*Untuk melihat semua artikel Sejarah Museum dalam blog ini Klik Disini
Sejarah
kuno selalu penuh teka-teki. Hal yang paling pokok mengapa demikian karena
kurang tersedianya data yang lengkap dan akurat. Sebab lain karena pendekatan analisis
yang digunakan bersifat parsial tidak keseluruhan (total) dalam arti data dari
aspek lain tidak disertakan dalam analisis. Celakanya, interpretasi dari hasil
analisis tidak mencerminkan fakta yang sesungguhnya. Itulah gambaran umum
tentang narasi sejarah kuno, narasi sejarah yang terus direvisi (jika ditemukan
fakta dan data baru).

hanya merujuk (satu-satunya) di Palembang. Pada era Hindia Belanda ditemukan
pusat Budha tidak hanya di Palembang (Sriwijaya) tetapi juga di Jambi dan
Panai. Panai sebagai (salah satu) pusat Budha di zaman kuno diketahui dari
keberadaan candi-candi yang terdapat di Padang Lawas. Sebagaimana diketahui
adanya candi di Padang Lawas kali pertama dilaporkan oleh FW Junghuhn ketika
melakukan survei pemetaan di wilayah Padang Lawas antara tahun 1841 dan 1842.
Penyelidikan candi-candi Padang Lawas baru dilakukan secara intens sejak 1934.
Oleh karena itu, penemuan Padang Lawas sebagai pusat Budha masih terbilang
baru.
Lantas
bagaimana sejarah candi di Padang Lawas? Pada era Republik Indonesia upaya ini baru dilakukan
secara komprehensif bersamaan dengan upaya rehabilitasi yang dilakukan pada
situ-situs candi yang terdapat di Padang Lawas. Namun yang tetap menyisakan
pertanyaan adalah mana yang lebih awal eksis pusat Budha di Palembang atau pusat
Budha di Panai. Pusat Budha Panai berada di arah hulu daerah aliran sungai
Baroemoen (kini kabupatyen Padang Lawas di Tapanoeli). Okelah, mari kita
pelajari kembali. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya
ada permulaan. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.

sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pusat Budha: Percandian di
Padang Lawas, Tapanoeli
Jauh
sebelum situs kuno Palembang ditemukan, pada tahun 1841 Dr FW Junghuhn meneukan
dan melaporkan keberadaan situs kuno berupa candi di wilayah Padang Lawas,
Tapanoeli (hulu daerah aliran sungai Baroemoen). Salah satu situs candi Padang
Lawas sudah dipublikasikan oleh pelukis terkenal Rosenberg (1857). Namun
keberadaan candi ini hanya direspon sebagai pengetahuan umumnya tanpa pernah
direspon lebih lanjut. Para pemerhati kepurbakalaan dan peneliti sejarah
termasuk arkeolog hanya tetap fokus tentang situs-situs kuno di Jawa (penemuan
Boroboedoer dan Prambanan).

tahun 1841 di hutan dan semak-semak Padang Lawas selalu tersimpan dalam memori
penduduk dan selalu diceritakan kepada setiap orang Eropa yang baru datang
seperti yang dapat dibaca pada surat kabar Opregte Haarlemsche Courant, 11-03-1880:
‘kuil bata tua di Pertibi dan dimana saksi mata meyakinkan saya, menunjukkan
dengan reruntuhan, datang sebelumnya wilayah ini dulunya adalah dari Hindu yang
cukup berkembang…’.
Fokus
penyelidikan situs kepurbakalaan di Jawa oleh orang-orang Belanda di Jawa yang
tergabung dalam Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia
(lembaga ilmu pengetahuan) tampaknya sulit menggerakkan pandangan ke Sumatra.
Bahkan surat seorang peneliti Inggris, S. Beal pada tahun 1887 yang ditujukan
kepada lembaga di Batavia tidak digubris. S Beal Sinoolog yang telah lama
melakukan riset di Tiongkok dalam suratnya menyatakan telah menemukan arah
suatu kekaisaran besar yang letaknya menuju sungai Moesi dimana kota Palembang
berada. Lebih lanjut Beal menyatakan bahwa ia sampai pada kesimpulan bahwa
sebuah kota Hindu yang besar pastilah berada di lokasi Palembang yang sekarang.
Dalam surat itu juga Beal bertanya apakah Bataviaasch Genootschap van Kunsten
en Wetenschappen tertarik untuk memulai penyelidikan di ibukota Palembang untuk
menyelidiki kemungkinan sisa-sisa pusat yang kekaisaran yang kuat tersebut.

juga anggota Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, WP
Groenevelt menjawab surat dan dalam surat tersebut WP Groenevelt menyangkal dan
menganggap hipotesis Beal tidak masuk akal dan karena itu lembaga ilmu
pengetahuan tertinggi di Batavia tersebut tidak memiliki alasan untuk
mengabulkan permintaannya.
Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia telah membuat keputusan
yang sangat keliru. Sebab pada tahun 1920 Mr LC Westenenk, Residen Palembang
mengumumkan penemuannnya di Bukit Sigoentang menemukan puing-puing patung Budha
yang bertarih 684 M (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
19-11-1920).
Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 19-11-1920: ‘Residen Westenenk mengumumkan kemarin
menemukan dimana Palembang memiliki inscriptie (tulisan kuno) Hindoe sebanyak
tujuh belas catatan dan tidak rusak. Tulisan kuno ini menunjukkan kemiripan
yang sangat besar dengan tulisan di Kota Kapoar di Banka dan karena itu mungkin
sudah berusia lebih dari sepuluh abad. Ini adalah prasasti Hindoe Melayu
pertama yang ditemukan di Sumatera Selatan’.
Batavia
geger. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen kecolongan.
Berbagai media (bahkan juga media di Belanda) menyindir kita kehilangan waktu
30 tahun studi untuk memperluas pengetahuan kita tentang Sriwidjaja. Disebut kehilangan waktu 30 tahun karena S
Beal pada tahun 1887 telah mendorong peneliti-peneliti untuk melakukan
penyelidikan di Palembang. Sindiran ini seakan mencemooh bahwa kembali Inggris
selalu lebih maju selangkah di depan dari Belanda.
Mr LC Westenenk (Residen Palembang 14 Mei 1920
– 25 Mei 1921), bukanlah seorang peneliti apalagi bukan seorang arkeolog. Mr LC
Westenenk hanyalah pejabat pemerintah yang memiliki perhatian terhadap perihal
kepurbakalan. Media menyindiri mungkin untuk mengolok-olok dimana berada para
peneliti dan para arkelolog Belanda selama ini. Peneliti terkenal Inggris S
Beal telah diabaikan oleh peneliti Belanda dan temuan Mr LC Westenenk seorang
awam justru membuat gempar dunia ilmu pengetahuan Belanda. Dalam hal ini head
to head peneliti Belanda kalah cepat dibandingkan Inggris.
Surat
S Beal itu sesungguhnya telah menjadi isu di Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen, namun entah bagaimana surat S Beal ini kembali masuk
laci. Pembicaraan surat S Beal baru intens setelah Mr LC Westenenk melaporkan
penemuannya (1920).

peneliti-peneliti Belanda tidak hanya memulai langkah untuk melakukan
penyelidikan lebih lanjut temuan awal Mr LC Westenenk tetapi juga laporan Jung
Huhn tahun 1843 tentang keberadaan candi di Padang Lawas dibuka kembali dan
dibicarakan serius. Area percandian di Padang Lawas sangat luas yang berpusat
di (kampong) Binanga (pertemuan sungau Batang Pane dengan sungai Baroemoen) dan
kampong Pertibie (sungai Batang Pane). Nama-nama Binanga (Minanga); Pane
(Panai), Baroemoen (aroe=sungai) dan Pertibie (Pritivi=dunia) diduga kuat
berasal dari India.
Langkah
inilah yang kemudian memunculkan gagasan pendirian Pusat Kepurbakalan di
Palembang (bukan di Jawa). Pusat kepurbakalaan ini akan menjadi pusat kajian
dalam penyelidikan lebih lanjut situs-situs tua di Palembang, Bangka, Padang
Lawas dan berbagai tempat dimana akan ditemukan situs baru di Sumatra. Orang
yang ditempatkan di pusat kepurbakalaan yang baru ini adalah seorang arkeolog bernama FM Schnitger.
Menurut NJ Krom dalam bukunya
Hindoe-Javaansche Geschiedenis (1926) hanya tiga kompleks candi di Sumatra
yakni Palembang, Muara Takus (Riau) dan Panai (Padang Lawas). Tiga daerah ini
jauh mendahului dari semua tempat di Sumatra, seperti Lamuri di Aceh, Malaka
dan Pagaruyung. Dari spesimen makara yang terdapat di candi Padang Lawas
menurut Krom, tidak hanya lebih tua (dari candi Melayu di Muara Takus) tetapi
juga menunjukkan Panai (Padang Lawas) lebih makmur pada abad kesebelas.
Keberadaan Panai tercatat dalam prasasti Tanjore, 1030. Urutan keberadaan
tempat-tempat penting di Sumatra (lihat Krom, 1926) adalah sebagai berikut:
Sriwijaya di Palembang, kemudian Panai di muara sungai Baroemoen dan
selanjutnya Jambi (dan dihulunya muncul kemudian Muara Takus).
Pada
tahun 1935, Schnitger melakukan beberapa minggu penelitian di Palembang (lihat
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-02-1935). Disebutkan
Schnitger menemukan artefak dan candi-candi yang berasal dari abad ke-13 dan
14. Tidak lama kemudian FM Schnitger, Kepala Pusat Kepurbakalan Sumatra di
Palembang, mendapat laporan adanya candi yang lebih tua di Simangambat, Siaboe
(dekat Padang Lawas). Schnitger kaget luar biasa dan bergegas dari Palembang
datang ke Siaboe untuk mengkonfirmasi keberadaan candi Simangambat. Tanpa pikir
panjang, FM Schnitger dan tim langsung melakukan ekskavasi terhadap candi
Simangambat dan laporannya dipublikasikan pada bulan Juni 1935 (lihat Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-06-1935 dan Bataviaasch
nieuwsblad 05-06-1935).

biasa, semua koran besar di Hindia melaporkan atau melansirnya. Pada intinya,
koran-koran tersebut mengabarkan sebagai berikut: ‘Minggu lalu FM Schnitger
dalam laporannya diketahui bahwa candi Simangambat adalah candi Siwa yang
dibangun pada abad kedelapan. Di dekat Simangambat (sebelah selatan) juga
ditemukan candi di Bonan Dolok. Candi Simangambat adalah candi tertua yang
dikenal di Sumatra. Candi ini mengandung relief teratai dan yang paling
mengejutkan ditemukan arca dewa Ganesha. Bangunan candi ini merupakan lebih
awal dari Borobudur dan diharapkan akan dilakukan perlindungan. Hal yang luar
biasa dalam penemuan ini, bahwa ada relief candi yang melukiskan suatu daerah
di Jawa. Sekarang, Mr. Schnitger sedang mempersiapkan suatu ekspedisi lanjutan
untuk eksplorasi ke percandian di Baroemoen, di mana mereka berharap untuk
membuat penemuan menarik di daerah arkeologi itu. Mr Schnitger dan tim pergi ke
daerah itu dan diperkirakan berlangsung selama dua minggu’. Laporan FM
Schnitger tersebut kemudian diterbitkan dalam bentuk brosur 38 halaman
‘Oudheidkundige Vondsten in Palembang’ oleh penerbit EJ Brill, Leiden. 1936.
Isi laporan tersebut hasilnya sangat menggemparkan: ‘Candi (Hindu) Simangambat
adalah candi tertua di Sumatra dan candi yang mendahului pembangunan candi
(Budha) Borobudur di Jawa Tengah’.
Keberadaan
candi di Simangambat boleh jadi merupakan garis continuum kehadiran orang-orang
India selatan di Sumatra: Baros, Siaboe dan Padang Lawas. Sebagaimana
diketahui, kota tertua di nusantara yang pernah tercatat adalah Baros (konon
sudah dikunjungi oleh orang-orang Mesir kuno, jaman prasejarah). Koloni
orang-orang India selatan di Baros besar kemungkinan adalah orang-orang India
selatan yang melakukan migrasi setelah mengetahui banyak penduduk lokal di
sekitar sungai Batang Angkola di Siaboe mengusahakan tambang emas (pertambangan
emas masih ditemukan hingga ini hari).
Pelabuhan Panai berkembang setelah era
pelabuhan kuno, Baros memudar. Dengan kata lain pusat-pusat perdagangan dari
pantai barat Sumatra (di Baroes) telah bergeser ke pantai timur Sumatra dimana
Palembang dan Panai menjadi pelabuhan penting. Meski demikian, keberadaan
penduduk Batak dalam mengusahaan produk-produk alamiah (kemenyan, benzoin dan
kamper) tetap sentral. Pelabuhan Panai (di hulu sungai Baroemoen atau sungai
Batang Pane) didukung oleh bandar-bandar kecil di hulu sungai Baroemoen, tempat
dimana pedagang-pedagang India melakukan transaksi dagang dengan penduduk dari
semua punjuru Tanah Batak. Produk perdagangan kuno kemenyan, benzoin dan kamper
sebagaimana diketahui hanya dihasilkan oleh penduduk Batak. Besar kemungkinan
produk ini mengalir ke Palembang melalui pelabuhan Panai.
Sehubungan
dengan penemuan situs kepurbakalaan di Padang Lawas, Palembang dan Simangaabat
memunculkan pertanyaan baru. Situs mana yang lebih eksis dan dimana peradaban
awal berkembang lebih awal di Sumatra: Apakah di Tapanuli atau Palembang?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Era Hindoe di Sumatra dan Jawa
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah–agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

, Terimakasih telah mengunjungi Dului.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.