Sejarah

Sejarah Menjadi Indonesia (730): Tidung di Indonesia, Nabawan di Sabah; Apakah Ada Hubungan Antar Populasi Zaman Kuno?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Sebagaimana pada
artikel sebelum ini, penyebaran populasi sudah berlangsung sejak zaman kuno di
pulau Borneo/Kalimantan. Penyebaran populasi di Borneo tidak terpisahkan dengan
penyebaran populasi di pulau-pulau Filipina, pulau Sulawesi dan pulau-pulau di
Maluku. Satu yang unik dari persebaran populasi di wilayah yang luas itu adalah
terdapatnya penggunaan kata elementer ‘ina/qinak’=ibu dan ‘ama/amang’=ayah.
Penggunaan kosa kata elementer tersebut ditemukan secara luas di Sumatra terutama
di Tanah Batak. Apakah dalam hal ini dapat menjelaskan persebaran penduduk di
wilayah Tidung dan wilayah Sabah? Yang jelas bahwa wilayah Tidoeng adalah
wilayah yang sudah dikenal sejak zaman kuno dimana terdapat (kerajaan) Seludong
(lihat Negarakertagama 1365).


Bahasa Tidung
dialek Tarakan merupakan bahasa Tidung yang pertengahan karena dipahami oleh
semua warga suku Tidung. Beberapa kata bahasa Tidung masih memiliki kesamaan
dengan bahasa Kalimantan lainnya. Kemungkinan suku Tidung masih berkerabat
dengan suku Dayak rumpun Murut (suku-suku Dayak yang ada di Sabah). Karena suku
Tidung beragama Islam dan mengembangkan kerajaan Islam sehingga tidak dianggap
sebagai suku Dayak, tetapi dikategorikan suku yang berbudaya Melayu (hukum adat
Melayu) seperti suku Banjar, suku Kutai, dan suku Pasir. Bahasa Tidung termasuk
dalam “Kelompok Bahasa Tidung” salah satu bagian dari Kelompok Bahasa
Dayak Murut. Kelompok Bahasa Tidung terdiri: Bahasa Tidung, Bahasa Bulungan, Bahasa
Kalabakan, Bahasa Murut Sembakung dan bahasa Murut Serudung. Penutur Bahasa
Tidung pada umumnya terdapat diwilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Utara dan
Sabah Malaysia. Penutur Bahasa Tidung terdapat pada dua Kabupaten di Kaltim,
lima kab/kota di Kaltara dan tiga kota di negeri Sabah. Sepuluh daerah tersebut
adalah Kota Tarakan, Kab. Malinau, Kab. Bulungan, Kab. Nunukan, Kab. Tana
Tidung, Kab. Berau, Kab. Kutai Kartanegara, Kota Tawau, Kota Sandakan dan Kota
Lahad Datu.
(Wikipedia) .

Lantas
bagaimana sejarah Tidung di Indonesia, Nabawan di Sabah; apakah ada hubungan populasi
zaman kuno? Seperti disebut di atas, persebaran populasi sejak zaman doeloe
menarik diperhatikan karena pada masa ini ditemukan ada arsiran dari satu etnik
ke etnik lannya di nusantara, dalam hal ini wilayah-wilayah yang berada di
utara khatulistiwa. Lalu bagaimana sejarah Tidung di Indonesia, Nabawan di
Sabah; apakah ada hubungan populasi zaman kuno? Seperti kata ahli sejarah tempo
doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan
wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya
memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis,
setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi
sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam
artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan
lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru
yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Tidung di Indonesia, Nabawan di Sabah;
Apakah Ada Hubungan Populasi Zaman Kuno?

Salah
satu warisan dunia adalah bahasa. Bahasa sendiri diturunkan dari generasi ke
generasi. Bahasa juga mengalami persebaran. Sejumlah elemen bahasa terdapat
persamaan diantara wilayah yang berbeda, bahkan wilayah yang sangat berjauhan. Sebagaimana
Bahasa adalah yang sudah eksis sejak zaman kuno, perpindahan penduduk (migrasi)
juga sudah ada pada zaman kuno. Namun untuk menjelaskan hubungan Bahasa antara
satu wilayah dengan wilayah lain tidak cukup dijelaskan secara linguistic tetapi
juga dapat dilihat relasinya dengan elemen budaya lainnya dan catatan-catatan
sejarah tertulis.


Sebagai contoh
dapat didaftar sejumlah kosa kata dalam Bahasa-bahasa etnik yang berjauhan
misalnya antara Bahasa etnik Batak di Sumatra bagian utara khususnya pantai timur
dengan Bahasa etnik di Borneo yang dalam hal ini Bahasa etnik Tidung. Dua kosa
kata elementer Bahasa etnik Batak dan Bahasa etnik Tidung adalah ‘ina’=ibu dan ‘ama/yama’=ayah.
Kosa kata ‘ina’ juga ditemukan dalam Bahasa Berusum Bahasa Pasir, Bahasa Sangir,
Bahasa Mori, Bahasa Tolaki, Bahasa Muna,
Bahasa Seram, Bahasa-bahasa di Sumbawa, Bahasa-bahasa di Flores, Bahasa Minahasa
dan Bahasa di pulau-pulau Filipina. Sementara itu kosa kata ‘ibu’ ditemukan
dalam Bahasa Jawa, Bahasa Melayu di Sebatik, dan Bahasa Betawi. Bentuk lain
arti ibu adalah kosa kata ‘inde’ dan ‘umak’. Kecuali di Nusatenggara, kosa kata
‘ina’ ditemukan di bagian utara khatulistiwa. Kosa kata ‘ama/amang’ berpasangan
dengan ‘ina’ di wilayah-wilayah yang disebut di atas, Kata lain ayah adalah ‘bapa’
dan ‘ayah’ sendiri.

Tidung
adalah suatu kerajaan, suatu kerajaan yang berbeda dengan kerajaan Bulungan di
selatan dan kerajaan Mangidari (Sulu) di utara. Tiga kerajaan pesisir ini
memiliki hubungan populasi satu dengan yang lain. Orang Tidung tidak hanya di
wilayah Tidung juga terdapat di wilayah Mangidari. Populasi Dayak yang besar di
pedalaman adalah etnik Punan. Orang Tidung adalah salah satu perantara dengan
penduduk Punan di wilayah pedalaman. Namun secara social budaya penduduk Tidung
lebih dekat ke Mangidari (kini bagian wilayah Sabah).


Pada tahun 1824
(Traktat London, 1824) batas-batas wilayah yurisdiksi antara Pemerintah Hindia
Belanda dan Inggris dipertegas. Wilayah yurisdiksi Inggris diidentifikasi
sebagai Gebied van Soeloe (Mangidari) dan wilayah yurisdiksi Pemerintah Hindia
Belanda diidentifikasi sebagai Tidoengsche Landen. Pada tahun 1850 Residen Zuid
en Oostkust van Borneo (JGA Gallois) yang berkedudukan di Bandjarmasin
mengunjungi (kerajaan) Koetai di Tenggarong yang diakhiri dengan penandatangan
perjanjian. Wilayah-wilayah di utara (Berousche Landen, Boeloengan dan
Tidoengsche Landen) adalah wilayah yang terpisah dari kerajaan-kesultanan
Koetai. Meski Koetai, Berau, Boeloengan dan Tidoeng adalah wilayah yusrisdiksi
Pemerintah Hindia Belanda, tetapi nyaris tidak pernah ada kehadiran pedagang-pedagang
Belanda, tetapi yang lalu lalang di pantai timur laut Borneo tersebut adalah
pedagang-pedagang Inggris (yang berpusat di Labuan/Brunai). Boleh jadi
pedagang-pedagang Belanda masih khawatir karena pada tahun 1825 (pasca Traktat
London 1825) seorang pejabat Belanda yang tengah melakukan ekspedisi dan
berkunjung ke pedalaman terbunuh. Pada tahun 1850 kapal (perang) Hindia Belanda
Doris de Wall dari Samarinda melakukan perjalanan ke Berau dan tanggal 1 Juni
1851 tiba di Boeloengan. Pada tanggal 2 Juni 
seorang penduduk asli yang diduga datang dari Tidoeng melaporkan mereka
telah diperbudak oleh para perampok (bajak laut). Pada tahun 1956 Residen Zuid
en Oostkust van Borneo JGA Gallois menulis laporan tentang wilayah
Noordoostkust van Borneo yang dimuat pada Bijdragen tot de taal-, land- en
volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1856, Dari sinilah gambaran tentang wilayah
di pantai timur laut mulai terdokumentasi. Dalam laporan ini disebutkan bahwa
hubungan pangeran Berou dan Boelongan sama sekali tidak bersahabat. Lanskap
Tidoeng, sebelumnya milik Boelongan di bawah Berou, tetap menjadi wilayah
Boeloengan sejak pemisahan Boelongan dari Berao akan tetapi Sultan Goenoeng
Teboer menyatakan bahwa saat ini Tidungers terkadang memberikan upeti
kepadanya. Para pangeran dari delapan suku Tidung yang berbeda tersebut adalah
keturunan Bulongan atau sangat dekat dengan rumah Bulongan dan dikenal sebagai
vasal Amiril. Pada saat ini radja-radja yang diakui dan mendapat legitimasi
dari pemerintah (yang juga mendapat gaji) adalah sebagai berikut (lihat Almanak
1858): Koetai (sejak Oktober 1850); Goenoeng Taboer (Oktober 1850); Sambalioeng
(November 1850); Boeloengan en Tidoeng (November 1850). Sebelunya radja-radja
yang diakui (lihat Almanak 1848) baru tiga kerajaan, yakni: Koetai, Pasir dan
Beraou atau Goenoeng Taboer. Ketiga radja ini melakukan kontrak pada tahun 1844
pada era Gubernur Jenderal Pieter Merkus. Dalam hal ini radja Boeloengan en
Tidoeng baru bergabung dengan Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1858 secara
resmi dibentuk cabang pemerintahan Hindia Belanda di Koetai dengan menempatkan
Asisten Residen di Samarinda. Sehubungan dengan kehadiran Asisten Residen,
persiapan sudah dilakukan sebelumnya dari kantor Residen di Bandjarmasin. Dalam
satu laporan tentang perkembangan di pantai timur Borneo hanya mencatat wilayah
Koetai, Sambalioeng, Goenoeng Taboer dan Buloengan (lihat Samarangsch
advertentie-blad, 07-05-1858). Juga disebutkan beberapa pedagang disana,
termasuk Cina dan Eropa, memiliki keinginan untuk menetap di daerah-daerah itu.
Pada Peta 1859, dua nama tempat yang penting di wilayah Tidoengsche Landen
adalah (kota) Temelingan Djawa dan (kota) Telokipil. Nama kampong Sesajap
berada di daerah aliran sungai Seboewang (yang di hulu disebut sungai Melinau).
Sejak 1859 perhatian Pemerintah Hindia Belanda terhadap Beoloengan dan Tidoeng
terhambat. Hal ini kere perkembangan politik di Bandjarmasin, semakin
meningkatnya perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Antarasari dan para
pengikutnya. Pada tanggal 16 November 1863 kapal perang Zr Ms de Vecht
berangkat ke pantai timur Borneo. Kapal ini memasuki sungai Sesajap di kerajaan
Tidoeng (lihat Bataviaasch handelsblad, 09-12-1863). Disebutkan bahwa kapal ini
menemukan kapal perang yang tidak berbendera tricolor di daerah aliaran sungai
Sesajap ini. Tidak disebutkan kapal perang siapa. Boleh jadi pemilik kapal
perang itu adalah milik para pengikut Pangeran Antasari ada yang menyingkir ke
sungai Sesajap atau boleh jadi kapal itu adalah kapal para bajak laut. Situasi
dan kondisi baru mulai kondusif pada tahun 1864. Kekosongan posisi Asisten
Residen di Samarinda terbilang lama sehingga proses pembentukan cabang
pemerintahan ke Boeloengan dan Tidoeng tetap tidak terealisasi. Meski demikian
secara random patroli militer juga dilakukan hingga Boeloengan.

Pada
saat kapal perang Pemerintah Hindia Belanda sudah hilir mudik hingga ke Batu
Tinagat, wilayah Sabah (yusrisdiksi kesultanan Brunai) dan Sandakan (yusdiksi
kesultanan Sulu) masih terbilang wilayah independent. Batu Tinagat adalah batas
terluar wilayah yurisdiksi Hindia Belanda yang merupakan perbatasan Tidoeng dan
Mangidari (lihat juga Peta 1859). Batas ini di huk Batu Tinagat garis batas di muara
sungai Tawau kea rah pedalam di utara dan berbelok ke barat. Dengan kata lain,
wilayah Tidoeng (Hindia Belanda) termasuk pulau Sebatik. Di utara di dekat
muara sungai Tawau di Batu Tinagat terdapat pos check point (Angkatan laut)
Hindia Belanda. Catatan: Sebagaimana dijelaskan nanti, nama batu disebut
Tinagat diduga merujuk pada Bahasa Tidung (ina=ibu) dan Bahasa Melanau (tina=ibu).


Namun dalam
perkembangannya muncul. Pada tahun 1878 kesultanan Brunai menyerahkan konsesi
wilayah Sabah yang dipimpin oleh Mangaradja Sabah dan kesultanan Sulu
menyerahkan konsensi wilayah Sandakan yang dipimpin oleh Radja Sandakan. Dua
wilayah ini diberikan konsesi kepada pedagang Inggris Baron von Overdeck
mewakili Maskapai Borneo Utara. Dalam pernyataan Overdeck setelah penyerahan
konsesi disebutkan batas selatan Sandakan hingga ke sungai Siboekoe. Dari mana
sumber ini muncul apakah Radja Sandakan atau Sultan Sulu atau dari Overdeck sendiri.
Klaim Overdeck ini akan melewati batas yurisdiksi Belanda-Inggris di Batu
Tinagat (teluk Cowie/St Lucia). Sebagaimana diketahui masa ini batas berada di
sungai Sebakung yang mana pulau Sebatik dibagi dua. Boleh jadi hal itulah mengapa
pada masa ini orang Tidung tidak hanya di Kabupaten Nunukan tetapi juga ada di
wilayah Sabah (Tawau).  

Posisi
Batu Tinagat sangat strategis, yang mana ke arah utara memiliki jalan darat
pintas ke Sandakan melalui Lahad Datu, dan ke barat menuju Tenom melalui
Nabawan. Dalam hal ini semasa orang Tidung di sekitar Batu Tinagat/Tawau diduga
kuat telah berdagang ke pedalaman melalui jalur-jalur sungai atau darat. Sebaliknya
dari wilayah pantai utara di teluk Brunai terhubung ke pedalaman ke Tenom
hingga Nabawan, Sapulut dan Samuran.


Sebelum era
Portugis wilayah pantai utara Borneo, pulau-pulau di Filipina, pulau-pulau di Kawasan
Mangindano termasuk Sulu dan Tawi-Tawi serta pantai timur laut Borneo (plus
bagian utara Sulawesi) adalah satu kawasan perdagangan yang ramai.Pada Kawasan yang
luas ini memiliki persamaan kosa kata elementer (ibu dan ayah), suatu kosa kata
yang berbeda dengan Bahasa Melayu dan juga berbeda dengan Bahasa Dayak. Seperti
disebut di atas di pantai utara Borneo di sebelah barat pada etnik Melanau ibu
disebut ‘tina’ (t-ina) dan ayah disebut ‘yama’ (y-ama). Sementara di dalam Bahasa
etnik Tidung ibu disebut ‘ina’ dan ayah disebut ‘yama’ (sama dengan di Melanau).
Etnik di pulau Parago (kini pulau Palawan) ibu disebut ‘qina’ (q-ina’) dan ayah
disebut ‘ama’. Bahasa etnik Sulu untuk ibu adalah ‘ina’ dan ayah adalah ‘ama’.
Juga Bahasa Minahasa untuk ibu adalah ‘ina’ dan atah adalah ‘ama’. Hal itulah
mengapa di zaman kuno nama gunung tertinggi di Borneo/Kalimantan disebut gunung
Kinabalu (kina’balu) yang diduga merujuk pada ibu  (gunung ibu). Dalam Bahasa Batak di Sumatra
bagian utara, satu-satunya etnik di Sumatra yang menyebut ibu sebagai ‘ina’ dan
ayah sebagai ‘ama’.

Sebagai
Kawasan perdagangan zaman kuno di pantai utara dan pantai timur laut Borneo, hubungan
populasi di wilayah pesisir kemungkinan terhubung satu sama lain, yang mana
populasi di wilayah pesisir terhubung ke pedalaman dimana penduduk etnik-etnik
Dayal berada. Seperti disebut di atas nama tampat kuno di wilayah Sabah di
pedalaman disebut Nabawan, Sapulut dan Samuran. Sedangkan nama-nama navigasi
pelayaran di Sandakan terdapat nama sungai besar yakni sungai Kinabatang (kina-batang)
dan nama batu terkenal di huk teluk St Lucia yakni Tinagat. Dalam Bahasa Batak sungai
disebut ‘batang’ dan ‘bulu; atau ‘balu adalah gunung plus ibu disebut ‘ina’.


Lantas bagaimana
hubungan populasi etnik Batak di Sumatra bagian utara dengan populasi kawasan
perdagangan di pantai utara Borneo dan pantai timur laut Borneo. Dari catatan
sejarah yang ada sebelum era Portugis disebutkan dalam laporan Mendes Pinto
(1537) Bahasa Kerajaan Aru Batak Kingdom di pantai timur Sumatra sebagai
kerajaan yang kuat yang pernah menyerang kerajaan Malaka dan kerajaan Atjeh. Mendes
Pinto menyebut kekuatan Kerajaan Aru Batak Kingdom adalah 15.000 pasukan dimana
delapan ribu orang Batak dan sisanya didatangkan dari Minangkabau, Jambi, Indragiri,
Brunai dan Luzon.

Dalam
hal ini nama Nabawan diduga merujuk pada nama Nababan, suatu marga Batak di
Tapanuli. Sedangkan nama Samuran di dekat Nabawan juga terdapat nama yang mirip
di Tapanuli yakni nama tempat Sumuran. Di lereng gunung Kinabalu terdapat dua
kota kuno yakni Tambunan dan Tamparuli, Tambunan di Tapanuli adalah nama suatu
marga seperti halnya Nababan. Nama Tamparuli dalam hal ini mirip dengan nama
Tapanuli sendiri,


Seperti di sebut
di atas wilayah Sabah dipimpin oleh seorang raja dengan gelar Mangaradja Sabah,
suatu gelar raja yang mirip di Tapanuli. Saba atau sabah dalam Bahasa Batak
adalah sawah. Area sawah terluas di wilayah Sabah terdapat di Kota Belud dimana
Mangaradja Sabah berkedudukan tempo doeloe (semasa Baron von Overdeck). Nama
Brunai sendiri boleh jadi merujuk pada nama sungai Baroemoen dan sungai Panai
di pantai timur Sumatra (wilayah Padang Lawas). Salah satu pulau di Filipina
disebut pulau Panai. Di Brunai sendiri terdapat sungai besar disebut sungai
Limbong, nama suatu marga di Tapanuli dimana di dekat Brunai terdapat nama
kampung tua yang disebut Kampong Lawas. Tentu saja di wilayah Melanau terdapat duan
ama kota tua yakni Sibu dan Bintulu, suatu nama tempat/kota di Tapanuli yakni
Siabu dan Bintuju. Peta (lihat Lazardi Wong Jogja)

Sejauh
ini yang diperhatikan dalam hubungan antar popupulasi di wilah pantai utara
Borneo dan pantai timur laut Borneo hanya sebatas toponimi nama geografi dan
aspek linguistic. Bagaimana dengan budaya dan kebiasaan-kebiasaan dan hubungan social
serta perihal religi (kepercayaan lama)?

Tunggu deskripsi
lengkapnya

Etnik Tidung di Kalimantan: Orang Dayak
dan Orang Melayu

Tunggu
deskripsi lengkapnya

 

 

 *Akhir
Matua Harahap
, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top