*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Bahasa memiliki aksara dan
bilangan memiliki lambang. Elemen dasar suatu bahasa adalah kosa kata. Sebutan
bilangan termasuk dalam daftar kosa kata suatu bahasa. Tentang bahasa-bahasa di
nusantara terdapat kosa kata yang mirip satu sama lain dan selebihnya adalah
perbedaan. Demikian juga sebutan bilangan antara satu bahasa dengan bahasa
lainnya ada kemiripan dan perbedaannya. Tentu saja menjadi menarik untuk
diperharikan bagaimana sebutan bilangan terbentuk?
Daftar
angka dalam berbagai bahasa. Berikut ini adalah daftar angka dari digit 0 – 10
dalam berbagai bahasa: (1) Rumpun bahasa Arab (2) Rumpun bahasa Aramik (3)
Rumpun bahasa Ibrani (4) Rumpun bahasa Semitik Timur (5) Rumpun bahasa Ethiopia
(6) Rumpun bahasa Mesir (7) Rumpun bahasa Austroasiatik (8) Rumpun bahasa
Austronesia: Aceh, Bali, Banjar, Batak, Bugis, Jawa (Kawi), Jawa (Kuno),
Kelantan-Pattani, Madura, Makassar, Melayu, Minangkabau, Sasak, Sunda, Melayu
Terengganu, Melayu Tetun, Lawangan, Cebuano, Malagasy, Sangir-Minahasa, Tagalog
dan Waray-Waray; (9) Rumpun bahasa Papua Barat: Ternate dan Tidore. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bahasa dan sebutan bilangan
dalam berbagai bahasa? Seperti disebut di atas diantara bahasa-bahasa nusantara
terdapat sebutan bilangan yang mirip dan sebutan bilangan yang berbeda.
Navigasi pelayaran perdagangan di Nusantara. Lalu bagaimana sejarah bahasa dan sebutan
bilangan dalam berbagai bahasa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe,
semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan
sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Bahasa dan Sebutan Bilangan dalam Berbagai Bahasa;
Navigasi Pelayaran Perdagangan di Nusantara
Dalam perbandingan bahasa-bahasa, tidaklah mudah
memperbandingkan semua kosa kata dalam satu bahasa dengan bahasa lainnya. Salah
satu yang paling mudah adalah sejumlah kosa kata elementer diperbandingkan
antar bahasa. Dalam hal ini dikhususkan hanya memperbandingkan kosa kata elementer
untuk sejumlah sebutan bilangan. Dengan mengacu pada sebutan bilangan bahasa
Melayu, dapat dijadikan sebagai permulaan untuk sebutan bilangan dalam bahasa
Batak dan bahasa Jawa. Kedua bahasa ini sebutan bilangan mirip satu sama lain.
Bilangan/angka satu dalam bahasa Batak disebut sada, sementara dalam
bahasa Jawa adalah sidji: 2=dua (loro), 3=tolu (telu), 4=opat (papat), 5=lima (lima), 6=onom (enem), 7=pitu
(pitu), 8=walu (wolu), 9=sia (sanga)=10=sapulu (sepuluh); 11=sapulu sada
(sebelas), 12=sapulu dua (dua belas), 100=saratus (serratus), 1000=saribu
(seribu)..
Sebutan bilangan Batak mewakili pulau Sumatra,
sebutan bilangan Jawa mewakili pulau Jawa. Untuk pulau Sulawesi adalah bahasa
Bolaang Mongondow: 1=tougo atau tobatu; 2=dohowa, dojowa, dorowa, déowa atau duwa; 3=tolu, 4=opat, 5=lima, 6=onom, 7=pitu, 8=walu, 9=sijou, 10=mopulu, 11=mopulu bo minta, 12=mopulu bo dohowa. Sepintas antara bahasa
Batak dengan bahasa Bolaang Mongondow lebih mirip jika dibandingkan dengan
bahasa Jawa.
Salah satu bahasa di bagian tengah pulau Sulawesi adalah bahasa Toradja:
1=misa, issaq, 2=dadua (dua), 3=tallu, 4=apa (aqpaq), 5=lima, 6=annan, 7=pitu, 8=karua, 9=kasera, 10=sangpulo; 11=sangpulo misam 12=sangpulo
dua. Untuk sebutan bilangan
belasan, bahasa Bolaang/Minahasa dan Toradja lebih mirip bahasa Batak jika
dibandingkan bahasa Jawa.
Bagaimana dengan bahasa Manggara? 1=sa, 2=sua, 3=telu,
4=pat, 5=lima, 6=enem, 7=pitu, 8=alo, 9=siok, 10=sempulu, 11=sempulu sa, 12=sempulu
sua. Bahasa Ende: 1=esa, seesa, 2= rua, esa rua, 3=terhu, esa terhu, 4=wutu, esa wutu, 5=rhima, esa rhima. Sebutan angka lima mungkin ada kaitannya dengan zima yang mana bahasa Ende zima artinya tangan yang memiliki
jari, 6=rhima esa; 7=rhima rua, 8 =rua mbutu, 9=tera
esa, 10=semburhu, 11=semburhu se esa; 12=semburhu esa ruam dst. 16=semburhu esa rhima
esa.
Struktur sebutan belasan dalam bahasa Ende mirip dengan bahasa Toradja.
Minahasa dan Batak. Namun untuk bilangan 6 dalam bahasa Ende sangat khas yakni rhima esa. Sebutan bilangan 6 seakan
ingin menyatakan penambahan (5+1); sementara untuk angka 8 sebagai pengurangan:
10-2 (rua mbutu). Struktur sebutan bilangan 8 mirip dalam bahasa Melayu kuno dua
lapan (2-8). Apakah angka 6, 7, 8, 9 merujuk pada lambang bilangan bahasa Romawi?
Padanan angka 8 (dua lapan) adalah salapan (sa-lapan) dalam bahasa Sunda. Dalam
perkembangannya diketahui sebutan bilangan salapan dalam bahasa Melayu menjadi
sambilan (sa-ambilan?). Catatan: 1=sada dalam bahasa Batak, sa dalam bahasa
Melayu kuno dan Manggarai dan esa dalam bahasa Ende plus bahasa Lampung sai;
bandingkan dengan sidji (Djawa), hidji (Soenda), ciek (Minangkabau), sikok (Djambi/Palembang)
dan sedidi (Bugis).
Padanan angka 8 (dua lapan) dan salapan (sa-lapan) dalam bahasa Sunda
mirip dengan bahasa Cham, sementara dua lapan menjadi delapan dalam bahasa
Melayu dan muncul sebutan sembilan dalam bahasa Melayu/Minangkabau.
Secara umum bahasa-bahasa di nusantara paling tidak dalam
struktur sebutan bilangan dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk: bahasa
Batak terutama sapulu sada; bahasa Jawa terutama sebelas dan bahasa Ende yang
mirip Romawi (penambahan/pengurangan). Dalam hal ini lambang dasar bilangan Romawi
terdiri dari I = 1, V = 5, X = 10, L = 50, C = 100, D = 500, M = 1000,
sementara untuk bilangan lainnya merupakan kombinasinya.
Lambang bilangan/angka Romawi sejatinya berbentuk huruf/aksaranya sendiri
(I, V, X. L, C, D dan M). Sangat simple. Dasarnya hanya dengan mengetahui
aksara Romawi akan mengetahui lambang angka Romawi. Berbeda dengan lambang/angka Jawa yang cukup
rumit. Bagaimana dengan lambang bilangan Batak? Bukan lambang huruf tetapi
ditentukan dengan bentuk yang berbeda dari aksaranya. Bentuk bilangan Batak
adalah bentuk geometris (garis dan bidang; titik dan ruang implisit). Tampaknya
dari lambang bilangan dari berbagai aksara yang ada hanya lambang bilangan
bahasa Batak yang berbentuk geometris. Mengapa? Yang dimaksud geomotrik dalam
hal ini titik. garis, bidang dan ruang, yang mana kumpulan titik adalah garis
(dimensis atu); hubungan garis adalah bidang (dimensi dua); hubungan bidang
adalah ruang (dimensi tiga). Pada masa ini operasi bilangan adalah system aritmatika
dan operasi geometric adalah system kalkulus. Dalam nomor/angka bilangan Batak,
angka 1, 2, 3 adalah garis (mirip angka 1, 2 3 Romawi). Bagaimana dengan angka
4? Yang jelas berbeda dengan angka Romawi. Angka 4 Batak eksplisit adalah
bentuk bidang segitiga (kumpulan tiga garis) tetapi dihitung secara ruang.
Artinya segi tiga adalah bidang paling sedikit sisinya (hanya tiga). Jika
dibuat menjadi ruang, jumlah bidangnya menjadi empat. Oleh karena itu ditulis bidang
segitiga tetapi dihitung ruang segitiga (diamond). Bagaimana dengan angka 5?
Empat garis yang dicoret sehingga jumlahnya lima garis. Angka 6 dilambangkan
dengan bentuk empat persegi (kubus). Seperti segitiga untuk angka 4, bidang
kubus dalam hal ini dihitung ada enam bidang pada ruang. Sementara angka 7 dilambangkan dengan cara
meminjam dari sebagian lambang angka 5 (dua garis; haris lurus dan garis
diagonal). Bagaimana dengan angka 8? Dua gabungan segitiga yang jumlah
bidangnya adalah 2 kali empat bidang sebanyak 8 (delapan) bidang. Sedangkan
angka 9 adalah angka 7 yang ditambahi garis pendek (yang tampak sebagian dari
bentuk angka 8). Bagaimana dengan angka 10? Yang jelas dalam aksara Batak tidak
ada angka nol (kosong). Lambang angka 10
dibuat dalam bentuk satu garis yang menyatakan satu dan di depannya lambang
bilangan puluh (berbentuk ketupat/jajaran genjang) sehingga dibaca sada pulu
yang disingkat menjadi sapulu. Bagaimana dengan angka 11? Yang jelas tidak ada
kosa kata belas dalam bahasa Batak. Dalam bahasa Batak angka 11 dibaca sapuluh
sada, 12-sapulu dua, dst. 20 (dua puluh), 21-duapuluh sada. Penulisan dan
pembacaan (lisan) bersifat biner (1-0; sada ketupat/jajaran genjang). Last but
not least. Bagaimana dengan 100? Dua ketupat/jajaran genjang dibaca ratus (misalnya
saratus, dua ratus); tiga ketupat dibaca ribu (misalnya saribu, dua ribu).
Demikian seterusnya bersifat biner.
Dengan mengacu pada tiga bentuk struktur sebutan
bilangan yang disebut di atas, dapat diperbandingkan lebih lanjut dengan
bahasa-bahasa lainnya terutama ke wilayah timur (Maluku dan Papua) dan ke
wilayah utara (Filipina dan Formosa). Secara khusus sebutan bilangan yang
diperbandingkan adalah sebutan bilangan Jawa dan sebutan bilangan Batak. Dalam
hal ini ingin menjawab seberapa luas (seberapa jauh) sebutan bilangan Batak dan
bilangan Jawa memiliki kemiripan dengan bahasa-bahasa lainnya.
Bagaimana dua bahasa utama Austronesia (Batak dan Jawa) pada dasarnya
berbeda dapat diperhatikan dalam struktur sebutan bilangan. Ada beberapa
bilangan satuan berbeda sebutannya antara bahasa Batak dan bahasa Jawa seperti
1=sada vs siji dan 2=dua vs loro, tetapi sama untuk 3=tolu vs telu. Untuk
sebutan bilangan belasan berbeda antara bahasa Batak dan bahasa Jawa. Bahasa
Batak bersifat biner seperti 11=sada pulu (sapulu) sada, 12=sada pulu (sapulu) dua
yang dapat disederhanan menjadi 10+1 dan 10+2, sementara bahasa Jawa dengan
sebutan berbeda: 11=sebelas, 12=dua belas yang dapat disederhanakan: 1+10 dan 2+10.
Mengapa pola sebutan belasan kedua bahasa berbeda? Lambang bilangan Batak mirip
lambang bilangan Sumeria dan Maya, tetapi lambang bilangan Jawa lebih mirip
pada aksara-aksara di India. Dalam hal ini lambang dan sebutan bilangan seakan
terisolasi diantara bahasa-bahasa India/Jawa. Sementara pola lambang bilangan belasa
Batak yang mirip Sumeria dan Maya (bahasa yang sudah punah dan tidak diketahui
cara penyebutannya), tetapi sebutan bilangan belasan Batak mirip dengan bahasa
Armenia (di sebelah timur lau Sumeria), bahasa Kazak, bahasa Uzbek, bahasa
Mongolm bahasa Cina dan bahasa Jepang (yang bersifat biner). Sedangkan sebutan
bilangan belasan bahasa Arab berbeda untuk belasan (yang dibaca dari kanan ke
kiri) seperti 1+10 dan 2+10. Pola sebutan bilangan Arab ini mimiliki pola yang
sama dengan bahasa-bahasa di Eropa mulai dari Rusia ke arah barat hingga Inggris
dan juga memiliki pola sebutan yang sama dengan bahasa-bahasa ke arah tenggara seperti
bahasa Sanskerta dan bahasa-bahasa di India dan seterusnya hingga ke Jawa.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Navigasi Pelayaran Perdagangan di Nusantara: Bilangan
dan Hitungan Menjadi Penting
Seperti disebut di
atas, sebutan bilangan 6 dalam bahasa Ende sangat khas, sebutan seakan ingin
menyatakan penambahan (seperti 5+1) dan pengurangan: 10-2 (seperti rua mbutu). Sebutan
ini mirip dengan cara melihat lambang bilangan Romawi. Besar dugaan hal itu
terjadi karena misionaris Portugis mendirikan stasion di pulau Ende pasca
VOC/Belanda menduduki Malaka tahun 1641.
Di wilayah barat Ende di Manggara sebutan bilangan adalah sebagai
berikut: 1=sa, 2=sua, 3=telu, 4=pat, 5=lima, 6=enem, 7=pitu, 8=alo, 9=siok, 10=sempulu,
11=sempulu sa, 12=sempulu sua. Sementara di wilayah timur Ende di Lamaholot sebutan bilangan
sebafai berikut: tou = 1, rua = 2, telo = 3, pat = 4, lema = 5, nemu = 6, pito
= 7, buto = 8, hiwa = 9, pulo = 10, pulok tou = 11, pulok rua = 12. Oleh karena
itu sebutan bilangan di Ende bersifat unik, sebutan mengacu pada lambang
bilangan Romawi. Sedangkan sebutan bilangan Manggarai dan Lamaholot murip
dengan sebutan bilangan Batak. Lambang bilangan Romawi berbasis huruf dalam
aksara Romawi, sedangkan lambang bilangan Batak bersifat geometris (baris,
bidang dan ruang) dan pengulangan bilangan bersifat biner (1-0).
Di pulau Kei di wilayah selatan sebutan bilangan
dalam bahasa Kei adalah sebagai berikut: 1=ain(mehe)/(ain)sa; 2=(ain)ru; 3=(ain)tel; 4=(ain)faak; 5=(ain)lim; 6=(ain)nean; 7=(ain)fit; 8=(ain)wau; 9=(ain)siuw; 10=(ain)vut. Untuk pengylangan bilangan
dalam belasan sebagai berikut: 11=vut ainsa; 12=vut ainru; 13=vut aintel. Di wilayah utara seperti di Sangihe sebutan
bilangan sebagai berikut: 1= kesa; 2=darua;
3=tatelu; 4=epa’; 5=lima; 6=enung; 7= pitu; 8=ualu; 9=sio; 10=mapulo. Untuk sebutan
bilangan belasan11=mapulo esa; 12=mapulo dua.
Ini
mengindikasikan sebutan bilangan Kei (timur/selatan) dan Sangihe (timur/utara)
mirip dengan sebutan bilangan di Batak (barat/utara). Jika sebutan bilangan
Batak sebagai acuan, terkesan sebutan bilangan Kei terjadi pemenggalan huruf,
sementara sebutan bilangan Sangihe sebaliknya menggandakan huruf.
Wilayah bahasa diantara kedua tersebut di wilayah tengah
di Makian sebutan bilangan sebagai berikut: 1=pso; 2=plu, 3=ti, 4=ph t; 5=plim;
6=pwo nam, 7=Phit, 8=powal; 9=psi wo; 10=yoha so; 11=yoha so lop ps; 12=yoha so
lop plu. Sementara di wilayah Ternate sebagai berikut: 1=Rimoi; 2=Romdidi: 3=Ra’ange:
4=Raha: 5=Romtoha: 6=Rara: 7=Tomdi: 8=Tufkange: 9=Sio: 10=Nyagimoi: 11=Nyagimoi
se Rimoi; 12= Nyagimoi se Romdidi; 13=Nyagimoi se Ra’ange.
Sebutan
bilangan di Makian dabn Ternate (Maluku) terkesan memiliki asal usul bahasa
sendiri dan memiliki pola yang tercanpur. Apakah karena kota Makian dan kota
Ternate di masa lampau sebagai kota-kota perdagangan utama? Untuk menjelaskan
ini kita perlu menambahkan bahasa-bahasa di sekitarnya tetapi letaknya dari dua
kota ini lebih ke kepedalaman di pulau Halmahera dan pulau Seram.
Di kepulauan Filipina juga banyak ragam bahasa. Di
wilayah selatan adalah bahasa Cebuano: 1=usa, 2=duha, 3=tulo, 4=upat, 5=lima,
6=unom, 7=pito, 8=walo, 9=siyam dan 10=napulo pulo, 11=napulo usa, 12=napulo duha.
Di wilayah tengah adalah bahasa Tagalog: 1=isa, 2=dalawa, 3=tatlo, 4=apat, 5=lima, 6=anim, 7=pito, 8=walo, 9=siyam, 10=sampu, 11=labing-isa, 12=labindalawa, 13=labintatlo. Di wilayah utara adalah bahasa Ilocano: 1=maysa, 2=dua. 3=tinggi, 4=uppat, 5=lima, 6–masuk, 7=pito, 8=walo, 9=Siam, 10=sangapulo menarik, 11=sangapulo
ket maysa, 12= sangapulo
ket dua.
Sebutan bilangan di bahasa-bahasa di Filipina seperti Cebuani, Tangalog
dan Ilocano lebih mirip sebutan bilangan bahasa Batak daripada bahasa Melayu.
Jika sebelumnya sebutan bilangan yang semakin jauh ke selatan/timur seperti Kei
dan Makian, tampaknya sebutan bilangan di pulau-pulau utara di Filipina terkesan
kembali semakin dekat semakin mirip dengan sebutan bilangan Batak. Boleh jadi
jaraknya lebih dekat secara geografis.
Bagaimana dengan pulau-pulau yang lebih jauh di
utara seperti pulasu Formosa (Taiwan) dan pulau Ryuku (Jepang)? Meski Formosa
terbilang satu pulau tetapi memiliki ragam bahasa. Sebutan bilangan bahasa Amis:
1=cecai, 2=tosa, 3=tolo, 4=spat, 5=lima, 6=enem, 7=pito, 8=falo, 9=siwa, 10=mo^tep;
bahasa Sakizaya sebagai berikut: 1=cacai, 2=tosa, 3=tolo, 4=sepat, 5=lima, 6=enem,
7=pito, 8=walo, 9=siwa, 10=cacay a bataan; bahasa Seediq: 1=kingal, 2=daha, 3=teru,
4=sepac, 5=rima, 6=mmteru, 7=mpitu, 8=mmsepac, 9=mngari, `10=maxal. Khusus
untuk angka 6 adalah anem (bahasa Basay), nem (bahasa Trobiawan), nem (bahasa Linaw)
dan angka 4 adalah sepat untuk Basay, Trobiawan dan Linaw.
Di sebelah timur laut pulau Formosa adalah kepulauan Ryukyu yang masuk wilayah
Jepang. Rumpun bahasa Ryukyu antara lain Amami Oshima, Shuri (Okinawa), Hatoma
(Yaeyama), Miyako dan Yonaguni. Sebutan bilangan bahasa awal Ryukyu adalah
sebagai berikut: 1=pito, 2=puta, 3=mi, 4=yo, 5=e tu, 6=mu, 7=nana, 8=ya, 9=kokono,
10=dua.
Sebutan bilangan semakin jauh ke utara (Taiwan dan
Okinawa) semakin jauh pergeserannya dengan sebutan bilangan bahasa Batak. Bahkan
di kepulauan Ryukyu berbeda sama sekali. Hal serupa ini juga ditunjukkan semakin
jauh ke timur (Kei dan Papua) semakin jauh pulau pergeseran sebutan bilangan
dengan bahasa Batak. Bagaimana dengan bahasa-bahasa di wilayah Pasifik (sebelah
timur Papua)? Pertanyaan yang sama juga untuk pulau Malagasi (Afrika).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan
(ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami
ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah
catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.