung dengan bahasa Sikka. Sementara
itu, di Larantuka, Konga, dan Wure (Adonara) para penduduknya menggunakan
bahasa Nagi (bahasa Melayu Flores). (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bahasa Lamaholot dan dialek
bahasa Tanjung Bunga di pulau Flores? Seperti disebut di atas bahasa Lamaholot
dituturkan di pulau Flores. Setiap desa memiliki dialek bahasa. Lalu bagaimana sejarah
bahasa Lamaholot dan dialek bahasa Tanjung Bunga di pulau Flores? Seperti kata
ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan
dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber
tempo doeloe.Link https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Bahasa Lamaholot dan Dialek Bahasa Tanjung Bunga di
Pulau Flores; Setiap Desa Memiliki Dialek Bahasa
Dalam catatan sejarah lama terdapat 5 Radja (radja
lima pantai; Lawajong. Lamakera, Lamahala, Trong, dan Adonara) lalu kemudian
bertambah menjadi enam Radja yakni (pulau) Serbiti yang berkedudukan di Lewo
Nama (pantai timur pulau Flores). Lewo Nama ini eksis antara 1571-1646. Lima
Radja yang disebut di atas tetap eksis. Kerajaan Lamahala inilah yang kini
disebut Lamaholot yang sekarang.
Kecuali Lewo Nama, lalu bagaimana dengan di pulau Flores sendiri? Tentu
saja saat itu (era Portugis) belum teridentifikasi. Pelaut-pelaut Portugis
pertama kali mengunjungi Solor pada tahun 1511 (segera setelah menduduki Malaka)
yang memetakan Cabo de Floris, pulau Solor dan pulau Timor pada peta Portugis
tahun 1513. Pada tahun 1557 misionaris Portugis membuka stasion di Lahajong.
Lalu pada tahun 1575 Portugis membangun benteng di Solor dekat Lahajong dan di
pantai barat pulau Timor Coepang). Dalam konteks inilah lima kerajaan terawal
yang diidentifikasi di selat Solor. Cabo de Floris diduga diterjemahkan pelaut-pelaut
Portugis dari nama setempat Tanjung Bunga. Lalu pada tahun 1613 pelaut-pelaut
Belanda menaklukkan Portugis di Solor dan Coepang (yang mana orang-orang
Portugis kemudian bergeser ke bagian timur pulau Timor yang kini menjadi
wilayah Timor Leste).
Apa yang menjadi perhatian disini adalah kerajaan Lamahala
tempo doeloe. Kerajaan Lamahala berada di pantai selatan pulau Adonara yang
bertetangga dengan kerajaan Trong. Sementara di seberang di pulau Solor adalah
kerjaaan Lawajong dan kerajaan Lamakera. Sedangkan kerajaan Adonara sendiri berada
di pantai utara pulau Adonara (sebelah utara kerajaan Lamahala).
Jauh sebelum kerajaan-kerajaan tersebut diidentifikasi pada era Portugis/Belanda,
di masa lampau di kawasan tersebut sudah dicatat tiga nama di dalam teks
Negarakertagama (1365) yakni Solot, Sumba dan Tmur. Beloh jadi semasa era
Majapahit dua kawasan ini dicatat karena sudah menjadi kawasan perdagangan
(kayu cendana?). Penamaan Solot diduga memiliki arti selat, Tmur memilik arti
wilayah di sebelah timur selat, sementara di sebelah barat dikenal pulau Sumba.
Solot (kelak menjadi selat?) adalah jalan atau jalur dalam navigasi pelayaran
(perdagangan).
Nama Adonara diduga adalah nama baru. Nama lama yang
sudah ada adalah Solor, nama yang diduga merujuk pada Solot (selat; antara
Tanjung Bunga dengan pulau Adonara dan pulau Solor). Lalu pada era Portugis
nama pulau di selatan selat diidentifikasi sebagai pulau Solor dan nama Tanjung
Bunga diidentifikasi sebaagai Cabo de Floris serta nama Tmur diidentifikasi
sebagai Timor). Di pulau Solor inilah pertama kali diidentifikasi Portugis nama
Lahajong/Lawajong (boleh jadi suatu kampong yang menjadi kerajaan pertama).
Lalu bagaimana dengan Lamahala dan Adonara?
Nama Solot (variannya Sulot) diduga tekah bergeser menjadi Holo yang
kemudian oleh pelaut Portugis mengejanya sebagai Solor. Hal serupa dengan nama (pulau)
Humba yang kemudian dieja pelaut Portugis sebagai Sumba. Jado Solor dan Sumba
adalah nama wilayah yang kemudian menjadi nama-nama pulau. Bagaimana dengan
nama Tanjung Bunga? Pernah dicatat sebagai Cabo de Floris tetapi kini masih
tetap nama Tanjung Bunga eksis.
Pada era Hindia Belanda seorang pemerhati geografi
mencatat di Larantoeka nama Lamaholo dengan varian Lamaholot. Nama Lamaholot
ini dihubungkan dengan hal yang terkait dengan adat, kelompok populasi dan
bahasa. Nama Lamaholot diduga merujuk asal usul sebutan yakni Lama dan Holot.
Dalam catatan sejarah lama di kawasan pulau Solor dan pulau Adonara disebut
dua tokoh bersaudara, yang satu bernama Damo/Damon yang lain Padji/Pagim di
Solor. Pada akhir abad ke-16, dua nama legenda itu wilayahnya disebut Damon-naras
(orang/penduduk Damo) dan Padjinaras (orang/penduduk Padji). Lalu di tanah Damo
ini juga disebut Tanah Tiga Raja dimana terdapat keberadaan kerajaan-kerajaan
lama, yakni kerajaan Adonara, kerajaan Trong, dan kerajaan Lamahala.
Nama Lanrantoeka adalah nama baru. Nama ini pertama
kali dicatat pada datahun 1641 sejak kedatangan para misionaris Portugius dan
pengikutnya dari Malaka setelah VOC/Belanda menyerang dan menduduki Malaka yang
mana orang-orang Portugis terusir dari Malaka. Nama-nama lain yang menjadi
stasion misonaris selain Larantuka dan adalah Ende. Di wilayah Lamaholot inilah
kampong Larantuka terbentuk. Lamaholot ini diduga ada kaitannya dengan salah
satu kerajaan tua di (pulau) Adonara yakni Lamahala.
Bagaimana dengan nama Adonara? Besar dugaan merujuk pada dua nama wilayah
tua Damonaras dan Padjinaras yang kemudian terbentuk nama Adonaras (terbentuknya
kerajaan Adonara). Nama kerajaan inilah kemudian yang menjadi identifikasi nama
pulau sebagai pulau Adonara. Lantas bagaimana dengan nama kerajaan Lamakera di
pulau Solor? Apakah ada kaitannya dengan kerajaan Lamahala di pulau Adonaro? Namun
jika nama Lamahala dan nama Lamakera tidak terkait dengan nama Lamaholo/Lamaholot,
apakah nama Hala dan nama Kera/Hera merujuk pada nama Halamahera? Kelompok
populasi di pulau Gelela/Gilolo (kelak disebut pulau Halamahera) di Maluku.
Asal
usul nama geografis tidaklah mudah untuk menjelaskannnya. Semakin jauh ke masa
lampau semakin sulut pulau memastikannya. Namun yang jelas pada masa ini
diidentifikasi anama bahasa Lamaholot atau bahasa Solor yang disebut sebagai bahasa
yang digunakan suku Lamaholot atau suku Solor. Penuturnya tersebar dari di ujung
timur pulau Flores, barat pulau Adonara dan barat pulau Solor.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Setiap Desa Memiliki Dialek Bahasa: Ragam Bahasa di Pulau
Flores
Apakah ada kemiripan bahasa Batak dan bahasa
Lamaholot? Tampaknya sangat berbeda. Namun diantara perbedaan itu ada beberapa
kosa kata elementer yang sama. Kosa kata elementer adalah kosa kata yang kerap
digunakan di tingkat social terkecil di keluarga, di rumah dan di komunitas.
Kosa kata elementer cenderung bersifat lestari diwariskan dari generasi ke
generasi meski tempat tinggal sudah berpindah.
Kosa kata elementer yang mirip antara bahasa
Lamaholot dengan bahasa Batak antara lain ina (ibu), ayah (ama), ata (orang), ipe
(gigi), ile (gunung), lela (lama), maga (para-para di dapur), nepa (padang rumput),
napa (membentang), pira (berapa) dan sia (garam).
Sebutan bilangan juga adalah termasuk kosa kata elementer. Semua penyebutan bilangan antara
bahasa Batak dengan bahasa-bahasa di Flores, Solor, Timor dan lainnya termasuk
bahasa Lamaholot kurang lebih sama (lihat Tijdschrift voor Neerland’s Indie, 1846).
Sebutan yang sama juga ditemukan di sejumlah bahasa-bahasa di Filipina seperti
bahasa Iloko. Suatu penyebutan bilangan yang tidak ditemukan di dalam bahasa
lain.
Dalam bahasa Lamaholot/bahasa Ende-bahasa Batak 1=toe (saasa-sada), 2=rua
(sarua-dua), 3=tollo (taru/tolu), 4=paa (wutu/opat), 5=lema (rima/lima), 6=nam
(rimaasa/onom), 7=pito(rimarua/pitu), 8=buto (ruanbutu, 9=hiwa (taraasa/sia), 10=puloh
(samburu/sampulu). Untuk bilangan belasan: 11=puloh katou (samburu sasa-sampulu
sada), 12=puloh karua (sambnru asarua-sampulu dua), dst. Penyebutan bilangan
semacam ini bersifat biner (1-0). Bandingkan dengan bahasa Melayu 11=sebelas,
12=dua belas, dst; dalam bahasa Inggris/Belada 11=eleven/elf, 12=twelve/twaalf,
dst. Namun secara khusus dalam bahasa Ende penyebutan bilangan enam adalah rimaasa
(5-1) dan tujuh adalah rimarua (5-2) serta delapan adalah ruanbutu (2×4?) dan sembilan
adalah taraasa (?-1). Sangat unik dan belum/tidak ditemukan dalam bahasa lain
(?). Lalu apakah: sebutan sembilan dalam bahasa Melayu berasal usul dari
sambilang, satu bilang/an; delapan berasal usul delapan, dalapan, dua lapan,
dua alapan.
Seperti halnya penyebutan bilangan khususnya belasan
antara bahasa Batak dan bahasa-bahasa di Nusa Tenggara Timur dan Filipina yang kurang
lebih sama, demikian juga untuk sebutan ibu juga sama di tiga wilayah ini yakni
ina. Namun dalam bahasa Ende dan bahasa Leti pelafalannya ine. Sebutan ina ini juga
ditemukan dalam bahasa-bahasa di Kalimantan bagian utara, Sulawesi bagian utara
dan pulau-pulau di Maluku. Mengapa bisa demikian?
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.