Sejarah

Sejarah Kupang (25): Sejarah Pulau Wetar, Dekat di Mata Jauh di Hati; Bukan Nusa Tenggara Timur Tapi Maluku Barat Daya




false
IN


























































































































































 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kupang dalam blog ini Klik Disini

Seperti
halnya kabupaten Kepulauan Tanimbar, kabupaten Maluku Barat Daya tidak berada
di Provinsi Nusa Tenggara Timur tetapi di Provinsi Maluku. Pada masa lampau kepulauan
Tanimbar disebut Timor Laoet (mendapat nama dari Pulau Timor). Pulau Wetar yang
menjadi wilayah terluas kabupaten Maluku Barat Daya begitu dekat dengan Pulau
Timor (lebih dekat dibandingkan Pulau Tanimbar). Hal itulah sejarah Pulau Wetar
di kabupaten Maluku Barat Daya dikelompokkan pada serial artikel Sejarah Kupang
(bukan Sejarah Ambon).

Pulau Wetar di Kabupaten Maluku Barat Daya dibagi
ke dala empat kecamatan, yakni; kecamatan Wetar, kecamatan Wetar Barat, kecamatan
Wetar Timur dan kecamatan Wetar Utara. Kecamatan Wetar sebagai kecamatan di
induk di Pulau Wetar berada di sisi barat pulau yang begitu dekat dengan Pulau
Timor, Namun ibu kota Kabupaten Maluku Barat Daya (Tiukur) tidak di pulau Wetar
tetapi berada di pulau yang lebih kecil Pulau Moa. Mengapa? Apakah supaya lebih dekat dengan ibu kota kabupaten
Kepulauan Tanimbar (Saumlaki). Lantas mengapa (kecamatan) Wetar, kota Tiukur
dan kota Saumlaki semuanya membelakangi ibu kota Provinsi Maluku (Ambon) tetapi
menghadap ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur (Kupang)
? Hal itulah mengapa diperlukan analisis sejarah.

Bagaimana
sejarah (pulau) Wetar
? Seperti disebut di
atas Pulau Wetar berada di kabupaten Maluku Barat Daya, tetapi karena lebih
dekat dengan Timor (provinsi Nusa Tenggara Timur) maka dalam hal ini sejarah Wetar
hanya dibatasi Pulau Wetar saja. Se
perti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya
ada permulaan
. Untuk
ntuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe
.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Pulau Wetar: Sejak Era Hindoe

Pada
era Hindoe, semua pulau-pulau besar di Hindia Timur (baca: Indonesia) sudah
memiliki nama. Nama-nama tersebut merujuk pada nama-nama India. Demikian juga
nama-nama geografis lainnya seperti sungai besar dan gunung tinggi. Tentu saja
banyak nama tempat yang merujuk pada nama-nama India. Ini semua karena
kedekatan India dengan Hindia Timur dalam konteks perdagangan dan koloni.

Perdagangan dan koloni sejak era Hindoe
kemudian telah silih berganti. Terjadi beberapa transisi (overlapping) antara
era Hindoe (India) dengan era Islam (Mesir, Arab, Persia, Moor). Demikian juga
antara era Islam dengan era Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris). Namun
nama-nama yang sudah terbentuk dari era Hindoe tetap bertahan karena penting
dan menjadi pananda navigasi pelayaran perdagangan antar pulau. Hanya sedikit
nama baru yang muncul dari para kolonial, tetapi cukup banyak yang bertambah
dari penduduk asli (karena penyebaran penduduk).

Nama-nama
pulau di kepulauan Timor (Timor Groep) semua pulau besarnya merujuk pada
nama-nama India sejak era Hindoe. Salah satu nama pulau yang berubah di era
Eropa-Portugis adalah nama Pulau Mangarai menjadi Pulau Flores (Frolles) atau
Pulau Ende (Grande, Endei) yang ditetapkan pada era Belanda (VOC) dengan nama
Flores (hingga ini hari). Nama Pulau Alor, Timor, Sabu, Lembata dan Wetar masih
merujuk pada nama lama (era Hindoe).

Fakta bahwa era Hindoe ditandai dengan
masuknya para pedagang-pedagang India memasuki wilayah Hindia Timur yang dimulai
dari pantai barat Sumatra, pantai barat Semenanjung dan pantai barat dan utara
Jawa. Para pedagang-pedagang ini kemudian membentuk koloni, awalnya di pantai,
tetapi kemudian meluas hingga ke pedalaman, Lalu kemudian menyusul pedagang-pedagang
Islam (Mesir, Arab, Persia dan Cina) membentuk koloni di sejumlah kota-kota
pelabuhan yang telah dirintis oleh orang-orang India. Perkembangan ajaran
Hindoe sangat masif di Pulau Jawa karena penduduknya sangat padat relatif
dengan pulau lainnya. Dari Jawa penyebaran Hindoe oleh orang Jawa semakin
meluas ke Borneo, kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi dan Maluku. Namun semakin
jauh dari pusat Hindu di Jawa wujud koloni di pulau-pulau kecil dan yang lebih
jauh tampak kurang berkembang (oleh karena itu sisa peradaban Hindoe tidan
terlalu intens dan mudah enguap). Namun nama-nama India (era Hindoe) sudah
menjadi penanda navigasi pelayaran. Hal itulah mengapa nama-nama geografis
seperti pulau dan gunung di Sulawesi, Maluku dan Timor Groep memiliki nama-nama
yang merujuk India.

Lantas
mengapa nama pulau Mangarai bergeser menjadi nama Pulau Flores
? Ketika pelaut-pelaut Portugis datang, mereka memetakan
nama-nama pulau dan karena terkait dengan navigasi pelayaran, mereka juga
menandai teluk dan tanjung sesuai bahasa dan nama Portugis (sesuatu penamaan
teluk dan tanjung yang tidak muncul pada era Hindoe maupun era Islam). Salah
satu nama tanjung yang diberikan oleh pelaut Portugis adalah Cabo das Frolles
(Flores) di ujung timur pulau Mangarai (penanda navigasi dari Macassar dan Maluku
untuk memasuki pusat produksi kayu cendana di pulau Solor dan pulau Timor. Nama
Cabo das Flores ini disalin oleh pelaut-pelaut Belanda yang datang kemudian.
Lalu pada era Gubernur Jenderal VOC Brower (1636) ditetapkan nama pulau sebagai
Pulau Flores (untuk menggantikan nama Mangarai dan nama Grande atau Einde).

Tunggu
deskripsi lengkapnya

Pulau Wetar: Jalur Navigasi
Pelayaran Belanda Timor dan Banda

Peta-peta
kuno yang terakumulasi pada peta-peta Belanda (VOC) yang disalin dari peta-peta
Portugis menjadi penanda navigasi yang penting bagi pelaut-pelaut Belanda,
Pelayaran Belanda pertama yang menemukan pulau Enggano dan terus ke Banten lalu
menyusuri pantai utara Jawa hingga berakhir di pulau Lombok dan membuat kontrak
di Bali (dan kembali ke Belanda). Pada pelayaran berikutnya posisi Bali menjadi
penting (karena satu-satunya tuan rumah yang menerima dengan baik). Sejumlah
pedagang-pedagang satu per satu ditempatkan seperti di Banten, Amboina,
Makassar dan Ternate dimana para pedagang-pedagang Portugis sudah sejak lama
eksis. Semangat Belanda untuk mengusir Portugis mulai membara.

Pada tahun 1605 satu skuadron pelaut-pelaut
Belanda dari Bali bergerak menuju Amboina dan menyerang Portugis (dan
tersingkir ke Ternate). Lalu pedagang-pedagang Belanda menyasar pelabuhan-pelabuhan
yang ditinggalkan Portugis seperti di Banda dan kepulauan di selatannya.

Pada
posisi inilah jalur navigasi pelayaran Belanda dari Banten ke Amboina
berkembang melalui jalur navigasi kepulauan Sunda Kecil di pantai utara Bali,
pantai utara Sumbawa dan pantai utara Timor Groep. Jalur navigasi ini tepat
berada di antara pulau Timor dan Wetar. Namun keberadaan Portugis di pulau
Solor menjadi duri dalam daging bagi Belanda yang kemudian menyerang Portugis
di Solor dan bergeser ke Timor (Koepang) dan kemudian dikejar terus sehingga
orang-orang Portugis bergeser ke bagian timur pulau yang kini menjadi bagian
dari Timor Leste). Posisi lemah Portugis di timur pulau Timor keuntungan bagi
Belanda yang memperkuat benteng di Solor (Lohajong) dan Koepang. Praktis jalur
selatan ke Amboina ini dikuasai oleh pelaut-pelaut Belanda.

Tunggu
deskripsi lengkapny
a

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top