Sejarah

Sejarah Bahasa (95): Bahasa Abung Wilayah Lampung; Bahasa Lampung di Pedalaman, Bahasa Melayu di Wilayah Pesisir Pantai

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku
Abung merupakan bagian/puak dari suku Lampung. Suku Abung tersebar di sebelah
utara berbatasan dengan Sungkai dan Way Kanan, sebelah barat berbatasan dengan
daerah Lampung Barat, sebelah selatannya berbatasan dengan Lampung Selatan, dan
sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Suku Abung sering disebut juga Abung
Bunga Mayang. Bahasa Abung masih termasuk rumpun Melayu.


Pronomina
dialek Lampung Abung. HM Junaiyah. 1993. Abstrak. Bahasa Lampung dipakai di
Propinsi Lampung. Bahasa Lampung terdiri atas dua dialek, dialek Nyo ‘apa’ atau
dialek Api ‘apa’ (Van Roijen 1930), dialek O dan A (Hadikesuma 1988 atau dialek
Abung dan dialek Pesisir (Walker 1976). Nama dialek Pesisir dan dialek Abung
yang diberikan Walker sesuai dengan nama yang diberikan oleh penutur asli itu
sendiri. Dialek Abung digunakan di (1) Kabupaten Lampung Utara, yaitu meliputi
Kecamatan Kotabumi, Kecamatan Abung Besar, Kecamatan Abung Barat, Kecamatan
Abung Timur, dan Kecamatan Abung Selatan; (2) Kabupaten Lampung Tengah, yang
meliputi Kecamatan Sukadana, Kecamatan Gunung Balak, Kecamatan Gunung Sugih,
Kecamatan Wai Jepara, Kecamatan Seputih Surabaya, Kecamatan Seputih Mataram,
Kecamatan Terbanggi Besar, dan Kecamatan Padang Ram; (3) Kabupaten Lampung
Selatan terdapat di dua buah desa, yaitu di desa Muara Putih, Negara Ratu,
Kecamatan Natar; (4) Kotamadia Bandar Lampung, yaitu di desa Jagabaya, Gunung
Agung, Gedung Meneng, Rajabasa, dan Labuhan Ratu
. (https://lib.ui.ac.id/)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Abung di wilayah
Lampung? Seperti disebut di atas bahasa Abung adalah dialek bahasa Lampung. Bahasa
Lampung di pedalaman, bahasa Melayu di pesisir pantai. Lalu bagaimana sejarah bahasa
Abung di wilayah Lampung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada
permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.

Bahasa Abung di Wilayah Lampung; Bahasa Lampung di
Pedalaman, Bahasa Melayu di Pesisir Pantai 

Nama Abung tentu saja sudah lama dikenal. William
Marsden (1781) sudah menyebut nama kelompok populaso Aboeng di dekat (gunung)
Samangka (dekat selat Sunda). Lalu kemudian tentang orang Aboeng ditulis tahun
1842. Deskripsi tentang orang Aboeng tersebut berjudul ‘De Uitroejing der Orang
Aboeng in de Lampongs op Sumatra’ yang diterbitkan dalam Tijdschrift voor
Nederlandsch-Indie, 1842.

 

Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (Jurnal Hindia Belanda) adalah
majalah berbahasa Belanda yang diinisiasi tahun 1838 oleh Dr WR van Hoëvell,
pendeta Belanda yang bekerja di Batavia. Majalah ini menerbitkan kajian ilmiah
bertema geografi, bahasa, dan cultuurstelsel serta artikel tentang masyarakat
dan politik. Majalah ini berhenti terbit sementara ketika Van Hoëvell
dipulangkan ke Belanda. Majalah kembali terbit saat ia kembali tahun 1849 dan
menjadi redaktur sampai 1862. Majalah ini berhenti terbit pada tahun 1894.
(Wikipedia)

Deskripsi tahun 1842 ini dimana orang Aboeng berada
masih disebut di dekat (gunung) Samangka. Boleh jadi apa yang ditulis tahun
1842 masih merujuk pada Marsden, namun suah disebutkan adanya dua kampong.
Orang Aboeng ini sudah lama berinteraksi dengan pangeran Banten. Oleh karena
itu orang Aboeng yang berada di sekitar wilayah pantai dapat dikatakan sudah
terbuka dengan dunia luar.


Orang Aboeng di dua kampong yang dekat dengan pantai ini merupakan orang
Aboeng yang berselisih dan migrasi dari pedalaman ke dekat wilayah pesisir
(yang kemudian berada di bawah pengeran Banten). Disebutkan orang Aboeng di
pedalaman jaraknya tiga hari perjalanan, melalui hutan yang tidak berpenghuni,
yang terdapat di berbagai kampong yang berjauhan. Kelompok populasi di wilayah
pesisir menyebut mereka orang Aboeng, yang dianggap rendah karena orang gunung.
 

Gambaran tentang wilayah orang Aboeng di pedalaman
dideskripsikan oleh Zollinger yang dimuat dalam Tijdschrift voor
Nederlandsch-Indie, 1847. Saat kunjungan Zollinger ini ke pedalaman sudah ada
pejabat Pemerintah Hindia Belanda yang ditempatkan di Tarabangie. Zollinger juga
melakukan kunjungan ke Manggala (suatu kota/perkampongan besar yang dapat
diakses dari muara sungai Toelang Bawang). Zollinger dari Tarabangie
(Terbanggi) melakukan perjalanan hingga ke Tigenningang (Tegineneng) hingga ke
selatan di Telok Betong. Menurut Zollinger kelompok populasi beragama Islam.


Pada masa ini, seperti disebutkan dalam artikel sebelumnya, dari berbagai
kelompok populasi di wilayah pedalaman masih banyak yang memiliki kepercayaan
tradisi seperti Komering, Ogan, Kikim dan Pasemah. Kelompok-kelompok populasi
di pedalaman ini memiliki bahasa sendiri-sendiri dengan aksara tradisi
masing-masing. Pengaruh Islam di wilayah pesisir Lampung terutama di selatan
hingga di Menggala (Toelang Bawang) karena pengaruh Banten sejak masa lampau.

Tarabangi adalah kota utama di pedalaman wilayah
Lampong, kota/kampong besar yang berada di tengah wilayah Lampoeng. Saat
kunjungan Zollinger ini Tarabangi adalah ibu kota dimana pejabat Pemerintah
Hindia Belanda setingkat Controleur berkedudukan yang dilengkapi dengan sebuah
benteng. Zollinger juga mengunjungi Goenoeng Batin dimana terdapat dua kampong
dari orang Abdoeng (di Jawa disebut orang goenoeng).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bahasa Lampung di Pedalaman, Bahasa Melayu di Pesisir
Pantai: Asal Usul dan Terbentuknya Bahasa Abung

Bagaimana dengan bahasa Aboeng? Seperti disebut di
atas, Zollinger juga mengikuti pendpat sebelumnya bahwa orang Aboeng adalah
kelompok populasi yang bermigrasi ke wilayah rendah dari wilayah pegunungan.
Kelompok populasi Aboeng ini terdesak oleh kelompok populasi lainnya di wilayah
pedalaman. Kelompok populasi di wilayah rendah (dataran rendah) orang Aboeng disebut
sebagai orang goenoeng, kelompok populasi yang berasal dari pedalaman.


Zollinger (1847) juga mendeskripsikan perihal bahasa di wilayah Lampoeng
Districten. Bahkan Zollinger juga menyusun kamus kecil bahasa Lampong. Yang
tidak kurang penting, Zollinger juga menyalin aksara Lampoeng dalam aksara Latin.
Deskripsi Lampoeng oleh Zollinger dapat dikatakan yang terlengkap sejauh ini.
Sementara itu TJ Willer juga telah menyalin aksara Barak Angkola/Mandailing
yang dilampirkan dalam laporannya tahun 1846. Aksara Lampung dan aksara
Angkola/Mandailing ada kemiripan. Bagaimana bisa? Aksara di wilayah Lampoeng sendiri
memiliki kesamaan meski ada beberapa variasi karena penulisnya. Disebutkan,
hanya di Croei ditemukan buku yang berisi obat dan tanaman. Suatu buku yang
umum ditemukan di wilayah Batak. Aksara Batak mirip dengan aksara Poenisia (lihat
Schroeder, 1927). Zatatan: Zollinger dan Schoeder sama-sama sarjana berdarah Jerman.Zollinger
sebelumnya telah melakukan kunjungan ke Bali dan Lombok (1846); sementara Schroeder
ke Nias.

Bahasa Abung adalah salah satu dialek dari bahasa
Lampong. Dalam hal ini bahasa Lampung adalah nama umum untuk semua
dialek-dialek bahasa di Lampong districten. Semua dialek ini memiliki aksara
yang mirip satu sama lain dengan variasnya. Perlu ditambahkan kelompok populasi
yang memiliki kemiripan bahasa dan aksara sama-sama menjalankan adat djoedjoer
(suatu adat yang juga ditemukan di Tanah Batak).


Orang Batak tidak mengenal bilangan tahun. Mengapa? Agama Islam mengenal Hijiriah,
agama Kristen dengan Masehi dan orang Jawa Kuno dengan tahun Saka. Satu tahun
memiliki 12 bulan. Orang Batak juga tidak mengenal bilangan minggu. Mengapa?  Hanya mengenal satu bulan adalah 30 hari. Satu
yang tidak kalah penting, orang Batak memiliki nama untuk bilangan jam. Mengapa?
Lantas bagaimana dengan di Lampoeng. Idem dito. Orang Lampoeng juga memiliki
nama bilangan jam (sebutannya mirip bahasa Batak tetapi dalam bahasa Jawa;
mungkin karena pengaruh Banten?).

Bahasa Lampong banyak memiliki kemiripan dengan
bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Namun diantara sejumlah kosa kata Lampung ada
kosa kata elementer yang mirip dengan bahasa Batak seperti bulung (daun); balu
(janda), balak (besar), bura (buih), ukkap (buka), disan (disana), lappa (jalan)
dan
 dang (tidak).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur.
Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top