Sejarah

Sejarah Makassar (20): La Galigo, Aksara Lontara dan Luwu; Mitologi Penciptaan dan Asal Usul Penduduk di Sulawesi Selatan




false
IN


























































































































































 

*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini

Mitologi adakalanya
dipertentangkan dengan sejarah. Sebab menurut para ahli tempo doeloe, sejarah
adalah narasi fakta dan data. Suatu fakta yang benar-benar ada (terjadi) dan
dapat dibuktikan berupa data (fisik atau teks). Unsur-unsur ini kurang dimiliki
mitologi yang awalnya diceritakan secara turun temurun dengan lisan. Seiring
dengan keberadaan aksara, mitologi ini mulai ditulis yang dalam hal ini La
Galigo yang ditulis dalam aksara Lontara yang mengisahkan tentang penciptaan.

La Galigo sering disebut kitab kuno berbentuk puisi
yang berisi mitos penciptaan dari peradaban Bugis, nahkan bagi sebagian
masyarakat Bugis yang masih menganut agama tradisi Tolotang yang adakalnya La
Galigo dianggap sebagai kitab suci. Naskah yang awalnya berupa tuturan lisan
yang dilakukan penulisan pada paruh pertama abad 19 dengan aksara Lontara.
Isinya antara lain bercerita tentang mitos penciptaan dunia dan penciptaan
manusia atau asal-usul manusia pertama yang mendiami dunia. La Galigo sendiri
menurut para ahli berasal dari abad ke-14. Dalam hal ini La Galigo bukanlah
teks sejarah karena aspek mitologis dalam narasi terasa sangat kuat, tetapi
teks ini diakui oleh banyak ilmuwan memiliki pengaruh besar pada bagaimana
sejarawan melihat masa lalu peradaban Bugis. Tokoh utama La Galigo ialah
Sawérigading, cucu Batara Guru. Cerita dimulai dari dunia yang kosong dan
turunnya Batara Guru ke bumi. Alkisah, manusia pertama ini turun di daerah Luwu
di utara Teluk Bone. Batara Guru, sebagai raja digantikan oleh anaknya, La
Tiuleng, dan bergelar Batara Lattu’. La Galigo aksara Lontara ini diperkirakan
terdiri dari 6.000 halaman folio atau 300.000 baris puisi.

Lantas
bagaimana sejarah La Galigo dan aksara Lontara? Seperti disebut di atas La
Galigo dianggap sebagai mitologi, tetapi La Galigo yang ditulis dalam aksara
Lontara adalah sejarah (yang dalam hal ini sejarah penulisan La Galigo itu
sendiri—bukan isinya). Bagaimana itu terjadi? Seperti kata ahli
sejarah
tempo doeloe,
semuanya
ada permulaan.
Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.

La Galigo Aksara Lontara dan
Sejarah Awal Sulawesi Selatan

La Galigo ditulis
dalam aksara Lontara. Sementara catatan tentang Kerajaan Gowa ditulis dalam Lontara
Bilang-Bilang (lihat Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van
Nederlandsch-Indië, 1878). La Galigo sendiri paling tidak diketahui telah
diterjemahkan belum lama (lihat Soerabaijasch handelsblad, 09-08-1905). Kapan
La Galigo ditulis dalam aksara Lontara tidak diketahui secara pasti. Namun yang
jelas bahwa catatan (sejarah) Gowa ditulis dengan Lontara Baling-Baling pada
era Kerajaan Gowa.

Aksara Bilang-Bilang bukanlah aksara Lontara. Aksara
Lontara sendiri sudah terbentuk lama. Aksara Bilang-Bilang mengadaptasi
bilangan Arab dengan membuat aksara baru yang disebut aksara Bilang-Bilang
(Lontara Bilang-Bilang). Aksara Lontara diduga berasal dari zaman lampau yang mirip
dengan aksara-aksara di wilayah utara seperti Minahasa dan Filipina. Masuknya
pengaruh Islam di Makassar pada era Kerajaan Gowa diduga menjadi awal
munculnya Lontara Bilang-Bilang. Dalam hal ini Lontara Bilang-Bilang adalah
sandi aksara Lontara yang digunakan dalam sastra di Makassar untuk penulisan
genre tertentu disertai dengan waktu kejadian. Aksara Lontara dan Lontara
Bilang-Bilang sama-sama diakrtik. Lontara Bilang-Bilang ini mirip abjad Arab
yang pernah digunakan di Asia Selatan abad 19 M di wilayah Pakistan dan
Afghanistan.

Banyak penulis tempo
doeloe yang menyatakan bahwa kerajaan pertama di Sulawesi (selatan) adalah
Kerajaan Luwu (Loeboe, Lubuk, Luwuk). Nama Luwu sendiri paling tidak sudah
diidentifikasi dalam teks Negarakertagama 1365. Dalam teks ini juga sudah
diidentifikasi nama-nama Makassar, Boeton, Bontaeng dan Selajar. Tentu saja
pada masa itu kerajaan Gowa(-Tallo) belum terbentuk yang berpusat di Makassar.
Dalam hal ini di dalam La Galigo diceritakan kisah penciptaan.

Kapan (kota, kerajaan) Luwu terbentuk tidak
diketahui secara pasti. Keterangan yang diduga berhubungan dengan munculnya
peradaban baru (di Sulawesi) adalah prasasti Seko (Toraja) dan prasasti Watu
Rerumeran di Minahasa. Prasasti-prasasti tersebut berada di pedalaman di dekat
gunung-gunung dan danau-danau pedalaman. Prasasti Seko tidak jauh dari
pegunungan Latimojong, gunung Balease, gunung Gandangdewata, gunung Pompangeo,
gunung Bulu Kandela, gunung Buyu Lumut, gunung Tumpu dan gunung Torompupu serta
danau-danau Poso, Matano dan Towuti. Sementara prasasti Watu Rerumeran di
gunung Empung, gunung Lokon serta danau Tondano. Prasasti-prasasti ini
mengindikasikan federasi dari beberapa kerajaan awal di dua wilayah budaya awal.
Federasi kerajaan-kerajaan ini sebagaimana di Seko direpresentasikan sebagai
daliang. Dua prasasti ini juga mengindikasikan adanya konsep religi (pemujaan
terhadap leluhur) dan keutamaan kesuburan (lingga dan yoni). Satu-satunya sumber
tertua yang terdekat (ruang dan waktu) dengan dua prasasti Sulawesi ini adalah
prasasti di teluk Manila pulau Luzon (prasasti Laguna bertarih 900 M). Dalam
prasasti Laguna disebutkan raja yang termasyhur yang berada di Binwangan yang
menguasai kerajaan-kerajaan yang ada di teluk Manila. Nama yang mirip dengan
Binwangan ini juga pada masa kini ditemukan di Toraja dan Minahasa serta teluk
Manila yakni Minanga. Nama yang mirip Binwangan atau Minanga juga ditemukan di
pulau Seram (Binaiya). Nama yang mirip yang usianya lebih tua ditemukan pada
prasasti Kedukan Bukit (682 M).

Kerajaan Luwu yang
berawal dari munculnya peradaban baru di Sulawesi diduga kuat adalah era yang
membedakan era pra-Bugis (Luwu) dan era Bugis (Makassar). Pada era Luwu sudah
terbentuk kebudayaan baru seperti religi (pemujaan terhadap leluhur), bahasa, aksara,
seni (bangunan dan sebagainya) dan sistem pemerintahan tradisi yang berbentuk
federasi (daliang). Munculnya religi inilah kisah penciptaan di dalam La Galigo
yang mana dunia terbadi tiga: atas, tengah dan bawah.

Jika memperharikan arah rute navigasi pelayaran dari
utara, Kerajaan Luwu diduga berada di pantai timur )sisi timur danau Towuti)
kemudian bergeser ke sisi barat danau di teluk Bone. Demikian juga halnya
dengan Toraja awalnya di pantai barat bergeser ke pedalaman yang menjadi
kawasan yang berdekatan dengan Luwu (Luwu-Toraja). Hal ini juga di wilayah utara
Minahasa awalnya di pantai utara kemudian bergeser ke pedalaman dan pantai
selatan. Pada saat Luwu di pantai timur, Toraja di pantai barat dan Minahasa di
pantai utara, juga bersamaan terbentuk peradaban baru di wilayah Maluku (Gigolo
di utara dan Seram di selatan). Terbentuknya Ternate dan Amboina diduga kuat
sejaman dengan Manado, Bugis, Bouton dan Makassar.

Dalam teks La Galigo diceritakan
awal dari dunia yang kosong dan turunnya Batara Guru ke bumi. Manusia pertama
ini turun di daerah Luwu yang mana Batara Guru sebagai raja digantikan oleh
anaknya, La Tiuleng bergelar Batara Lattu’. La Tiuleng atau Batara Lattu’ punya
anak kembar, yakni Sawérigading dan Wé Tenriabéng yang keduanya dibesarkan
terpisah yang kemudian mereka baru bertemu lagi saat menginjak usia dewasa.
Sawérigading terpesona dan jatuh hati pada saudara kembarnya. Sawérigading pun
berniat menikahi Wé Tenriabéng. Namun itu dihambat untuk menghindari kawin
semarga.

Kisah ini bermula ketika Raja Di Langit, La
Patiganna [Batoegana] mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa
kerajaan termasuk Senrijawa [Sriwijaya] dan Peretiwi [Portibi] dari alam gaib
dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge’ Langi’
[Ompu Toga Langit] menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru.
La Toge’ Langi’ kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili’timo’, anak dari
Guru ri Selleng [Sialang], Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru
dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40
hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu’, sebuah
daerah di Luwu’ [Loeboe Raja atau Lubuk Raya].

Kisah itu lebih lanjut
diceritakanlah bahwa kasih yang tak sampai ini kemudian menyebabkan Sawérigading
pergi merantau ke Tiongkok. Sawérigading bertemu putri yang berwajah sama
persis dengan saudari kembarnya, bernama Wé Cudaiq, anak seorang raja. Lahirlah
anak laki-laki sebagai buah cinta dan perkawinan mereka. Anak laki-laki inilah
kemudian diberi nama ‘La Galigo’. Sawérigading dengan Wé Cudaiq kembali ke Luwuk,
namun kapal yang dinahkodainya karam. Mereka berdua lantas menjadi penguasa
‘dunia bawah’. Sedangkan saudari kembarnya Wé Tenriabéng naik ke alam dewa atau
‘dunia atas’. Tak berselang lama setelah itu, semua manusia pertama itu
dipanggil kembali pulang ke alam Dewata dan meninggalkan La Galigo dan saudara
lainnya di ‘dunia tengah’ dan menjadi penguasa di Luwuk.

Kisah penciptaan dalam La Galigo mirip dengan kisah
penciptaan yang terdapat di Tanah Batak tentang dunia ginjang, dunia tonga dan
dunia toru. Meski pembagian dunia ini bersifat umum (era Hindoe Boedha), namun
ada beberapa nama yang mirip yakni gunung Loeboe Raja dan gunung Malea di
Angkola Mandailing. Hal mirip lainnya adalah Raja Di Langit (Raja Langit); La
Patiganna (Batoegana); Senrijawa (Sriwijaya); Peretiwi [Portibi]; La Toge’
Langi’ [Ompu Toga Langit], Raja Alekawa; We Nyili’timo’; Guru ri Selleng
[Sialang], Ussu’ (Pusuk); Luwu’ [Loeboe Raja]; La Tiuleng (Tulang atau Tolang);
Batara Lattu’ (Raja Lottung)l; Sawérigading (Oedjoenggading); Wé Tenriabéng.

Tunggu
deskripsi lengkapnya

Sejarah
Sulawesi Selatan pada Era Kerajaan Gowa

Tunggu
deskripsi lengkapny
a

 

*Akhir
Matua Harahap
, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top