Sejarah

Sejarah Banyumas (7): Bahasa di Wilayah Budaya Banyumas; Dialek “Banyumasan” di Batas Budaya Sunda-Jawa di Pantai Selatan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Bahasa
menunjukkan bangsa, dialek mengindikasikan suku. Seperti halnya bahasa Batak, bahasa
Jawa juga memiliki dialek-dialek. Salah satu dialek bahasa Jawa adalah bahasa/dialek
Baanyumasan. Dialek Banyumasan ini tersebar luas di eks Residentie Banjoemas antara
lain: Bumiayu, Karang Pucung, Cilacap, Nusakambangan, Kroya, Ajibarang,
Gumelar, Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari, Banjarnegara, Wonosobo, Sumpiuh,
Kebumen dan Gombong. Wilayah bahasa ini berada diantara batas buda Sunda dan
Jawa di pantai selatan Jawa.

 

Bahasa
Jawa Banyumasan, Basa Panginyongan atau Basa Ngapak adalah satu dialek bahasa (Jawa)
dituturkan di wilayah eks-Keresidenan Banyumas (Jawa Tengah) plus di kecamatan
Lakbok, kabupaten Ciamis (Jawa Barat). Bahasa ini merupakan bahasa digunakan
mayoritas Orang Jawa pada peradaban Jawa lama. Disebutkan sebagai bagian dari
bahasa Jawa, bahasa Banyumasan mengalami perkembangan: abad ke 9-13 sebagai
bagian dari bahasa Jawa kuno; abad ke 13-16 berkembang menjadi bahasa Jawa abad
pertengahan; abad ke 16-20 berkembang menjadi bahasa/dialek Banyumasan (terpisah
jauh dengan dialek wetan dan tengah). Perkembangannya dipengaruhi kerajaan-kerajaan
di pulau Jawa yang melahirkan tingkatan bahasa atas status sosial. Namun pengaruh
budaya feodal tidak terlalu signifikan menerpa masyarakat di wilayah
Banyumasan. Masih banyak kosakata bahasa Jawa Kuno di dalam bahasa Banyumasan.
Itulah sebabnya berbeda mencolok antara bahasa Banyumasan dengan bahasa Jawa
standar. Sementara itu ada 4 dialek utama bahasa Jawa di bagian barat: Wilayah
Utara (Tegalan), Wilayah Selatan (Banyumasan), Wilayah Cirebon – Indramayu
(Dermayonan) dan Banten Utara. Dialek Banyumasan dituturkan, antara lain di Bumiayu,
Karang Pucung, Cilacap, Nusakambangan, Kroya, Ajibarang, Gumelar, Purwokerto,
Purbalingga, Bobotsari, Banjarnegara Wonosobo, Sumpiuh, Kebumen dan Gombong.
(Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah bahasa di wilayah budaya
Banyumas? Seperti disebut di atas di wilayah eks Residentie Banjoemas terdapat
dialek bahasa yang kini dikenal bahasa/dialek Banyumasan. Secara khusus dialek
Banyumasan ini berada di batas budaya Sunda dan Jawa di pantai selatan Jawa. Lalu
bagaimana sejarah bahasa di wilayah budaya Banyumas? Seperti kata ahli sejarah
tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.

Bahasa di Wilayah Budaya Banyumas; Dialek Banyumasan
Batas Budaya Sunda dan Jawa di Pantai Selatan

Sudah beberapa waktu, pada era Pemerintah Hindia
Belanda, pemerhati bahasa, khususnya bahasa Jawa menyadari ada perbedaan antara
penggunaan bahasa di wilayah (residentie) Banjoemas dengan di residentie
tetangga (Bagelen, Kedoe, Jogjakarta dan Soerakarta). Namun itu menjadi perhatian
seorang pemerhati bahasa VC Vreede yang mengangap bahasa yang didunakan di
wilayah Banjoemas adalah dialek tersediri yang disebut diaclect van Banjoemas (lihat
Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1884).
Perbedaan yang ditunjukkan VC Vreede bersifat gramatikal.


Sejak itu mulai muncul studi-studi lebih lanjut dari bahasa Jawa. Secara linguistic
bahasa Jawa yang memiliki aksara sendiri terbilang sangat luas di seluruh pulau
Jawa. Studi bahasa Jawa sudah dimulai sejak 1817 ketika Java Instituut dibuka di
Soerakarta. Lembaga ini didirikan untuk mengajarkan bahasa Jawa diantara orang
Eropa/Belanda sebelum bertugas di lingkungan Jawa yang minim pengaruh bahasa
Melayu termasuk di di wilayah Kedoe dan Bagelen. Sejauh ini untuk waktu tertenttu
hanya mempelajari bahasa yuang bersifat praktis. Ketika lebih lanjut mulai menarik
perhatian ahli bahasa di Belanda, secara linguistic bahasa Jawa dipelajari
hingga seorang pemerhati bahasa (Jawa) mulai mengindentifikasi perbedaan dialek
di wilayah Banjoemas (dialect van Banjoemas) seperti disebut di atas (VC
Vreede). Para penginjil juga mulai berpartisipasi soal dialek ini karena perbedaan
dialek itu menjadi komunikasi yang dianggap penting. Perbedaan bahasa (dialek) Jaw
aini juga kemudian menjadi menarik perhatian pemerhati bahasa di Pasoeroean dan
Malang yang mengindentifikasi ada perbedaan dengan bahasa Jawa standar di Solo
(lihat Het Javaansch van Malang-Pasoeroehan, 1900) Dalam pembahasan kemudian
juga ditemuk dialect Chirebon serta dialect Djapara dan dialect Tegal (dua yang
terakhir oleh AHJO Walbeehm).

VC Vreede dalam analisis bahasa Jawa tidak hanya
menggunakan teks semasa, tetapi juga mulai menggunakan teks-teks lama (bahasa
Jawa) yang ditulis dalam aksara Jawa tentang ceritra yang sama (wayang) tetapi dengan
membandingkan teks yang berasal dari satu tempat dengan tempat yang lain. Pemahaman
ini oleh pemerhari bahasa berikutnya dimaksudkan untuk mengidentifikasi
perbedaan dialect-dialect bahasa termasuk dalam hal ini dialect Banjoemas (Babad
Banjoemas) dengan bahasa Jawa (standar di Soerakarta).


Perkembangan studi bahasa-bahasa terus mendapat perhatian di dalam bahasa
Jawa. Perahtian juga ditujukan pada dialek-dialek tertentu termasuk dialek
Banjopemas. Pada tahun 1924, pemerhati bahasa BJ Esser menerbitkan makalahnya
yang dimuat dalam Verh. Bat. Oen. 1926. 68. Ie stuk dengan judul: ‘Het dialect
van Banjoemas, inzonderheid zooals dit inde Regentschappen Poerbolinggo en
Poerwokerto gesproken wordt’.

Hasil studi BJ Esser juga telah menjadi perhatian
umum sebagaiman diberitakan dalam De locomotief, 10-01-1928. Ini
mengindikasikan bahwa dialek Banjoemas tidak hanya telah mendapat pengkuan dari
para pemerhati bahasa juga menjadi penting bagi pengetahuan umum. Dialek
(bahasa) Banjoemas menemukan tempatnya sendiri dalam bahasa-bahasa asli di
Indonesia.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Dialek Banyumasan Batas Budaya Sunda dan Jawa di
Pantai Selatan: Bagaimana Dialek Banyumasan Terbentuk dan Tetap Eksis?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 



















*Akhir
Matua Harahap
, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur.
Saya
sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah
dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog
ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish).
Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top