Sejarah

Sejarah Bahasa (285): Bahasa Melayu dan Isu Promosi Bahasa Standar Kajian Bahasa; Kebutuhan Sekolah Pribumi Hindia Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Kongres
Bahasa Melayu diadakan di Batam tahun 2015. Dalam kongres ini muncul isu untuk
standardisasi bahasa Melayu. Hal itu karena bahasa Melayu sendiri berbeda-beda
di setiap negara Asia Tenggara. Bahasa Melayu di setiap negara seperti di
Indonesia juga terdiri beragam dialek. Namun kita tidak sedang membicarakan isu
dalam kongres itu. Bahwa upaya standardisasi bahasa Melayu sudah dilakukan pada
era Pemerintah Hindia Belanda. Hasil standardisasi itu yang menjadi cikal bakal
bahasa Indonesia.

Bahasa
Melayu Perlu Standarisasi. Ani Nursalikah. Senin 15 Junuari 2015.
Republika.co.id. Batam — Bahasa Melayu perlu standarisasi khusus sebelum
dijadikan bahasa persatuan dunia. Standarisasi dilakukan antara lain penamaan
bahasa, aspek kebahasaan, ejaan, cara pengucapan. Kepala Badan Pembinaan dan
Pengembangan bahasa RI, Mahsun dalam Kongres Bahasa Melayu di Batam Kepulauan
Riau, Senin (15/6), mengatakan bahasa Melayu yang berkembang di sebagian Asia
Tenggara berbeda-beda, seperti bahasa Melayu Malaysia, Brunei Darussalam,
Indonesia, Thailand, Filipina Selatan, Kamboja. “Kalau mau menggunakan
bahasa Melayu sebagai persatuan dunia, maka perlu standarisasi bahasa,”
kata dia. Pejabat Ketua Menteri Melaka, Datuk Seri Idris Bin Haji Haron
mengatakan “Walaupun bahasa Malaysia merupakan bahasa resmi bangsa, namun
penggunaannya Melayu masih bahasa kedua setelah bahasa Inggris,” kata dia
.
(https://news.republika.co.id/)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Melayu dan promosi
bahasa standar melalui kajian bahasa? Seperti disebut di atas pada masa era Pemerintah
Hindia Belanda sudah dimulai upaya standardisasi bahas Melayu yang menjadi
cikal bahasa Indonesia. Sekolah Eropa dan sekolah pribumi di Hindia Belanda. Lalu
bagaimana sejarah bahasa Melayu dan promosi bahasa Melayu melalui kajian bahasa?
Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah
pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber
tempo doeloe.
Link   https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.

Bahasa Melayu dan Promosi Bahasa Standar Melalui
Kajian Bahasa; Sekolah Eropa dan Pribumi di Hindia Belanda

NH Neubronner van der Tuuk telah menyelesaikan kamus Bataksch dan tata bahasanya hampir
selesai
(lihat Javasche courant, 26-09-1863).
Kita tidak sedang membicarakan kamus van der Tuuk, tetapi bagaimana tentang
bahasa Melayu. Komentar van der Tuuk dikutip oleh HA Klinkert.


Het Criterium voor Geschriften in de Maleische Taal: Iets over de Maleische
School en Volksleesboeken, Enz door HA Klinkert: ‘Beberapa tahun yang lalu, Neubronner
van der Tuuk mengeluh dalam kontribusi tentang kurangnya kriteria untuk bahasa
Melayu. Pada saat itulah dia menerima Leydekker melakukan penilaian cepat
terhadap terjemahan Alkitab Wemdley. Dia punya alasan untuk mengeluh. Lagi
pula, sementara dia menyebutkan terjemahannya, dia sendiri yang harus menjadi
kriterianya, dan di sana cukup setuju untuk mengatakan: //begitulah kata atau
tulisnya. Bukan bahasa Melayu// Dan bahkan lebih jauh lagi adalah bahasa Melayu
mengutip kitab suci, seringkali tidak sulit untuk mengetahuinya yang sama dari
contoh kitab suci Melayu lain yang sama validnya untuk menggunakan ejaan yang
berbeda. Tidak heran sehingga seseorang yang memposisikan dirinya sebagai
reviewer merasa membutuhkan kriteria, dan pemikiran yang kurang tinggi seseorang
menghargai kebijaksanaannya sendiri, semakin jelas kebijaksanaannya akan
mengungkapkan kebutuhan itu. Namun, kekurangan ini akan paling terasa ketika
seseorang tidak mempunyai hak istimewa untuk tinggal di negara yang benar-benar
Melayu, atau bisa juga berkomunikasi, tapi khas Melayu dari beberapa naskah
Melayu, tata bahasa dan kamus harus menggambar, sedangkan di lingkungannya
setiap hari ada yang Melayu lokal, atau temukan sendiri penyedia akomodasi’.

Mengapa NH Neubronner van der Tuuk kompeten mengomentasri tentang tidak adanya standar dalam penulisan menggunakan
bahasa Melayu? NH

Neubronner van der T
uuk adalah ahli bahasa pertama yang menyusun kamus dan
tata bahasa salah satu bahasa di Hindia Belanda (bahasa Batak). NH
Neubronner van der Tuuk telah membuat standarisasi pada bahasa Batak.
Sementara bahasa Melayu yang digunakan di berbagai daerah di Hindia Belanda
ditulis dengan caranya sendiri-sendiri alias belum ada standarisasi. Komentar
van derTuuk dalam artikel berjudul ‘Iets over de Hoog-Maleisehe
bijbelvertaling, door H. Neubronner van der Tuuk yang dimuat dalam Bijdragen
tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1856).  Berikut daftar tulisan selanjutnya terkait komentar
van der Tuuk.


Eenige Maleische spreekwoorden en spreekwijzen, verzameld, vertaald en
opgehelderd door HC Klinkert

Iets over de Maleische school- en volksleesboeken, bekroond en uitgegeven
door het Nederlandsch Indische Gouvernement, door HC Klinkert.

Verslag van een Maleiseh verhaal behelzende de lotgevallen van Samáun,
door HN van der Tuuk.

Een woord over het opstel van den heer HC Klinkert, “lets over de
Maleische school- en volksleesboekenn, door JRPF Gonggrijp.

Kort verslag der Maleische handschriften, toebehoorende aan de Royal
Asiatic Society te Londen, door HN van der Tuuk.

Verhaal eener pelgrimsreis van Singapoera naar Mekah, door Abdoellah bin
Abdil Kadir Moensji, gedaan in het jaar 1854. Vertaald door HC Klinkert.

Iets over de pantons of minnezangen der Maleijers, door HC Klinkert.

Uit de correspondentie van een overledene [n.l. Dr JD Homan, vooral
handelend over het Bataviaasch Maleisch, medegedeeld door JJ Meinsma.

Een kort woord naar aanleiding van HC Klinkerts “IIts over de Maleische
school- en volksleesboeken”, door JGF Riedel.

Het criterium voor geschriften in de Maleische taal [nl. tegen datzelfde
opstel van Klinkert, als hiervóór genoemd werd, een antikritiek bevattend],
door N Graafland.

Antwoord op de antikritiek van de Heeren GRPF Gonggrijp, JGF Riedel en N
Graafland, door HC Klinkert.

Aanteekeningen op HC Klinkert’s Supplement op mijn Maleisch Woordenboek,
door Dr J Pijnappel.

De Maleisch-e -handschriften der Leidsche bibliotheek, door Dr J
Pijnappel

Leidsche Akademie, door Dr J Pijnappel.

Westersche fabelen in een Oostersch gewaad, door Dr JJ de Hollander.

De Maleische handschriften in het Britsch Museum, door GK Niemann.

Korte bijdrage over het Maleisch van Timor, door FSA de Clereq.

De Maleische atlas van den heer W. F. Versteeg, door Dr JJ Pijnappel.

Eenige toelichtingen tot de “Mënangkabausch-Maleische zamenspraken,
opgesteld door Si-Daoed Radja Medan, ‘s Gravenhage 1872, door W Hoogkamer,
(medegedeeld door Dr AWT Juynboll).

Eene nieuwe uitgave van de Kalila [n.l. bespreking van JRPF Gonggrijp’s: De
geschiedenis van Kalila en nina, in het Maleisch met hollandsche letters
uitgegeven”, Leiden 1876], door Dr JJ Pijnappel. Twee Maleische handschriften
[n.l. de Sjaïr Sulthan Manoer Sjah Grémpita, en de Sjaïr Kahar ‘[Masjhoer, naar
den korten inhoud verteld], door HC Klinkert.

Proeven van Maleische poëzie, door HC Klinkert.

Naar aanleiding van den heer W Hoogkamer’s Toelichtingen tot de door Prof.
Pijnappel uitgegeven Menangkabausch-Maleische Zamenspraken, door J Habbema.

Een taalkundig verdrag [zijnde een voorstel om te geraken tot een
uniforme transcriptie van het Ménangkabau’sch], door AL van Hasselt.

De geschiedenis van Soetan Manangkérang. Eene Maleische legende. door JL
van der Toorn.

Over de afleiding en beteekenis van sapala-pala door CA van Ophuijsen.

Sérawajsche en Bésémahsche spreekwoorden, spreekwijzen en raadsels,
medegedeeld door L Helfrich.

Account of six Malay manuscripts [zijnde uit de nalatenschap van
Erpenius] of the Cambridge University Library by Dr PS van Ronkel.

Het Cambridge-handschrift en het Leidsche handschrift der Hikayat
Mohammed Hanafiyya door Dr PS van Ronkel.

NH Neubronner van der Tuuk dan HC Klinkert dapat
dikatakan dua yang pertama, pegiat bahasa di Hindia Belanda yang sepenuhnya sadar
bahwa tidak ada standar dalam bahasa Melayu dan berupaya mengangkat isu untuk
mulai memperhatikan arti penting pembakuan (standarisasi) bahasa Melayu di Hindia
Belanda.


Wilayah Hindia Belanda adalah wilayah yurisdiksi Pemerintah Hindia
Belanda, mulai dari Sabang hingga Merauke. Selain bahasa etnik (daerah) yang
banyak dan beragam, secara khusus dalam hal ini rumpun bahasa Melayu sendiri memiliki
ragam dialek, apakah di wilayah orang Melayu maupun di wilayah (orang) non
Melayu. Bahasa Melayu di wilayah non Melayu umumnya di kota-kota yang sejak
zaman doeloe sudah digunakan bahasa Melayu seperti Batavia, Manado, Ambon dan
Koepang. Juga dalam hal ini perlu ditambahkan di wilayah-wilayah bahasa etnik
bahasa Melayu juga digunakan sebagai bahasa kedua (dwibahasa) yang sudah tentu
beragam dialeknya. Gambaran inilah yang menyebabkan bahasa Melayu tidak terstandarisasi,
yang notabene juga dilakukan penulis-penulis yang menggunakan bahasa Melayu
yang kemudian dilihat van der Tuuk sebagai tidak/belum adanya kriteria penulisan
teks yang menggunakan bahasa Melayu. Teks yang dimaksud van der Tuuk dalam hal
ini termasuk terjemahan kitab suci Kristen, buku-buku pelajaran yang ditulis untuk
sekolah-sekolah pribumi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sekolah Eropa/Belanda dan Sekolah Pribumi di Hindia
Belanda: Standardisasi Bahasa Melayu Menjadi Cikal Bahasa Indonesia

Tidak diketahui secara tepat sejak kapan bahasa
Melayu terbentuk di berbagai kota di Hindia Belanda. Yang jelas menurut catatan
Pigafetta (1522) sudah terbentuk bahasa Melayu di Maluku. Tentu saja bahasa
Melayu juga kemudian ditemukan di kota-kota utama perdagangan di Banten, Atjeh
dan Gowa. Lalu dengan perkembangan berikutnya, sejak Belanda/VOC memindahkan
ibu kota dari Ambon ke Batavia, terbentuk secara massif bahasa Melayu (seiring
dengan perkembangan kota).


Sejak kapan bahasa Melayu menjadi lingua franca di Hindia Timur juga
tidak diketahui secara tepat. Yang jelas bahasa Melayu terus eksis sebagai
lingua franca pada era VOC hingga era Pemerintah Hindia Belanda. Pada saat era
Pemerintah Hindia Belanda (sejak 1800) sejumlah kota tumbuh dan berkembang
seperti Semarang, Soerabaja, Padang dan Palembang serta Koepang dan Manado. Pada
saat pertumbuhan kota-kota ini juga bahasa Melayu sebagai bahasa lingua franca,
tetapi juga diantara penduduk kota yang beragam menggunakan bahasa-bahasanya
sendiri (dwibahasa). Saling meminjam diantara bahasa-bahasa, termasuk bahasa
Melayu terjadi, seperti bahasa Melayu di kota Semarang dan kota Soerabaja
dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Tentu saja pengaruh-pengaruh bahasa asing juga
terjadi seperti bahasa Belanda, bahasa Arab dan bahasa Cina. Dalam konteks
inilah kemudian dibedakan bahasa Melayu di wilayah non Melayu sebagai bahasa
Melayu Pasar dengan bahasa Melayu di wilayah Melayu seperti di Riau (Melayu
Murni). Yang dimaksud Melayu Murni (Riau) dalam hal ini adalah bahasa Melayu
yang sudah lama tidak terpengaruh bahasa-bahasa lain (karena tetangganya juga berbahasa
Melayu). Sementara bahasa Melayu di kota-kota besar seperti Batavia (bahasa
Melayu Pasar) terus berkembang.

Pada era Pemerintah Hindia Belanda, secara bertahap
diselenggarakan pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah baik untuk golongan
Eropa/Belanda maupun golongan pribumi. Namun sekolah-sekolah pribumi itu
pertumbuhannya lambat dibandingkan dengan sekolah-sekolah Eropa/Belanda. Baru
sejak 1848 dapat dikatakan sekolah-sekolah pribumi di berbagai tempat tumbuh
dengan cepat, terutama di Jawa dan wilayah Maluku, Timor dan Manado. Di Sumatra
pertumbuhannya hanya terbatas di Padang (termasuk Minangkabau), Tapanuli (bagian
selatan) dan Riau (kepulauan) serta Bengkulu.


Seiring dengan perkembangan sekolah-sekolah pribumi, lembaga zending di
Belanda terus meningkatkan kinerjanya di berbagai tempat termasuk dalam hal
pendirian sekolah-sekolah misonatis, pengadaan buku, penerjemahan alkitab
sesuai bahasa yang digunakan di wilayah misi. Hal itulah antara lain van der Tuuk
dikirim ke Tanah Batak (Tapanoeli) untuk menyusun kamus dan mempelajari
tatabahasanya dalam kerangka upaya penerjemahan alkitab. Idem dito dengan Mattheus
di wilayah Makassar/Bugis serta sarjana berlatar bahasa lainnya di wilayah Jawa.
Juga para pejabat pemerintah ditugaskan untuk mengumpulkan perihal bahasa-bahasa
di wilayah lainnya termasuk E Netscher di Riau. Catatan: upaya serupa ini masih
sangat terbatas pada era VOC (paruh kedua abad ke-18) dimana menurut dokumen
yang ada sudah ada penyusunan kamus kecil, selain dalam bahasa Melayu juga
sudah ada dalam bahasa Jawa dan bahasa Batak. HN van der Tuuk dikirim ke Tanah
Batak pada tahun 1850.

Untuk mempercepat perluasan sekolah-sekolah pribumi,
pada tahun 1852 sekolah guru pribumi (kweekschool) dibuka di Soerakarta. Lulusannya
diharapkan akan diproyeksikan menjadi guru dimana sekolah-sekolah akan dibuka
di tempat lain di Jawa. Sementara itu sejak tahun 1851 di Batavia sudah dibuka
sekolah kedokteran pribumi, termasuk dua siswa asal Angkola Mandialing
(Tapanoeli) yang diterima pada tahun 1854. Lalu pada tahun 1856 sekolah guru
kedua dibuka di Fort de Kock.


Di sekolah guru di Soerakarta bahasa pengantar dalam bahasa Melayu dan
bahasa Jawa. Dallam kurikulum juga ada disertakan bahasa Belanda. Sementara itu
para siswa di sekolah guru di Fort de Kock bahasa pengantar dengan bahasa
Melayu (Padang) dan bahasa Melayu (Minangkabau). Sedangkan di sekolah
kedokteran di Batavia bahasa pengantar sepenuhnya dengan bahasa Melayu dengan
penambahan kurikulum bahasa Belanda yang lebih intensif jika dibandingkan
dengan di sekolah guru.

Satu yang penting, salah satu lulusan sekolah di
Mandailing, Sati Nasoetion pada tahun 1857 berangkat ke Belanda untuk
melanjutkan sekolah di sekolah keguruan (di Haarlem). Sati Nasoetion alias Willem
Iskander lulus dengan akta guru pada tahun 1860 dan pada tahun 1861 kembali ke
tanah air. Pada tahun 1862 Willem Iskander mendirikan sekolah guru di Tanobato
(Mandailing) dengan jumlah siswa sebanyak 20 siswa. Sekolah guru (kweekchool)
Tanobato menjadi sekolah guru ketiga di Hindia Belanda. Sekolah guru yang
langsung diasuh Willem Iskander dengan bahasa pengantar bahasa Batak (menggunakan
aksara Batak dan aksara Latin) juga di dalam kurikulum diajarkan bahasa Melayu
dan bahasa Belanda.


Seperti dikatakan van der Tuuk dalam surat-suratnya pernah bertemu dengan
Sati Nasotion alias Willem Iskander. Namun tidak diketahui secara tepat apakah
pertemuan itu sebelum atau sesudah Willem Iskander ke Belanda. Yang jelas bahwa,
seperti disebut di atas, HN van der Tuuk menulis tahun 1856 bahwa di dalam
penulisan berbahasa Melayu diperlukan ktiteria (standarisasi). Pada tahun 1863
kamus dan tatabahasa Batak yang dikerjakan van dur Tuuk selesai dan dipublikasikan.
Dalam konteks inilah kemudian HC Klinkert (1864?) melontarkan kritik kepada
penulis-penulis bahasa Melayu yang kemudian menimbulkan polemik bahasa antara
Klinkert di satu sisi dengan GRPF Gonggrijp, JGF Riedel dan N Graafland serta
lainnya di sisi lain. Meski tidak langsung, yang sehaluan dengan Klinkert ini antara
lain adalah HN van der Tuuk (ahli bahasa) dan PJ Veth (ahli geografi).

Lantas bagaimana dengan di wilayah berbahasa Melayu
di wilayah Yurisdiksi Inggris? Sejauh yang dapat ditelusuri kecuali di Singapoera,
belum ada sekolah yang didirikan di wilayah Semenanjung Malaya. Meski demikian,
studi bahasa Melayu sudah ada dilakukan di wilayah yurisdiksi Inggris yang
berbasis di wilayah The Strait Settlement (Penang, Singapoera, plus Malaka dan
Laboehan). Penyelidikan bahasa-bahasa di Hindia Belanda (yurisdiksi Belanda)
dapat dikatakan sudah jauh berkembang. Tidak hanya bahasa Melayu juga bahasa-bahasa
etnik. Semua itu dilarbelakangi kebutuhan kegiatan misionaris lembaga zending
dan pendirian sekolah-sekolah pribumi oleh pemerintah.


Elisa Netscher (7 Desember 1825 – 2 April 1880) adalah pegawai negeri,
residen, gubernur dan penulis berkebangsaan Belanda. Netscher menempuh
pendidikan pegawai dan pada tahun 1848 ditunjuk ke Bagian Urusan Politik di
Sekretariat Umum di Hindia Belanda. Karena pengetahuannya dalam bahasa Melayu,
Netscher berkali-kali ditunjuk sebagai pejabat senior oleh pemerintah, yang
dibebani dengan sokongan politik yang penting. Ia mengunjungi Karesidenan Riau
sebanyak 3 kali (1849, 1856, dan 1857). Pada tahun 1861, Netscher diangkat
sebagai residen Riau dan membuka jalan bagi berdirinya perusahaan-perusahaan
pertanian di Deli dan Langkat. Pada tahun 1870, Netscher diangkat sebagai
gubernur di Pesisir Barat Sumatera. Dengan Surat Keputusan Kerajaan pada
tanggal 16 Maret 1878, ia diangkat sebagai anggota Dewan Hindia. Setelah masa
jabatannya habis, Netscher menerbitkan sejumlah makalah, terutama karya-karya
yang diatasnamakan Perhimpunan Batavia. Karya: 1855. Proeve tot opheldering van
de gronden van de Maleise spelling dan Antwoord op enige opmerkingen en
bedenkingen naar aanleiding der proeve tot opheldering van de gronden der
Maleise spelling. 1863. (bersama dengan J.A. van der Grijs). De munten van
Nederlands Indië beschreven en afgebeeld. Bersama Schwaner. Historische,
geografische en statistische aantekeningen betreffende Taneh Boemboe;
aangetroffen onder de bij het gouvernement van Nederlands Indië berustende
papieren van Schwaner, bewerkt door E. Netscher en H. von de Wall.
(Wikipedia)

Elisa Netscher adalah pejabat yang memulai studi
bahasa Melayu di Riau. Namun yang secara intensif mengambil tugas ini adalah HC
Klinkert,

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top