Sejarah

Sejarah Kota Medan (74): Pesawat Pribadi Presiden Indonesia Pertama Bernama Dolok Martimbang; Ir. Soekarno Resmikan USU




false
IN




























































































































































false
IN




























































































































































false
IN



























































































































































Usulan tetaplah usulan. Jajasan Universitas Sumatra Utara terus berbenah
diri. Namun tidak diduga muncul pemberontakan di Atjeh. Ketua Komisi Pertahanan
di Parlemen, Zainulm Arifin Pohan langsung berangkan ke Atjeh. Untuk memudahkan
penyelesaian Atjeh, Gubernur Abdul Hakim Harahap, kelahiran Saroelangoen,
Djambi dengan terpaksa harus diganti dengan Mr. SM Amin Nasution. Alasannya
hanya satu. Mr. SM Amin Nasution adalah kelahiran Atjeh, bisa berbahasa Atjeh
dan memahami budaya Atjeh. Abdul Hakim Harahap ditarik ke pusat di Kemnterian
Dalam Negeri.

Oleh karena Ketua Dewan Jajasan
Universita Sumatra Utara yang pertama Abdul Hakim Harahap telah dipindahkan ke
Djakarta, maka dibentuk kembali dewan jajasan yang baru (Het nieuwsblad voor
Sumatra, 19-01-1954). Disebutkan struktur Dewan Jajasan Universita Sumatera
Utara yang diketuai oleh Gubernur SM Amin Nasution; H. Soetan Pane Paroehoem
sebagai wakil ketua, Dr. Soemarsono sebagai sekretaris-bendahara, dan sebagai
anggota: Wali Kota Medan, Oh Tjie Lien, Dr. Barlan, Dr. Maas, J. Pohan, Tahir,
Anwir dan Madong Lubis. Juga disebutkan Dekak Fakultas dan Ilmu Sosial adalah
Mr. T. Dzulkarnaen.
Ketika usulan pembentukan universitas di Sumatra mulai menguat, Menteri
Pendidikan yang baru Mohamad Jamin, tiba-tiba mengumumkan ke publik bahwa akan
dilakukan reorganisasi pendidikan tinggi di Indonesia (lihat De nieuwsgier,
19-05-1954). Disebutkan Kementerian Pendidikan akan menambah tiga lagi
perguruan tinggi negeri (PTN). Selain Universitas Gadjah Mada yang berpusat di
Djogjakarta dan Universitas Indonesia yang berpusat di Djakarta ditambah satu
universitas di Soerabaja, satu universitas di Sumatra dan satu universitas di
Sulawesi. Universitas Gadjah Mada fakultasnya selain di Djogjakarta juga
terdapat di Soerabaja; Universitas Indonesia fakultasnya selain di Djakarta
juga terdapat di Bandoeng, Bogor, Soerabaja dan Makassar. Usulan dalam
reorganisasi pendidikan tinggi tersebut, Menteri Pendidikan Mohamad Jamin
menetapkan nama universitas di Sumatra dengan nama Adityawarman.
Tidak lama kemudian yang muncul
adalah pembentukan dua fakultas di Sumatra Tengah, fakultas pedagogik di Batusangkar
dan fakultas pertanian di Paijakoemboeh plus fakultas (kedokteran) di Medan dan
fakultas (ekonomi) di Palembang ((lihat Algemeen Indisch dagblad: de
Preangerbode, 18-06-1954).
Dalam perkembangannya, nasib pembentukan universitas di Sumatra yang
berbasis antar kota antar provinsi semakin tidak jelas. Ini sehubungan dengan
perubahan yang tiba-tiba bahwa Kementerian Pendidikan hanya fokus dalam
pembentukan tiga PTN yakni di Soerabaja, Sumatra Tengah dan di Makassar.
Pada tahun 1954 Universitas
Sumatra Utara yang telah memiliki dua fakultas dan sejatinya sudah siap
dinegerikan. Dalam hal ini pemerintah pusat (Kementerian Pendidikan) manakala
dikatakan keuangan pemerintah defisit, sebenarnya tidak perlu repot untuk
membangun fakultas baru untuk pendirian suatu universitas baru yang jelas
membutuhkan alokasi anggaran baru, Ketika fakultas-fakultas di Soerabaja belum
siap untuk dijadikan universitas tiba-tiba diumumkan akan segera diresmikan
sebagai universitas negeri di Soerabaja dengan nama Universitas Airlangga pada
tanggal 10 November 1954. Tampaknya mahasiswa-mahasiswa di Medan dan Palembang
kembali gigit jari. Mengapa? Jika fakultas/universitas dinegerikan pengeluaran
orangtua mahasiswa semakin kecil karena uang kuliah semakin murah. Pembentukan
Universitas Airlangga bertumpu pada fakultas kedokteran, kedokteran gigi dan
fakultas hukum di Soerabaja, Fakultas/institusi di Soerbaja ini yang menjadi
bagian dari Universitas Indonesia (yang notabene milik pemerintah/negeri).
Algemeen Indisch dagblad: de
Preangerbode, 29-10-1954

Reorganisasi pendidikan tinggi
ala Kementerian Pendidikan secara alamiah telah menimbulkan distorsi. Saat
keuangan negara minim dan anggaran pemerintah defisit, Kementerian Pendidikan
malah Universitas Airlangga segera didirikan, padahal belum siap. Ternyata
tidak itu saja, pembentukan dua fakultas di Sumatra Tengah  yang akan menjadi Universitas Adityawarman
juga mulai mengerucut, tanpa memperhitungkan kembali gagasan awal universitas
di Sumatra yang berbasis antar kota antar provinsi. Jelang peresmian
Universitas Airlangga di Soerabaja, Presiden Soekarno dan Menteri Pendidikan
Mohamad Jamin datang ke Medan dalam acara pembukaan Kongres Bahasa Indonesia,
dosen dan mahasiswa di Medan dengan sopan santun hanya bisa menyindir dengan spanduk
dengan bunyi ‘Akuilah Universitet SU’ (lihat Algemeen Indisch dagblad: de
Preangerbode, 29-10-1954). Dalam hal ini tentu hanya tinggal mengakui saja,
sebab Universitas Sumatra Utara segalanya sudah siap atas partisipasi berbagai
pihak (minus pemerintah). Sudah barang tentu Soekarno dan Mohamad Jamin paham
arti bunyi spanduk tersebut.

Tampaknya protes mahasiswa
dapat dipahami oleh pemerintah pusat.
Namun tidak sepenuhnya tuntutan mahasiswa dipenuhi oleh
pemerintah. Pengakuan (penegerian) hanya dilakukan terhadap dua fakultas yang
ada. Pengakuan (penegerian) tampaknya bergeser ke Sumatra Tengah dengan
membentuk baru universitas negeri.
Het nieuwsblad voor
Sumatra, 15-09-1955:’Fakultas Kedokteran sejak 1 September 1955dan pada saat
yang sama juga Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial diserahkan kepada Pemerintah oleh
Jajasan Universitas Sumatera Utara untuk dinegerikan. Yang diangkat sebagai
dekan Fakultas Kedokteran dalam hal ini adalah 
Dr. Achmad Sofjan, yang akan mengundurkan diri dari jabatannya saat ini
sebagai Direktur Medis Rumah Sakit Umum di Medan. Sedangkan yang diangkat
sebagai dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial adalah Ny. Mr. Ani A.
Abbas-Manoppo.
Selanjutnya setelah transfer
fakultas-fakultas ini kepada pemerintah, pengelola Jajasan Universitas Sumatra
Utara akan melanjutkan kegiatannya yaitu perluasan pendidikan tinggi
(pembentukan fakultas-fakultas baru) di Sumatera Utara. Jajasan Universitas
Sumatra Utara saat ini tengah membentuk fakultas pertanian. Jajasan Universitas
Sumatra Utara didirikan tahun 1952 dengan membuka fakultas kedokteran pertama
untuk Sumatera. Pada tahun 1952 yayasan ini juga dimulai dengan pembukaan
fakultas kedokteran dan fakultas hukum di Medan. Beberapa tahun lalu Jajasan Universitas
Sumatra Utara memulai kegiatannya di Sumatera Utara untuk memberi kesempatan
kepada pemuda Sumatra Utara untuk mengikuti studi universitas yang diadakan di
Medan. Dalam peringatan yang diadakan kemarin, hadir Gubernur Sotean Kumala
Pontas yang kapasitasnya sebagai ketua dewan pengawas, berpidato tentang sejarah
fakultas yang dibuka oleh Jajasan Universitas Sumatra Utara selama
bertahun-tahun. Disebutkannya saat ini lulusan untuk berbagai ujian di fakultas
kedokteran dan fakultas hukum rata-rata sekitar 50 persen.

Sejauh ini Universitas
Sumatra Utara telah bermetamorfosis dari suatu inisiatif Gubernur Abdul Hakim
Harahap (Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-12-1951), kemudian diimplementasikan oleh
sejumlah pimpinan instansi pemerintah di Medan yang tergabung dalam suatu
Komite Persiapan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-04-1952). Selanjutnya Gubernur
Abdul Hakim Harahap membentukan yayasan yang disebut Jajasan Universitas
Sumatra Utara dengan akte notaris (Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-06-1952).
Lalu yayasan menetapkan susunan ketua dan anggota Dewan Kurator (Het nieuwsblad
voor Sumatra, 05-08-1952). Dengan demikian sudah terbentuk dua fungsi yakni
yang pertana fungsi organisasi yayasan (yang diketuai oleh Gubernur) dan fungsi
pelaksana penyelenggaraan akademik yang dalam hal ini disebut kurator (yang diketuai
oleh Dr. A. Sofian). Selanjutnya ketika fakultas kedokteran diresmikan diangkat
dekan Dr. A. Sofjan, sementara untuk ketua kurator diangkat AM Djalaloeddin.
Pada tahun 1954 Jajasan Universitas Sumatra Utara mendirikan fakultas hukum.
Ketika dua fakultas ini dinegerikan (yayasan memberikan kepada pemerintah) pada
tahun 1955 dekan untuk Fakultas Kedokteran diangkat kembali Dr. A. Sofian dan
untuk Fakultas Hukum yang diperluas menjadi Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial
diangkat sebagai dekan adalah
Ny. Mr. Ani A.
Abbas-Manoppo. Dekan Fakultas Kedokteran dibantu oleh Dr. Maas sebagai Wakil
Dekan dan Dr. Mohamad Ildrem Siregar sebagai Sekretaris Dekan; Dekan Fakultas
Hukum dan Ilmu Sosial dibantu oleh Mr. Prof. Mr. T. Dzulkarnain sebagai
Sekretaris Dekan. Selanjutnya dewan yayasan kembali memikirkan pembentukan
fakultas-fakultas baru.

Dr. Maas lulus STOVIA di Batavia tahun 1925 (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28-04-1925). T. Dzulkarnain, asal
Kota Pinang lulus di Universiteit Leiden tahun 1929 (Bataviaasch nieuwsblad, 18-09-1929).
Mr. Ani Manoppo lulus Rechts Hoogeschool di Batavia tahun 1936. Dr. Achmad
Sofian lulus di Geneeskundige Hoogeschool di Batavia tahun 1937 (De Indische
courant, 25-05-1937). Mr. Mahadi lulus Rechts Hoogeschool di Batavia tahun 1938
(Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-09-1938); Dr. Mohamad
Ildrem Siregar lulus di Uiversiteit Leiden tahun 1938 (
(Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad,
16-12-1938). Mr. Ani Manoppo satu kelas dengan Mr. Abdul Abbas Siregar dan
sama-sama lulus tahun 1936 di Rechtshoogesxhool Batavia. Ayah Ani Manoppo
adalah H. Manoppo seorang wartawan terkenal dari surat kabar Bintang Timoer di Batavia (milik
Parada Harahap).

Pemerintah/Kementerian Pendidikan terus melenggang dengan pembentukan dan
peresmian Universitas Airlangga, serta pembentukan fakultas-fakultas di Sumatra
Tengah untuk mengejar persyaratan pembentukan suatu universitas negeri.
Menyadari bahwa Universitas Sumatra Utara kurang diperhatikan Jajasan
Universitas Sumatra Utara terus berbenah sendiri dan memperkuat
fakultas-fakultasnya.
Suhubungan dengan hal tersebut
Gubernur Sumatra Tengah telah menerima surat dari Kementerian Pendidikan yang
mengizinkan pembukaan sebuah universitas di Bukittinggi (De nieuwsgier,
24-07-1956). Dalam hal ini, Gubernur diminta untuk mengajukan proposal mengenai
pembukaan ini. Dalam perkembangannya, pembentukan Universitas Adityawarman di Sumatra
Tengah dan Universitas Hasanoeddin di Sulawesi dilaporkan hampir selesai. (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 05-10-1955). Akhirnya Universitas Hasanoeddin di
Makassar diresmikan pada tanggal 10 September 1956 dan tiga hari kemudia Universitas
Adtyawarman yang diganti nama dengan nama Universitas Andalas di Bukittinggi
pada tanggal 13 September 1956. Universitas Airlangga diresmikan oleh Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta meresmikan Universitas Hasanoeddin
dan Universitas Andalas.
Gagasan penegerian Universitas
Sumatra Utara baru muncul pada era Menteri Pendidikan Sarino
Mangunpranoto (Maret 1956-April
1957). Ketika ikut mendampingi Wakil Presiden Mohamad Hatta meresmikan
Universitas Andalas di Bukittinggi pada tanggal 13 September 1956, Menteri
Pendidikan Sarino Mangunpranoto mengumumkan bahwa sebelum tahun 1960 akan
dibentuk universitas negeri di Medan (Algemeen Indisch dagblad: de
Preangerbode, 13-09-1956). Disebutkannya lebih lanjut bahwa setelah ini (baca:
Universitas Sumatra Utara), jumlah universitas tidak akan lagi ditambah, enam
universitas cukup untuk Indonesia.

Jajasan Universitas Sumatra kembali
menghasilkan fakultas baru di Medan. Algemeen Indisch dagblad : de
Preangerbode, 19-11-1956
memberitakan di Medan Jumat pagi pembukaan
fakultas pertanian berlangsung, dibawah naungan Jajasan Universitas Sumatera
Utara. Penjabat gubernur Sumatera Utara, Soetan Koemala Pontas, dalam kapasitasnya
sebagai Ketua Jajasan memberikan sambutan. Disebutkan untuk memenuhi sebagian
ruangan yang diperlukan digunakan beberapa ruangan di kantor gubernur. Fakultas
pertanian yang baru ini disebutkan juga memiliki kepentingan dengan sejumlah
perusahaan di Sumatera Utara, termasuk AVROS. Fakultas saat ini memiliki 61 mahasiswa.
Namun belum lama Universitas Andalas diresmikan, Wakil
Presiden Mohamad Hatta dinyatakan mengundurkan diri pada tanggal 1 Desember
1956.
Pada hari yang sama, ketika parlemen menyetujui
pengunduran diri Mohamad Hatta, salah satu surat kabar di Djakarta menulis
sebagai berikut: ‘Dwitunggal: Tanggal Tunggal, Tinggal Tunggal’. Boleh jadi
pengunduran diri Mohamad Hatta tidak mengagetkan Soekarno. Namun tidak lama
kemudian lagi, terjadi kudeta terhadap pemerintah pusat di Bukittinggi oleh
Letkol Achmad Husein pada tanggal 20 Desember 1956 dan mencopot Gubernur
Sumatra Tengah Muljohardjo yang notabene adalah wujud dari perwakilan
pemerintah pusat di Sumatra Tengah. Peristiwa di Bukittinggi ini tentu membuat
Presiden Soekarno kaget. Presiden Soekarno jelas dalam posisi dilawan. Karakter
Soekarno justru orang yang tidak mau dilawan. Terhadap peristiwa ini, lantas,
apakah Presiden Soekarno mulai gamang? Ternyata tidak gamang. Soekarno adalah
seorang revolusioner sejak era kolonial Belanda dan proklamator kemerdekaan
Indonesia yang baru-baru ini berhasil memimpin negara-negara Asia dan Afrika
dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandoeng (1955). Yang gamang adalah para
menteri-menterinya. Sebaliknya, Achmad Husein dengan dewan Bantengnya semakin
berani melawan pusat, tidak hanya Presiden Soekarno tetapi juga Kabinet
Djoeanda yang dipimpin Perdana Menteri Ir. Djoanda dengan Menteri Dalam Negeri
Sanoesi. Letnan Kolonel Achmad Husein bahkan tidak menggubris seruan damai dari
Kepala Staf Angkatan Darat, Majoor Generaal Abdul Haris Nasution (yang notabene
atasannya langsung). Secara historis, Soekarno, Djoeanda, Sanusi dan Nasution
adalah ‘kelompok Bandoeng’.
Setelah terjadi kudeta
di Bukittinggi, tidak lama kemudian Menteri Pendidikan
Sarino Mangunpranoto mengatakan pembentukan universitas negeri
di Medan dapat disegarakan. Pembentukan universitas negeri di Medan, yang baru
saja diumumkan oleh menteri pada upacara pembukaan Universitas Andalas di
Bukittinggi, dapat dibenarkan dengan kehadiran empat fakultas, yaitu. fakultas
kedokteran, hukum dan pertanian serta akademi pedagogis swasta. Pernyataan
Menteri Pendidikan ini sangat berdekatan dengan pertemuan tokoh-tokoh Tapnuli
di Djakarta yang memutuskan perlunya persatuan dan kesatuan, pembangunan di
Tapanoeli dan menghindari pemicu perpecahan di Sumatra Utara.
Java-boe, 22-01-1957

Het nieuwsblad voor
Sumatra, 21-01-1957: ‘Menteri Pendidikan
Sarino Mangunpranoto mengatakan
pembentukan universitas negeri di Medan terdiri dari fakultas kedokteran,
fakultas hukum, fakultas pertanian dan akademi pedagogik Universitas Negeri di
Medan. Berdasarkan permintaan, Menteri Pendidikan, Sarino Mangunpranoto,
mengatakan bahwa fakultas pertanian dan akademi pedagogis swasta di Medan akan
diadopsi menjadi pilar pembentukan universitas negeri di Medan, yang akan
didirikan tahun ini. Anggaran untuk ini telah dimasukkan dalam struktur anggaran
tahun 1957’.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 22-01-1957
: ‘Orang-orang berpengaruh (Vooraanstaanden) dari Tapanuli bertemu.
Prominenten dari komunitas Tapanuli di Djakarta, Minggu malam membahas situasi
saat ini di Sumatra. Keputusan berikut diadopsi dengan suara bulat diterima:
Untuk membangun persatuan yang erat di semua wilayah Tapanuli dan di seluruh
wilayah Indonesia, berdasarkan adat; Diupayakan segera membangun di Tapanuli; Dalam
jangka pendek, munculnya gagasan pembentukan provinsi Sumatera Timur, itu hanya
akan memicu perpecahan di provinsi Sumatera Utara; Keputusan ini dibuat pada hari
ini. Pertemuan pada hari Minggu adalah antara lain dihadiri oleh Abdul Hakim, Prof.
Mr. Dr Todung Gunung Mulia, Sutan Guru Sinomba, Mr. Basjaruddin Nasution, Ir.
Tarip Harahap, Aminuddin Lubis, Mr. AM Tambunan, M. Hutasoit, Mr. Rufinus
Lumbantobing, Ir. Debataradja, Mr. Elkana Tobing, S. Pandjaitan, Mayor Jenderal
TB Simatupang dan Binanga Siregar–anggota Konstituante untuk Tapanuli, yang tengah
dalam perjalanan ke Bandung’.

Kudeta di Bukittinggi pada tanggal 20 Desember 1956 telah menimbulkan permasalahan
tersendiri di Sumatra Utara. Ketika muncul aksi di Sumatra Timur, tokoh-tokoh
Tapanuli (yang dipimpin oleh Abdul Hakim, mantan Gubernur Sumatra Utara) di
Djakarta memberi respon yang menyejukkan yakni memperkuat persatuan dan
kesatuan (di Indonesia), perlu menyegerakan pembangunan (di Tapanuli) dan menghindari
perpecahan (di Sumatra Utara).
Pemisahan Residentie Atjeh dari
Provinsi Sumatra menjadi Provinsi Atjeh berbeda dengan Pemisahan Sumatra Timur
dari Provinsi Sumatra Timur untuk dijadikan sebagai sebuah provinsi. Pada tahun
1956 secara resmi Provinsi Atjeh terbentuk berdasarkan Undang-Undang No. 24
Tahun 1956 yang diundangkan pada tanggal 7 Desember 1956. Pembebntukan Provinsi
Atjeh relatif bersamaan dengan pemberontakan di Povinsi Sumatra Tengah. Awal
pembentukan Provinsi Atjeh dimulai pada pemberintakan di Atjeh tepat pada
pembukaan PON III di Medan 20 September 1953 (di era Gubernur Abdul Hakim
Harahap).  Boleh jadi tindak lanjut
perdamain di Atjeh di era Gubernur SM Amin Nasution adalah pembentukan Provinsi
Atjeh. Kini, di era Gubernur Soetan Kumala Pontas (mantan Bupati Tapanuli
Tengah) muncul isu pemisahan Sumatra Timur tidak lama setelah secara resmi
terbentuk Provinsi Atjeh. Sebagaimana tokoh-tokoh Tapanuli di Djakarta, Gubernur
Soetan Kumala Pontas juga ingin tetap menjaga persatuan dan kesatuan di
Provinsi Sumatra Utara (Residentie Tapanoeli dan Residentie Sumatra Timur),  
Boleh jadi komunike ini telah disampaikan kepada pemerintah atau
terdeteksi oleh pemerintah (Presiden dan Menteri Pendidikan). Sebab keputusan
Menteri Pendidikan bersesuain dengan keputusan tokoh-tokoh Tapanuli di Djakarta
yang dipimpin oleh Abdul Hakim yang menekankan persatuan di antara orang-orang
Tapanuli dimanapun berada di Indonesia dan menghindari perpecahan di Sumatra Utara.
Beberapa hari kemudian, keputusan pribadi Presiden Soekarno menamai pesawat
kepresidenan dengan nama Dolok Martimbang juga bersesuaian dengan keputusan
tokoh-tokoh Tapanuli di Djakarta tentang persatuan dan kesatuan.    
Pada tanggal 24 Januari 1957 sebuah
pesawat yang dihadiahkan oleh Pemerintah Uni Soviet mendarat di bandara Halim,
Djakarta. Presiden Soekarno langsung datang ke bandara. Pesawat yang akan
dijadikan sebagai pesawat kepresiden Indonesia, Presiden Soekarno spontan
memberi nama Dolok Martimbang.
Dolok Martimbang adalah nama gunung yang dikenal sejak masa lalu di
Tapanuli (Utara) yang memiliki legenda sebagai nama suatu gunung yang dijadikan
sebagai tempat mengikat perdamaian berdasarkan pertimbangan yang adil. Nama
Dolok Martimbang diartikan oleh Presiden Soekarno sebagai lambang persatuan dan
kesatuan. Lantas apakah kudeta di Bukittinggi memiliki relasi dengan penabalan
pesawat pribadi presiden dengan nama Dolok Martimbang?
Jelas iya. Meski
terkesan spontan Presiden Soekarno menabalkan nama Dolok Martimbang, tetapi
Soekarno sudah lama mengetahui makna nama Dolok Martimbang bagi penduduk Batak
di Tapanuli Utara. Yakni sebagai lambang perdamaian yang dalam bahasa Soekarno
diartikan sebagai simbol dari persatuan dan kesatuan. Boleh jadi saat itu
Presiden Soekarno melihat kejadian di Bukittinggi sebagai sinyal disiintegrasi
(menolak persatuan dan kesatuan) antara Provinsi Sumatra Tengah dengan
Indonesia. Dalam konteks inilah Presiden Soekarno memerlukan spirit Dolok
Martimbang untuk bisa memperkuat persatuan dan kesatuan. Nama Dolok Martimbang
ditempel di pesawat pribadi kepresidenan, pesawat yang membawa Presiden
Soekarno ke berbagai daerah di Indonesia. Setiap orang bertanya apa arti Dolok
Martimbang, Presiden Soekarno dengan tepat menjelaskan artinya simbol persatuan
dan kesatuan. Dalam hal ini ternyata, Presiden Soekarno merasa tidak cukup
dengan motto Bhinneka Tunggal Ika sehingga harus ditambah dengan spirit Dolok
Martimbang.

Lantas apakah ada relasi nama Dolok Martimbang dengan penegerian
Universitas Sumatra Utara? Tentu saja ada. Saat itu, Presiden Soekarno adalah
segalanya. Apa yang dipikirkannya dan telah dikatakannya selalu dilaksanakannya.
Konsisten berpikir, konsisten berkata-kata dan konsisten melaksanakan. Presiden
Soekarno juga pendengar yang baik, pemerhati yang teliti dan juga penanya yang
bagus meski seseorang yang ditanya itu adalah seorang petani. Presiden Soekarno
juga seorang yang blak-blakan, apaya yang dikatakannya sesuai dengan yang
dipikirkannya. Presiden Soekarno sangat mengandalkan data historis dan sangat
piawai merumuskan secara futuristik. Dan, tentu saja Presiden Soekarno sangat
tegas: mengatakan tidak jika tidak dan mengakatakan iya jika iya. Itulah
mengapa Presiden Soekarno membutuhkan sebuah nama untuk nama pesawat pribadinya
dengan nama yang sesuai saat itu (saat adanya gejolak di daerah) yakni Dolok
Martimbang. Presiden Soekarno sangat konsisten dengan konsep persatuan dan
kesatuan yang justru menjadi inti (pembentukan) NKRI itu sendiri. Presiden
Soekarno tidak takut RIS (Republik Indonesia Serikat) dibubarkan dan malah
mendukungnya. Yang ditakutkan oleh Presiden Soekarno adalah NKRI bubar. Ketika
terjadi Kongres Rakyat di Medan pada April 1950, Presiden Soekarno terus
memantau. Hasil Kongres Rakyat menghasilkan keputusan: ‘Bubarkan Negara Sumatra
Timur (negara federal) wujudkan Negara Kesatuan (Republik Indonesia)’. Hasil
kongres inilah yang mengilhami Presiden Soekarno memikirkan NK(RI),
mensosialisasikannya dan melaksanakannya sejak tanggal 6 September 1950. NKRI
inilah yang sedang diuji di berbagai daerah termasuk di Provinsi Sumatra
Tengah.

Bagi pegiat pendidikan tinggi di Medan, kudeta di Bukitttinggi adalah
satu hal. Penyegeraan untuk penegerian Universitas Sumatra Utara adalah hal
lain. Para akademisi di Medan tidak sedang larut dalam eskalasi politik. Oleh
karena sudah ada permintaan pemerintah, lalu komite persiapan penegerian
Universitas Sumatra Utara dibentuk (
Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-02-1957). Disebutkan  sehubungan dengan niat Pemerintah  untuk terus membentuk universitas negeri di
Medan dalam tahun ini, Komite Persiapan Universitas Sumatra Utara telah
dibentuk hari ini dengan komposisi sebagai berikut: Gubernur Sumatera Utara
Soetan Kumala Pontas sebagai Ketua; Prof. Dr. Maas sebagai Wakil Ketua; Mr. J.
Arnold Simandjuntak. kepala departemen administrasi umum di kantor gubernur
sebagai sekretaris pertama dan untuk sekretaris kedua adalah Mr. Mahadi. Mr. Paras
Nasution, Direktur Bank Dagang Indonesia sebagai bendahara; Para anggota komite
adalah Komandan Tritorial, Wali Kota Medan, Ketua Dewan Sumatera Utara; Ketua
Dewan Kota Medan, Prof. A. Sofian, Prof. Mohamad Ildrem Siregar, Prof. Mrs. A.
Abas-Manoppo, Prof. T Dzulkarnain, Tan Tong Tan dan G. Sianipar. Universitas
negeri yang akan dibentuk mencakup fakultas kedokteran, fakultas hukum dan ilmu
sosial, fakultas ilmu pertanian, fakultas pedagogi dan fakultas kedokteran
gigi. Dua fakultas, Fakultas Kedokteran dan Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial sudah
berlangsung sejak beberapa tahun di Medan. Sementara fakultas ilmu pertanian
dan fakultas pedagogi telah didirikan pada tahun lalu. Sedangkan fakultas
kedokteran gigi masih dipersiapkan.
Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 07-02-1957 pertemuan massa 5 di
Sumatera Tengah dalam rangka pengunduran diri permintaan pemerintah huddiige
adalah hari Rabu di Buikittinggi mengadakan pertemuan massa, yang dihadiri oleh
sejumlah besar penduduk kota dan sekitarnya. Pada pertemuan ini tiga orang
diucapkan, yaitu Dt. Madjo Indo sebagai wakil dari niniik-mamak, Maimunah
Rahman sebagai wakil dari organisasi-organisasi perempuan dan Maramis sebagai
wakil dari kaum muda. Itu berbicara tentang situasi saat ini, yang di mata
mereka tidak bisa lagi diatasi oleh pemerintah saat ini. Mereka menyatakan
pendapat mereka bahwa keberlangsungan eksistensi kabinet saat ini hanya akan
mengarah pada hubungan terpisah antara pemerintah pusat dan daerah. Atas dasar
ini, rakyat Sumatra Tengah menginginkan kabinet yang sekarang digantikan oleh
kabinet bisnis yang dipimpin oleh Dr. Hatta. Resolusi juga diadopsi pada
pertemuan massa ini, dengan pembubaran kabinet saat ini sebagai persyaratan
utama. Setelah pertemuan massal, sebuah prosesi besar diadakan oleh kota. Kepala
Staf Angkatan Darat, Mayor Jenderal Nasution, adalah audiensi dengan Presiden
di Bogflr. Dalam kunjungan ini, kepala staf melapor kepada presiden dalam
kualitasnya sebagai komandan tertinggi angkatan bersenjata Indonesia, pada
kunjungannya ke Sumatra baru-baru ini dalam konteks penyelesaian berbagai
peristiwa dan dalam militer. Juga diketahui bahwa kepala staf mengunjungi Ali
Sastroamidjojo untuk kedua kalinya sejak kepulangannya dari Sumatera dalam
kapasitasnya sebagai menteri pertahanan ai Naar, selama pertemuan ini berbicara
tentang penyelesaian masalah ini. Sumatra. Dengan GIA-kapal adalah ibu kota
Medan tiba sekelompok tujuh orang untuk tur orientasi melalui Sumatera Utara,
yang terdiri Bachrun Harahap, Jusuf Telombanua, S. Pandjaitan, Aminuddin Lubis.
Hasbullah Siregar. ir. Debataradja dan Amsar Lubis. Di pengamat bandara
disambut oleh ratusan warga Sumatera Timur dan Tapanuli. S. Pandjaitan. juru
bicara kelompok itu, permintaan mengatakan kepada pers bahwa mr. Tambunan dan
Abdul Hakim, mantan goeverneu- county Noor saya Sumatera aanvanke’ijk akan
berpartisipasi dalam perjalanan, tetapi mereka harus meninggalkan mereka karena
politik situasi di ibukota.

Proses pembentukan universitas negeri di Sumatra Utara
(yakni Universitas Sumatra Utara) sudah direspon oleh pemerintah pusat.
Gubernur Sumatra Utara Abdul Halim Harahap pernah mengkritik pusat karena tidak
sesenpun pemerintah pusat mengalokasikan anggaran dalam pembentukan perguruan
tinggi di Sumatra Utara sementara warga masyarakat dan stakeholder lainnya
sudah menunjukkan partisipasinya (De nieuwsgier, 20-10-1952). Baru setelah protes
mahasiswa tahun ketika Presiden Soekarno dan Mohamad Jamin berkunjung ke Medan
dalam pembukaan kongres bahasa 1954 pemerintah mengalokasikan dana dalam wujud direalisasikan
penegerian dua fakultas yang sudah ada (kedokteran dan hukum). Namun setelah
penegerian dua fakultas itu proses pembentukan universitas negeri di Sumatra
(Universitas Sumatra Utara) terkesan ditahan atau diperlambat. Ketika
Universitas Andalas diresmikan pada tanggal 13 September 1956 tiba-tiba Menteri
Pendidikan Sarino menghangatkan kembali pembentukan universitas negeri di Medan.
Namun setelah itu dingin kembali. Setelah kudeta di Bukittinggi pada tanggal 20
Desember 1956 dan munculnya sejumlah pihak pemisahan Sumatra Timur tokoh-tokoh
Tapanuli di Djakarta menghasilkan suatu komunike. Tiba-tiba pemerintah melalui
Menteri Pendidikan Sarino Mangunpranoto meminta dibentuk komite penegerian
Universitas Sumatra Utara. Ini seolah-olah pemerintah pusat selama ini telah mempermainkan
pegiat pendidikan di Sumatra Utara (game theory). Ini ibarat setelah kisruh di
Sumatra, pemerintah pusat baru buru-buru meminta Universitas Sumatra Utara
dinegerikan.

Dalam persiapan yang
dilakukan komite persiapan ini, tampaknya pemerintah pusat (Kementerian
Pendidikan) juga bekerja cepat untuk mendukung termasuk dalam hal ini memperbanyak
jumlah dosen. Diantaranya Dr. FJ Nainggolan diangkat sebagai profesor luar
biasa dalam bidang parasitology dengan keputusan Menteri Pendidikan yang
ditempatkan di Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara di Medan (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 15-02-1957); Dokter Mohamad Hamzah Harahap akan
mengajar di Universitas Sumatra Utara (Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-05-1957).
Disebutkan sehubungan dengan pengangkatannya sebagai profesor penyakit dalam di
fakultas kedokteran di Medan, Mohamad Hamzah Harahap akan pindah dari Siantar
ke Medan pada bulan depan. Dr. MohamadHamzah telah bermukim di Siantar selama
bertahun-tahun, dan sebagai dokter swasta di sana. Apotek praktek dokter
pribadinya di Siantar, akan dilanjutkan oleh Dr. De Graaf dari Rantauprapat.
Dr Mohamad Hamzah Harahap adalah
dokter senior. Dokter Mohamad Hamzah Harahap adalah alumni Dokter Djawa School.
Mohamad Hamzah Harahap dan Haroen Al Rasjid sama-sama lulus tahun 1902. Pada
tahun 1903 Dr, Mohamad Hamzah ditempatkan di Telokbetoeng dan Dr. Haroen Al
Rasjid ditempatkan di Padang. Di Kota Padang tahun 1903 menikah dengan putri
dari raja persuratkabaran Sumatra Dja Endar Moeda bernama Alimatoe’Saadiah. Pada
tahun 1905 anak mereka yang perama lahir di Padang yang diberi nama Ida
Loemongga. Kelak, Ida Loemongga Nasution adalah perempuan Indonesia pertama
yang meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam
tahun 1931. Mohamad Hamzah Harahap adalah sepupu Soetan Casajangan, pendiri
Indische Vereeniging di Belanda tahun 1908. Indische Vereeniging ini kelak pada
tahun 1924 namanya diubah menjadi Perhimpoenan Indonesia oleh Mohamad Hatta dkk.
Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah adik kelas Saleh Harahap gelar
Dja Endar Moeda di sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean. Ayah Dr. Haroen
Al Rasjid bernama Soetan Abdoel Azis yang satu kelas dengan ayah Soetan
Casajangan di sekolah guru Kweekschool Tanobato (asuhan Willem Iskander).
Universitas Sumatra
Utara telah memasuki tahun kelima. Universitas Sumatera Utara merayakan lustrum
pertama (Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-08-1957). Universitas Sumatera Utara
merayakan lustrum pertamanya kemarin, universitas sekarang memiliki empat
fakultas, yaitu! Fakultas kedokteran, fakultas hukum dan ilmu sosial; fakultas pedagogis
dan fakultas pertanian. Dua fakultas pertama, fakultas kedokteran dan fakultas hukum
dan ilmu sosial telah diakui oleh pemerintah sejak tahun 1955 dan dengan
sendirinya milik pemerintah. Fakultas pedagogi dan fakultas pertanian yang didirikan
tahun lalu, saat ini masih berada, langsung dibawah yurisdiksi Jajasan
Universitas Sumatra Utara.
Jumlah mahasiswa yang diterima tahun
ini di berbagai fakultas Universita Sumatra Utara dilaporkan oleh Het
nieuwsblad voor Sumatra, 23-09-1957. Disebutkan dalam upacara pembukaan
perpeloncoan dari empat fakultas Universitas Sumatra Utara hadir Prof. Dr. Maas,
selaku wakil ketua dewan pembina Universitas Sumatera Utara dan Prof. Mr. Mrs. Ani
A. Abbas-Manoppo, Dekan Fakultas Hukum. Disebutkan jumlah mahasiswa yang
mengikuti perpeloncoan tersebut sebanyak 200 mahasiswa berasal dari fakultas
hukum dan ilmu sosial, 105 mahasiswa dari fakultas kedokteran, 200 mahasiswa
dari fakultas pedagogi (keguruan) dan 15 mahasiswa dari fakultas pertanian.
Ani A. Abbas-Manoppo adalah istri Mr.
Abdul Abbas Siregar. Ani Manoppo dan Abdul Abbas Siregar sama-sama satu kelas
di Rechts Hoogeschool Batavia. Setelah lulus dan mendapat gelar Mr, Ani Manoppo
menjadi pengacara di Batavia dan Mr. Abdul Abbas menjadi pengacara di Lampung
bersama Mr. Gele Haroen (alumni sekolah hukum di Be;anda yang merupakan adik kandung
Dr. Ida Loemongga Nasution, Ph.D). Pada era pendudukan Jepang Mr. Abdul Abbas
Siregar hijrah ke Batavia dan bertemu kembali dengan Mr. Ani Manoppo (lelu
menikah). Mr. Abdul Abbad Siregar adalah salah satu anggota PPKI yang diketuai
oleh Ir. Soekarno. Pasca proklamasi kemerdekaan RI, Mr Abdul Abbas Siregar
bersama Mr. T. Mohamad Hasan dikirim ke Sumatra, yang mana Mr. T Mohamad Hasan
diangkat menjadi Gubernur Sumatra di Medan dan Mr. Abdul Abbas Siregar diangkat
sebagai koordinator dalam pembentukan dewan di Sumatra. Lalu Provinsi Sumatra
terbagi sembilan residenti. Untuk Residen di Lampung diangkat Mr. Abdul Abbas
Manoppo, lalu kemudian dipindahkan sebagai Residen di Residentie Sumatra Timur
di Medan. Ketika Belanda kembali, Mr. Abdul Abbas dan istrinya Mr. Ani Manoppo
mengungsi ke Tapanoeli di Padang Sidempoean. Di Tapanoeli di era angresi
militer Belanda kedua, Mr. Abdul Abbas Siregar adalah Ketua Presidium
Republiken. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda Mr. Abdul Abbas
Siregar dan istrinya Mr. Ani Manoppo kembali ke Medan. Mr. Abdul Abbas Siregar
kelahiran Diski, Kota Medan.
Komite Persiapan (penegerian)
Universitas Sumatra Utara yang diketuai oleh Gubernur Sumatera Utara Soetan
Kumala Pontas telah bekerja dengan baik. Lalu pemerintah pusat menyetujui Rancangan
Undang-Undang untuk pembentukan Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan  (Het nieuwsblad voor Sumatra, 09-10-1957).
Dengan demikian penegerian Universitas Sumatra Utara sudah berada diambang
pintu.

Pembangunan komplek universitas
sedang dilakukan yang berada di Padangbulan (Het nieuwsblad voor Sumatra, 14-10-1957).
Disebutkan sebelum akhir tahun akan selesai yang meliputi laboratorium dan
ruang kelas untuk departemen anatomi dan fisiologi dari fakultas kedokteran dan
dua ruang kelas dan dua kantor untuk administrasi faculteit hukum dan ilmu sosial.
Jumlah lebih dari Rp. 5,7 juta telah dialokasikan oleh
pemerintah untuk ini, yang harus dibayarkan selama tahun ini. Untuk perluasan
komplek yang masih terkendala adalah pembebasan lahan. Sejumlah Rp. 4,5 juta
telah dialokasikan oleh pemerintah untuk menyiapkan 40 hektar lahan yang telah
dibuang dan membayar kompensasi kepada penghuni ilegal. Kompensasi telah
ditetapkan sebesar Rp. 1,75. sudah mulai dibangun di tanah universitas. Sebuah
pagar telah dipasang untuk mencegah pekerjaan baru. Sudah terdapat sepuluh rumah
dosen fakultas kedokteran. Namun masih terkendala dari keuangan pemerintah
untuk pembangunan rumah berikutnya yang mengakibat dosen dari Selandia Baru
belum datang karena belum tersedianya fasiltas perumahan. Saat ini, fakultas
ilmu pertanian dan fakultas pedagogi masih dalam manajemen swasta. Segera ini
juga akan diambil alih oleh pemerintah, dimana serentak universitas akan
didirikan di Medan, termasuk empat fakultas: kedokteran, hukum, pertanian dan
pedagogi. Sehubungan dengan itu dibentuk Badan Koordinasi Universitas Sumalera
Utara, sebelumnya koordinasi diatur antara fakultas ke Panitia Universitas
Sumatera Utara (Komite untuk mempersiapkan sebuah perguruan tinggi dengan
Gubernur Soetan Koemala Pontas sebagai Ketua dan Prof. Dr. Maas sebagai Wakil Ketua.
Rincian ini diberikan pagi ini pada konferensi pers oleh Prof. Dr. Maas dan
Prof. Mr. A. Abas’Manoppo.
Het nieuwsblad voor Sumatra,
09-11-1957:’Presiden Soekarno akan datang ke Medan. Menurut pejabat di kantor
Gubernur J. Arnold Simandjuntak, Presiden Soekarno diharapkan bertemu tanggal 20
di Medan pada Rabu pagi untuk pembukaan resmi USU (Universitas Sumatera Utara).
Seperti yang Anda ketahui, pemerintah telah memutuskan untuk mengakui
universitas ini sebagai universitas negeri. USU saat ini memiliki empat
fakultas, yaitu fakultas medis, hukum, pedagogis dan pertanian, belum diketahui
secara resmi siapa yang akan menjadi presiden USU. Pembukaan resmi universitas
akan berlangsung pada sore hari yang bertempat di gedung fakultas hukum USU di
Djalan Seram. Keesokan paginya setelah pembukaan resmi ini, Presiden Soekarno
akan memberikan kuliah umum untuk para mahasiswa USU. Setelah ini, kepala
negara masih akan mengadakan pertemuan dengan manajemen universitas. Kepala
negara akan melakukan perjalanan kembali ke ibukota pada sore hari tanggal 21
November’.
Jadwal peresmian
Universitas Sumatra Utara sudah ditetapkan. Peresmian akan dilakukan oleh
Presiden Soekarno pada tanggal 20 November. Sehubungan dengan itu, ketua panitia
persiapan juga telah menetapkan anggota presidium Universitas Sumatra Utara
sebagaimana diberitakan Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 14-11-1957: ‘Panitia
persiapan untuk peresmian (penegerian) Universitas Sumatera Utara pada
pertemuan di rumah dinas resmi Gubernur Soetan Koemala Pontas di Medan telah
menetapkan anggota presidium. Mereka itu adalah Ny. Prof. Annie Abbas Manoppo,
Prof. Dr. Maas dan Prof. Dr. Sofjan. Presidium ini akan bekerja di kantor
selama dua bulan. setelah itu penunjukan seorang presiden untuk universitas ini
akan dibuat. Menurut rencana, universitas akan diresmikan oleh Presiden
Soekarno pada 20 November’.
Bersamaan dengan
pembentukan dan penegerian Universitas Sumatra Utara di Medan, juga muncul gagasan
pembentukan universitas negeri
di Bandoeng. Ini sedikit bertentangan dengan pernyataan Menteri Sarino pada tanggal
13 November 1956 ketika peresmian Universitas Andalas. Algemeen Indisch dagblad,
04-01-1957 memberitakan pertemuan antara Menteri Pendidikan dan stafnya, Gubernur
Jawa Barat Sanusi Hardjadinata, perwakilan dari Universitas Indonesia dan
komite untuk pembentukan sebuah universitas negeri di Bandung, disepakati untuk
mendirikan universitas negeri yang baru pada pertengahan tahun 1957. Pada tanggal
6 Januari, panitia akan mengadakan pertemuan untuk melaporkan kemajuan yang
dicapai untuk mewujudkan pembentukan universitas. Indonesia akan memiliki total
enam universitas negeri. Menteri Sarino pada tanggal 13 September 1956
mengatakan di Medan akan dibentuk universitas negeri sebelum tahun 1960 sebagai
yang keenam dan cukup enam universitas untuk seluruh Indonesia. Dengan
pembentukan universitas negeri yang keenam di Bandoeng itu berarti Bandoeng
telah menyalib Medan di tikungan.

Sementara itu, dalam pembentukan universitas di
Bandung, yang diluar dugaan adalah Ketua
Komite
pembentukan universitas di Bandoeng adalah mantan Menteri Pendidikan Mohamad
Jamin (Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 22-01-1957). Disebutkan
pembentukan universitas di Bandoeng diberi nama Universitas Padjadjaran. Strategi
yang diusung dalam pembentukan universitas di Bandoeng tersebut adalah
memisahkan dua fakultas dari Universitas Indonesia
di Bandoeng dan membentuknya menjadi universitas. Ini mirip dengan cara yang
dilakukan oleh Menteri Pendidikan Mohamad Jamin ketika membentuk Universitas
Airlangga dengan memisahkan fakultas kedokteran dan institusi kedokteran gigi
yang menjadi bagian Universitas Indonesia di Soerabaja.

Namun usulan
pembentukan universitas di Bandoeng ini sejumlah pihak tidak setuju termasuk
Presiden Universitas Indonesia, Prof. Bahder Djohan (Algemeen Indisch dagblad:
de Preangerbode, 04-02-1957). Sejak itu pengusulan pembentukan universitas di
Bandoeng masuk kotak. Akan tetapi sejak Kabinet Djoeanda berkuasa (sejak 9
April 1957) pembentukan Universitas Padjadjaran menguat kembali. Kabinet
Djoeanda pada intinya diisi oleh ‘kelompok Bandoeng’, mulai dari Presiden
Soekarno, Perdana Menteri Ir. Djoeanda hingga Kepala Staf Angkatan Darat Majoor
Generaal Abdul Haris Nasution. Pihak yang berlawanan dengan ‘kelompok Bandoeng’
menuduh ‘kelompok Bandoeng’ adalah anti Belanda.
Pegiat pendidikan
tinggi di Bandoeng boleh jadi sudah mendongkol ketika dua fakultas Universitas
Indonesia di Bandoeng ingin dipisahkan dan dibentuk Universitas Padjadjaran.
Para pegiatan pendidikan di era Kabinet Djoeanda
ini tidak
memikirkan lagi pemisahan dua fakultas Universitas Indonesia tetapi membentuk
baru uinversitas di Bandoeng dengan memperkuat Universitas Merdeka di Bandoeng.
Universitas Medeka didirikan pada tahun 1952 dengan dua fakultas (hukum dan
ekonomi). Lalu Universitas Padjadjaran diresmikan pada tanggal 11 September
1957. Seperti halnya, halnya Universitas Sumatra Utara, pembentukan Universitas
Padjadjaran juga terkesan dihambat.
Universitas Sumatra
Utara akhirnya diresmikan oleh Presiden Soekarno tepat pada tanggal 20 November
1957
(Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie). Peresmian ini sekitar dua bulan setelah peresmian
Universitas Padjadjaran di Bandoeng. Universitas Padjadjaran juga diresmikan
oleh Presiden Soekarno. Hal ini berbeda dengan peresmian dua universitas
sebelumnya yang waktu itu diresmikan oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta.
Universitas Hasanoeddin di Makassar diresmikan pada tanggal 10 September 1956
dan tiga hari kemudian Universitas Andalas di Bukittinggi diresmikan pada
tanggal 13 September 1956. Ini seakan ada dua universitas kembar: Universitas
Hasanoeddin dan Universitas Andalas tahun 1956 sebagai kembar pertama dan
Universitas Padjadjaran dan Universitas Sumatra Utara pada tahun 1957 sebagai
kembar kedua.
Soal pemberontakan di
Provinsi Sumatra Tengah, Presiden Soekarno tetap acuh tak acuh. Presiden
Soekarno hanya fokus pada Irian Barat. Seperti setiap kali berpidato sepanjang
tahunn 1957 di berbagai daerah, Presiden Soekarno mengingatkan
sebelum ayam berkokok pada 1 Januari 1958, Belanda
harus angkat tumit dari Irian Barat. Oleh karena itu, Presiden Soekarno tetap
menekankan perlunya persatuan dan kesatuan untuk memuluskan kembalinya Irian
Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Akan tetapi Belanda tetap kukuh dengan Irian
Barat bahkan hingga 1 Januari 1958. Yang muncul justru adalah
diproklamirkannya PRRI pada tanggal
15 Februari 1958. Lantas, apakah Presiden Soekarno menjadi gamang? Ternyata
juga tidak. Pembebasan Irian Barat adalah tujuan utamanya. Namun soal Provinsi
Sumatra Tengah tetap menjadi ganjalan bagi Presiden Soekarno. Untuk merebut
Irian Barat Presiden Soekarno memerlukan persatuan dan kesatuan. Oleh karena
itu, Presiden Soekarno ingin segera menyelesaikan Provinsi Sumatra Tengah,
tetapi tidak lagi dengan jalan damai yang telah dilaksanakan selama ini.
Presiden Soekarno memutuskan melakukan penyerangan terhadap PRRI.
Untuk melaksanakan itu
Presiden Soekarno meminta persetujuan mantan Wakil Presiden Mohamad Hatta,
tetapi ditolak karena tidak setuju. Lalu Presiden Soekarno memutuskan sendiri
untuk dilakukan penyerangan. Presiden Soekarno menugaskan kepada Majoor
Generaal Abdul Haris Nasution. Akan tetapi Abdul Haris Nasution menolak dengan
halus dengan persetujuan tetapi memberikan kebebasan kepada Kolonel Achmad Jani
untuk melaksanakannya. Sebelum serangan dimulai, sepulang dari kunjungan luar
negeri, Presiden Sukarno sempat melunak untuk berdamai dengan Mohamad Hatta.
Mantan Wakil Presiden Mohamad Hatta hanya bersedia jika dirinya sebagai Perdana
Menteri tetapi Presiden Soekarno hanya sebagai simbol kepala negara. Tampaknya
penawaran Mohamad Hatta dianggap Soekarno harganya terlalu tinggi. Sikap
Soekarno yang awalnya melunak kembali mengeras, sekeras batu.
Penyerangan pendahuluan sudah dimulai (di pesisir Pantai
Barat Sumatra) dan serangan besar-besaran ke pedalaman di Sumatra Tengah dilakukan
pada bulan April 1958. Ketika Jenderal Abdul Haris Nasution datang meninjau di
Pekanbaroe, satu batalion TNI yang ditempatkan Achmad Jani di Tapanoeli untuk
merangsek ke Sumatra Tengah diminta dikosongkan. Mengapa Nasution meminta
dikosongkan? Boleh jadi agar tidak sepenuhnya PRRI yang terkepung di daerah DOM
di Provinsi Sumatra Tengah, dan jalur kosong menuju Tapanoeli ini menjadi jalur
pelarian. Pasukan reguler TNI di Tapanoeli hanya tinggal menangkapinya di
daerah netral (diluar DOM).. Itulah taktik ala gerilya Jenderal Abdul Haris
Nasution. Pertumpahan darah menjadi diminimalkan.
Penyerangan yang dilakukan terhadap PRRI di Provinsi
Sumatra Tengah sangat disayangkan. Namun boleh jadi dari sudut pandang Presiden
Soekarno, ketika pembebasan Irian Barat terkendala, tindakan penyerangan
terhadap PRRI adalah jalan pintas untuk memaksakan dalam mengeliminasi
disintegrasi bangsa. Penyerangan terhadap PRRI di Provinsi Sumatra Tengah
adalah salah satu wujud mempertahankan persatuan dan kesatuan, tetapi dengan
cara yang tidak diinginkan. Tampaknya spirit Dolok Martimbang tidak manjur di
Provinsi Sumatra Tengah, Presiden Soekarno untuk mempertahankan persatuan dan
kesatuan di Sumatra Tengah telah dilakukannya dengan caranya sendiri.
Sebaliknya pers barat terutama Belanda sangat mengkhawatirkan tindakan Soekarno
menyerang Sumatra Tengah dijadikan sebagai gladi resik
untuk serangan selanjutnya di Irian Barat yang masih dikuasai
Belanda (Gereformeerd gezinsblad / hoofdred. P. Jongeling, 19-03-1958).

Pada level daerah, apa yang terjadi pada level nasional
juga terjadi di Provinsi Sumatra Utara. Setelah Residentie Atjeh meminta
otonomi yang dimulai pada pemberontakan tanggal 20 September 1953 yang kemudian
dibentuk Provinsi Atjeh secara formal tanggal 7 Desember 1956. Setelah kudeta
di Bukittinggi pada tanggal 20 Desember 1956 yang menimbulkan ketegangan antara
pusat (Djakarta) dengan Provinsi Sumatra Tengah (Bukittinggi) pada awal tahun
1957 kelompok tertentu di Medan meminta otonomi Residentie Sumatra Timur
menjadi sebuah provinsi. Sejumlah tokoh asal Tapanoeli di Djakarta yang
dipimpin mantan Gubernur Sumatra Utara Abdul Hakim Harahap mendeklarasikan
tetap menjaga persatuan di Tapanuli dan di seluruh Indonesia, melaksanakan
pembangunan dan menolak otonomi Sumatra Timur karena dapat memcu perpecahan di
Provinsi Sumatra Utara (
Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-01-1957). Tokoh-tokoh otonomi ini
antara lain Mr. Mahadi. Jusuf A. Puar dan Djaidin Purba (mantan Wali Kota
Medan). Lalu permintaan kelompok otonomi ini meningkatkannya dengan melakukan
Kongres Otonomi (Het nieuwsblad voor Sumatra,    14-03-1957).

Surat kabar Mestika memberitakan terdapat sikap
negatif dari pemerintah pusat sehubungan dengan otonomi ini. Ketua Komite
Kongres, Mr. Mahadi yang mengundang Presiden Soekarno untuk hadir, malah
dijawabpun tidak.Tampaknya kelompok otonomi kecele, boleh jadi sebaliknya
Presiden Soekarno menganggap kelompok otonomi tidak mehamami situasi dan
kondisi yang tengah dihadapinya (pusat vs Sumatra Tengah). Juga dilaporkan
Presiden akan ke Medan tetapi tidak menuju kongres otonomi tetapi ke organisasi
kelompok yang berbeda. Sementara itu Gubernur Soetan Koemala Pontas, dirinya
sendiri tidak hadir pada pembukaan kongres dan tidak merasa perlu mengirim seorang
pejabat untuknya, sudah cukup untuk diwakili oleh seorang sekretaris hukum. Ini
adalah respon pemerintah terhadap tuntutan otonomi untuk Pantai Timur, yang
mereka coba capai melalui jalur hukum. Surat kabar Mestika, melihat tidak
satupun pihak yang merespon, hanya berkomentar sinis bahwa semoga saja Tuhan
memberkati kongres otonomi tersebut.

Setelah penegerian
Universitas Sumatra Utara dilakukan, ketua presidium yang diangkat adalah Prof.
A. Sofian. Perjuangan penegerian Universitas Sumatra Utara di masa damai tidak
membuahkan hasil. Penegerian Universitas Sumatra Utara justru muncul tiba-tiba
dan tak terduga di waktu konflik nasional. Penegerian Universitas Sumatra Utara
tampaknya wujud dari strategi untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan di
bawah simbol Dolok Martimbang. Presiden Soekarno turut mendukung spirit
persatuan di Sumatra Utara dengan cara tidak merespon kongres otonomi. Setali
tiga uang Gubernur Sumatra Utara Soetan Koemala Pontas juga turut mendukung
persatuan dan kesatuan dengan caa tidak mengirim pejabat ke kongres otonomi.
Satu hal yang tersisa dari kasus PRRI ini adalah Prof. Bahder Djohan
mengundurkan diri sebagai Presiden Universitas Indonesia karena tidak setuju
dengan strategi penyerangan PRRI di wilayah Provinsi Sumatra Tengah (De
Volkskrant, 28-02-1958). Berbeda dengan Prof. Bahder Djohan yang mengundurkan
diri pada tahun 1958, Prof. Sumitro Djojohadikusoemo, dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia dipecat karena telah menyeberang ke PRRI. Lantas kemudian
posisi Prof. Dr. Achmad Sofian sebagai Ketua Presidium Universitas Sumatra
Utara telah digantikan oleh Gubernur Sumatra Utara Soetan Koemala Pontas.
Apakah penggantian Prof. Achmad Sofian ini memiliki kasus yang sama dengan
kasus Presiden Universitas Indonesia?
Lalu setelah berakhir PRRI, dua
fakultas Universitas Indonesia di Bandoeng dipisahkan dan dibentuk universitas
kedua di Bandoeng dengan nama Institut Teknologi Bandoeng yang diresmikan pada
tanggal 2 Maret 1959. Pertanyaannya: Apakah setelah Bahder Djohan tidak
menjabat Presiden Universitas Indonesia menjadi mulus pemisahan dua fakultas di
Bandoeng? Entahlah. Yang jelas di Bandoeng sudah berdiri dua universitas negeri
selama era Kabinet Djoeanda. Universitas Indonesia hanya tersisa di Djakarta
dan Bogor.
Universitas Sumatra
Utara yang sejatinya adalah universitas negeri yang ketiga, tetapi pada
akhirnya hanya duduk di urutan yang ketujuh setelah Universitas Gadjah Mada
(1949), Universitas Indonesia (1950), Universitas Airlangga (1954); Universitas
Hasanoeddin dan Universitas Andalas (1956); serta Universitas Padjadjaran
(1957). Berkah penegerian Universitas Sumatra Utara adalah berkah yang turun pada
situasi dan kondisi yang tepat ketika spirit persatuan dan kesatuan sangat
diperlukan untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi (NKRI).
Spirit Dolok Martimbang
langsung tidak langsung telah turut memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Dolok Martimbang tidak hanya menghalangi munculnya gejala disintegrasi seperti
di Provinsi Sumatra Tengah, bahkan spirit Dolok Martimbang turut menyemangati
pembebasan Irian Barat. Dolok Martimbang telah membuat utuh NKRI. Sekadar catatan
kembali, spirit NKRI dimulai di Provinsi Sumatra Utara. Ini bermula dari
Kongres Rakyat yang menghasilkan keputusan Bubarkan Negara Sumatra Timur dan
wujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para pemimpin di Medan di dalam
bingkai NKRI, ketika membentuk universitas di Sumatra Utara tidak pernah
berpikir untuk memberi nama Sisingamangaradja, tetapi nama yang diberikan cukup
dengan Universitas Sumatra Utara. Ini juga satu bentuk untuk mewujudkan persatuan
dan kesatuan di tingkat lokal dalam bingkai NKRI.
Mohamad Jamin  (Menteri Pendidikan) sempat mengusulkan Universitas
Indonesia diganti menjadi Universitas Poernawarman karena mengacu pada pemberian
nama Universitas Gadjah Mada. Atas dasar itu Mohamad Jamin akan membentuk
universitas di Sumatra dengan nama Universitas Adityawarman, Universitas
Airlangga di Soerabaja dan Universitas Hasanoedidin di Makassar. Usulan
penggantian nama Universitas Indonesia tidak ada yang merespon. Ketika
Universitas Adityawarman dibentuk di Provinsi Sumatra Tengah, Wakil Presiden
Mohamad Hatta mengusulkan nama Adityawarman diganti dengan nama Tuanku Imam
Bondjol. Namun dekan fakultas kedokteran di Bukittinggi Prof. Mohamad Sjaaf
juga tidak setuju lalu jelang peresmian universita di Sumatra Tengah tersebut
mengusulkan nama Universitas Andalas. Mohamad Sjaaf tampaknya jernih melihat
Provinsi Sumatra Tengah (yang terdiri dari Residentie Sumatra Barat, Residentie
Riau dan Residentie Djambi) pada dasarnya tidak homogen. Karena itu Mohamad
Sjaaf mengusulkan nama Andalas agar mencerminkan heterogenitas. Hal inilah yang
terjadi ketika Gubernur Sumatra Utara Abdul Hakim Harahap menetapkan nama
universitas di Provinsi Sumatra Utara dengan nama Universitas Sumatra Utara.
Dengan demikian nama-nama universitas negeri pada saat itu Universitas
Indonesia, Universitas Andalas dan Universitas Sumatra Utara adalah wujud
menjaga persatuan dan kesatuan pada tingkat yang berbeda-beda: nasional, pulau
dan provinsi. Format ini kemudian diikuti pada pembentukan Insitut Teknologi
Bandoeng (1959), Institut Teknologi Surabaja (1961) dan Institut Pertanian
Bogor (1963). Format ini sudah sejak lama diberlakukan di banyak negara seperti
Negeri Belanda dan Amerika Serikat.     

Persatuan dan kesatuan
dalam bingkai NKRI adalah harga mati. Tidak bisa ditawar-tawar. Persatuan dan
kesatuan adalah pilir penting mewujudkan negara yang damai dan negara yang kuat
dan sejahtera. Provinsi Sumatra Utara dalam hal ini dapat dikatakan sebagai
miniatur perjuangan dalam pembentukan NKRI. Di situ ada spirit Dolok
Martimbang.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap
berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada
‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku
hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top