*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Untuk
memahami bahasa-bahasa di nusantara, tidak cukup dengan hanya memegang satu
kamus. Sebaiknya memiliki banyak edisi, semakin banyak semakin baik dan semakin
tua kamus semakin baik untuk mempelajari bahasa tersebut di masa lampau.
Sedangkan untuk memperbandingkan bahasa-bahasa di nusantara sebaiknya harus
memegang kamus dari berbagai bahasa dan berbeda masa.
Menurut
catatan, karya leksikografi tertua dalam sejarah studi bahasa di Indonesia
adalah daftar kata Tionghoa-Melayu pada awal abad ke-15. Daftar ini berisi 500
lema. Ada pula daftar kata Italia-Melayu yang disusun oleh Pigafetta pada tahun
1522. Kamus antarbahasa tertua dalam sejarah bahasa Melayu adalah Spraeck ende
woord-boek, Inde Malaysche ende Madagaskarsche Talen met vele Arabische ende
Turcsche Woorden karya Frederick de Houtman yang diterbitkan pada tahun 1603.
Kamus bahasa Jawa tertua adalah Lexicon Javanum (1706) yang sekarang tersimpan
di Vatikan. Kamus Bahasa Sunda baru ditulis oleh A. de Wilde tahun 1841, dengan
judul Nederduitsch-Maleisch en Soendasch Woordenboek. Kamus-kamus yang ditulis
oleh para ahli bahasa asing tersebut biasanya terbatas pada kamus dwibahasa
(bahasa asing-bahasa di Indonesia ataupun sebaliknya). Kamus ekabahasa pertama
di Indonesia merupakan kamus bahasa Melayu yang ditulis oleh Raja Ali Haji,
berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat
Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bahasa dan kamus
dalam berbagai studi bahasa? Seperti disebut di atas berbagai bahasa di nusantara
menyebabkan pendaftaran bahasa dilakukan. Pendaftaran bahasa-bahasa di Nusantara
era Hindia Belanda. Lalu bagaimana sejarah bahasa dan kamus dalam berbagai studi
bahasa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita
telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Bahasa dan Kamus dalam Berbagai Studi Bahasa;
Pendaftaran Bahasa-Bahasa di Nusantara Era Hindia Belanda
Kapan kamus bahasa-bahasa di nusantara dibuat? Pada
tahun 1800 terbit buku berjudul Premier voyage autour du monde (lihat Middelburgsche
courant, 14-07-1801). Buku ini merupakan perjalanan Pigafetta bersana Ferdinand
Magellan 1519-1522. Dalam buku ini terdapat daftar kosa kata (kamus) bahasa Prancis,
bahasa di Filipina, bahasa di Maluku, bahasa di Malaka dan bahasa di pulau
lain.
Pelaut Eropa pertama di Hindia Timur adalah Portugis. Pada tahun 1511 skuadron
Portugis menduduki (kota) Malaka. Pada tahun yang sama rifa kapal Portugis
melakukan navigasi pelayaran ke Maluku melalui pantai utara Jawa. Peta-peta
geografis mulai dicatat pelaut-pelaut Portugis. Pelaut-pelaut Portugis tidak
hanya di Hindia Timur juga sudah membuka pos perdagangan di Canton. Pada fase
inilah pelaut-pelat Spanyol dari timur mencapai Cebu di Filipina tahun 1521. Pada
tahun 1524 pedagag-pedagang Portugis menjalin perdafangan di pelabuhan Broenai.
Dalam konteks pencatatan bahasa, tidak ada ditemukan dalam laporan-laporan
Portugis seperti Tome Pires (1525) dan Mendes Pinto (1537).
Dalam catatan Pigafetta hanya mengumpulkan kosa kata
di Filipina dan Maluku. Namun tidak secara spesifik di wilayah bahasa mana
dicatat. Hanya disebut nama Filipina dan Maluku. Apakah di Cebu dan Ternate/Tidore
tidak diketahui secara pasti. Daftar kosa kata Maluku lebih banyak dibandingkan
Filipina. Perbandingan sebutan bilangan 1 dalam bahasa Filipina adalah uso,
sementara di Maluku disebut sarus; 2=dua (dua); 3=tolo (tiga); 4=upat (ampat);
5=lima (lima); 6=onom (anam); 7=pitto (tugu); 8=gualu (dualapan); 9=ciam
(sambelan); dan 10=polo (sapolo).
Apa yang menarik dengan sebutan bilangan tersebut sebutan bilangan
Filipina mirip dengan sebutan bilangan Batak dan Jawa. Sementara sebutan
bilangan Maluku mirip bahasa Melayu. Dalam daftar kosa kata dari pelaut-pelaut
lain (sudah barang tentu adalah Portugis) di Malaka adalah sebagai berikut:
1=sa; 2=dua; 3=tiga; 4=ampat; 5=lima; 6=onam; 7=tuju; 8= dualapan; 9=sambilan;
dan 10=sapolo. Ini mengindikasikan bahwa bahasa di Malaka dan di Maluku ada
kemiripan (sebut saja bahasa Melayu). Yang perlu diperhatikan sebutan angka
satu belum muncul. Untuk sebutan angka 8 adalah dualapan (2-8).
Pada era Portugis/Spanyol pembentukan bahasa di
Malaka dan di Maluku belum sempurna. Untuk perbandingan, sumber bahasa yang
lebih tua yang mirip bahasa Melayu adalah teks prasasti Trengganu dan teks Tanjung
Tanah (Kerinci). Dalam teks Trengganu disebut angka dua, tiga, empat, lima,
tujuh, sembilan dan sepuluh. Sementara dalam Tanjung Tanah adalah dwa/dua, tiga,
ampat, lima, tujuh, dwa lapan dan sapuluh. Dalam hal ini, di dalam teks ini
tidak ditemukan angka satu, enam dan sembilan. Di teks Tanjung Tanah disebut
angka 8 (dwa lapan) namun disebut suku kata sa dalam satahil (sa-tahil).
Sumber bahasa tertua ditemukan dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di
pantai timur Sumatra. Dalam prasasti Kedukan Bukit (682 M) beberapa angka yang disebut
adalah dua, sapulu, sapulu dua, duaratus, tluratus dan saribu. Oleh karena sebutan
tluratus adalah tlu/tolu diduga angka tiga belum muncul. Sementara penyebutan
angka sapulu dua diduga kuat adalah angka dua belas (12).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pendaftaran Bahasa-Bahasa di Nusantara Era Hindia
Belanda: Kontribusi Para Ahli dan Peminat Kajian Bahasa
Pencatatan bahasa (Maluku) oleh Pigafetta dapat
dikatakan permulaan yang baik. Catatan Pigafetta ini sudah dicatat hingga tahun
1522. Lantas mengapa penulis-penulis Portugis tidak mendokumentasikan bahasa.
Catatan tentang bahasa Melayu (Malaka) hanya ditemukan dalam catatan-catatan
navigasi saja. Bahkan hampir satu abad, sejauh ini, tidak (belum) ditemukan
dokumentasi Portugis tentang bahasa Melayu dalam bentuk daftar utuh (seperti Pigafetta).
Daftar kosa kata berikutnya, setelah Pigafetta, yang didokumentasi terdapat
dalam catatan perjalanan ekspedisi pertama Belanda ke Hindia Timur di bawah
pimpinan Cornelis de Houtman (1595-1597). Catatan pelayaran de Houtman ini
dipublikasikan tahun 1598 di Amsterdam.
Dalam pelayaran de Houtman ini yang berperan sebagai
pencatat bahasa adalah Frederik de Houtman (adik Cornelis de Houtman). Namun dalam
publikasi 1598 ini tidak ditemukan sebutan bilangan. Pada pelayaran kedua Cornelis
de Houtman tahun 1599 kembali Frederik de Houtman sebagai ahli bahasa. Saat di
Atjeh Cornelis de Houtman terbunuh, sementara Frederik de Houtman ditangkap dan
ditahan. Selama penahanan ini Frederik de Houtman melengkapi kamusnya dan Ketika
dibebaskan pada tahun 1602, F de Houtman kembali ke Belanda. Kamus F de Houtman
dipublikasikan tahun 1603. Kamus ini jauh lebih lengkap jika dibandingkan kamus
Pigafetta. Sebutan bilangan (bahasa Melayu) dicatat lengkap, sa, dua, tiga,
ampat, lima, nam, toedjoe, delapan, sembilan, sapoelo, sablas, duablas, dua
poeloe, duapoeloe sa, dst., saratoe, sariboe, salaksa.
Sebutan bilangan Pigafetta dan Frederik de Houtman
secara umum mirip. Namun untuk bilangan satu yang dicatat sa diduga merujuk
sebutan yang berlaku di Aceh maupun di Malaka. Bilangan belas dicatat oleh
Frederik de Houtman. Untuk angka 8 Frederik de Houtman mencatat delapan
(bandingkan dengan Pigafetta yang mencatat dualapan). Artinya sebutan angka
dualapan telah bergeser menjadi delapan.
Sebutan angka satu belum umum, yang digunakan adalah sebutan sa, suatu
angka yang menyatakan satu dalam sapulu, saratus dan saribu dalam prasasti Kedukan
Bukit (682 M). Untuk bilangan delapan yang awalnya dua lapan menjadi delapan
tentu saja menarik untuk diperhatikan. Sebutan dua lapan diduga berpasangan
dengan angka 9 yang disebut salapan(sa-lapan) yang eksis dalam bahasa Sunda.
Apakah sebutan dua lapan dan sa lapan (padanan dalam bahasa Batak dan bahasa
Jawa walu/wolu dan sia/sanga) ini mirip dengan lambang yang digunakan dalam bilangan
Romawi? Namun bisa juga merujuk pada lambang bilangan 8 dan 9 dalam aksara
Batak. Lantas mengapa muncul sebutan sembilan di Trengganu/Malaka? Apakah
sebutan salapan dalam bahasa Sunda dan sembilan dalam bahasa di Trengganu/Malaka
maksudnya sama? Yakni sa-lapan vs sa-ambilan?
Kamus Frederik de Houtman diduga bertahan lama. Hal
ini karena pelaut/pedagang Belanda tetap eksis di Hindia Timur tidak
tergantikan. Sebagaimana diketahui sejak 1641 Belanda/VOC mengusir Portugis
dari Malaka dan sejak 1657 orang Spanyol terusir dari Manado. Grondt ofte kort bericht, van
de Maleysche tale yang
ditulis Joanne M Roman yang diterbitkan di Batavia tahun 1674 terdapat sebutan bilangan. Meski buku ini bukan
kamus, tetapi lebih tepat dikatakan mirip buku tatabahasa Melayu, disebutkan angka-angka:
1=suatou, 2=doa, 3=tiga, 4=ampat, 5=lima, 6=anam, 7=toedjou, 8=delappan, 9=sambilan,
19=sapoelo, 11=sablas juga disebut sapoelo soeatou, 100=saratus, 1000=saribu
dan 10000=salaksa.
Yang menarik dalam buku Joanne M Roman (1674), sejauh ini, untuk pertama
kali angka 1 disebut satu (suatou). Sebelumnya, jauh di masa lampau hanya
dikenal sebutan sa. Oleh karena buku ini diterbitkan di Batavia, angka satu belum
muncul di Sumatra atau semenanjung Malaya, melainkan muncul di Jawa. Bagaimana asal
muasal sebutan sa menjadi satu? Yang jelas satu dalam bahasa Jawa adalah sidji
dan dalam bahasa Sunda adalah hidji. Untuk sebutan bilangan belas di dalam
bahasa Melayu diduga diserap dari bahasa Jawa (sewelas, selikur, selaweh).
Kamus Frederik de Houtman masih diterbitkan di
Batavia tahun 1707 dengan judul Dictionarium, ofte Woord ende spraeck-boeck, in
de Duytsche ende Maleysche tale. Dengan keberadaan kamus ini dalam waktu yang lama, boleh jadi Joanne M
Roman (1674) tidak memuat daftar kosa kata dalam bukunya.
Pada tahun 1778 di Batavia dibentuk perhimpunan peminat ilmu pengetahuan
yang diberi nama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang
dipimpin oleh Radermacher. Lembaga ini secara periodic menerbitkan publikasi
seperti Verhandelingen van het Bataviaasch genootschap, der konsten en
weetenschappen (1781). Dalam terbitan-terbitan tersebut mulai dilakukan
pencatatan kamus/daftar kosa kata selain bahasa Melayu, juga bahasa Jawa,
bahasa Sunda dan bahasa Batak. Dalam bahasa Jawa dibedakan bahasa rendah dan
bahasa tinggi.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan
(ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami
ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah
catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.