Sejarah

Sejarah Bekasi (24): Sejarah Rawalumbu, Apakah Ada Sejarahnya? Rawa Panjang, Bojong Menteng dan Kanal Rawalumbu




false
IN




























































































































































false
IN



























































































































































Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.

Kanal Rawalumbu

Sungai dan rawa adalah timbul karena pengaruh
alami dan terbentuk secara alamiah. Sungai yang meluap dan banjir bandang dapat
menimbulkan rawa. Sungai mengalirkan air, rawa menyimpan air. Di daerah aliran
sungai Bekasi ditemukan banyak rawa. Ada rawa gede dan ada rawa panjang. Rawa
yang bentuknya panjang diduga sebuah bekas aliran sungai (sungai kuno atau
sungai baru yang timbul dari pengaruh banjir bandang atau banjir yang deras).
Dalam hal ini, sungai dan rawa dapat menjadi sumber air (irigasi), yakni dengan
cara membendung sungai atau rawa dan membuat saluran ke hilir (kanal).
Kota Bekasi (Peta 1901)

Rawa
Loemboe bukanlah rawa Pandjang. Besar dugaan dua rawa ini terkait dengan sungai
Bekasi di jaman lampau. Kedua rawa ini berada di sisi timur sungai Bekasi. Rawa
Pandjang berada di arah hilir sedangkan rawa Loemboe berada di hulu. Rawa
Pandjang adalah rawa ramping yang airnya cukup dalam, sedangkan rawa Loemboe
adalah rawa yang sangat luas dan dangkal yang hampir seluruh rawa dapat kering
di musim kemarau. Penduduk yang bermukim di sisi rawa Pandjang lambat laun menamakan
tempat tingga mereka sebagai kampong Rawapandjang. Rawa Loembo tidak dijadikan
sebagai perkampungan. Hal ini karena rawa ini cukup luas tetapi penduduk menjadikan
sebagian permuaan rawa untuk persawahan. Besar dugaan penduduk kampong
Rawapandjang bersawah di rawa Loemboe. Sementara pekampongan yang muncul tidak
jauh dari rawa Loemboe adalah kampong Pengasinan (di sisi timur rawa).   

Rawa Loemboe termasuk wilayah land Bekasi Oost.
Sungai Bekasi adalah batas antara land Bekasi Oost dengan land Bekasi West.
Kota Bekasi bermula di sisi barat sungai Bekasi (land Bekasi West) tetapi
kemudian pasar dibangun di sisi timur sungai (land Bekasi Oost). Jadi, kota
Bekasi adalah area diantara land Bekasi West dengan land Bekasi Oost. Rawa
Loemboe tidak jauh dari kota Bekasi di arah hulu (jalan dari pasar Bekasi
menuju Tjilengsi)..
Banyak
jalan darat dari dan ke kota Bekasi. Ke barat laut ke Krandji dan Meester
Cornelis (Betavia); ke barat daya ke Pendok Gede melalui Pekajon; ke utara ke
Babelan terus ke laut, ke timur ke arah Tamboen terus ke Tjikarang dan
Kedoeng Gede. Dari kota Bekasi ke selatan menuju Bantar Gebang dan Tjilengsi.
Jalan yang ke selatan ini melalui sisi barat rawa Loemboe. Jalan ini berada di
antara sungai Bekasi dan rawa Loemboe.
Sepanjang jalan ke selatan antara (kota) Bekasi
dengan (kota) Tjilengsi terdapat sejumlah nama tempat yang diduga nama-nama
kampong lama seperti kampong Rawapandjang, kampong Oedjoeng Menteng dan kampong
Bantar Gebang. Konon, kampong Bantar Gebang adalah kota kuno yang menjadi
kampong/kota tertua di District Bekasi.
Kanal Bantar Gebang (Peta 1901)

Sebelum
terbentuk pemerintahan (Hindia Belanda), di sisi barat maupun sisi timur sungai
Bekasi sudah terbentuk tanah-tanah partikelir (land) sejak era VOC. Land tertua
adalah land Becassie yang diakses dari laut melalui sungai Bekasi. Land pionir
ini dibuka oleh Jeremias van Riemsdijk. Dalam perkembangannya land utama ini
dipecah-pecah dan diperjualbelikan seperti terbentuknya land Doea Ratoes, land
Bekasi West, land Bekasi Oost, land Pondok Potjoeng dan land Babelan. Setelah
VOC dibubarkan dan diakuisisi Kerajaan Belanda maka dibentuk Pemerintahan
Hindia Belanda. Residentie Batavia terdiri dari lima afdeeling: Stad en
Vorsteden, Meester Cornelis, Tangerang, Buitenzorg dan Becassie. Unit wilayah
terkecil di afdeeling, seperti Afdeeling Becassie adalah land yang banyaknya
puluhan mulai dari batas sungai Tjakoeng/sungai Soenter di barat hingga batas
sungai Tjitaroem di sebelah timur. Afdeeling Becassie kemudian disebut District
Bekassie.
Afdeeling Becassie kemudian disebut District Bekassie yang dipimpin oleh
seorang Schout.

Kampong/kota Bantar Gebang dan Bodjong Menteng
adalah dua kampong besar di selatan land Bekasi Oost. Land Bantar Gebang
berbatasan langsung dengan land Tjilengsi. Sebagian wilayah Bantar Gebang (lihat
Peta 1901) masuk wilayah Afdeeling Bekasi (land Bekasi Oost) dan sebagian yang lain
menjadi wilayah land Tjilengsi, district Tjibaroesa, Afdeeling Buitenzorg.
Kampong Bodjong Menteng tepat berada di pertemuan sungai Tjilengsi dengan
sungai Tjikeas yang ke hilir disebut sungai Bekasi. Bodjong Menteng berada di
sisi timur sungai Bekasi (land Bekasi Oost), di sisi barat sungai terdapat kampong
Pondok Benda (land Pondok Gede, district Bekasi).

Pertemuan sungai Tjilengsi dan sungai Tjikeas (sungai Bekasi)

Sebagaimana
dapat dilihat pada Peta 1901, tepat berada di hulu sungai Tjikeas di sungai
Tjilengsi di Bantar Gebang dibangun bendungan. Dari bendungan ini  dibuat saluran air (kanal) ke arah timur
(hingga menuju Tjikarang). Bendungan Bantar Gebang ini diduga telah hancur dan
kanal irigasi tersebut lambat laun menghilang ditelan waktu. Pada peta jaman
Now (googlemaps) tanda-tanda bendungan dan kanal tidak terlihat lagi. Ada
sesuatu warisan yang hilang di Bantar Gebang. Bendungan dan kanal Bantar Gebang
ini diduga adalah bendungan dan kanal kuno, suatu instrumen pengendali banjir
di sungai Bekasi dan sumber air bersih untuk pertanian (irigasi). Bendungan dan
kanal ini telah ditingkatkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, namun kini tidak
berbekas. Bantar Gebang di masa lampau adalah sentra beras (tapi kini menjadi
sentra bau keras).

Kemakmuran di Bodjong Menteng dan Bantar Gebang
sempat memunculkan gagasan dan telah dibuat rencana pembangunan jalur rel
kereta api dari kota Bekasi ke Bodjong Menteng (lihat De locomotief : Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 03-07-1899). Disebutkan rencana rel kereta api
ini mulai dari kota Bekasi melewati Bodjoeng Menteng, Tjilengsi, Poelasari
Karet en Tjipitjoeng hingga ke Tjibawera. Namun rencana itu tidak pernah
terlaksana. Pembangunan jalur kereta api Batavia di Meester Cornelis hingga Bekasi
selesai dibangun dan mulai dioperasikan pada tahun 1887.
Pembangunan
kanal rawa Loemboe diduga bersamaan dengan peningkatan bendungan dan kanal
Bantar Gebang. Kanal Bantar Gebang ini juga dialirkan sebagai debit airnya
untuk mendorong genangan air yang terdapat di rawa Loemboe. Dengan adanya daya
dorong dari kanal Bantar Gebang dimungkinkan untuk membangun kanal di rawa
Loemboe. Kanal inilah yang terlihat pada Peta 1901 di wilayah Rawalumbu yang
sekarang. Bekas kanal rawa Loemboe ini kemudian pada masa kini ditingkatkan
pengembang Perumahan Rawalumbu sebagai saluran drainase. Pembangunan kanal rawa
Loemboe ini juga pada gilirannya mendorong air rawa Pandjang untuk membangun
kanal sekunder ke arah hilir untuk mengairi persawahan di dekat pasar Bekasi.  
Rawaloemboe, dari Awal hingga Akhir: Lahan Para Pejuang VOC dan Area
Gerilya Perang Kemerdekaan

Pertanyaan ‘sejarah Rawalumbu, apakah ada sejarahnya?’
juga merupakan pertanyaan analog sejarah Bekasi sendiri, apakah ada sejarahnya.
Wilayah yang menjadi District Bekasi (saat ini menjadi kabupaten dan kota
Bekasi) diduga sebelumnya adalah wilayah kosong yang tidak berpenghuni, suatu
wilayah rawa-rawa yang tempo doeloe masuk wilayah (kerajaan) Pakwan-Padjadjaran.
Wilayah ini adalah wilayah jatuhan air yang kerap mengalami banjir bandang
akibat air yang meluap di hulu sejak jaman kuno. Penduduk hanya berdiam di arah
hulu, di wilayah yang kering.
Bataswilayah basah (banjir) dan wilayah kering (berpenghuni) adalah
Bantar Gebang, Samadang dan Tjionjong (Tjikarang?). Tiga kota (kampong) ini
berada di antara sungai Becassie (hilir dari sungai Tjilengsi) dan sungai
Carrawang (hilir dari sungai Tjitaroem). Sebagaimana dapat dilihat pada Peta
1724, kota-kota yang diidentifikasi semakin ke hulu semakin banyak. Pada Peta
1732 tempat-tempat yang berada antara Bantar Gebang dan muara di sungai Bekasi
sudah diidentifikasi secara jelas. Peta ini diduga peta tertua Bekasi.
Kota terdekat dari pantai di daerah aliran sungai
Bacassie adalah Bantar Gebang. Kota Bantar Gebang diduga adalah kota pelabuhan
di jaman kuno (era Pakwan-Padjadjaran). Ketika Pemerintah VOC membangun benteng
di muara sungai Bekasi (fort Bacassie), antara dua tempat ini menjadi lalu
lintas sungai yang intens. Beberapa perkampungan diantara dua tempat ini di
daerah aliran sungai Bekasi adalah Bodjong Menteng, Rawa Pandjang, Becassie, Telok
Poetjoeng, Karang Tjongok, Pisangan dan Babelan.
Sebagai
wilayah kosong, secara de jure, Pemerintah VOC menempatkan para pemimpin pribumi
dan pasukannya yang telah mendukung misi VOC di wilayah-wilayah kosong ini
seperti di Tangerang, Angke, Tjilintjing, Bacassie dan Carrawang. Dua kaptein
terkenal VOC adalah Kapitan Jonker dan pasukannya ditempatkan di Tjilintjing
dan Captein Soeta Wangsa dan pasukannya di daerah aliran sungai Bacassie. Sejak
inilah sejumlah benteng dibangun di Antjol, Angke, Maroenda, Tangerang, muara
sungai Bacassie dan Tandjoengpoera.    
Kampong-kampong Bantar Gebang, Bodjong Menteng,
Rawa Pandjang, Becassie dan Telok Poetjoeng berada di bawah kekuasaan Captein
Soeta Wangsa. Sementara kampong Karang Tjongok di bawah kekuasaan Pangeran
Poerbaja. Sedangkan kampong-kampong Pisangan, Babelan, Gaboes hingga ke Fort
Bacassie dikuasai oleh perwira yang lainnya.
Bagaimana
situasi dan kondisi pertama di daerah aliran sungai Bekasi dan daerah aliran
sungai Carrawang dirangkum berdasarkan Daghregister, catatan di Kasteel
Batavia. Ekspedisi pertama ke daerah aliran sungai Becassie dimulai tahun 1659
di bawah pimpinan Pieter Thomassen. Pada tahun 1661 Pemerintah VOC menempatkan
sebanyak 3.000 pasukan Jawa di daerah aliran sungai Becassie dan lalu kemudian
ditetapkan Becassie sebagai wilayah pemukiman pasukan Jawa dan mulai
membangunnya. Sejak itulah diduga muncul nama-nama kampong yang disebut di
atas. Tanpa mengabaikan nama yang muncul karena lingkungan setempat, nama-nama
kampong yang ada juga ditemukan di Jawa, seperti Bodjong Menteng, Babalan dan
Karang Tjongok.
Kampong-kampong yang lain yang muncul kemudian adalah
Sammadang dan Tjikarang. Wilayah Sammadang diketahui dikuasai oleh Pangeran
Sammadang, Raden Aria Soura Manggala.
Setelah
wilayah daerah aliran sungai Becassie dan sungai Tjikarang, pemerintah VOC
mulai mengokuvasi wilayah daerah sungai Carrawang yang kemudian membangun
benteng di Tandjoengpoera. Lieutenant Jochum Michielsz pada tahun 1678 dari Tanjongpoura
melakukan ekspedisi ke Sammadang. Inilah asal-usul mengapa Odjoeng Krawang,
Tjabangboengin, Tjikarang, Samadang sebelumnya masuk wilayah Residentie Krawang
(sebelum dipisahkan dan dimasukkan ke wilayah Disttrict Bacassie, Residentie
Batavia).
Pada tahun 1682 pasukan Kaptain Jonker menimbulkan kerusuhan di
Banten, akibatnya sejumlah militer Belanda ditangkap. Untuk mengendalikan
Banten dikirim ekspedisi di bawah pimpinan Majoor St Martin. Atas keberhasilan
ini, pemerintah VOC memberi hadiah kepada St Martin dua lahan (land) di Tjinere
dan Tjitajam. Kepercayaan orang Belanda terhadap Jonker mulai menurun dan
akhirnya Jonker melakukan perlawanan terhadap VOC. Kaptain Jonker kemudian
terbunuh. Mantan pasukannya yang berbasis di Tjilintjing banyak yang eksodus ke
daerah aliran sungai Carrawang dan daerah aliran sungai Becassie.
Majoor St Martin adalah seorang pemberani, juga menguasai bahasa pribumi
dengan baik. Selain itu, St Martin juga adalah peminat botani dan memiliki
perpustakaan yang lengkap di Batavia. Pekerjaan menyusun buku botani yang
dilakukan oleh Rumphius di Ambon yang terbengkalai karena meninggal diteruskan
oleh St Martin. Namun St Martin juga tidak tuntas karena meninggal dan lalu
dilanjutkan oleh Cornelis Chastelein (yang telah membuka lahan pertanian (land)
di Paviljon (kini Senen) dan kemudian di Srengseng (1695) dan Depok (1704).
Perluasan lahan pertanian (land) ini semakin jauh
ke hulu sungai Tjiliwong. Sementara di sisi lain juga perluasan pertanian
(tebu) diperluas ke daerah aliran sungai Becassie dan sungai Carrawang. Pada
tahun 1685 sebanyak 15 orang Jawa diizinkan untuk membuka lahan pertanian tebu
di sekitar sungai Tjikeas (di arah hulu sungai Becassie). Mereka ini diduga
adalah mantan pasukan Jawa pimpinan Kaptein Soeta Wangsa. Pada tahun 1686
dibuat resolusi (keputusan) yang mana Kapten Herman Wanderpoel dan sejumlah
penduduk untuk menggali parit (kanal) dari sungai-sungai Tjikeas dan sungai
Tjilengsi (sungai Becassie) ke sungai Soenter.

Pembangunan
kanal dari sungai Tjikeas ke sungai Soenter dan dari sungai Becassie
(Tjilengsi) ke sungai Soenter dimaksdukan untuk kebutuhan moda transportasi air
di wilayah pedalaman. Penjelasan ini kemudian dapat diketahui dua abad kemudian
dari seorang ahli arsip Mr JA van der Chijs (lihat Java-bode : nieuws, handels-
en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 13-10-1886). Disebutkannya bahwa
pada tanggal 10 Maret 1679 dikelurkan suatu resolusi ‘Instructie voor den
Dijk-graaf ‘buyten en in de ommelanden van Batavia’ yang di dalamnya termasuk sungai
Bacassy dapat dilalui dan berlayar melalui sungai Tjikeas dan dari sana lagi di
sungai Soenter yang memberikan banyak kemudahan dan penyelamatan bagi ibukota
(stad) dan kota (gemeente) untuk mendapatkan bambu-bambu dan kayu-kayu untuk
keperluan pembuatan tanggul dan jembatan.
Semakin meningkatnya kegiatan ke arah hulu sungai
Tjiliwong, lalu pada tahun 1687 sebuah ekspedisi yang dipimpin sersan Scipio dikirim
ke hulu sungai Tjiliwong dan membangun benteng (fort) di titik singgung
terdekat antara sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane (benteng ini kini menjadi
lokasi Istana Bogor). Dengan demikian benteng VOC sudah ada dua di pedalaman:
fort Padjadjaran di hulu sungai Tjiliwong dan fort Tandjoengpoera di hulu
sungai Carrawang.
Setelah
dibangunnya dua benteng pedalaman, yakni Fort Tandjoengpoera di hulu sungai
Carrawang (sungai Tjitaroem) dan Fort Padjadjaran di hulu sungai Tjiliwong,
lalu Fort Bacassie di muara sungai Bacassie diperkuat dengan benteng penghubung
di Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan di Tandjoeng (kini Pasar Rebo). Dua
benteng penghubung ini tidak hanya memperkuat pertahanan antara Batavia (Fort
Risjwijk dan Fort Noordwijk) dan Fort Padjadjaran, dua benteng penghubung ini
juga untuk menghubungkan garis pertahanan sejajar: (1) Garis pertahanan antara
Meester Cornelis dengan Tandjoengpoera dimana garnisun militer di kampong
Bacassie; (2) Garis pertahanan antara Tandjoeng dengan Tjicaoe (kini
Poerwakarta) dengan membangun garnisun militer di Tjibaroesa. Inilah peta awal
pertahanan VOC di sekitar Batavia mulai dari sungai Tjisadane (Ontong Djawa) di
barat hingga sungai Tjimanoek di timur dan mulai dari muara sungai Becassi di
pantai hingga hulu sungai Tjiliwong di pegunungan. Atas dasar inilah pemerintah
VOC mulai menerapkan kebijakan pemberian tanah-tanah partikelir (land).
Setelah daerah aliran sungai Bacassie berkembang
dan kondusif (dari perspektif keamanan), Jeremias van Riemsdijk, yang telah
menguasai land Antjol membeli land Becassie. Dalam membangun perkebunan tebu, Jeremias
van Riemsdijk menambah tenaga kerja dengan mendatangkan para budak dari
berbagai wilayah, sedangkan untuk pengembangan pabrik gula pekerja didatangkan
dari Tiongkok. Moda transportasi saat ini ke Bacassie masih melalui sungai dari
dan ke pantai di muara sungai Bacassie (tempat dimana benteng dibangun: Fort
Bacassie).
Ketika
pedagang-pedagang VOC mulai intens mengembangkan pertanian di seputar Batavia
(Meester Cornelis, Buitenzorg, Tangerang dan Becassie serta Krawang, Pemerintah
VOC dalam dilema soal para prajurit pribumi dan para pekerja yang didatangkan
dari Tiongkok. Pemberontakan Kaptain Jonker pada masa lalu kembali muncul
pemberontakan yang dilancarkan oleh orang-orang Tionghoa. Puncak perseteruan
Tionghoa dan Belanda ini terjadi pada bulan Oktober 1740 (yang dikenal sebagai
pembantaian orang-orang Tionghoa).
Ekses dari pembantaian orang-orang Tionghoa di
Batavia juga merembet ke mana-mana terutama di wilayah pantai utara Jawa. Di
daerah aliran sungai Bacassie, pada tanggal 11 Oktober 1740 orang-orang
Tionghoa menghancurkan dan membakar segalanya. Perkebunan tebu dan pabrik gula
yang diduga milik Jeremias van Riemsdijk habis sudah.
Pemerintah
VOC pada tangga 4 Juni 1741 mengirim sebanyak 6.150 prajurit bersenjata dengan
perwira ke Bacassy untuk menghukum orang-orang Tionghoa. Terjadi perang di
Becassie. Setelah situasi dan kondisi terkendali Jeremias van Riemsdijk
membangun kembali Becassie.
Pada tahun 1775 Jeremias van Riemsdijk menjadi
Gubernur Jenderal VOC untuk menggantikan Gustaaf Willem baron van Imhoff (1743-1750).
Jeremias van Riemsdijk yang tekun dalam pengembangan pertanian, juga meneruskan
program para seniornya.
Peta kota Bekasi dan sekitar (1780)

Gustaaf
Willem baron van Imhoff adalah Gubernur Jenderal VOC yang sangat peduli tentang
pembangunan pertanian, sebagai wujud untuk meningkatkan keuntungan melalui
perdagangan ekspor. Penerus Imhoff yakni Jacob Mossel (1750-1761) juga
meneruskan kebijakan seniornya. Lalu kebijakan serupa diteruskan oleh Petrus
Albertus van der Parra (1761-1775).

Jeremias van Riemsdijk tidak lama menjabat
Gubernur Jenderal karena meninggal tahun 1777. Land Becassie sebagian tetap
diusahakan oleh keluarga Riemsdijk dan sebagian yang lain dijual. Land yang berada
di sekitar muara sungai Bacassie yang berdekatan dengan land Antjol
dipertahankan, sedangkan land yang berada lebih jauh ke pedalaman yakni land
Becassie dijual. Land Bacassie ini diketahui telah dimiliki oleh dua Inggris N
Engelhard dan WA Senn yang telah mengusahakan delapan pabrik gula
(zuiker-molen).

Javasche courant, 12-08-1837

Land
Becassie dijual kembali oleh N Engelhard dan WA Senn pada tahun 1813 (lihat Java
government gazette, 06-02-1813). Pada tahun 1818 keluarga Riemsdijk menjual
asset terakhir di daerah aliran sungai Becassie (yang lalu memindahkan aset di
Becassie ke wilayah hulu sungai Tjiliwong. Land Becassie kemudian diketahui
telah dibeli oleh Mr. L. Henkevlugt. Setelah L. Henkevlugt meninggal
keluarganya menjual land Becassie (bersama land Doea Ratoes dan land Odjoeng Menteng)
seharga f200.000 hingga f250.000 (lihat Javasche courant, 12-08-1837).

Land-land yang dirintis oleh
orang-orang Eropa/Belanda di sekitar daerah aliran sungai Becassie dan sungai
Carrawang satu per satu ditinggalkan dan kemudian dijual. Tidak diketahui
mengapa orang Eropa/Belanda melepaskan lahan mereka di wilayah ini dan kemudian
pindah ke hulu sungai Tjiliwong. Dugaan kuat adalah faktor moda transportasi
yang buruk. Semua land-land di wilayah Bekassie akhirnya jatuh ke tangan
orang-orang Tionghoa. Sementara itu, pemerintahan sendiri di District Becassie
mulai diberlakukan pada tahun 1830 dengan menempatkan seorang Schout yang
berkedudukan di kampong (kota) Becassie (lihat  Javasche courant, 01-04-1830). Pembentukan
pemerintahan dilakukan segera setelah Perang Jawa berakhir.

Pada
tahun 1869 di daerah aliran sungai Bekasi kembali muncul ketegangan politik.
Para pribumi melakukan pemberontakan. Terhadap para pemimpin pemberontakan ini
dikenakan hukuman mati. Pada tahun 1914 kembali muncul ketegangan politik di
Bekasi. Dua kejadian politik ini juga terkait dengan orang-orang Tionghoa.   
Demikianlah adanya, antara penduduk yang tinggal di district Bekasi degan
orang-orang Tionghoa selalu terjadi pasang surut, bahkan hingga perang
kemerdekaan. Pada saat perang kemerdekaan tahun 1946 orang Tionghoa mendukung
kehadiran Inggris/Sekutu dan Belanda/NICA.

Salah
satu markas tentara Belanda/NICA berada di Pondok Benda, land Pondok Geder (di
sisi barat sungai Bekasi). Sedangkan wilayah sisi timur sungai Bekasi mulai
dari Rawaloemboe hingga Bantar Gebang menjadi area gerilya TNI dan para laskar.

Tanah Bekasi, dari masa ke
masa adalah ruang pertarungan, mulai pertarungan antara manusia dengan alam
yang keras tak berpenghuni, pertarungan antara kelompok dengan kelompok
lainnya, pertarungan antara kelompok dengan polisi (Schouet) dan pertarungan
antara pemerintah (penjajah) dengan pemerintah (RI). Kini, pertarungan di Tanah
Bekasi masih terus berlanjut yakni pertarungan antara warga dengan banjir
sungai dan antara warga dengan polusi udara dari Bantar Gebang

Tunggu deskripsi lengkapnya

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top