Sejarah

Sejarah Jakarta (21): Rekor Pertemuan Tim Persija vs PSMS dan Pertandingan Klasik; Memori 26 Desember 1954 di Stadion Ikada




false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN



























































































































































Saat Marah Halim Harahap
dipilih dan diangkat menjadi Gubernur Sumatra Utara tahun 1967, Kamaroeddin
Panggabean mendapat angin kembali setelah sebelumnya sempat redup. Marah Halim
Harahap dan Kamaroeddin Panggabean yang sama-sama eks pantia PON III Medan
kembali duduk satu meja untuk memikirkan kembali kemajuan sepak bola Sumatra
Utara khususnya PSMS Medan. Dua gibol berpikir ulang kembali tentang sepak bola
Sumatra Utara. Inilah dasar munculnya turnamen Marah Halim Cup yang dimulai
tahun 1972 (berakhir tahun 1995). Selama penyelenggaraan turnamen ini klub-klub
perserikatan berpartisipasi khususnya Persija dan PSMS. Klub-klub Galatama (liga
utama) yang mulai tahun 1978 juga menyusul berpartisipasi termasuk Pardedetex
(milik TD Pardede) dan klub Mercu Buana (milik Probo Soetedjo, yang juga anak
Medan), Manajer Pardedetex adalah Joni Pardede (anak TD Pardede). Pardedetex
mendatangkan pemain asing pertam di Indonesia yakni Jairo Matos (asal Brasil).
Sedangkan Manajer Mercu Buana adalah Kamaroeddin Panggabean. Salah satu pemain
Mercu Buana yang terkenal adalah Djadjang Nurdjaman. Saat-saat itulah Djadjang
Nurdjaman (pelatih PSMS sekarang) jatuh hati kepada putri cantik Kamaroeddin
Panggabean. Ompung Kamaroeddin Panggabean meninggal dunia tahun 1999. Ompung Marah
Halim Harahap meninggal dunia tahun 2015.

Dalam sejarah sepak bola Indonesia hanya
beberapa Gubernur yang tergolong ‘gibol’ yang mana dua diantaranya dari Sumatra
Utara: Abdul Hakim Harahap dan Marah Halim Harahap. Kedua gubernur beda
generasi ini, selain memiliki minat yang sama dalam sepak bola ternyata keduanya
sudah saling mengenal. Pada saat penyelenggaraan PON III di Medan tahun 1953,
Presiden Soekarno tidak menginap di hotel tetapi di rumah dinas Gubernur Abdul
Hakim Harahap. Komandan pengawalan Presiden Soekarno selama berada di rumah
Gebernur Abdul Hakim Harahap, tanggung jawab keamanan dipimpin oleh Kapten
Marah Halim Harahap.
Marah Halim Harahap lahir di Padang Sidempoean tahun
1929. Pada era perang kemerdekaan memimpin pasukan di Riau dengan pangkat
letnan. Sepulang dari perang (pasca pengakuan kedaulatan RI) ditarik ke Medan
dan pangkatnya dinaikkan menjadi kapten dan mengisi pos jajaran militer dengan
fungsi staf perwira di wilayah militer Sumatra Timur di Medan. Pada saat
penyelenggaraan PON III di Medan, Kapten Marah Halim Harahap bertugas untuk
pengamanan Presiden Soekarno selama di Medan. Selama di Medan Presiden Soekarno
tidak menginap di hotel (karena pemberontakan di Atjeh sudah mulai bergolak)
melainkan di rumah dinas Gubernur Abdul Hakim Harahap. Satu-satunya perwira
yang diizinkan masuk ke rumah gubernur saat itu adalah Kapten Infantri Marah
Halim. Pada tahun 1954 pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor. Pada tahun 1957
mengikuti pendidik SSKAP di Bandung (kini Seskoad) dan sepulang dari pendidikan
beberapa lama kemudian pangkatnya dinaikkan menjadi Luitenan Kolenel sehubungan
dengan munculnya pemberontakan PRRI/Permesta. Setelah peristiwa G 30 S/PKI
pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel. Pada tahun 1967 nama Kolonel Marah Halim
Harahap semakin populer di Medan lalu DPRD memilih Marah Halim Harahap menjadi
Gubernur Sumatra Utara. Sebagaimana diketahui Marah Halim Cup dimulai tahun
1972. Marah Halim menjadi gubernur Sumatra Utara lebih dari dua periode (10
tahun) gubernur terlama dan berakhir tahun 1978. Marah Halim Harahap meninggal
dalam usia tinggi 94 tahun pada tahun 2015.
Di level Wali Kota/Bupati hanya terdapat
beberapa yang ‘gibol’. Di Surabaya terdapat Wali Kota yang gibol yakni Dr.
Radjamin Nasution (Wakil Wali Kota di era pendudukan Jepang dan menjadi Wali
Kota pasca Proklamsi Kemerdekaan RI 1945). Radjamin Nasution adalah kapten tim
klub Docter Djawa VC (STOVIA) tahun 1909; pendiri DVB Medan 1923 (lihat De Sumatra
Post terbitan 13-02-1923)
; pendiri SKVB Surabaya
tahun 1936; dan penasehat Persibaja (pasca pengakuan kedaulatan RI). Di Medan
hanya Wali Kota Rahudman Harahap (2010-2013) yang terbilang ‘gibol’, namun sayang
selama menjabat, PSMS Medan harus terdegradasi dari liga level atas ke liga
level-2. Baru pada tahun 2017 baru lalu PSMS kembali promosi ke liga level atas
(Liga-1, 2018). Wali Kota Medan yang sekarang (Dzulmi Eldin) bukan tergolong
‘gibol’ tetapi anaknya ternyata seorang ‘gibol’ bernama Edryansyah Rendy masih
berumur 25 tahun). Edryansyah Rendy adalah Manajer Tim PSMS yang mendampingi
coach Djadjang Nurdjaman dalam Piala Presiden 2018. Apakah nanti Edryansyah
Rendy akan mengikuti jejak Manajer Tim PSMS tahun 1954: Muslim Harahap yang
kemudian menjadi Ketua Pengurus PSMS Medan (periode 1959-1961). Dan lantas
apakah Djadjang Nurdjaman mampu mengangkat prestasi PSMS kembali seperti
dulu?  Kita tunggu.
Djadjang Nurdjaman yang menjadi pelatih PSMS Medan
sekarang ini tidak lain adalah menantu Kamaruddin Panggabean. Sebagaimana kita
ketahui, PSMS beberapa hari ke depan akan menghadapi Persija di semi final
Piala Presiden 2018 di Stadion Manahan Solo. Di dalam diri coach Djadjang
Nursjaman, misi mengalahkan Persidja, bukanlah misi sebagai mantan pelatih
Persib Bandung, tetapi misi membawa sejarah PSMS yang juga turut dibentuk oleh
mertuanya: Kamaruddin Panggabean. Perhatikan gestur (alamiah) Djadjang
Nursjaman merayakan gol dan kemenangan PSMS ketika mengalahkan Persib. Coach
Djadjang Nursjaman mendua (adil): sangat senang luar biasa merayakan gol dan
kemenangan (misi sejarah PSMS dari sisi mertuanya), tetapi hal yang dipikirkan
dan dikesankan tidak berlebihan (untuk menghormati bobotoh dan mantan klubnya
Persib). Bagaimana reaksinya terhadap Persija nanti? Realsi ganda. Andaikan
tecipta gol dan meraih kemenangan atas Persidja, jika dan hanya jika Djadjang
sebugar Greg Nwokolo, Djadjang Nurdjaman akan merayakannya dengan lompatan
salto. Sebaliknya, jika kebobolan atau kalah dari Persija, Djadjang Nurdjaman
akan otomatis terduduk lesu darah dan berjalan dengan kepala menunduk (alamiah
dan sekaligus memberi rasa hormat ke Pesija).

Rekor Pertemuan Tim Persija vs PSMS

Pertemuan kali pertama Persija dan PSMS
terjadi pada tahun 1952 pada Kejuaraan Antar Perserikatan 1952. Namun demikian,
rivalitas Persija vs PSMS baru dimulai pada tahun 1954, tepatnya pada
pertandingan terakhir Kejuaraan Antar Perserikatan 1953/1954. Dalam
pertandingan Persija vs PSMS tersebut harus berakhir yang mana PSMS keluar dari
lapangan karena pihak PSMS merasa wasit tidak cermat dan tidak tegas. Kubu PSMS
menganggap tidak ada masalah dengan Persija, PSMS hanya bermasalah dengan
wasit.

Bukti tidak ada masalah antar tim, kubu Persija
menawarkan pertandingan revanche di Medan. Dalam pertandingan di Medan dengan
wasit asal Burma berjalan dengan baik. Dalam pertandigan tersebut PSMS berhasil
mengalahkan Persidja. Bukti lain, nyata-nyata Tim Nasional yang dibentuk PSSI
beberapa bulan kemudian justru dihuni dan didominasi oleh pemain-pemain PSMS (6
pemain) dan Persija (2 pemain) serta tiga pemain dari tim perserikatan lainnya.
Jelas bahwa kisruh pertandingan Persidja vs PSMS hanya masalah wasit yang
kurang cermat dan tidak tegas. Persoalan berada pada wasit.

Tidak diketahui secara pasti sudah berapa
kali tim Persija bertemu PSMS sepanjang masa. Setiap penyelenggaraan Kejuaraan
Antar Perserikatan (era perserikatan), sejak 1952 hingga berakhir tahun 1994 baik
Persija maupun PSMS selalu berpartisipasi. Berdasarkan data yang tersedia, paling
tidak Persija dan PSMS telah bertemu sebanyak 31 kali. Hasil yang paling banyak
terjadi adalah imbang (draw) sebanyak 14 kali. Persija menang 11 kali dan PSMS hanya
6 kali. Kedua tim pernah menjadi juara bersama. Di luar itu, Persija menjadi
juara 3 kali, sedangkan PSMS 4 kali. Jika ditambahkan di sini, Persija pernah 3
kali sebagai runner-up, sementara PSMS sebanyak 4 kali.
Antara Persija dan PSMS secara head to head Persija
unggul terhadap PSMS. Namun dalam pencapaian prestasi (baik juara maupun
runner-up) PSMS lebih unggul dari Persija. Satu hal yang menarik pertemuan
Persija dan PSMS sepanjang penyelengaraan Kejuaraan Antar Perserikatan hampir
separuhnya berakhir draw (imbang).
Dalam liga profesional (Liga Indonesia) yang
dimulai tahun 1994 klub Persija dan klub PSMS telah bertemu sebanyak 19 kali.
Persija menang 11 kali, PSMS menang 5 kali. Hasil imbang (draw) sebanyak 3
kali. Jumlah pertemuan antara Persija dan PSMS selama berlangsungnya Liga
Indonesia terbilang relatif sedikit jika dibandingkan dengan era perserikatan
(amatir). Hal ini karena beberapa tahun PSMS berada di liga kedua (kedua tim
tidak bertemu). Tidak bertemunya kedua tim juga karena liga sendiri ada yang
dibagi dua tiga wilayah (barat, tengah dan timur). Disamping itu, hasil
pertemuan kedua tim pada masa dualisme federasi (PSSI vs KPSI) tidak dicatat
dalam hal ini. Namun demikian, dari pertemuan yang dicatat di sini, Persija
unggul head to head dengan PSMS.

Rekor pertemuan yang dideskripsikan di atas, sesungguhnya
belum termasuk pertemuan antara Persija dan PSMS di luar Kejuaraan Antar
Perserikatan dan Liga Indonesia. Pertemuan antara Persija dan PSMS lainnya
terjadi pada berbagai turnamen di luar turnamen Marah Halim Cup di Medan. Dalam
Piala Indonesia tercatat Persija vs PSMS bertemu pada semi final 2005: leg-1
PSMS menang dengan skor 2-1 dan pada leg-2 Persija menang 3-1 dan perebutan
tempat ketiga 2006 Persija menang lawan PSMS dengan skor 2-0.

Rekor pertemuan antara Persija dan PSMS sejak
1952 sepanjang masa (hingga hari ini) dalam berbagai label pertandingan sudah
cukup banyak. Dengan demikian, setiap pertandingan antara Persija dan PSMS pada
masa ini haruslah dipandang sebagai rivalitas yang berlabel pertandingan klasik
(el clasico). Ada dinamika dan romantisme diantara kedua tim. Oleh karenanya
pertandingan antara Persija dan PSMS, paling tidak selalu ditunggu oleh para
suporter masing-masing.
Pertandingan Final Persib vs PSMS di stadion Senayan, 1985

Saya sesungguhnya pernah menjadi suporter Persib maupun
suporter PSMS dan suporter Persija. Saya menjadi suporter PSMS karena
permintaan para suporter Persib Bandung di Bogor. Ini bermula tahun 1985
(ketika saya masih kuliah), saya sebagai warga (KTP) Bogor tentu saya menjadi
suporter Persib ketika tiap kali warga RT/RW saya melakukan nonton bareng
Kejuaraan Antar Perserikatan 1985. Saat bersua Persib dan PSMS saya didaulat
untuk menjadi suporter PSMS (karena di RT tersebut hanya saya yang berasal dari
Sumatra Utara). Padahal saya sebelumnya tidak pernah menjadi suporter PSMS (karena BTL,
tidak pernah ke Medan).  Atas desakan
ketua RT saya terima. Ketika Persib membobol gawang PSMS saya disuruh diam
sementara mereka berjingkrak-jingkrak. Sebalikya jika PSMS yang menyarangkan gol
ke gawang Persib, saya lalu di angkat ramai-ramai ke udara sambil teriak-teriak hidup PSMS, hidup PSMS. Lalu kemudian, hari
ketika Persib dan PSMS berjumpa lagi di final saya kedatangan empat teman kuliah sekampung alumni
SMA Medan mengajak nonton ke stadion Senayan, tetapi saya enggan karena saya
sudah ada agenda nonton bareng di rumah Pak RT. Akhirnya saya terus didesak dan
mengalah. Sebelum berangkat saya lapor ke Pak RT absen nonton bareng. Ada
kejadian aneh ketika berangkat dari terminal Bogor. Teman-teman rupanya sudah
menyiapkan spanduk. Ketika mau naik dekat pintu tol Jagorawi, teman-teman saya itu melakukan nego kepada kondektus bis (mungkin Lorena saya lupa-lupa ingat): ‘Kami hanya mau naik jika spanduk kami dibentangkan di
belakang bis’ demikian permintaan teman saya kepada kondektur (pembicaraan ini berada di luar bis, sambil bis merangsek dengan jalan pelan-pelan). Kondektur bis tampak sekali mati langkah, sebab ada lima calon penumpang tetapi
ingin bentangkan spanduk (sementara bis sudah mau memasuki jalan tol). Mungkin kondektur berpikir daripada bangku belakang kosong, tak apalah. Nego sepakat. Saya dan dua teman segera naik ke bangku kosong
di belakang sementara dua yang lain masih berada di luar berlari-lari mengikuti lajunya bis sambil mengulurkan tali spanduk dari luar. Spanduk yang sebelumnya telah disiapkan pemberat (air dalam
plastik di bagian bawah spanduk agar tidak terbang) terpasang di belakang bis, dua teman itu juga bergegas naik. Tarik!. Bis pun melaju kencang di jalan tol. Awalnya
tenang tenteram, tetapi jelang Sentul mulai ada yang meneriakkin kata-kata permusuhan dari bis
sebelah ke bis kami. Anggapan penumpang bis sebelah yang saya duga datang dari Bandoeng, Cianjur
dan Sukabumi yang notabene suporter Persib menganggap seisi bis kami adalah
semua suporter PSMS (padahal cuma lima orang toh!). Penumpang bis kami yang berada di bagian depan yang sebagian
besar tampaknya adalah suporter Persib asal Bogor merasa bingung mengapa bis-bis sebelah yang
melewati bis kami selalu teriak-teriak yang tidak terlalu jelas ngomong apa (karena banyaknya bis yang menuju Jakarta. Cilaka!. Saya mulai tidak nyaman, tetapi teman saya
bilang tenang saja: ‘Tenang saja lae, penumpang dalam bis ini tidak ada yang tahu apa yang ada di belakang bis,
hanya kondektur yang sempat lihat tadi’. Akhirnya bis kami sampai di terminal Cililitan (terminal
kampung Rambutan belum ada). Alhmadulillah, tidak terjadi apa-apa di tengah perjalanan sepanjang jalan tol Jagorawi, Di terminal Cililitan, kami cepat turun dan segera spanduk dilipat
kembali, lalu kami naik ke bis jurusan Blok M dan memilih bis yang tampak dari jauh dipenuhi oleh suporter
PSMS yang datang dari berbagai tempat seperti Bekasi. Setiba di stadion
Utama Senayan (belum bernama SUGBK), wuh sangat luar biasa jumlah penonton. Kami mengambil tempat di tribun timur
bagian atas (tempat suporter PSMS). Menurut penyiar siaran pandangan mata (RRI) jumlah penonton yang hadir ditaksir 150.000 orang (kami bawa
radio ketika menonton itu, penyiarnya kalau tidak salah-salah ingat: Sambas, Abraham Isnan dan Syamsul Muin Harahap). Fantastik! Selanjutnya: Ketika saya sudah lulus kuliah, saya
pindah ke Jakarta, saya juga mengurus KTP DKI Jakarta. Pada penyelenggaraan
Liga Indonesia yang pertama (1994) saya menjadi suporter Persija yang berkandang di
stadion Menteng. Kala itu ada dua klub di Jakarta yakni Persija dan Pelita Jaya
yang bermarkas di Lebak Bulus yang terkenal dengan suporter fanatiknya
Commando. Oleh karena kantor saya di Jalan Salemba Raya 4, saya selalu menonton Persija ke
stadion Menteng. Dari Salemba cukup naik bajaj dan memilih pintu tribun timur (jarak terdekat dari Salemba).
Setiap saya menonton hanya beberapa orang yang mengisi tribun timur, karena
tribun barat sendiri tidak penuh-penuh amat. Begitulah kondisi suporter Persija
saat itu (sangat sedikit jika dibandingkan suporter Pelita Jaya, Commando (tentu saja Jakmania belum ada).
Meski sepi penonton saya tetap suka dan saya yang selalu hadir di tribun timur menjadi asik
sendiri. Saat itu, di Persija ada dua pemain yang bagus yang selalu saya perhatikan jika mengontrol atau menendang bola: Azhari Rangkuti dan Patar Tambunan. Jadilah saya suporter Persija. Sejak satu dekade yang lalu ketika anak-anak
saya sudah mulai remaja seakan mereka telah menggantikan saya menjadi suporter Persija (saya
pun lengser dan fokus menulis sejarah sepak bola). Saya tergolong suporter Persija zaman old, sedangkan anak-anak saya suporter zaman now. Sejak era anak-anak saya itulah suporter
Persija tampak pertumbuhan dan perkembangannya yang sangat pesat. Seperti yang
dapat dilihat di televisi sekarang, suporter Persija sudah puluhan ribu yang selalu memadati
stadion. Ini berbeda ketika saya menjadi suporter Persija pada tahun-tahun awal Liga
Indonesia (yang terkenal dengan marquee player Roger Milla dan Mario Kempes)
yang hanya terdiri dari segelintir orang saja. Romantisme saya: Tribun timur stadion Menteng, saking
sepinya seakan milik saya setiap klub Persija melakukan laga kandang. Ada beberapa kali saya menonton Persija pada saat laga tandang (ketika lagi kerja riset di luar kota). Satu kali apes: pada tahun 2004 saya dengar di warung bakal ada sore hari pertandingan PSMS vs Persija di stadion Teladan Medan. Untuk mengejar waktu, dari Sidikalang (Dairi) saya carter motor RX-King agar sampai tepat waktu (jangan tanya sewanya). Setiba di stadion Teladan yang bertanding bukannya Persij tetapi PSMS vs Persik. Oalah. Tetapi saya tonton juga. Saat itu Legimin Rahardjo kalau tidak salah-salah ingat sudah menjadi pemain PSMS. .

Prediksi Pertandingan Berikutnya Antara Persija vs PSMS

Pertandingan Persija dan PSMS dalam semi
final Piala Presiden 2018 yang akan dilaksanakan pada tanggal 10 Februari ini (leg-1
dan tanggal 13 Februari leg-2) sudah sangat intens dibicarakan di berbagai
media. Bahkan intensitas pembicaraan Persija vs PSMS jauh lebih hingat bingar
jika dibandingkan dua kontestan lainnya di semi final antara Bali FC dan
Sriwijaya FC. Ini membuktikan bahwa fokus perhatian bukan pada semi finalnya tetapi
lebih pada pertemuan dua tim legendaris (pertandingan klasik).
Breaking News: Spirit Medan dengan semboyan baru suporter Ribak Sude
seakan muncul kembali pada awal tahun 2018. PSMS dan Persija sama-sama melaju
ke semifinal Piala Presiden 2018 dan harus bertemu setelah sekian waktu tidak
pernah bertemu. Pimpinan PSMS menyebut di media: ‘Ini nostalgia masa perserikatan.
Di babak grup Piala Presiden 2018 kami sudah menaklukkan tim-tim perserikatan,
Persib dan PSM, kemudian Persebaya di perempat final. Mengapa kami tak bisa
kalahkan Persija?’ demikian pengurus PSMS memulai psywar terhadap Persija.
Statement ini tampaknya mirip yang pernah terjadi pada tahun 1954.
Satu hal dari pertemuan antara Persija dan
PSMS kali ini adalah soal homebase ketika semi final Piala Presiden 2019 dilakukan
dengan format home and away. Kedua tim disebut tidak memiliki homebase.
Homebase PSMS di stadion Teladan Medan tengah renovasi; sedangkan homebase
Persija yakni Stadion Gelora Bung Karno (pengganti stadion Ikada) tempo doeloe,
meski baru habis renovasi tetapi tidak bisa digunakan karena ada test event
Asian Games 2018. Inilah nasib dua tim klasik, yang notabene dua tim pertama di
Indonesia yang memiliki stadion yang megah di masa lampau. Stadion Ikada
Djakarta yang dibangun jelang PON II (1952) menjadi homebase Persija dan stadion
Teladan Medan yang dibangun jelang PON 
III (1954).  
Breaking News: Dengan ketiadaan homebase, baik PSMS dan Persija telah
menetapkan homebase masing-masing di stadion Manahan Solo. Ini berarti
pertandaingan kandang dan tandang untuk Persija dan untuk PSMS akan terjadi di
stadion yang sama.
Bagaimana hasilnya, kita lihat saja nanti.
Selamat bertanding. Jangan lupa spirit sportivitas. Para suporter kedua tim
harus damai. Sebab pertemuan Persija dan PSMS akan terus berulang yang disebut
El Clasico.
Breaking News: Jelang pertandingan Persija vs PSMS muncul
statement-statement heroik: Persija Haram Lepas Laga Melawan PSMS Demi AFC Cup
2018; Persija Lebih Fokus Hadapi PSMS Ketimbang JDT (klub Malaysia); Ismed
Sofyan menghimbau Jakmania padati stadion Manahan.
Persija tampaknya tidak ingin mengabaikan
pertandingan melawan PSMS. Ini menunjukkan rivalitas Persija dan PSMS tidak ada
habisnya (klasik). Apalagi dengan mengalahkan PSMS akan membuka jalan bagi
Persija untuk juara (sportivitas). Bandingkan dengan PSM Makassar di fase grup,
hatinya mendua dan tidak jelas. Ini menunjukkan bahwa meski PSM klub legendaris
tetapi tidak ada rasa memiliki tradisi klasik dengan lawan-lawannya (di fase
gerup ada Persib dan PSMS). Cilakanya, PSM bahkan berdalih datang ke Bandung
hanya dengan tim klas dua dan hanya menganggap sebagai cara untuk menguji
pemain muda. Sedangkan yang senior difokuskan (yang bersamaan) untuk meraih
juara Super Cup Asia di Makassar (tidak resmi) yang diselenggarakan sendiri.
Akhirnya PSM juara se-Asia di Makassar dan tim PSM hancur lebur di Bandung. Bandingkan
dengan Persija, yang juga di waktu yang bersamaan bahkan harus bertanding di
Piala AFC di Malaysia (kujuaraan resmi yang diagendakan AFC) bahkan mengusung
dua tujuan: mengalahkan rivalitas PSMS dan melaju ke final, juga tak kalah
penting untuk mampu mengalahkan klub Malaysia. Inilah karakter Persija sejati yang
terpuji di dalam kancah sepak bola Indonesia. Saya suka ini. Cara kita menghargai sepak bola negeri sendiri, Ibndonesia. Semoga saja Persija sukses. Salam dari
Depok. Jasmerah.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top