Sejarah

Sejarah Bahasa (77): Bahasa Melayu Lingga Origin Bahasa? Dialek Bahasa Melayu Riau di Daratan (Sumatra) dan di Riau Kepulauan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Dialek
bahasa Melayu Riau terbagi dua: dialek Riau daratan dan dialek kepulauan Riau.
Bahasa Melayu yang dituturkan di daerah Riau daratan terdiri atas satu dialek
yaitu dialek Pesisir. Sementara wilayah kepulauan yang kini jadi provinsi
sendiri bahkan mencapai 24 dialek. Di pulau/kepulauan Linggfa mengapa banyak
dialek?


Ada 15 Dialek Bahasa Melayu di Kepri. Dedi
Arman. 2018: Berdasarkan peta bahasa Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kemdikbud, ada 15 dialek bahasa Melayu di Kepri: Dialek Pesisir, Dialek Kundur
(Kundur, Karimun), Dialek Bintan-Karimun (Bintan dan Karimun). Dialek Pecong (Kelurahan
Pecong, Kota Batam). Dialek Karas Pulau Abang (Pulau Abang Karas, Batam).
Dialek Malang Rapat-Kelong (Desa Malang Rapat, Bintan dan Desa Kelong, Bintan).
Ada pula Dialek Mantang Lama (Mantang Lama, Bintan). Dialek Rejai (Desa Rejai,
Lingga). Dialek Posek (Posek, Lingga), Dialek Merawang (Merawang, Lingga).
Dialek Berindat Sebelah (Desa Berindat, Lingga). Dialek Arung Ayam (Natuna).
Ada lagi Dialek Kampung Hilir, Dialek Pulau Laut, keduanya di Natuna. Dialek
Ceruk (Bunguran, Natuna). Sementara itu, di Indonesia, bahasa Melayu ada 87
dialek. Di Sumatera Utara ada 11 dialek, Kepri ada 15 dialek, Jambi ada delapan
dialek, Riau hanya satu dialek, yakni Dialek Pesisir. Di Sumsel ada sembilan
dialek Bahasa Melayu. Dialek Bahasa Melayu lainnya ada di DKI Jakarta terdiri
dua dialek, Kalimantan Timur tujuh dialek, NTB satu dialek
. (https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/) 

Lantas bagaimana sejarah bahasa Melayu di
Lingga origin bahasa? Seperti disebut di atas, cukup banyak dialek bahasa
Melayu, di Lingga ada cukup banyak. Mengapa? Bahasa sialek bahasa Melayu di
Riau Daratan dan di Riau Kepulauan. Lalu bagaimana sejarah bahasa Melayu di
Lingga origin bahasa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada
permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.

Bahasa Melayu di Lingga Origin Bahasa? Bahasa Dialek
Bahasa Melayu di Riau Daratan dan di Riau Kepulauan

Apakah ada bahasa Lingga? Yang jelas di pulau/kepulauan
Lingga pada masa ini adalah bahasa Melayu. Bahasa Melayu dialek Lingga?
Bagaimana dengan masa lampau? Yang jelas pada masa lampau, penanda navigasi pelayaran
penting adalah gunung Lingga (kini disebut gunung Daik). Puncak gunung Lingga
adalah tertinggi di kepulauan Riau yang sekarang (1.165 M). Di lereng sebelah
tenggara gunung Lingga di wilayah pesisir diidentifikasi suatu pemukiman (Peta
1855). Pemukiman lain yang diindentifikasi adalah Singapoera.


Apa arti gunung Lingga dan puncaknya? Namanya waktu itu adalah gunung
Linggga. Belum disebut gunung Daik. Nama gunung sesuai dengan nama pulau. Di
wilayah kepulauaan Riau dari pulau Singkep di selatan hingga pulau Singapoera
di utara yang tertinggi adalah gunung Lingga. Selain penanda navigasi, gunung
dan puncak gunung tinggi di masa lampau dihubungkan dengan kehidupan,
pemukiman, kelompok populasi dan peradaban. Peta 1855

•Pulau Lingga. Ibu kotanya,
Koewala-Dai, terletak di bagian selatan pulau, sebelah barat gunung
Tanjong-Hiang di tepi sungai. Sultan
berkedudukan di tempat itu (lihat Journal de La Haye, 28-06-1843).
Disebutkan pelabuhannya bagus dan luas serta tampak seperti teluk. Penduduknya
banyak karena terjaminnya tempat berlabuh bagi para nelayan. Inilah tempat
paling menakjubkan di pulau itu.


Hujan turun hampir setiap hari, yang menyejukkan penduduknya, namun
membuat malam menjadi cukup dingin. Udara di sana sangat sehat dan sedikit
penyakit. Yang paling menonjol di sana adalah yang
ramah yang mungkin berasal dari cara hidup penduduknya. Pulau ini berbukit dan
berhutan. Sebuah barisan pegunungan membelahnya di tengah dari timur ke barat.
Gunung ini cukup tinggi dan terletak beberapa mil dari pantai. Kami menemukan
di hutan berbagai jenis kayu yang digunakan untuk pembuatan kapal seperti atau
kegunaan lainnya. Pesisir selatan umumnya datar dan berawa dan ditutupi oleh
setiap pasang surut. Tanahnya banyak mengandung tambang timah.
Sungai utama bermuara di
bagian selatan pulau dimana terus-menerus berlabuh disana beberapa kapal jung
Siam dan banyak perahu asli, Di muara sungai terdapat baterai tertutup, terdiri
dari 20 hingga 24 ruangan, yang sepenuhnya mengontrol pintu masuk sungai. Setengah
jam kami menyusuri sungai, kami sampai di sebuah kampung atau perkampungan
Tionghoa yang letaknya di tepi kiri sungai.
Sungguh mengejutkan bahwa
pulau ini, seperti beberapa pulau tetangga lainnya, tidak menghasilkan bamboo. Rumah
disini menggunakan kadjang dan niebong. Rumah-rumah ini sama bagusnya dengan
rumah daei bambou, lebih murah, tapi juga kurang tahan lama. Di sebelah kampong
Cina dimulailah kota/kampong orang Melayu.
Rumah-rumahnya jarang
terisolasi, hampir selalu berkelompok.
Istana sultan berjarak dua
mil dari sungai.
Kami tiba di sana melalui jalan yang cukup lebar,
yang merupakan pengecualian, karena jalur lain, sebenarnya, hanyalah jalan
setapak.
Populasi diperkirakan mencapai 9.000 hingga 10.000 jiwa, termasuk 6.000
jiwa di ibu kota dan sisanya di tempat lain di pulau itu.
Di antara penduduk ibu kota
ada 4 hingga 500 orang Cina.

Lebih lanjut disebutkan, populasi pulau Lingga mereka dapat dianggap sebagai suku aborigin (suku asli), karena mereka merupakan keturunan langsung dari
koloni induk masyarakat tersebut
(Sumatra), yang
menetap di bagian selatan pulau.


Melayu berasal dari pulau Sumatera,
mereka tinggal disana di suatu wilayah di pedalaman
yang disebut Minang Kaboe, dekat gunung Maha-Meroe, yang hingga
saat ini masih dihuni oleh suku yang menyandang nama yang sama. Sebagian dari
masyarakat ini meninggalkan koloni ini, sekitar pertengahan abad ke-12
di bawah kepemimpinan
pemimpin mereka Demang Lebar Daoun dan seorang yang disebut Sri Tueri Doewana.
Mungkin Sri Toeri Boewana
ini adalah seorang petualang yang ditempatkan sebagai ketua rombongan yang ingin
melepaskan diri dari dominasi Menang Kaboe
tidak melihat cara yang
lebih baik untuk mencapai tujuannya selain emigrasi, baik itu Sri Toeri Boewana
yang telah menikah dengan putri Demang Lebar Daoun berangkat bersama ayah
mertuanya dan banyak orang Melayu, menyusuri sungai dan meninggalkan Sumatera.
Para emigran ini, mendarat di sebuah pulau di sekitar Semenanjung Malaya, dimana
mereka mendirikan sebuah kota yang mereka beri nama Singapura.
Pusat pemerintahan Melayu
tetap berdiri selama satu abad di Singapura.
Orang Jawa merebut Singapura
dan Sultan terpaksa mengungsi ke barat dimana sebagian besar rakyatnya
mengikutinya untuk menghindari perbudakan. Mereka mencari tanah air lain dan
mendirikan koloni baru, di tepi sungai, yang mereka beri nama Malaka.

Dalam kisah (babad) yang disebut populasi asli di
pulau Bangka berasal orang Melayu dari pedalaman Sumatra (seperti halnya Melayu
di Singapoera dan Malaka) dan dalam perkembangannya kemudian muncul kukuatan lain
dari Jawa. Lalu bahasa apa yang digunakan di Lingga dari waktu ke waktu? Yang
jelas dari nama pulau dan nama gunung merujuk pada era Hindoe (lingga).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Dialek Bahasa Melayu di Riau Daratan dan di
Riau Kepulauan: Mengapa Banyak Dialek Bahasa Melayu di Lingga?

Traktat London 1824 telah memisahkan Semenanjung Malaya dan
Riau. Perbatasannya di selat Singapoera yang memisahkan pulau Singapoera dan
pulau Bintan. Pemerintah Hindia Belanda berkedudukan di Tandjoeng Pinang di
pulau Bintan. Meski demikian, pemimpin lokal Riau tidak berkedudukan di pulau
Bintan, tetapi tetap berkedudukan di pulau Lingga. Untuk mewakili kepentingan
Sultan Lingga dilakukan oleh Sultan Moeda di pulau Panyengat.
Namun pada tahun 1857 secara defacto
Kesultanan Lingga tamat. Hal ini karena ada perselisihan antara sultan Lingga
dan sultan muda di Riau (pulau Panyengat). Perselisihan ini berimbas pada
munculnya kebencian Lingga pada Pemerintah Hindia Belanda di Riau di pulau
Bintan. Sultan Machmud Mutliafar Shah disingkirkan dan digantikan oleh
Soeleiman Badaroel Alam Shah sejak Oktober 1857. Untuk posisi sultan Muda di
Riau belum diangkat.


Nieuw Amsterdamsch handels- en effectenblad, 04-12-1857: Laporan terbaru dari Hindia Belanda melaporkan bahwa Gubernur Jenderal, dengan keputusan
tanggal 23 September
yang lalu telah
menyatakan
Sultan Machmud Mutliafar Shah
disingkirkan dari wilayah kekuasaan
Kerajaan Lingga, Riouw. Sehubungan dengan laporan
penting ini, kami dapat menambahkan, dari korespondensi pribadi, yang telah
kami komunikasikan:
Karena perilakunya yang
tercela, baik terhadap Residen van Riouw, maupun terhadap
orang Penjingat, Sultan Lingga dirampas
martabatnya oleh
Gubernur Jenderal dan diangkat sebagai
penjabat raja muda Riouw, Radja Abdulla
,  saudara
laki-laki
Raja Alie Hadji almarhum. Baik deposisi sultan
dan pengangkatan raja tersebut telah diumumkan pada saat publikasi, di seluruh
reasidentie (Riau). Pernyataan sultan menjadi
miliknya pada 6 Oktober
yang lalu diumumkan di Singapura, selanjutnya pada hari yang sama, kapal uap
Celebes, bersama
E Netscher dan van de Wall,
telah berangkat untuk menyampaikan kabar yang fatal kepadanya. Sultan sedang
berada di rumah Curicdjie, dan, seperti yang kudengar, dia mendengar
keputusannya dengan sangat tidak peduli, tanpa berbicara sepatah kata pun
dengan tuan-tuan ini. Keesokan harinya, setelah kembali ke R
iouw, Celebes kembali ke Lingga,
dengan Residen dan Radja Abdulla
Hadji, bersama
dengan rombongannya, serta
E Netscher
dan van de Wall, dan dua puluh lima tentara Eropa. Beberapa jam kemudian
melihat sultan, yang berangkat ke Lingga dengan tiga prahu (bejana panjang),
dan seperti yang saya ketahui kemudian – sangat pahit tentang pernyataannya,
yang, bagaimanapun, persetujuan umum diberikan dan terutama pada orang-orang
hebat di Lingga, yang sudah lama lelah dengan tindakan bodoh dan konyol, tetapi
lebih khusus lagi kezalimannya yang tak tertahankan, karena penduduk, di bawah
otoritas langsungnya, telah jatuh jauh ke dalam kerusakan dan kesengsaraan.
Saat ini saya mendengar bahwa
Radja Muda
dari Lingga, setelah pencalonan Radja Abdulla Hadjie, saudara iparnya, telah
diangkat menjadi
Sultan Lingga. Baik pilihan ini
dan pilihan raja muda baru sama-sama dipuji. Namun, pernyataan
clen Sultan Machmud tidak akan
ditahan oleh ini; tetapi semua upaya balas dendam yang dilakukan pasti akan
berguna dan sia-sia baginya, karena orang-orang hebat di Pinjingat, seperti
mayoritas penduduk Ling
ga
sangat muak dengannya
. Foto: Sultan van Lingga en
Riouw, Soeleiman Badroe Alamsjah (1867)

Apa yang terjadi dengan Sultan
Lingga dite
mukan di berbagai tempat, di
Mataram, di Bali, di Lombok dan sebagainya. Perjanjian awal dengan Pemerintah
Hindia Belanda dilanggar (perdamaian dan keamanan wilayah) karena munculnya
perselisihan diantara para penguasa lokal
. Sultan Lingga tamat. Masa lanmpua Lingga berakhir.
Kini, Bintan yang promosi (karena telah menjadi ibukota residentie Riau).


Seperti disebut di atas, ada dialek-dialek bahasa Melayu yang berbeda di
kepulauan Riau.
Dialek
Bintan-Karimun (Bintan dan Karimun)
dan Dialek
Malang Rapat-Kelong (Desa Malang Rapat
dan Desa
Kelong, Bintan)
; Dialek Mantang Lama (Mantang
Lama, Bintan). Dialek Rejai (Desa Rejai, Lingga). Dialek Posek (Posek, Lingga),
Dialek Merawang (Merawang, Lingga). Dialek Berindat Sebelah (Desa Berindat,
Lingga).
Dalam hal ini di pulau/kepulauan
Bintang ada beberapa dialek, demikian juga di pulau/kepulauan Lingga ada
beberapa dialek bahasa Melayu.

Suatu dialek bahasa terbentuk karena bahasa yang
sama berbeda secara geografis. Namun jika terdapat dialek-dialek di wilayah
geografis yang sama, diduga terbentuk karena asal-usul kelompok populasi.
Diantara kelompok-kelompok populasi yang berbeda dialek dari bahasa yang sama, salah
satu diantaranya ada yang lebih tua (asli) dan yang lainnya sebagai pendatang
(datang sesudah yang lainnya). Lantas bagaimana dialek-dialek di pulau/kepulauan
Lingga;
Dialek
Rejai
, Dialek Posek, Dialek Merawang dan Dialek Berindat Sebelah.


Dialek Rejai di pulau Sebangka di utara pulau Lingga; Dialek Posek di pulau
Posik di sebelah barat pulau Lingga; Dialek Merawng di pulau Lingga di wilayah
Daik. Dialek Berindat di pulau Singkep. Seberapa besar perbedaan/kemiripan
dialek-dialek di kabupaten Lingga?

Besar dugaan dialek Merawang diduga adalah dialek
bahasa Melayu terawal di (kabupaten) Lingga. Suatu dialek bahasa Melayu yang
telah terbentuk sejak masa lampau, bahkan sejak nama Lingga itu sendiri muncul.
Dalan hal ini ini nama Lingga adalah nama gunung dan juga menjadi nama pulau.


Hasil studi Mini Andriani (2023) bahwa daerah yang memiliki perbedaan
isolek adalah daerah Senayang (pulau Sebangka) dan Kelumu (pulau Lingga).
Senayang memiliki perbedaan wicara dengan Panggak Darat: 21.62%, sedangkan
Kelumu memiliki perbedaan subddialek pada semua daerah DP yang diperbandingkan
dengan persentase di atas 44%. Berdasarkan penghitungan leksikostatistik,
status kekerabatan bahasa Melayu Lingga bahwa bahasa Melayu Lingga di daerah
daratan memiliki hubungan kekerabatan bahasa yang lebih dekat dengan daerah
pesisir, tetapi lebih jauh dengan daerah Kelumu dengan perbandingan di atas
35%. Dengan demikian, bahasa Melayu Lingga dapat dikelompokkan ke dalam 2
kelompok bahasa yaitu; Melayu Darat Pesisir (MDP) dan Melayu Suku Laut (MSL). Beberapa
penanda bahasa Lingga Darat-Pesisir adalah ‘aok; dan ‘ikak’.

Jika bahasa Melayu di Lingga berasal dari (pedalaman)
Sumatra, seberapa jauh pulau Lingga dengan pulau Sumatra? Pada masa ini pulau
Lingga secara geografis cukup dekat dengan pulau Sumatra. Itu masa kini. Bagaimana
dengan masa lampau? Secara geomorfologis, di masa lampau antara pulau Sumatra
dan pulau Lingga berjauhan. Proses sedimentasi jangka panjang terlah terjadi
pantai timur Sumatra. Penanda navigasi pelayaran jaman kuno di pulau Lingga
adalah gunung Lingga di pulau Lingga, sementara di pulau Sumatra adalah
pegunungan Tigapuluh.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top