Sejarah

Sejarah Menjadi Indonesia (793): Penemuan Kapal Tua di Pantai Jambi-Pantai Rembang; Kapal Hang Tuah-Kapal Relief Borobudur?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Dunia sejarah kita pada masa ini kerap tergunjang
karena penemuan baru. Yang membuat kita lebih terguncang adalah setiap penemuan,
para ahli yang menemukannnya selalu memberi analisis dan interpretasi yang
seringkaali berita hebohnya yang ditinjolkan daripada bagaimana penemuan itu
dapat dijelaskan. Hal itulah yang terjadi pada penemuan serpihan kapal tua di
Muaro Jambi dan rongsokan kapal-kapal tua di Rembang. Seperti biasa, berita
penamuan kuno dihubungkan dengan hal yang heboh lagi. Penemuan di Jambi
dihubungkan dengan kapal Hang Tuah dan penemuan di Rembang dihubungkan dengan
kapal layar pada relief candi Borobudur.


Dimana temuan kapal kuno di dua tempat itu ditemukan? Di wilayah Jambi
temuan itu berada di desa Kota Harapan, kecamatan
Muara Sabak Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Juga penemuan dihubungkan
dengan penemuan di desa Lambur di kecamatan yang sama. Temuan di wilayah
Rembang ditemukan di desa Punjulharjo di kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang.
Satu yang pasti penemuan kapal kuno di dua wilayah itu sama-sama berada di
pantai/pesisir laut. Pertanyaannya: Apakah penemuan di Jambi itu dapat
dihubungkan dengan era Hang Tuah apalagi era Srieijaya? Juga apakah penemuan di
Rembang itu dapat dihubungkan dengan Mataram Kuno? Menurut ahli sejarah, jika
sesuatu yang hilang di masa lampau dan masih gelap, carilah ditempat yang
terang.

Lantas bagaimana sejarah penemuan kapal tua di
pantai Jambi dan pantai Rembang?
Seperti disebut di atas, penemuan itu berada di
garis pantai pada masa ini. Apakah garis pantai masa kini sama dengan garis
pantai masa lalu di zaman kuno?
Lalu bagaimana sejarah penemuan kapal tua di pantai
Jambi dan pantai Rembang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada
permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Penemuan Kapal Tua di Pantai Jambi dan Rembang; Kapal
Hang Tuah dan Kapal Relief Borobudur

Dalam studi sejarah, apalagi sejarah kuno, ada yang
menggunakan pendekatan toponimi untuk menentukan nama tempat dan pendekatan geomorfologis
untuk menguji apakah yang dipersepsikan dimana lokasi tempat tersebut sesuai
dengan fakta (masa lalu) yang sebenarnya. Dalam hal ini kita focus pada penemuan
kapal tua di Jambi dan Rembang. Temuan kapal tua di Jambi ditemukan di
kecamatan Muara Sabak Timur, kabupaten Tanjung Jabung Timur. Nama ‘muara’ dan ’tanjung’
adalah dua nama geografis navigasi pelayaran yang penting.


Muara Sabak adalah ibu kota kabupaten Tanjung Jabung Timur, provinsi
Jambi. Muara Sabak adalah suatu pelabuhan, berjarak kurang lebih 130 km dari
Kota Jambi. Letaknya yang berada dekat dengan laut lepas menjadikannya sangat
strategis untuk jalur masuk dan keluar kapal merupakan dermaga laut terbesar di
Provinsi Jambi, yang dapat disandari kapal berbobot hingga 500 DWT.

Dalam hal ini nama Muara Sabak di masa lampau merujuk
pada suatu titik muara sungai (Batanghari). Dengan kata lain posisi relatif GPS
muara telah berubah, seakan pada masa ini muara (Sabak) berada jauh di
pedalaman. Gambaran ini tentu saja berbeda di masa lampau semasih berada di
pantai/pesisir pantai dengan situasi dan kondisi masa kini.


Muara dalam hal ini bisa berada di pedalaman yang mengindikasikan sungai bermuara
di sungai yang lebih besar. Pertanyaannya: apakah ada sungai besar yang
bermuara di sungai Batanghari dimana kini nama Muara Sabak (sebagai kota)?
Tampaknya tidak. Dalam pendekatan geomorfologis, nama tempat Muara Sabak di
masa lampau berada di pantai dimana sungai Batanghari bermuara (di laut) tetapi
karena proses sedimentasi jangka panjang, muara sungai bergeser lebih jauh ke arah
laut. Sebaliknya, pada masa kini cabang sungai Batanghari justru berada di
Simpang, dimana sungai Batanghari bercabang, yang mana cabang kiri ke arah utara
melalui kota Muara Sabak dan cabang kanan bermuara ke laut di sisi lain
(selatan). Sebagai catatan ketinggian di kota Muara Sabak hanya 4 meter dpl
(dan kota Jambi 10-60 meter dpl).

Penemuan kapal tua di wilayah Muara Sabak telah
menjadi perhatian internasional. Boleh jadi karena kapal tua itu dikaitkan
dengan keberadaan kerajaan Sriwijaya di masa lampau. Sebagaimana telah
diketahui hingga kini dimana pusat kerajaan Sriwijaya masih isu perdebatan. Nama
Sriwijaya yang disebutkan kali pertama dalam prasasti Talang Tuwo (684 M) yang
ditemukan di Palembang telah menjadi magnet sendiri dalam penyelidikan sejarah.
Bahkan magnet itu telah menutup mata bahwa dimana itu bisa berada di tempat
lain.


Dalam salah satu berita Agustus 2019 dengan judul: Arkeolog Teliti
Penemuan Kapal Kuno di Jambi (Oleh : Radesman Saragih). Disebutkan lokasi situs
kapal kuno di desa Lambur, Kecamatan Muarasabak Timur, Kabupaten Tanjung Jabung
Timur, Provinsi Jambi yang kini sedang diteliti dan digali Tim Arkeolog
Universitas Indonesia. Ekskavasi atau penggalian situs kapal kuno yang disebut
Kapal Zabag tersebut kini sedang dilakukan. Eskavasi kapal kuno tersebut
melibatkan mahasiswa Universitas Jambi (Unja) dan warga masyarakat setempat.
Eskavasi kapal kuno itu bisa dilakukan menyusul kondisi lokasi penemuan kapal
kuni tersebut kini kering. Ketua Tim Arkeolog UI, Ali Akbar di Muarasabak,
Tanjabtim, Jambi, Minggu (25/8/2019) menjelaskan, lokasi situs kapal kuno di
Tanjabtim tersebut bukan lokasi kapal karam, melainkan galangan kapal tertua di
Asia Tenggara. Bukti-bukti sementara yang ditemukan, yakni posisi kapal yang
terparkir. Kemudian ada kayu bulat di bawah geladak. Beberapa bagian kapal yang
ditemukan juga terpisah, termasuk posisi gading kapal. Kesimpulan kami
sementara ini, Situs Kapal Zabag (kuno) ini merupakan tempat pembuatan atau
perbaikan kapal. Selama ini belum pernah kami temukan di Indonesia galangan
kapal kuno, kecuali di Muara Sabak ini,” ujarnya. Menurut Ali Akbar, observasi
situs kapal kuno di Muarasabak tersebut dimulai sejak April 2018. Kemudian
eskavasi situs kapal kuno itu mulai dilakukan 7 Agustus 2018. Observasi dan
eskavasi situs kapal kuno tersebut melibatkan 10 orang arkeolog, termasuk seorang
arkeolog asal Italia, Proses ekskavasi kapal kuno tersebut, lanjut Ali Akbar,
kini baru mencapai sekitar 35 persen. Sebagian konstruksi atau bentuk kapal
kuno tersebut sudah tampak, di antaranya papan kapal, pasak kayu, tali ijuk,
gading dan gerabah tanah. Di sisi utara situs kapal kuno itu ditemukan tujuh
papan. Papan-papan tersebut disambung dengan pasak kayu dan diikat dengan tali
ijuk (tali) berwarna hitam. Dijelaskan, teknik pembuatan kapal dengan pasak
kayu dan tali ijuk ini dikenal sebagai teknik pembuatan kapal di Asia Tenggara.
Bangsa-bangsa Asia Tenggara dan Nusantara sudah membuat kapal dengan teknik ini
sejak abad III. Misalnya temuan kapal kuno di Palembang, Sumatera Selatan dan
Rembang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. “Di daerah Ponti, Malaysia ditemukan
juga pembuatan kapal kuno menggunakan teknik seperti ini. Teknik pembuatan
kapal seperti kapal kuno di Muara Sabak ini juga ditemukan di Filipina pada
abad 13-14 Masehi,” katanya. Ali Akbar lebih lanjut mengatakan, situs kapal
kuno di Muara Sabak tersebut sudah ditemukan dan dinyatakan menjadi peninggalan
arkeologi penting sejak 1997. Karena kondisi situs kapal kuno tersebut cukup
rapuh, maka situs tersebut sempat ditutup. Menurut Ali Akbar, pihaknya belum
bisa memastikan usia situs kapal kuno di Muara Sabak tersebut. Contoh atau
sampel kayu kapal kuno tersebut sudah dibawa ke Badan Tenaga Nuklir Nasional
(Batan) di Jakarta. Namun perkiraan sementara, kapal kuno di Muarasabak
tersebut berasal dari Abad III sampai XIV Masehi. Ukuran kapal tersebut diperkirakan
mencapai lebar 5,5 meter dan panjang puluhan meter. Sementara itu, Chiara
Nazarro, arkeolog maritime asal Italia yang turut dalam penelitian dan
ekskavasi kapal kuno tersebut, mengatakan, situs kapal kuno di Muara Sabak
tersebut sebuah situs kapal besar, bukan jenis perahu. Hal tersebut nampak dari
kayu dan ketebalan papan. “Perkiraan saya, situs kapal kuno di Muarasabak ini
lebih besar dari kapal pinisi nusantara. Teknologi pembuatan kapal kuno
tersebut sama seperti pembuatan kapal pinisi nusantara. Karena itulah saya
tertarik meneliti temuan situs kapal kuno di Muara Sabak ini,” ujarnya. Menurut
profesor arkeologi dari Universitas Naple L’Orientale, Italia ini, dia sudah
menemukan situs kapal kuno di Mesir dan Afrika. Namun temuan situs kapal kuno
di Muarasabak tersebut dinilai lebih besar. Chiara Nazzaro lebih lanjut
mengatakan, bentuk fisik kapal kuno yang terlihat saat ini diperkirakan baru
bagian geladak kapal, haluan dan buritan. Bagian seluruh kapal belum terlihat.
Kemungkinan di lokasi tersebut ada dua perahu. Hal ini nampak dari temuan
bagian ujung atau haluan kapal sekitar 24 meter sebelah timur dari lokasi
temuan kapal kuno tersebut.

Dengan membandingkan kesimpulan sementara para
arkeolog yang menduga paling muda sejak abad ke-14 (bahkan ada disebutkan bisa
jadi sejak abad ke-3). Jika dalam hal ini kita gunakan tarih termuada abad ke-14,
pertanyaannya adalah apakah tempat dimana ditemukan kapal tua itu di desa
Lembur dan desa Kota Harapan sudah menjadi daratan? Suatu pulau? Tentulah
diperlukan keahlian ahli geologi. Hal ini karena secara geomorfologis wilayah
daratan itu masih tergolong sangat baru. Dalam peta-peta pada era VOC/Belanda, Sebagian
wilayah yang memjadi seluruh daerah Kecamatan Muara Sabak (Timur dan Barat) di Kabupaten
Tanjung Jabung (Timur dan Barat) masih berupa perairan/laut (lihat Peta 1759).


Peta-peta VOC/Belanda jika dibandingkan dengan peta-peta yang berasal
dari era Portugis, bentuk geomorfologis wilayah Jambi pada (ditulis: Sabi) dan
Palembang (ditulis: Palimbao) sangat kontras dengan situasi dan kondisi pada
masa ini. Proses sedimentasi jangka panjang diduga menyebabkan terjadi
pembentukan daratan baru di hilir muara sungai baik di wilayah Jambi dan
wilayah Palembang. Wilayah Jambi pada awalnya diduga adalah suatu teluk dimana
sungai Batanghari bermuara.

Pada peta VOC/Belanda di teluk Jambi sudah terbentuk
dua pulau. Satu pulau yang lebih kecil diidentifikasi pulau Trin yang lebih
dekat ke suatu tanjong. Satu yang penting diidentifikasi nama tanjong yang
diduga Tanjung Jabung (ditulis:Tanjong Bon). Sementara itu pada peta Portugis juga
ditunjukan antara pulau Bangksa dan pulau Singkep terdapat gosong yang sangat
luas (yang harus dihindari dalam navigasi pelayaran). Sementara itu di pantai
barat diidentifikasi nama Indrapura (ditulis: Andepura) dan Batak (ditulis:
Bata). Jika dibandingkan  Perbandingan
peta dengan interval sekitar dua abad telah terbentuk pulau di teluk Jambi.
Pulau Trin ini diduga yang menjadi cikal bakal daratan melalui proses
sedimientasi jangka panjang hingga pada masa ini.


Nah, pertanyaannya, jika pada era Portugis (abad ke-16) di teluk Jambi
belum terbentuk pulau, lalu bagaimana kini ditemukan serpihan kapal di desa
Lembur dan desa Kota Harapan? Apakah serpihan kapal itu awalnya berada di suatu
tempat yang terbawa arus ketika terjadi pada fase proses pembentukan pulau Trin
dimana terdapat gosong yang kemudian akibat proses sedimentasi jangka panjang
pulau itu tidak hanya meluas tetapi juga semakin tinggi (akibat hempasan pasir
dari lautan akibat ombak dan proses pelapukan sampah vegetasi). Harus diingat
bahwa ketinggian kota Muara Sabak hingga saat ini hanya 4 meter dpl (suatu ketinggian
permukaan secara geomorfologis terbilang rendah (tipologi pantai semasa). Berdasarkan
Peta 1901 bagian persisir pantai timur Jambi tidak banyak berubah jika dibandingkan
sekarang.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kapal Hang Tuah dan Kapal Relief Borobudur: Pendekatan
Geomorfologi dalam Studi Sejarah Kuno

Lain situs kapal tua di Muara Sabak, Tanjung Jabung,
Jambi, lain pula situs kapal tua di Rembang, pantai utara Jawa. Namun yang
pasti dua lokasi dimana ditemukan kapal tua sama-sama berada di wilayah
pesisir/pantai. Seperti dideskripsikan pada artikel lain dalam blog ini, (kota)
Rembang dapat dikatakan kota baru dan wilayah daratan baru. Kota yang lebih tua
adalah Lasem (tetangganya) dan lebih tua lagi adalah kota Pati dan Demak serta
yang lebih tua lagi adalah kota Jepara dan Mandalika. Urutan sejarah ini
haruslah diperhatikan seperti halnya di pantai timur Jambi yang dimulai dari
kota tua di Jambi.


Untuk memahami wilayah Rembang secara geomorfologis harus dimulai dari
Peta 1724. Peta ini dibuat oleh seorang ahli geografi Francois Valentijn, yang
telah banyak mengunjungi tempat-tempat di wilayah Hindia Timur. Dalam peta juga
diidentifikasi kedalaman laut di sekitar pantai. Ada dua sungai besar di Kawasan
yakni sungai yang melalui (kota) Juwana (sungai Juwana) dan sungai yang melalui
kota Lasem (sungai Lasem). Satu yang penting dalam pet aini adalah bahwa
kerajaan yang paling besar di kawasan adalah Kerajaan Juwana. Sementara
kerajaan Pati dan kerajaan Lasem diidentifikasi kurang lebih sama besar.
Sedangkan Rembang sendiri tidak diidentifikasi sebagai kota/kerajaan, tetapi
suatu benteng VOC/Belanda. Nama benteng biasanya mengikuti nama geografis,
dalam hal ini Rembang saat itu masih berupa kampong (tempat kecil).

Dengan membandingkan Peta 1724 dengan peta satelit
masa kini (peta yang ditampilkan di atas), secara geomorfologis harus mempertimbangkan
secara tepat kota/sungai Juwana di sebelah barat dan kota/sungai Lasem di
sebelah timur dimana diletakkkan benteng/kota Rembang dengan penemuan kapal tua
pada masa ini. Yang jelas dalam hal ini Rembang bukanlah kota baru, dengan
demikian wilayah di sekitar (termasuk desa Punjulharjo di kecamatan Rembang)
bukanlah wilayah yang dikenal dari awal. Kota yang sudah dikenal sejak awal
Portugis hanyalah kota Jepara dan kota Mandalika.


Benteng Rembang dibangun pada tahun 1708. Benteng ini dibangun setelah
benteng Semarang dan benteng Soerabaja yang masing-masing pada tahun 1703.
Belum yang lenih tua di di pantai utara adalah benteng Missier di Tegal (yang
menjadi pintu masuk ke pedalaman di Mataram dan Soeracarta. Dalam
perkembangannya untuk memasuki pedalaman melalui benteng Semarang. Dalam hal
ini benteng Rembang dibangun sebagai benteng antara yang menghubungkan Semarag
dan Soerabaja. Biasanya benteng dibangun agak terpisah dengan pemukiman
penduduk dan letaknya cenderung di area strategis (escape ke hilir
sungai/pantai).

Benteng Rembang dalam perkembangannya menjadi
landmark kota baru Rembang. Dalam lukisan yang dibuat pada tahun 1760 benteng
berada di latar belakang, agak sedikit berada di belakang garis pantai. Area
benteng ini diapit dua aliran sungai/kanal, diduga adalah kanal buatan (kini
berada di tengah kota). Sungai induk (sungai Rembang berada di barat benteng)
dimana di muara terdapat pos perdagangan ikana/nelayan. Pemukiman penduduk
berada di antara benteng dengan pos nelayan di sebelah kanan (barat benteng)
dan area pembuatan kapal berada di sebelah kiri (timur kota).


Dimana posisi GPS benteng Rembang ini, tidak berada di pelabuhan Rembang
yang sekarang, tetapi harus dicari di persimpangan jalan utama. Hal ini karena
secara geomorfologis benteng tidak berada di muara sungai Rembang tetapi berada
di suatu area pantai yang lebih stabil dan laitnya agak dalam. Posisi GPS
benteng ini pada masa ini diduga di Taman Kartini yang sekarang.

Lantas dimana posisi GPS tempat pembuatan kapal
tersebut yang berada di sebelah timur benteng Rembang. Fakta yang ada sekarang
haruslah dicari di tempat dimana ditemukan situs kapal tua di desa
Punjulharjo (kecamatan Rembang) seperti peta
geomorfologi yang ditampilkan di atas. Dengan demikian
  penemuan situas kapal tua di desa tersebut
bersesuaian dengan gambaran yang dilukiskan pada era VOC/Belanda. Namun yang
menjadi pertanyaan seberapa tua kayu-kayu kapal tua yang ditemukan di desa
tersebut? Apakah ada relevansinya temuan kapal tua dengan gambaran perahu layar
yang terdapat dalam relief candi Borobudur?


Serpihan kayu-kayu dari peninggalan kapal tua di Rembang disebutkan sudah
diuji penanggalannya melalui analisis karbon dan disebutkan berumur sejak abad
ke-7. Namun bagaimana uji karbon itu dilakukan kita tidak pernah mengetahui. Namun
satu hal yang perlu dijelaskan di sini adalah (bahan) kayu adalah satu hal,
tempat ditemukan kapal tua adalah hal lain lagi serta keberadaan candi Borobudur
adalah hal lain lagi. Jelas bahwa candi Borobudur terdapat di Megelang, tetapi
itu konteksnya akan berbeda dengan keberadaan kayu dan kapal tua di Rembang.
Fakta bahwa kapal tua itu berada di pantai Rembang, lalu apakah tempat dimana
ditemukan kapal adalah suatu sejarah sendiri di masa lampau (abad ke-7) atau
sejarah baru abad ke 18 pada era VOC/Belanda? Seperti itulah yang kita lihat
dengan penemuan kapal tua di Jambi. Kapal tua di pantai Jambi adalah satu hal
dan kapal Hang Tuah adalah hal lain dan kerajaan Sriwijaya hal lain lagi.

Kapal tua di Rembang dan kapal tua di Jambi adalah
dua isu yang mirip satu sama lain pada masa ini karena penemuan peninggalan
sejarah lama dihubungkan dengan hal-hal lain yang lebih besar. Dalam hal ini
kapal tua Rembang dengan sejarah candi Borobudur dan (kerajaan) Mataram Kuno. Kapal
tua Jambi dengan sejarah kapal Hang Tuah dan kerajaan Sriwijaya. Namun seperti
dideskripsikan di atas, sebenarnya tidak relevan mengaitkan suatu temuan di
suatu tempat yang tidak berkaitan dengan di tempat lain, yang diperlukan dalam
studi khususnya para peneliti lebih focus pada studinya di tempat dimana berada
situs,

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi:
akhirmh@yahoo.com


, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top