Lantas
bagaimana sejarah bahasa-bahasa asli di pulau Sulawesi? Mengapa penutur bahasa
Bugis begitu besar, padahal seperti disebut di atas bahasa Bugis tergolong
bahasa yang relatif lebih muda? Lalu apakah ada bahasa-bahasa asli di Sulawesi
yang punah atau terancam punah? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya
ada permulaan. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Bahasa-Bahasa Asli di Sulawesi:
Mengapa Penutur Bahasa Bugis Banyak?
Dimana pusat peradaban bermula, disitulah awal
terbentuknya bahasa-bahasa. Hal itu karena pusat peradaban mengindikasikan
terbentuknya populasi. Populasi yang terbentuk ini merupakan gabungan dari
penduduk asli penutur bahasa seli dengan penduduk pendatang dengan membawa
bahasa masing-masing. Pertukaran bahasa (kosa kata) akan membentuk variasi
bahasa (dialek) yang berbahasa dengan dialek bahasa asal dari masing-masing
populasi yang bercampur. Terbentuknya dialek (bahasa baru) di pantai akan lebih
cepat dibandingkan di wilayah pedalaman.
Pusat peradaban, jika
mengacu pada nama-nama tempat yang disebut di dalam Negarakertagama (1365), di
(pulau) Sulawesi itu berarti di Makassar, Bontaeng, Selayar, Boeton, Luwuk dan
Banggai. Tentu saja informasi ini tidak cukup. Sebab berdasarkan
prasasti-prasasti yang ditemukan di pulau Sulawesi, yang diduga berasal dari
zaman pra Negarakertagama (Majapahit) ditemukan di jantung pulau Sulawesi
seperti di Seko (Luwu-Toraja), daerah aliran sungai Poso (Watu Mpoga’a) dan
lereng sebelah barat gunung Tolaka (Watu Marando) serta Minahasa di Tomohon dan
Tondano (Watu Rerumeran).
Seperti telah disebut di atas, para ahli bahasa menyatakan
bahwa bahasa-bahasa di pulau Sulawesi yang tergolong paling muda adalah bahasa Bugis
dan bahasa Mandar. Dua bahasa ini
terbentuk dari bahasa Walio (di Buton). Sedangkan bahasa Walio diturunkan dari
bahasa Makassar. Sampai sejauh terkesan ada kesesuaian pusat peradaban
sebagaimana dicata dalam teks Negarakertagama (1365). Dua nama yang menjadi
pusat peradaban pada teks ini adalah Luwuk dan Banggai. Bahasa Makassar sendiri
menurut para ahli bahasa diturunkan dari bahasa Tau (Kaili) dan bahasa Bare’e
(Poso). Lantas bagaimana dengan bahasa-bahasa di wilayah utara pulau Selawesi
seperti bahasa Minahasa?
Berdasarkan para ahli
bahasa seumur dengan bahasa Tau dan bahasa Bare’e yang satu rumpun adalah
bahasa Manggarai (Nusa Tenggara) dan bahasa Buru (Maluku). Sedangkan
bahasa-bahasa di Sulawesi bagian utara sebagai rumpun yang berbeda yang seumur
denga bahasa Tau dan Bare’e adalah bahasa Bolaang dan bahasa Sangir (yang satu
rumpun dengan bahasa-bahasa di Borneo Utara) tetapi berbeda dengan rumpun di
sebelah utara (pulau-pulau Filipina). Dalam hal ini bahasa Minahasa harus
dianggap bahasa yang sama dengan bahasa Minahasa (berbeda dialek saja).
Bahasa Minahasa/Bolaang juga terbilang bahasa tua
seperti halnya bahasa Tau dan bahasa Bare’e. Sebagaimana disebut di atas,
terbentuknya bahasa terkait denga keberadaan pusat peradaban. Dalam hal ini
sebelum terbentuknya pusat-pusat peradaban di pantai sebagai pelabuhan
perdagangan (Makassar, Buton dan Bugis serta Mandar) sudah terbentuk pusat
peradaban di pedalaman yang dikaitkan dengan penemuan prasasti zaman kuno terutama
di Seko (Toraja-Luwu) dan Poso. Prasasti Minahasa (Watu Rerumeran) diduga kuat
pusat peradaban awal dimana terbentuknya bahasa Bolaang dan Minahasa. Bahasa
Gorontalo haruslah dipandang sebagai bahasa yang seumur dengan terbentuknya
bahasa Bugis.
terbentuknya bahasa-bahasa baru seperti Makassar, Wolio dan Bugis harus
diasumsikan ada bahasa yang mendahului di tempat yang sama sebagai bahasa asli
(tetapi telah melebur sehubungan dengan terbentuknya bahasa baru). Sebagai
contoh bahasa Manado berakar dari bahasa Minahasa di wilayah pantai, bahasa
Betawi yang menggeser bahasa Sunda di pantai serta bahasa Buton yang menggeser
bahasa Muna. Lalu bagaimana dengan bahasa Makassar, Bugis dan Mandar? Untuk
memahami ini kita harus merujuk pada bahasa Luwu untuk melihat terbentuknya
bahasa Bugis dan bahasa Toraja untuk memahami terbentuknya bahasa Mandar.
Bahasa Luwu sendiri berakar dari bahasa Bare’e dan bahasa Toraja berakar dari
bahasa Tau (Kaili).
Sebelum kita mempelajari bahasa Bugis yang lebih
muda dan bahasa Tau dan bahasa Bare’e yang lebih tua, dapat dipelajari bahasa
Makassar dan bahasa Selayar (lihat Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap
:[bijdragen tot de kennis der zending en der taal-, land- en volkenkunde van
Nederlandsch-Indië], jrg 1, 1857). Seperti di dalam teks Negarakertagama nama
Makassar dan nama Selayar sudah sama-sama eksis. Dalam kaitan ini dapat
ditambahkan bahasa di Bontaeng, di Boeton, di Baggai dan di Luwuk.
Bahasa Makassar berbeda dengan bahasa Selayar. Bahasa Selayar lebih dekat
dengan bahasa Manggarai. Kepulauaan Selayar awalnya sudah memiliki penduduk
yang kemudian didatangi oleh orang-orang dari (kerajaan) Luwu. Pada awal abad
ke-16 sejaman dengan jatuhnya Malaka oleh Portugis, Selayar diduduki oleh
Makassar. Namun kemudian dalam perkembangannya diserang oleh Ternate dan juga
termasuk Boeton. Namun pada akhirnya orang Selayar menyerahkannya kepada
(kerajaan) Gowa). Kepulauan ini menjadi jembatan bagi orang Makassar untuk
berdagang di Timor dan Solor. Pada tahun 1575 misionaris Portugis membuka
stasion di pulau Solor dan telah menemukan para pedagang-pedagang Makassar yang
berdagangan dengan penduduk asli untuk mengusahakan kayu cendana yang laris
manis di pantai timur Tiongkok. Pada era VOC, setelah Admiral Speelman berhasil
menaklukkan Kerajaan Gowa, Selayar diserahkan kepada VOC atas nama Radja
Ternate. Namun dalam perkembangannya para pemimpin Selayar lebih memilih, dan
kemudian menyerahkannya ke VOC (hingga era Hindia Belanda). Secara umum Orang
Saleijerese tampaknya merupakan campuran Makassar, Bugineesch dan Loewoenesch.
Diantara tiga bahasa ini, tingkat kekerabatan bahasa Selayar lebih dekat dengan
bahasa Makassar.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Adakah
Bahasa Asli di Sulawesi Punah atau Terancam Punah?
Sementara ada bahasa
yang telah punah di Indonesia dan beberapa bahasa dalam posisi terancam punah,
bahasa Bugis terbilang jumlah penuturnya yang sangat banyak. Bahasa Bugis tidak
hanya berada di daerah etnik Bugis di Sulawesi Selatan, tetapi para penutur
bahasa Bugis juga tersebar luas di seluruh Indonesia.
Sulawesi. Bahasa punah yang ditemukan terdapat di Maluku dan Papua. Sebanyak
dua bahasa di Papua yakni bahasa Tandia (Papua Barat) dan bahasa Mawes (Papua).
Sementara di Maluku terdapat sebanyak sembilan bahasa yakni bahasa Kajeli/
Kayeli, bahasa Piru, bahasa Moksela, bahasa Palumata, bahasa Ternateno, bahasa
Hukumina, bahasa Hoti, bahasa Serua, dan bahasa Nila.
Berdasarkan SP-2010
jumlah orang/etnik Bugis berbahasa Bugis sebanyak 3.362.072 jiwa. Jika ditambah
etnik lain yang berbahasa Bugis sebanyak 124.576 jiwa maka jumlah penutur
bahasa Bugis sekarang sebanyak 3.486.648 jiwa. Jumlah penutur bahasa Bugis di
provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 2.381.755 orang Bugis dan 48.081 orang
non-Bugis. Jumlah penutur bahasa Bugis terbanyak kedua terdapat di provinsi
Sulawesi Tenggara, kemudian disusul di provinsi Kalimantan Timur/Kalimantan
Utara dan provinsi Sulawesi Tengah. Selanjutnya di provinsi Riau dan provinsi
Jambi.
Di Provinsi Sulawesi Barat jumlah penutur bahasa
Bugis hampir berimbang dengan jumlah keseluruhan penutur bahasa-bahasa lainnya.
Di provinsi Kalimantan Selatan terdapat sebanyak 30.482 orang Bugis penutur
bahasa Bugis dan sebanyak 24.558 orang penutur bahasa Bugis non etnik Bugis.
Jumlah penutur bahasa Bugis yang terbilang minim terdapat di provinsi-provinsi:
Aceh, Sumatra Barat dan Sumatra Utara serta DI Yogyakarta. Meski cukup dekat
secara geografi (di dalam satu pulau Sulawesi), jumlah penutur bahasa Bugis di
provinsi Sulawesi Utara hanya sebanyak 1.033 jiwa orang Bugis dan di provinsi
Gorontalo sebanyak 1.540 jowa orang Bugis.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir
Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.